Rabu, 07 Januari 2015

Laut



Laut

Siapakah yang dapat melarangmu menari?
Datang dan pergi
Memecah dan menyatu lagi

R. Fahik
Ende, 9.10.2014

"Badut Malaka"; Panggilan Kenabian, Panggilan Kemanusiaan



“Badut Malaka”;
Panggilan Kenabian, Panggilan Kemanusiaan
(Beberapa nilai dalam novel Badut Malaka)

Oleh : Juwandi Ahmad;
Penulis buku “The Young Sufi”- Jejak Cinta Sang Sufi Muda

Disampaikan dalam Bedah Novel Badut Malaka
Magister Sains Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Mei 2011.


Manusia tidak hanya sebatas homo tetapi harus meningkatkan diri menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip, nilai, dan rasa kemanusiaan yang melekat dalam dirinya. Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa menghargai dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti, dan tidak melakukan perilaku-perilaku buruk lainnya. Sikap dan perilaku memanusiakan manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one. Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit, suku, agama, ras, asal, dan status sosial ekonomi (Herimanto dan Winarno, 2009).
            Prinsip kemanusiaan di atas juga terkait dengan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna karena dianugerahi akal budi dan perasaan. Sehingga menurut Prayitno dan Erman (2004), manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dan paling tinggi derajatnya. Ditambahkan bahwa dalam ”keindahan dan ketinggian derajatnya” itu, ada empat dimensi kemanusiaan yang melekat dalam diri manusia, yakni: antara orang yang satu dengan orang lainnya terdapat perbedaan yang kadang-kadang bahkan sangat besar (1), semua orang memerlukan orang lain (2), kehidupan manusia tidak bersifat acak ataupun sembarangan tetapi mengikuti aturan-aturan tertentu (3), dari sudut tinjauan agama, kehidupan tidak semata-mata kehidupan di dunia fana, melainkan juga menjangkau kehidupan di akhirat (4).
            Berdasarkan prinsip-prinsip di atas maka menjadi jelas bahwa manusia harus selalu menyadari keberadaannya serentak potensi-potensi kemanusiaan yang melekat dalam dirinya. Dengan kesadaran itu manusia bisa menjadi pribadi yang berkarakter dan mampu tampil sebagai saksi kebenaran dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan turut mengambil bagian dalam panggilan untuk menempa dirinya serentak membangun masyarakatnya.
            Dalam konteks di atas dapat dikatakan bahwa kemajuan suatu bangsa (masyarakat, daerah) ditentukan oleh orang-orang yang idup di dalamnya. Maka menumbuhkan kesadaran untuk mencapai tingkat kemajuan merupakan sebuah syarat mutlak dalam konteks ini. Salah satu topik yang kini sedang hangat dibicarakan ialah bagaimana mengangkat kembali kearifan lokal (local wisdom) untuk dijadikan titik tolak perjuangan membangun karakter diri serentak masyarakat, bangsa, dan negara. Di sisi lain kearifan lokal disadari sebagai bekal bagi generasi muda. Hal ini berangkat dari hakekat manusia (masyarakat) yang hidup dalam budaya tertentu dengan kekayaan nilai di dalamnya.
            Jamal D. Rahman, pemimpin redaksi majalah sastra Horison bahkan mengakui bahwa banyak karya sastra kita yang berhasil, sebagiannya karena ia (sastrawan) dengan baik mengangkat cerita kesukuan, cerita yang kental dengan warna lokal. Umar Kayan, Ahmad Tohari dan Donanto, misalnya mengangkat warna Jawa dalam karya mereka; Ajip Rosidi mengangkat warna Sunda; Korrie Layun Rampan mengangkat warna Dayak; Oka Rusmini mengangkat warna Bali; Taufiq Ikram Jamil mengangkat warna Melayu Riau. Sementara dari ranah Minangkabau kita bisa menyebut antara lain A.A. Navis, Wisran Hadi dan Gus tf Sakai (Horison, tahun XLIV, No. 5/ 2010, Mei 2010). Dalam konteks NTT umumnya dan pulau Timor khususnya, novel Badut Malaka yang ditulis R.Fahik bisa disebut sebagai salah satu karya sastra yang memberi gambaran tentang konteks social dan budaya masyarakat Timor, khususnya Belu – Malaka. Dalam gambaran konteks social inilah terkandung berbagai nilai yang dapat kita petik.  

