Selasa, 23 Juni 2015

Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL



Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (1)
“Tulis Saja Apa yang Kalian Bisa”

Bulan Februari 2015, Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengadakan Kelas Menulis Kreatif Anak Perbatasan di Kabupaten Belu. Kegiatan ini melibatkan 40 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari berbagai sekolah, dan 8 guru pendamping. Para peserta dibagi menjadi 2 kelompok yakni Kelas Menulis Cerpen, yang didampingi Sastrawan asal Jawa Timur, Bonari Nabonenar, dan Kelas Jurnalistik yang didampingi Sastrawan/Jurnalis NTT, Robert Fahik, M.Si. Sebagai kelanjutan dari kegiatan tersebut, selama empat hari (Selasa, 14/04 – Jumat, 17/04/2015), Kantor Bahasa Prov. NTT mengadakan Pendampingan Majalah Dinding (mading) dengan mengunjungi 8 sekolah (SMP) di daerah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) – Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), Kabupaten Belu. Tim yang terdiri dari Kepala Kantor Bahasa Prov. NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., Staf Kantor Bahasa Prov. NTT, Agustinus Dara Kura, dan Sastrawan/Jurnalis muda NTT, Robert Fahik, menyusuri lorong-lorong daerah perbatasan, menjumpai para siswa dan para guru. Bagaimana kisah perjalanan mereka?
Simak laporan Robert Fahik berikut ini.

Terik mentari terasa menyengat ketika kami tiba di SMPN Silawan, Selasa (14/04/2015), padahal waktu belum genap pukul 11.00. Pak Yanuarius Wadan, S.Pd., koordinator guru-guru pendamping Mading SMP Perbatasan yang menemani kami tak henti-hentinya memberi semangat. Kami disambut ibu Retno Nur Halima, S.Pd., dan pak Adi Amfotis, S.Pd., keduanya merupakan guru pendamping mading di sekolah tersebut. Walau kami tidak sempat bertemu Kepala sekolah dan para guru lainnya, kehadiran lima siswa pengurus mading sudah sangat berarti. Kepala Kantor Bahasa Prov. NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., pun mengungkapkan rasa bangganya, “Kantor Bahasa merasa bangga karena pelatihan menulis yang kami berikan beberapa waktu lalu tidak sia-sia. Mudah-mudahan semangat ini tetap ada. Adik-adik tetap menulis walau tidak ada pendampingan dari kami. Kemampuan menulis ini terus dilatih, sehingga ketika jadi mahasiswa nanti adik-adik tidak kesulitan dalam menulis.”
Pada kesempatan itu, beberapa siswa tampil menceritakan tulisannya, termasuk Yoseph Bau Dasi, salah seorang siswa yang dipercayakan sebagai pemimpin redaksi “Matriks” (mading sekolah). Yoseph juga menyampaikan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT yang sudah memberi kesempatan bagi mereka untuk belajar menulis. “Terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT karena kami sudah diberi ilmu dan pengalaman untuk bisa menulis. Setelah ikut pelatihan menulis di Atambua, kami terus belajar dan mencoba mengajak teman-teman lain,” kata Yoseph.
Saya yang hadir sebagai narasumber hanya memberi beberapa catatan berdasarkan “Matriks” edisi terbaru yang dipajang di sekolah. Beberapa kreatifitas yang sudah ada saya apresiasi, seperti ditampilkannya artikel tamu dan berita foto. Saya juga memberi motivasi bagi para guru dan siswa untuk mengasah keterampilan menulis dengan terus menulis. “Diupayakan agar mading ini terus terbit secara berkala. Para guru bisa tetap dampingi adik-adik, dan kalau ada tulisan siswa atau guru yang dianggap bagus bisa kirim ke kami di Kupang untuk dipublikasikan di koran atau majalah yang ada.” 
Siang itu kami meninggalkan SMPN Silawan dengan kepala tegak. Karena kunjungan pertama ini boleh mendapat respon luar biasa dari guru dan siswa yang ada. Kami juga terkesan dengan cerita ibu Retno tentang perjuangannya mendampingi siswa-siswa dalam menerbitkan mading sekolah. Guru SM3T (Sarjana Megajar di daerah 3T: Terdepan, Terluar, Tertinggal) ini mengisahkan bahwa di tengah keterbatasan yang ada, dirinya terus memberi dorongan bagi para siswa untuk menulis. Ia bahkan rela mengeluarkan uang pribadi, misalnya untuk membeli jajan bagi para siswa yang mempersiapkan penerbitan mading. “Beberapa kendala yang masih ada, seperti anak-anak sering telat dalam mengumpulkan tulisan. Kami juga kesulitan dalam mencari literatur karena sekolah belum punya perpusatakaan. Tapi saya coba terus memberi mereka semangat. Tulis saja apa yang kalian bisa,” kisahnya.
