Selasa, 08 Agustus 2017

GERSON POYK DAN TONGGAK BUDAYA YANG DITITIPKANNYA

Foto: Robert Fahik

Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual. Beberapa hari yang lalu, media massa nasional memberitakan kepulangan A. A. Navis ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Yakinlah bahwa Sang Pencipta Agung tidak akan menyia-nyiakan arwahnya, arwah seorang sastrawan yang telah diciptakanNya sebagai tonggak budaya personal yang selama hidupnya telah menciptakan budaya spiritual yang disebut sastra Indonesia – yang menjadi bagian dari sastra dunia.

Kalimat di atas merupakan prolog dari artikel berjudul “Mengenang Sastrawan A.A Navis” yang ditulis sastrawan Gerson Poyk di blog pribadinya gersonpoyk.blogspot.co.id., dipublikasikan pada Mingggu 27 April 2008. Rasaya tidak berlebihan bila penggalan kalimat tersebut kembali kita dengungkan saat ini ketika sang maestro telah pulang ke pangkuan Ilahi. Rupanya seorang Gerson Poyk menyadari betul arti terdalam dari ungkapan klasik
Ars tonga (longa – Red.) vita brevis; seni berumur panjang, hidup manusia pendek. Seperti A.A Navis, Gerson sungguh meyakini bahwa suatu ketika ia pun akan meninggalkan dunia ini yang oleh sahabatnya Taufiq Ismail adalah “panggung sandiwara”. Namun serentak ia pun menyadari bahwa dirinya beserta segala apa yang telah diperjuangkan, diraih, dan dipersembahkan bagi nusa dan bangsa akan tetap hidup dalam diri generasi penerusnya.
Menelisik petualangan sastrawan kelahiran Rote, 16 Juni 1931 ini, kita akan sepakat bahwa filosofi hidup yang dipegangnya bahwa “para sastrawan adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual” telah mencapai pemenuhan dalam dirinya. Sebagai pribadi, Gerson Poyk selalu menampilkan diri apa adanya, penuh kesederhanaan, pandai merangkul, dan seorang inspirator. Sementara karyanya yang bertebaran hingga akhir hayatnya (Jakarta, 24 Februari 2017) sungguh menyuarakan cinta kasih dan kebenaran yang tak lekang oleh ruang dan waktu.
Mengenang sang maestro bernama lengkap Gerson Gubertus Poyk ini, saya ingin mengemukakan beberapa poin yang menurut saya patut diketahui, dikenang, dan dihidupi oleh masyarakat budaya khususnya generasi penerus sebagai tonggak budaya yang dititipkannya. Adapun poin-poin yang saya kemukakan ini berangkat dari penelusuran saya di sejumlah literatur serta sedikit rangkuman hasil perjumpaan (wawancara) saya dengan Gerson Poyk.