A.     Konteks Sosial Budaya Dalam Novel “Badut Malaka”

            Bila dicermati secara mendalam, setidaknya ada empat point yang dapat disebut sebagai konteks social dalam novel Badut Malaka. Empat point tersebut antara lain:

1.      Masyarakat Malaka yang umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani/bertani. Hal ini terungkap dalam novel yakni adanya persawahan, perbukitan, dan hutan. Selain itu masyarakat Malaka juga mengenal budaya/mata pencaharian nelayan. Hal ini ditandai dengan adanya pantai-pantai di pesisisr laut selatan Timor yang diuraikan oleh penulis dalam novel Badut Malaka.
2.      Masyarakat tradisional: hal ini terbukti dari uraian penulis tentang adanya rumah dan upacara adat, tarian, serta kesadaran masyarakat untuk menjaga warisan luluhur.
3.      Minat yang tinggi untuk mencari nafkah di luar negeri. Dalam konteks masyarakat Malaka, kebanyakan dari mereka memilih pergi ke Malaysia dan bekerja sebagai TKI.
4.      Sifat-sifat buruk manusia yang umum terjadi dalam suatu kebudyaan. Dalam novel  Badut Malaka, sifat-sifat itu antara lain, pertentangan/penolakan sebagian masyarakat terhadapat suara kebenaran yang disampaikan sang pengembaran dalam kesaksiannya. Hal lain ialah perjodohan yang masih diatur menurut kelas social. Hal lain lagi yakni kemalasan/ sifat malas yang kadang masih dimiliki oleh sebagian masyarakat.  

Konteks social budaya sebagaimana terungkap di atas kemudian direnungkan oleh tokoh Aku dan hasil permenungan itu dituangkannya dalam kesaksian hidupnya. Ia keluar dari tanah kelahirannya dan merantau ke tanah asing. Dalam perantauannya itulah Cintanya tumbuh, bukan hanya untuk seorang gadis Malaka tetapi cinta itu juga dipersembahkan bagi seluruh kutuhan Malaka; orang-orang Malaka. “Sesungguhnya aku tak hanya mencintai seorang gadis Malaka. Aku mencintai orang-orang malaka, tanah Malaka, udara Malaka, api Malaka, keutuhan Malaka”.


Dalam konteks ini, ada dua (2) hal yang menarik untuk disimak.

1.      Hubungan cinta sang tokoh dengan seorang gadis malaka yang ditentang keras orang tua
“Maka alangkah baiknya cintai itu kau kubur bersama puisi-pusimu yang basi dan kau benamkan saja diantara ilmu pengetahuan dan kebajikanmu”. 

2.      Kecintaan pada tanah leluhur (tanah kelahiran, budaya, adat, alam)
“Aku begitu bergairah untuk terbang, berkelana, memeruhi tanggungjawabku sebagai putra Malaka sejati”.

Berdasarkan dua konteks itulah, tokoh Aku dalam Badut Malaka memutuskan untuk pergi ke tahan asing, meninggalkan tanah Malaka dan sang gadis, Noy yang ia cintai. Kepergiannya itu bukan sekadar sebuah perjalanan hampa tetapi perjalanan penuh makna. Ia tetap berharap suatu saat nanti ia akan kembali dan diterima sebagai nabi. Beberapa kutipan menjelaskan hal ini:

·         “Maka aku pergi dengan harapan bisa kembali suatu saat membawa cahaya dan mereka yang mencemohku boleh menyalamiku.”

·         “Inilah catatan masa lalu yang merangkum segenap keutuhan diriku. Seorang pengembara yang punya seribu mimpi indah tapi juga sederet kenyataan yang menyakitkan bila di kenang. Seorang manusia biasa yang pernah dibelenggu rantai keangkuhan kemalasan dan menjadi beku di tanahnya sendiri hingga dicemooh dan diasingkan. Sungguh tak diperhitungkan dalam deretan anak-anak terang dan pemilik masa depan “.


B.     Panggilan Kenabian dalam Badut Malaka

Dalam novel Badut Malaka ada beberapa hal menarik dan mendasar untuk dapat diuraikan sebagai panggilan kenabian. Pendasarannya bahwa setiap budaya menyimpan beribu kekayaan nilai kehidupan. Dalam konteks orang Malaka, sebagian kekayaan budaya itu tertuang dalam novel Badut Malaka. Beberapa kutipan dalam novel melukiskan hal ini.

1)     Kebangkitan Roh

Dalam bagian “Kebangkitan Roh”, beberapa kutipan dapat diangkat. Kutipan-kutipan ini disadari sebagai kutipan yang menegaskan sebuah keterpanggilan yang mestinya disadari manusia dalam konteksnya sebagai pribadi dan sebagai insan berbudaya.