Dari Silawan kami bertolak menuju SMPN Tulatudik, di Desa Derok Faturene, Kecamatan Tasifeto Barat. Medan yang tidak begitu bersahabat. Jalanan berbatu. Kadang terdapat endapan lumpur, sisa hujan beberapa hari sebelumnya. Namun matahari yang kian merendah ke ufuk Timur turut meneduhkan hati kami. Kami pun tiba di sebuah gedung sekolah dasar sekitar pukul 15.00 sore. Ternyata salah satu ruang kelas dari gedung inilah yang digunakan para guru dan siswa untuk belajar, karena mereka belum punya gedung sendiri. Para siswa yang menyambut kami pun ternyata merupakan siswa angkatan pertama dari sekolah ini. Jumlah keseluruhan siswa 15 orang. Lima di antaranya yang menyambut kami sore itu bersama guru pendamping, ibu Gradiana Abuk, S.Pd. Lima siswa ini merupakan siswa peserta Kelas Menulis Kreatif. Seperti para guru dan siswa di Silawan, ibu Gradiana bersama 5 siswa ini pun menyambut kami dengan wajah berseri walau hari sudah sore. Seragam sekolah yang masih melekat di tubuh menjadi bukti keseriusan mereka dalam mengejar ilmu. Sebuah pemandangan yang serentak mengingatkan kami akan kisah Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi. “Ini laskar pelangi dari Tulatudik,” kata pak Yanto.  
“Sekolah ini baru berdiri tahun 2014. Ada Sembilan guru terdiri dari 2 guru PNS dan 7 guru honor. Tapi yang menetap di sini hanya 3 guru termasuk saya. Guru lainnya tinggal di Atambua dan hanya datang kalau ada jam mengajar. Itu pun kadang ada yang tidak datang. Mungkin karena kondisi jalan yang parah. Biaya ojek ke sini juga sekitar 20 ribu. Tapi saya masih bertahan karena semangat anak-anak luar biasa,” kata ibu Gradiana.
Ibu Gradiana pun berkisah panjang lebar tentang suka-duka mendampingi anak-anak di sekolah perintis ini. Diakuinya, mading terbitan mereka hanya bisa dipublikasikan dalam bentuk tulisan tangan, karena memang belum ada aliran listrik di daerah ini. Media yang digunakan pun seadanya yakni salah satu papan tulis. Namun ia tetap membimbing dan memberi motivasi bagi para siswa. Terkait kendala lain yang dihadapi, dirinya mengatakan bahwa anak-anak masih kesulitan dalam berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Karena itu, para siswa selalu didorong untuk membaca berbagai referensi yang ada di sekolah, meski belum begitu lengkap.     
Seperti kunjungan di sekolah sebelumnya, saya dan pak Luthfi memberi motivasi dan catatan-catatan penting tentang proses belajar menulis khususnya lewat media mading di sekolah. Para siswa juga diberi kesempatan untuk bercerita tentang tulisan mereka yang dimuat di mading sekolah. Walau terbata-bata, namun mereka tetap menunjukkan semangat dan rasa ingin tahu yang besar. “Untuk bisa menulis secara baik, seringlah menulis. Dilatih setiap hari. Dan jangan sampai mading ini hanya terbit sampai satu atau dua bulan,” pesan pak Luthfi.