Perintis Sastra NTT
Mengacu pada hasil penelusuran Yohanes Sehandi (dituangkan dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT), tahun 1961 merupakan awal Gerson Poyk terjun ke dunia publikasi karya sastra. Hal ini terjadi ketika majalah Sastra Edisi Tahun I, Nomor 6, Oktober 1961, memuat cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah”. Bahkan di tahun yang sama, cerpen tersebut dianugerahi sebagai cerpen terbaik dan mendapat hadiah dari majalah Sastra. Atas alasan ini, Sehandi kemudian menyebut Gerson Poyk sebagai “Perintis Sastra NTT”, karena dialah orang NTT pertama yang menulis dan  mempublikasikan karya sastra di media massa.
Terkait hal tersebut, menurut saya ada yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Kesan ini saya perleh dari wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende, Sabtu (10/10/2015). Ketika itu Gerson poyk mengungkapkan bahwa tahun 1955 ketika bersekolah di SGA Kristen Surabaya, untuk pertama kalinya tulisan beliau terbit di media massa. Tulisan tersebut adalah sebuah puisi berjudul “Anak Karang” – kemudian baru menyusul puisi-puisi lain, dimuat di Mimbar Indonesia.
“Waktu itu saya menghebohkan orang-orang Surabaya. Karena waktu itu Mimbar Indonesia selalu memuat puisi satu halaman setiap hari. Dan itu nama-nama besar seperti Sitor Situmorang, Iwan Simatupang. Waktu tulisan saya masuk ke koran itu, teman-teman di Surabaya beri hormat sama saya. Kata mereka, kapan kita bisa kayak Gerson,” kisah Gerson Poyk sambil tertawa kecil. Gerson Poyk bahkan masih hafal betul lirik puisi yang ditulisnya puluhan tahun silam itu.
“Bea. Di tepi sini gubuk dan karang. Sekali pernah mama bilang. Cerita beta cerita kau. Bertulis di tanah berselang karang… Kira-kira begitu. Jadi angin muson itu kadang-kadang membikin kurang subur. Kita punya musin itu kadang muson. Tapi jangan takut. Kalau padi dan jagung tidak ada masih ada pohon lontar, gula. Kira-kira begitu maksud saya,” jelasnya.
Cerita Gerson Poyk ternyata sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, bahwa Gerson Poyk banyak menulis puisi di beberapa media massa yang terbit di Surabaya saat ia mengikuti pendidikannya di SGA Kristen di kota itu (1955 – 1956). Salah satu puisinya dijadikan judul buku Anak Karang, pertama kali dimuat H. B. Jasin di majalah Mimbar Indonesia (Kaki Langit 133/Januari 2008).
Di sisi lain meski menyebut cerpen Mutiara di Tengah Sawah (1961) sebagai karya pertama Gerson yang terbit di media massa – sesuai data otentik yang diperolehnya, Sehandi (2015) juga mengakui bahwa dari sejumlah sumber, ia mendapatkan informasi bahwa Gerson Poyk sudah mulai menulis sastra di media massa sebelum tahun 1961. Disebutkan sejumlah media yang memuat karya Gerson, yakni Mimbar Indonesia, Tjerita, dan Sastra.
“Hanya sayangnya, saya hanya menemukan data otentik karya Gerson Poyk pada majalah Sastra (1961), sedangkan pada Mimbar Indonesia dan Tjerita tidak ditemukan data otentiknya berupa judul karya sastra, jenis karya sastra, dan nomor edisi bulan dan tahun terbit karya Gerson Poyk tersebut,” tulis Sehandi dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015).
Jadi, kapan pertama kali Gerson Poyk menulis di media massa? Tentunya butuh penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan kebenarannya. Data otentik tentang puisi “Anak Karang” yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia tahun 1955, misalnya, perlu ditemukan. Untuk mencapai hal ini butuh kerja sama serta kerja keras segenap pencinta Sastra NTT.