·         ”Sepuluh tahun aku mengembara di tanah asing dan tahun-tahun yang kulewati sungguh seperti butir-butir perintah Allah yang diterima Musa di gunung Sinai. Siapa mengira putra Malaka yang malang ini akan dibakar dalam tanur api pengasingan hingga keluar sebagai emas murni”.

Kalimat ini mengungkapkan rahasia di balik proses berpikir/refleksi manusia. Bahwa dengan merenungkan kehiduapnnya; pengalaman-pengalamannya, manusia dapat mengalami sesuatu yang baru, berubah ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi kemanusiaan yang melekat dalam dirinya.

·         “Inilah rahasia kehidupan bahwa bahwa dalam diri setiap orang senantiasa ada gerakan roh yang mengetuk dinding-dinding hati yang beku, dan bahwa memang suugguh mulia dan agung jika tiap-tiap orang berani melakukan perjalanan. Mengembara dan terus mengembara hingga mencapai apa yang paling berarti dalam hidupnya. Kebangkitan Roh. Apakah roh kebangkitan dapat sungguh berdiam dalam diri setiap prang hingga dia yang tak berarti itupun kini tampil sebagai nabi? Memang demikianlah kebenaran. Kita berasal dari surga dan akan kembali ke surga. Sepatuntnya kita mengikuti panggilan tangan-tangan malaikat surga sebab roh kebangkitan sungguh berdiam dalam diri kita jauh sebelum sebuah kelahiran dan tidak akan pernah berakhir dalam kematian.Inilah kebangkitan Roh, yakni ketika manusia berani melawan keangkuhan dan kemalasannya”.

Kalimat ini bermakna: Jika manusia benar-benar merenungkan hidupnya; pengalaman-pengalamannya, ia akan mendengar bisikkan kebenaran yang tentunya datang dari Tuhan sendiri (hati nuraninya). Suara hari nurani itulah yang menjadi landasan kuat untuk membangun kepribadiannya. Hal yang menarik ialah bahwa di dalam diri setiap manusia dan masyarakat, potensi kebenaran itu ada. Hanya saja, terkadang hal ini tidak disadari dan manusia/ masyarakat justru mencari kebenaran-kebenaran semu di luar dirinya.


2)     Kesaksian sang pengembara (tokoh Aku) di Balai Kota

Beberapa kutipan dalam kesaksian tokoh Aku di Balai Kota sesungguhnya menggambarkan metamorfoisis kesadaran orang-orang malaka. Berawal dari kabar kedatangan tokoh Aku yang tersebar di seluruh pelosok Malaka hingga sampai ke telinga pemimpin kota. Lalu sang pengembara diundang untuk tampil  di depan publik. Dan hal itu pun terjadi, tokoh Aku bersaksi di Balai Kota tentang hakekat kehidupan, benih-benih kebenaran yang terkandung dalam diri manusia Malaka dan masyarakat Malaka.
Ada pihak yang dengan tulus mengapresiasi kesaksian sang pengembara, ada pula yang menolak. Namun yang menarik untuk disimak ialah proses metamorfosis kesadaran manusia. Bahwa hanya dengan keterbukaan hatilah, manusia bisa sampai pada titik kebenaran sesungguhnya. Dalam hidup perlu ada saat di mana manusia menyediakan waktu untik berdialog dan saling mendengarkan. Itulah rahasia proses metamorfosis kesadaran manusia Malaka (dan manusia umumnya).


Beberapa kutipan dalam novel melukiskan hal ini:  

·         ”Demikianlah kabar kedatanganku akhirnya sampai ke telinga pemimpin kota, para tua adat, pemimpin agama bersama seluruh masyarakatnya. Gema syairku akhirnya bersarang di kepala pemimpin kota dan orang-orangnya. Dan apapun yang kuucapkan dengan satu lidah telah diucapkan oleh banyak lidah. Aroma karangan bunga “Badut Malaka” telah tersebar di seluruh tanah Malaka dan cahaya lilin-lilin “Badut Malaka” telah memenuhi pelosok-pelosok Malaka”

·         ”Sekarang saatnya kau bicara, hai pengembara. Bersaksilah tentang kemuliaan jiwamu, hai penyair Malaka. Siapa tahu kata-kata yang keluar dari dadamu menjadi lorong bagi kami menuju tanah terjanji dan syair-syairmu menjadi mata air dan “manna” di gurun hati kami. Bicaralah hai putra Malaka. Sesungguhnya kami telah banyak mendengar tentangmu tapi kini dan di sini kami akan mendengarkanmu.”