Ada yang menarik sebelum kami meninggalkan ibu Gradiana dan 5 laskar pelangi dari Tulatudik. Mereka masih sempat mengajak kami untuk mampir di gedung sekolah mereka yang sementara dibangun, tidak begitu jauh dari gedung “sekolah sementara” mereka. Dibangun atas kerja sama Kemitraan Pendidikan Australia – Indonesia, gedung sekolah ini terdiri dari bangunan pernamen dengan 6 ruang belajar, perpustakaan, kantor, kamar mandi/WC, ruang guru, dan lapangan basket ditambah halaman yang cukup luas untuk dijadikan taman atau arena belajar luar kelas bagi siswa. Pembangunan gedung ini sudah dimulai sejak tahun 2014 dan direncanakan selesai tahun 2015. “Kami berharap tahun ajaran baru nanti gedung ini sudah bisa digunakan sehingga kami tidak harus pinjam lagi gedung SD,” pinta ibu Gradiana.(Robert Fahik/bersambung)


Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (2)
“Satu-satunya Aset yang Kami Miliki Adalah Mading”

Hari masih pagi ketika kami meninggalkan Hotel Nusantara Dua Atambua, Rabu (15/04/2015). “Ini perjalanan hari kedua yang tentunya akan semakin menantang,” ungkap Gusty yang belum mau menyerah di belakang kemudi Toyota Rush yang kami tumpangi. Semangat Gusty terbayarkan dengan pemandangan indah perbukitan yang membentang sepanjang perjalanan kami dari Atambua menuju Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen. Bahkan kami dapat melihat dengan jelas puncak Lakaan, gunung tertinggi di Belu yang dipercaya sebagai asal mula nenek moyang orang Belu. Di kaki gunung itulah tujuan kami. Di sana sudah ada dua staf Kantor Bahasa Prov. NTT, ibu Christin Weking dan mas Salimmuloh Sanubarianto, didampingi staf dari Dinas Pariwisata Kabupaten Belu. Sesungguhnya mereka punya agenda tersendiri yakni perekaman data kebahasaan yang terdapat dalam upacara adat. “Kebetulan kita searah jadi sekalian saja kita singgah melihat upacara adat di sini,” kata pak Luthfi. Hari itu masyarakat suku Ilba yang bermukin di Dusun Lo’okun mengadakan upacara adat panen jagung yang disebut “Pa’ol Sera” dalam bahasa setempat.
Sekitar pukul 10.00 pagi itu, pak Luthfi memutuskan agar kami melanjutkan perjalanan menuju SMPN Satu Atap (Satap) Ekin 2. Ketika itu upacara adat masih terus berlangsung. Namun kami bersyukur karena sudah sedikit melihat dari dekat salah satu warisan leluhur di kampung ini. Tidak terkecuali suguhan kopi dan teh yang menambah hangat suasana.
Perjalanan menuju SMPN Satap Ekin 2 masih seperti perjalanan dari Atambua menuju Dirun. Pemandangan perbukutikan yang indah dengan udara alam yang segar. Lalu lalang kendaraan bermotor yang hampir tidak terlihat. Namun kondisi jalan yang kami hadapi tidak semulus jalan menuju Dirun. Belasan bahkan puluhan kilo meter harus kami lewati tanpa aspal. Hanya bebatuan lepas yang kadang tak mampu menutupi beberapa lubang cukup besar. Namun cuaca cerah sedikit meringankan perjuangan Gusty dalam mengemudikan mobil. Bahkan raut lelah pun hampir tidak terlihat di wajahnya ketika kami beristirahat menikmati alam sambil berfoto di salah satu punggung bukit yang dipadati kacang hijau milik petani.
Lebih dari satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di SMPN Satap Ekin 2, yang terletak di Desa Lamaksenulu, Kecamatan Lamaknen. Kami disambut Wakil Kepala Sekolah, pak Lambert Sira Lebau, S.Ag., guru pendamping mading, ibu Ina da Cunha, S.Pd., sejumlah guru, dan puluhan siswa. “Tujuan kunjungan kami ini adalah pendampingan mading. Kami ingin melihat hasil pelatihan kelas menulis yang sudah kami adakan beberapa waktu lalu. Dan kami bangga bahwa adik-adik terus menulis dan menerbitkan mading. Terima kasih untuk guru-guru yang sudah mendorong para siswa,” tutur pak Luthfi mengawali obrolan santai kami di salah satu ruangan sekolah itu.
Mewakili pihak sekolah, pak Lambert juga mengungkapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT atas kunjungan ini dan atas undangan untuk mengikuti kelas menulis kreatif. Pihak sekolah sangat mendukung langkah ini. “Mading adalah wadah pembelajaran bagai para siswa. Ketika mereka menulis, mereka mengekspresikan diri. Jadi, kita sangat mendukung program ini walau masih terdapat beberapa kendala seperti belum adanya aliran listrik dan penggunaan bahasa daerah yang masih mendominasi ketimbang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” kata pak Lambert.
Obrolan kami terasa makin hangat ketika para siswa diberi kesempatan untuk tampil berbicara di depan. Ada yang menceritakan tentang berita atau feature yang mereka tulis. Ada juga yang membacakan puisinya. Namun yang paling mengaharukan ketika Vebrianti Flaviana Mau, seorang siswa peserta kelas menulis kreatif menceritakan cerpen yang ia tulis. Dengan cukup tenang dan lancar gadis berambut ombak ini menceritakan perpisahannya dengan kedua orangtua kandungnya sebagaimana yang ia tulis dalam cerpennya, “Perginya ayah dan ibu”. Awalnya sang ibu memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dengan alasan mencari kerja dan penghasilan yang layak. Lama tak terdengar kabar, ayahnya pun memutuskan untuk pergi. Namun seperti ibunya, sang ayah pun tidak pernah kembali. Hingga terdengar kabar bahwa keduanya sudah memiliki pasangan hidup yang baru. Vebrianti kini hidup bersama sang nenek dan kedua diknya. “Waktu berganti waktu, minggu berganti minggu. Aku, kedua adikku, dan nenek terus bersabar menunggu ibuku yang katanya mau pulang. Tetapi penantian kami itu hanyalah khayalan belaka. Ternyata Ibu ditangkap oleh polisi, karena passport dikatakan telah habis masa atau waktu alias mati. Aku sangat bersedih mendengar kabar bahwa ibu ditangkap. Akupun menangis,” kisah Vebrianti di tengah isak tangisnya, membuat semua kami terdiam. Bahkan beberapa siswa dan guru meneteskan air mata.
Matahari semakin meninggi ketika kami melanjutkan perjalanan menuju SMPN Turiskain. Jaraknya tidak lebih dari sepuluh kilo meter, namun dengan kondisi jalan yang masih memprihatinkan. Bebatuan. Berluang. Tanjakan. Turunan. “Tapi pemandangan yang indah membuat kita tetap bersemangat,” komentar pak Luthfi.
Di sekolah itu pak Servasius Kali, S.Pd., sudah menunggu kami. Pak Servas yang mendampingi 5 siswa dari sekolah ini ketika mengikuti kelas menulis kreatif di Atambua. Hadir juga Wakil Kepala Sekolah, pak Yunus Manek Lelo, S.Pd., dan beberapa guru, serta 5 siswa peserta kelas menulis kreatif yang menjadi pengurus “Obor Perbatasan” (mading sekolah). Dari pak Sevas dan pak Yunus kami mendapat cerita yang sama seperti cerita ibu Gradiana di Tulatudik. SMPN Turiskain juga merupakan sekolah perintis yang baru memiliki siswa angkatan pertama. Proses belajar mengajar pun masih menggunakan gedung SD. Namun jumlah siswa di sini lebih banyak dari SMPN Tulatudik, yakni lebih dari 70 siswa, dengan jumlah guru sebanyak 18 orang. Karena itu pak Servas jujur mengakui bahwa masih banyak kekurangan yang ada, termasuk penerbitan mading yang masih mengandalkan tulisan tangan siswa. Dana untuk penerbitan mading pun masih menggunakan uang paribadi.
Ungkapan menarik datang dari pak Yunus. Beliau mengatakan bahwa sebagai sekolah baru,  hingga kini sekolah belum memiliki aset apa-apa. “Satu-satunya aset yang kami miliki adalah mading,” tuturnya dengan nada canda. Karena itu beliau mengapresiasi program Kantor Bahasa NTT dan mengharapkan kelanjutan dari program ini. Beliau juga berharap ada dukungan dari pemerintah daerah, misalnya dengan memberikan dana atau fasilitas untuk mading. Kendala-kendala seperti perbendaharaan bahasa dan minimnya literatur bagi siswa, juga diakuinya.
Namun pak Luthfi melihat sisi lain dari kekurangan yang ada. Pertama beliau mengapresiasi semangat yang sudah ditunjukkan siswa dengan terus menulis. Kedua, beliau menegaskan bahwa terbitan mading bisa berupa tulisan tangan, tidak harus dalam bentuk ketikan. “Justru dari keterbatasan akan lahir tulisan yang berkualitas. Cerita-cerita tentang kehidupan di perbatasan yang serba terbatas, terus digali. Lima siswa yang sudah dilatih ini mohon memberi motivasi bagi teman-teman. Kami juga meminta dukungan dari pihak sekolah,” kata pak Luthfi.