·         ”Sepuluh tahun aku mengembara di tanah asing dan tahun-tahun yang kulewati sungguh seperti butir-butir perintah Allah yang diterima Musa di gunung Sinai. Siapa mengira putra Malaka yang malang ini akan dibakar dalam tanur api pengasingan hingga keluar sebagai emas murni. Sungguh, tahun-tahun yang kulewati adalah permenungan. Aku merasa membutuhkan waktu satu tahun untuk membaca satu butir perintah Allah hingga akhirnya aku membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk membaca kesepuluh perintah itu, walau kutahu seluruh waktu dalam kehidupanku sesungguhnya adalah lembaran hukum surga yang tak boleh kunodai dengan tinta kemunafikan”.

·         ”Dua belas hari aku mengembara di tanah Malaka, hingga aku merasa seperti menjumpai dua belas suku Israel yang dipanggil Allah seturut namanya masing-masing. Mereka mengembara dari tanah pengasingan dan penindasan Mesir menuju tanah terjanji Kanaan.Hai orang-orang Malaka, kitapun dipanggil oleh Allah seturut nama kita masing-masing untuk keluar dari pengasingan dan kemelaratan menuju tanah terjanji”.

·         ”Pengasingan dan kemelaratan kita bukanlah kekejaman Firaun tapi ketertutupan pintu jiwa untuk memandang cahaya surga. Pengasingan dan kemelaratan kita bukanlah kerja paksa oleh pasukan raja Mesir tapi kekerdilan jiwa hingga tak mampu melihat diri kita yang sesungguhnya dan orang-orang di sekitar kita. Tanah terjanji kita bukanlah Kanaan yang berlimpah susu dan madunya. Inilah tanah terjanji kita, tanah Malaka!! Tanah yang berlimpah cahaya surga, tanah yang agung seagung kesakralan budaya kita, tanah yang kokoh dan perkasa bak tarian ombak pantai selatan. Tapi juga tanah yang ramah, lembut, bersahabat, seindah lenggokan tangan dan goyangan pinggul para gadis yang membawakan tarian “bidu”.

·         ”Pengembaraan kita bukanlah menaklukkan gunung Sinai dan Horeb, tapi menaklukkan gunung keangkuhan dan kemalasan di hati kita. Pengembaraan kita bukanlah berjalan sejauh langkah bangsa Israel tapi berdiam diri dan bertanya, apa yang telah kuperbuat hari ini untuk memuliakan Tuhan”.

·         ”Inilah surga dalam dunia, ketika masing-masing orang bangkit dari tidurnya dan menyerukan kerinduan akan kebenaran dan cinta. Sungguh, jika tiap orang memiliki semangat ini maka dunia adalah taman firdaus yang sudut-sudutnya ditumbuhi bunga-bunga segar yang tak kenal layu dan nyanyaian burung-burung menjadi kidung keabadian. Siapa yang tak merasa damai dalam taman ini. Dengarlah saudara-saudaraku, tak seorangpun dapat membangkitkan kita dari tidur kecuali diri kita sendiri. Tak ada yang dapat memerdekakan tanah ini kecuali kita sendiri. Inilah saatnya bagi kita untuk bangkit dari tidur. Cukup sudah keangkuhan dan kemalasan itu mendera kita”.

C.      Memaknai “BADUT MALAKA”

Novel Badut Malaka sesungguhnya memilki dua wujud/dimensi yang menarik utnuk disimak. Pertama, wujud cultural-fungsional. Kedua, dimensi simbolik-filosofis-makna.

1.     Wujud—Kultural—fungsional
Secara historis, Badut Malaka telah merasuk dalam struktur kesadaran; menjadi bagian dari kebudayaan orang Malaka (sebagai alat penerangan, dan dipercaya dapat mengusir kekuatan atau roh jahat). Sekarang Badut Malaka telah menjadi bagian dari terminologi ilmiah: ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.     SimbolikFilosofisMakna
Badut Malaka adalah tanaman yang terus tumbuh, berbunga, menghasilkan buah, dan cahaya: simbol keilahian, pencerahan, kebangkitan, ilmu pengetahuan, kebenaran. Dan dengan badut malaka, roh atau kekuatan jahat dapat ditumbangkan (serakah, sombong, mementingkan diri sendiri, malas, dsb)  