Pada kesempatan itu, pak Luthfi juga menyinggung soal gerakan “Indonesia Mengajar” yang dicanangkan Anies Baswedan, jauh sebelum beliau menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Intinya, sekolah perlu melibatkan orang lain (pihak lain) dalam pendidikan. Konkretnya, sekolah bisa mengundang praktisi dalam berbagai bidang seperti kesehatan, pemerintahan, bisnis, pertanian, dan bidang lainnya. Mereka bisa membagi pengalamannya, memberi motivasi bagi siswa, dan memicu imajinasi siswa. “Buatlah sekolah yang menyenangkan. Sekolah sebagai taman yang indah bagi para siswa,” tutur pak Luthfi. Beliau juga memberi motivasi bagi para siswa untuk terus belajar dan tidak berhenti bersekolah. Apalagi sekarang tersedia banyak beasiswa, khususnya untuk Indonesia Timur. “Syaratnya hanya satu, yakni belajar,” tegasnya. Dan menulis sejak sekarang, katanya, merupakan bagian dari belajar itu. Bahkan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling tinggi. Para guru juga diminta untuk terus memberi motivasi bagi siswa lewat penerbitan mading, dan hal-hal lain seperti membentuk kelompok menulis.(Robert Fahik/bersambung)


 
Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (3)
“Kita Belajar dari Hal-hal Sederhana”

Rabu (15/04/2015) sore, setelah menempuh perjalanan panjang dari Atambua ke Dirun, dari Dirun ke SMPN Satap Ekin 2, dan terakhir di SMPN Turiskain, kami pun beristirahat sejenak di rumah pak Yanto, kurang dari sepuluh kilo meter arah Utara SMPN Turiskain. Rumah pak Yanto yang berdiri di antara hamparan sawah penduduk dan jauh dari kebisingan memberi nuansa tersendiri. Kami bisa merebahkan tubuh sejenak, setelah menikmati makan siang. Namun semangat kami belum pupus. Tidak lebih dari dua jam beristirahat, kami memutuskan untuk melanjutkan pendampingan mading di sekolah berikut yakni SMPN 2 Tasifeto Timur (Tastim), tempat pak Yanto mengajar.
Walau sudah di luar jam sekolah, kami mendapat sambutan luar biasa dari sekolah ini. Beberapa siswa mengenakan pakaian rapi, mengalungkan selendang kepada kami tepat di pintu masuk ruang pertemuan itu. Kepala Sekolah, Yosep Klau, S.Pd., Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Siprianus Nasur, S.Pd., guru Bahasa Indonesia, ibu Maria Yudith Rebelo, S.Pd., dan beberapa siswa lainnya menyambut kami. “Sebenarnya banyak siswa yang menunggu sejak siang. Namun karena jarak rumah yang jauh, maka hanya beberapa siswa yang masih ada,” kata pak Yanto, yang rupanya sudan mempersiapkan seremoni penyambutan sederhana ini.
Meski terletak di daerah perbatasan, sebagai sekolah yang sudah berusia lebih dari 10 tahun, SMPN 2 Tastim memang berbeda dari sekolah lain yang pernah kami kunjungi. Papan mading yang ditata begitu apik. Lengkap dengan pintu kaca. Tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk ketikan bahkan ada yang di-print out dengan warna. Rubrikasi mading pun terlihat lebih kaya dan bervariasi. Mereka memberi nama mading ini “Cerdik”: Catatan Elegan Remaja Terdidik. Edisi terbitan mading ini sudah memasuki edisi keempat, bahkan edisi kelima sudah disiapkan. “Tinggal di-print out,” kata pak Yanto. Bahkan gagasan pak Luthfi terkait pembentukkan kelompok menulis, sudah dijalankan di sini.
Benar saja, karena sebenarnya gagasan membentuk mading sekolah sudah dimulai sejak tahun 2001. Namun baru kali ini ada guru tetap bahasa Indonesia, sehingga bisa mendampingi para siswa. Demikian pengakuan pak Siprianus. Secara lebih serius, kata pak Yosep, mading sekolah mulai diterbitkan di tahun 2012. Namun ketika itu, edisinya per semester. Lalu menjadi per tiga bulan. Namun karena satu dan lain hal, terbitan mading sempat macet.
“Kami ucapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT untuk program yang sangat baik ini. Anak-anak kami bisa ikut kelas menulis. Dan kami bangga karena kegiatan yang bagus ini melibatkan anak-anak. Mereka bisa menjadi lebih kreatif. Memang kita harus belajar dari hal-hal sederhana. Ke depan, kita dukung anak-anak untuk berkarya, termasuk rencana untuk penerbitkan buletin sekolah dan penyediaan insentif bagi guru dan siswa yang menulis,” kata pak Yosep.
Pak Yanto yang mendampingi para siswa ketika mengikuti kelas menulis kratif, menjelaskan, pemilihan nama “Elegan” untuk mading sekolah juga mengacu pada arti kata itu sendiri yakni baik. Jadi, mading merupakan wadah yang baik bagi siswa dan guru untuk berekspresi lewat tulisan. Hal-hal yang ditampilkan adalah hal-hal yang baik, dan membangun motivasi. Dukungan dari guru-guru, kata pak Yanto, sejauh ini sudah ada yakni dengan menulis di mading. Namun dukungan dari sekolah, termasuk dari Kantor Bahasa masih sangat diharapkan, terutama penyediaan buku-buku yang bisa melengkapi koleksi buku di perpustakaan sekolah.
“Menulis itu ibarat ibu yang melahirkan bayi. Ada rasa sakit, tapi akhirnya bangga, karena memiliki seorang anak. Prinsip menulis kami, natural menuju ilmiah, dengan menciptakan kemandirian. Mulanya biasa saja, akhirnya jadi luar biasa,” tandas pak Yanto, yang juga merupakan Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan.
Pada kesempatan tersebut, pak Luthfi menyampaikan terima kasih berlimpah kepada pihak sekolah yang sudah memberi dukungan bagi penerbitan mading sekolah. Beliau berharap, apa yang sudah dicapai SMPN 2 Tastim ini bisa menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain, terutama tentang bagaimana membangun minat baca dan tulis di kalangan siswa. Ke depan, katanya, Kantor Bahasa NTT akan terus memberi dukungan termasuk bantuan buku-buku referensi untuk perpustakaan sekolah.
Beliau pun mendukung langkah maju yang sudah dibuat pak Yanto dan guru pendamping lainnya dengan membentuk kelompok penulis. “Dengan adanya kelompok penulis maka siswa akan merasa bertanggung jawab atas penerbitan mading. Dengan itu, mading akan terus terbit sesuai jadwal yang ada, sekaligus ada pengkaderan dalam kelompok. Jadi, yang akan naik kelas bisa menjadi contoh bagi siswa baru nanti,” jelas pak Luthfi sebelum kami meninggalkan SMPN 2 Tastim. Hari itu kami bermalam di rumah pak Yanto.(Robert Fahik/bersambung)


 Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (4)
“Selama Ini Tidak Ada Mading
di Sekolah”

            Kamis (16/04/2015) pagi, udara di Turiskain begitu segar. Setelah menikmati sarapan pagi ditambah kopi ala perbatasan, kami masih sempat mengunjungi Pos Perbatasan Turiskain. Dari tempat ini wilayah Timor Leste jelas terlihat. Hanya dibatasi aliran sungai. Setelah berpose beberapa kali, kami pun bertolak menuju SMPN Sadi, arah kota Atambua. Namun pagi itu pak Yanto masih mengajak kami menikmati teduhnya pepohohan tua yang mengitari sumber air We Bot. Tidak begitu jauh dari sekolah pak Yanto. Sumber air inilah yang mengaliri sawah penduduk. Terdapat beberapa lopo, namun terlihat bahwa pengelolaannya belum begitu maksimal. Rerumputan liar yang menghiasi jalanan, ditambah satu lopo yang miring akibat tiang penyangga yang rapuh.
            Sapaan dan senyuman para pelajar baik SD maupun SMP yang kami jumpai di jalanan pagi itu, rasanya menjadi kado terindah dari Haekesak. Perjalanan menuju SMPN Sadi tiidak kalah jauhnya dengan perjalanan sebelumnya. Namun jalan yang kami lewati tidak separah Tulatudik atau Ekin dan Turiskain. Hanya beberapa kali kami harus memutar arah karena salah alamat, sebelum akhirnya kami tiba di sekolah tujuan. Kami disambut ibu Maria Ermelinda Kolo, S.Pd., yang hari itu mewakili ibu Ani Lau, S.Pd., sebagai pendamping mading yang sedang sakit. Beberapa guru bersama sejumlah siswa juga tampak hadir sebelum akhirnya Kepala Sekolah, Gerardus Berek, S.Pd., menghampiri kami.
            Walau sedikit terlambat datang, Pak Gerardus nampak begitu antusias menyambut kami. Dengan begitu bersemangat beliau mengucapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT dan menyatakan tekad sekolah untuk terus mendukung para siswa dalam menulis, termasuk penerbitan mading. “Sekolah dukung terbitnya mading ini. Supaya ke depan anak-anak lebih kreatif. Sekarang ini minat baca kurang. Kemajuan IPTEK membuat anak-anak lebih banyak nonton TV atau bermain HP. Ke depan kita terus kerja sama supaya anak-anak menulis secara kreatif dan maju, bukan saja mereka yang di redaksi tapi juga teman-teman lain,” kata pak Gerardus.
Beliau juga mengakui bahwa penerbitan mading merupakan pengalaman baru di sekolah. Karena itu berkali-kali beliau mengungkapkan rasa bangga dan terima kasihnya kepada Kantor Bahasa. “Selama ini tidak ada mading di sekolah. Ini hal yang luar biasa. Dan pihak sekolah akan terus mendukung. Mading harus terus hidup,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Yogi, pemimpin redaksi “Bumi” (Berkarya Untuk Meraih Impian), mading sekolah ini. Dikatakan Yogi, pengalaman mengikuti kelas menulis kreatif memberi motivasi bagi mereka untuk belajar menulis. Dirinya dan teman-teman di redaksi sudah mengajak teman-teman lain, namun masih ada yang belum begitu antusias. “Walau kemampuan kami masih kurang, tapi kami akan terus berusaha. Apalagi dengan kunjungan hari ini, kami sangat bangga dan termotivasi,” kata siswa dengan nama lengkap Yogi Bere Tallo ini.