Kutipan yang merangkum dimensi-dimensi di atas ialah: “Maka biarlah Badut Malaka ini tetap tertancan di dinding-dinding hati kita dan cahanya memenuhi ruang jiwa, menerangi aliran darah kita dan membalut sendi-sendi tulang kita dengan cahaya surge”. (Badut Malaka: hal. 49, 55, 62, 64, 76, 78, 88, 94, 122, 132, 139).
Sedemikian pentingnya maka kutipan ini diulang hingga sebelas kali. Setidaknya ada dua hal menarik terkait kutipan ini: (1) Sebuah nasehat untuk kembali menjadi orang-orang Malaka yang tidak tercerabut dari akar kebudayaannya, warisan lelehuhurnya, dan terasing dari kekayaan alamnya, (2) Sebuah seruan untuk melawan kekuatan jahat di dalam diri dan bangkit untuk melakukan suatu perubahan dan membangun kebudayaan atau perdaban agung.
Akhirnya kutipan inti di atas merangkum tiga hal : Kesadaran Diri, Kesadaran tehadap Alam, Kesadaran Ilahiah.





D.     PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEBUDAYAAN

Mengacu pada hakekat Ilmu pengetahuan dengan Filsafat sebagai ibu segala ilmu pengetahuan, maka ada tiga hal utama yang menjadi dasar (dimensi) dalam menguraikan suatu teori/pengetahuan: Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologi.  Dalam konteks orang Malaka yang tertuang dalam novel Badut Malaka, ketiga dimensi pendidikan itu dapat diuraikan sebagai berikut:

·         Hakikat pendidikan karakter adalah suatu proses pembentukan pribadi-pribadi agung dan tercerahkan berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang bertujuan untuk melakukan suatu perubahan dan pembentukan kebudayaan agung (Ontologis).   
·         Epistemologis: Pertama: Kurikulum harus memberi perhatian terhadap budaya dan kearifan lokal (kristalisasi bahasa, seni, tradisi, filafat, alam, dan sejarah kebudayaan lokal. Kedua: Kurikulum harus mengarah pada pembentukan Spiritualitas dan spiritualitas (pluralisme, agama, pancasila, sejarah nasional indonesia dll)  
·         Aksiologis: 1. Sadar Kesukuan, Keagamaan, Keindonesiaan, Kesejagatan. 2. Identitas diri dan    identitas Budaya yanga kuat.

Dalam konteks kehidupan masyarakat Malaka (dan masyarakat umumnya), ketiga dimensi pendidikan di atas berhadapan dengan berbagai benturan; kenyataan, pengalaman, ideologi, sikap,dsb. Hal inilah yang terkadang menyebabkan krisis identitas (1) dan tercerabutnya individu dari akar kedirian dan kebudayaanya (2). Berangkat dari fenomena inilah, proses belajar/berpikir harus senantiasa disadari, dimaknai, dan dipraktekkan oleh manusia.  

Dalam novel Badut Malaka, bagaimana masyarakat Malaka (seharusnya) memaknai ”Badut Malaka” dapat digambarkan sebagai berikut:
·         Pada jaman dahulu/ nenek moyang, orang Malaka mengenal Badut Malaka sebagai tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai penerang/ lampu tradisional (badut malaka putih/ “mutin”). Selain itu, Badut Malaka juga dipercayai sebagai penghalau kekuatan roh jahat (badut malaka merah/“mean”)
·         Jaman sekarang “Badut Malaka” hendaknya dikembangkan sebagai bahan bakar alternatife yang ramah lingkungan (ada dalam novel/catatan kaki)
·         Namun lebih dari itu makna yang mau diperjuangkan penulis ialah, semangat kesadaran untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik, lebih maju, dan lebih bersaing. Inilah yang harus dimiliki orang-orang Malaka. Hanya dengan kesadaran utuh-lah, Malaka dapat makin maju dan mensejajarkan diri dengan masyarakat lain yang sudah maju. Segala unsur keangkuhan dan kemalasan harus diberantas dengan kesadaran dan kemauan untuk bekerja keras sambil tetap memelihara persatuan dalam masyarakat. Inilah panggilan kenabian dalam novel Badut Malaka. Sebuah panggilan yang bukan hanya ditujukan bagi orang Malaka tetapi manusia dan kebudayaan secaca luas.. Sebuah sumbangan yang sangat berarti dari seroang putra Timor untuk sastra, kehidupan, dan kemanusiaan universal.




Pustaka:

Herimanto dan Winarno. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Horison, tahun XLIV, No. 5/ 2010, Mei 2010
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Proposal Penyelenggaraan Kegiatan Peluncuran Novel Badut Malaka. Diselenggarakan oleh Benenai Study Club (BSC) Yogyakarta, di Atambua: Maret 2011.
R. Fahik. 2011. Badut Malaka. Yogyakarta: Cipta Media