Ungkapan hati Yogi diikuti dengan tampilnya beberapa siswa yang membacakan puisi, cerpen, maupun hasil tulisan lainnya. Seperti di sekolah lainnya, pak Luthfi mengutarakan tujuan kunjungan ini yakni sebagai kesempatan Kantor Bahasa untuk melihat perkembangan menulis anak-anak setelah mengikuti kelas menulis kreatif, sekaligus pendampingan mading. Beliau juga kembali menegaskan komitmen Kantor Bahasa NTT untuk terus mendukung tumbuhnya budaya menulis di kalangan siswa. Hal yang menarik adalah hasil diskusi ringan saya bersama pak Luthfi yakni rencana gerakan menulis buku harian, yang juga diungkapkan beliau. “Buku Harian merupakan sarana berlatih menulis yang paling sederhana. Siswa bisa menuliskan apa saja yang mereka alami. Kalau menulis tiap hari, maka dengan sendirinya kemampuan menulis akan berkembang. Ke depan kami akan agendakan gerakan ini dengan mencetak buku harian bagi para siswa,” jelas pak Luthfi.
Pada kesempatan itu beliau juga kembali meminta dukungan para guru sebagai penggerak bagi siswa dalam menulis. Para guru, tegasnya, bisa menulis di madding bahkan bisa mengirimkan tulisan utuk dimuat di majalah Kantor Bahasa NTT, Loti Basastra, Jurnal Kantor Bahasa NTT, laman Kantor Bahasa NTT, maupun berbagai media massa yang menjadi mitra Kantor Bahasa NTT. “Tulisan para siswa dan guru peserta kelas menulis kreatif akan kita terbitkan dalam bentuk antologi, dan kita kirim ke sekolah,” katanya.
Setelah berbincang beberapa lama dan manikmati suguhan air dan kue, kami pun beranjak dari sekolah itu. Untuk memangkas jarak menuju kota Atambua, kami mencoba tantangan baru dengan menyeberangi sungai Talau. Jalur ini menjadi pilihan masyarakat karena hanya memakan waktu belasan menit menuju Atambua, ketimbang harus menempuh perjalanan berjam-jam melewati jalur lainnya. Namun belum dibagunnya jembatan, mengharuskan masyarakat menyeberangi sungai dengan arusnya yang cukup deras dan kedalaman yang juga menantang. Beberapa masyarakat yang melintasi sungai mengungkapkan bahwa selama ini mereka lebih memilih jalur alternatif ini karena jaraknya yang dekat. Harapan mereka, pemerintah bisa membangun jembatan untuk memudahkan akses masyarakat.(Robert Fahik/bersambung)


Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (5-habis)
“Mereka Juga Pasti Bisa”

Tiga hari perjalanan kami di Belu, sudah enam sekolah kami datangi dengan kisahnya yang unik. Jalanan yang menantang. Pemandangan indah. Aliran listrik yang belum ada. Tapi juga semangat anak-anak perbatasan yang tidak terbatas dalam belajar. Tersisa dua sekolah yang harus kami datangi, yakni SMPN Kinbana dan SMPN Raimanuk. Karena arah lokasi sekolah yang searah dengan perjalanan menuju Kupang, hari itu, Jumat (17/04/2015) pak Yanto tidak lagi menemani kami. Namun kami memutuskan untuk berangkat lebih awal karena kata pak Yanto, jarak ke Raimanuk cukup jauh dan akan lebih menantang.
Maka hari masih pagi ketika kami tiba di SMPN Kinbana, sekitar setengah jam perjalanan dari Atambua. Sekolah ini awalnya tidak disertakan dalam kegiatan, namun dipilih oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Belu untuk menggantikan salah satu sekolah perbatasan yang batal hadir. Ceritanya, peserta dari sekolah tersebut harus menyeberangi sungai untuk bisa ke Atambua. Nah, waktu kelas menulis kreatif diadakan (Februari 2015), sungai itu tidak bisa diseberangi karena arusnya yang deras akibat turun hujan.
Meski sebagai sekolah pengganti, Kepala SMPN Kinbana, ibu Sefrinda Fince, S.Pd., mengaku sangat bangga para siswanya bisa dipercayakan untuk mengikuti kegiatan Kantor Bahasa NTT. Jarak sekolah yang tidak begitu jauh dari jalan umum dan tidak tergolong sekolah daerah perbatasan, tidak membuat ibu Sefrinda untuk mengakui bahwa program Kantor Bahasa NTT sangat memberi warna baru, terutama dalam hal menumbuhkan minat menulis bagi siswa. “Sekolah sangat mendukung dengan menyediakan papan mading. Kami terus mengharapkan dukungan misalnya dilibatkan dalam lomba-lomba terkait menulis. Hal ini bisa menjadi motivasi bagi siswa dan guru,” ungkap ibu Sefrinda.
Sebagai sekolah yang letaknya tidak begitu jauh dari pusat kota, siswa-siswa SMPN Kinbana memang menujukkan kemampuan yang sedikit lebih dibanding siswa di sekolah lain, terutama kemampuan berbicara. Hal ini terlihat ketika saya mengajak para siswa untuk mencoba menulis buku harian, setelah saya menjelaskan beberapa konsep penting. Beberapa siswa bisa menulis secara baik, dan membacakan dengan lantang di depan. Suasana bertambah seru ketika beberapa siswa tampil membawakan puisi dan pantun jenaka.    
Kehangatan suasana di SMPN Kinbana rupanya menjadi bekal tersendiri bagi kami sebelum menghadapi ujian sesungguhnya, yakni perjalanan menuju SMPN Raimanuk, di paunggung gunung Mandeu, salah satu gunung tinggi di Belu selain Lakaan. Benar kata pak Yanto, “Perjalanan ke Raimanuk akan lebih menantang.” Sebenarnya jalan menuju Raimanuk sudah beraspal. Namun pada beberapa ruas, aspalnya rusak. Bahkan Gusty harus berjuang mengendalikan mobil ketika kami melewati tanjakan dan turunan dengan jalan berlubang, ditambah tepi jurang yang menganga. Namun keindahan alam yang terbentang tetap menjadi obat penyejuk hati di tengah terik matahari yang mulai menyalami kami.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dari Kinbana, tibalah kami di SMPN Raimanuk, di Desa Raimanus, Kecamatan Raimanuk. Walau matahari menyengat, namun semangat para siswa tetap terlihat. Dari kunjungan kami di Belu, di sekolah inilah kami berjumpa dengan siswa dalam jumlah besar, selain Wakil Kepala Sekolah, ibu Magdalena Balok, A.Md., guru pendamping mading, pak Romanus Fahik, S.Pd., serta beberapa guru lainnya.
“Kami tidak sangka-sangka hari ini dikunjungi tim dari Kantor Bahasa NTT. Ini membawa harapan bagi kami untuk membuka cakrawala dan mengembangkan diri. Kami bangga. Anak-anak punya potensi tapi belum dikembangkan. Kami yakin, dengan adanya program Kantor Bahasa seperti mading ini, anak-anak dipacu untuk berkembang. Mereka juga pasti bisa,” ungkap ibu Magdalena.
Suasana siang itu terasa lebih cair dengan adanya permainan kecil yang dibuat pak Luthfi. Siswa-siswa diminta untuk membuat gerakan tubuh sesuai arahan. Bagi mereka yang gerakannya tidak tepat, tampil ke depan. Beberapa siswa pun tampil ke depan dan harus menerima hukuman. Tanpa diduga, saya diminta pak Luthfi untuk memberi hukuman. Spontan, saya meraih recorder yang saya bawa dan meminta mereka untuk menyanyikan sebuah lagu, diiringi recorder yang saya mainkan. Ternyata mereka memilih untuk menyanyikan lagu “Oras Loro Malirin”, salah satu lagu daerah Belu. Serentak siswa lain pun ikut bernyanyi. “Ini menandakan bahwa anak-anak di sini masih mengenal budayanya dan kita patut berbangga,” komentar pak Marselinus Hale Asa, S.Pd., salah seorang guru yang juga hadir siang itu. Kisah dua guru SM3T asal Riau yakni Sri Harya Ningsih, S.Pd., dan Ferry Adriansyah, S.Pd., juga menjadi warna lain dalam kunjungan kami.
Kami meninggalkan SMPN Raimanuk sebagai sekolah terakhir yang kami kunjungi dengan hati teduh walau hari masih siang. Di punggung sebuah bukit, kami sempat beristirahat dan menikmati kue pisang yang kami beli dari seorang siswa SD yang melintas di jalan pulang sekolah. Gusty juga menyalakan kompor gas mini yang kami bawa. Tiga mie gelas pun kami habiskan sebagai pengganti makan siang. Pak Luthfi masih sempat menunaikan sholat di alam terbuka, diiringi sepoi-sepoi angin pengunungan sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju Kupang.(Robert Fahik/habis)