Sejumlah Karya Tulis
Gerson ternyata tidak hanya menjadi orang pertama NTT yang menulis di media massa. Sejak tahun 1964 ketika buku (novel) pertamanya terbit, Gerson terus menghasilkan karya sastra yang berkualitas sambil tetap memberi warna yang khas di setiap karyanya. Tahun itu (1964) BPK Gunung Mulia Jakarta menerbitkan novel Hari-Hari Pertama sebagai karya pertama Gerson Poyk yang terbit dalam bentuk buku. Sejak saat itu pena Gerson terus menari. Dalam rentang waktu dari tahun 1964 sampai tahun 2014, tercatat 27 judul buku karya Gerson Poyk yang sudah diterbitkan. Dua puluh tujuh judul itu terdiri dari berbagai genre sastra seperti puisi, cerpen, novelet, dan novel serta liputan jurnalistik. Yohanes Sehandi bahkan mengakui bahwa angka 27 judul itu baru sekitar 2/3 karya Gerson Poyk, masih sekitar 1/3 karya beliau yang belum ditemukan dan perlu terus ditelusuri. Pada waktu ditanyakan, beliau sendiri tidak ingat lagi jumlah karya sastra yang telah diterbitkan (Sehandi, 2015). 
Dari paparan Sehandi terlihat dengan jelas bahwa Gerson Poyk meninggalkan begitu banyak karya tulis baik berupa buku puisi, cerpen, novel, maupun karya jurnalistik. Tidak sedikit dari karya-karya tersebut menghantarkannya untuk meraih sejumlah penghargaan. Dari berbagai literatur yang ada, tercatat karya-karya tersebut yakni: Hari-Hari Pertama (1968), Matias Akankari (1972), Sang Guru (novel, 1972), Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajagukguk (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1974), Nostalgia Nusa Tenggara (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1975), Jerat (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1978), Cumbuan Sabana (novel, Nusa Indah, Ende, 1979), Petualangan Dino (novel anak-anak, Nusa Indah, Ende, 1979), Giring-Giring (1982), Di Bawah Matahari Bali (1982), Seutas Benang Cinta (1982), Requem untuk Seorang Perempuan (1983), La Tirka Tar (1983), Mutiara di Tengah Sawah (cerpen, 1985), Anak Karang (1985), Puber Kedua di Sebuah Teluk (1985), Doa Perkabungan (1987), Impian Nyoman Sulastri (1988), Hanibal (1988), Poti Wolo (1988), Negeri Lintasan Petir (pemenang sastra asean 1989 dan adinegoro 1986), Sang Sutradara dan Wartawati Burung (2009), Keliling Indonesia, dari Era Bung Karno Sampai SBY (2011), Meredam Dendam, Tarian Ombak, Seruling Tulang, Enu Molas di Lembah Lingko, Putra-Putri Gutemberg, Cintaku yang Tulus Khinatimu yang Mulus, Profesor Blo,on. Karya terakhir Gerson Poyk yang diluncurkn yakni buku kumpulan puisinya berjudul Dari Rote ke Iowa, diluncurkan di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 25 Juni 2016. Acara peluncuran buku ini digelar sekaligus untuk merayakan Ulang Tahun Gerson Poyk ke-85. 
Selain itu Gerson masih sempat menulis dua buah buku. Pertama, sebuah buku tentang keberagaman agama di Indonesia. Menurut putri pertamanya, Fanny J. Poyk, buku itu ditulis Gerson Poyk sejak November 2016. Lewat buku tersebut, sang ayah ingin memberikan contoh indahnya perbedaan. Buku itu terinsipirasi dari seseorang muridnya yang bernama Ismail Mukhtar. Setiap hari pria asal Padang, Sumatera Barat itu selalu mengikuti kemana pun Gerson melangkah. Sampai pada suatu hari, Gerson merekomendasikan tiket haji melalui Kementerian Agama untuk diberikan kepada Ismail.
Selain buku tersebut, ada juga sebuah novel berjudul Terrorism No, Peace Yes. Novel ini sudah selesai ditulis, dan kepada putrinya, Gerson menitipkan pesan untuk melihat lagi catatan kaki yang ada. Ketika malayat ke rumah duka di Kupang, saya sempat menanyakan perihal dua buku tersebut kepada Fanny J. Poyk. Menurut putri sulung Gerson Poyk tersebut, novel Terrorism No, Peace Yes sementara dalam proses editing sebelum diberi ke penerbit. Sementara buku tentang keberagaman agama di Indonesia yang belum selesai ditulis almarhum ayahnya, Fanny mengungkapkan bahwa saat ini belum ada iat untuk melanjutkan (menulis) bukut trsebut meski banyak kalangan memintanya untuk melanjutkannya.

Sederet Pencapaian
Gerson Poyk tidak saja luar biasa dari segi kuantitas karya tulis. Kualitas tulisan mantan guru (di Ternate dan Bima) dan jurnalis (wartawan Sinar Harapan) ini tak perlu diragukan lagi. Gerson Poyk pernah meraih hadiah hiburan dari majalah Sastra pada tahun 1962 dengan cerpen “Mutiara di Tengah Sawah”. Cerpennya “Oleng-Kemoleng” mendapat pujian majalah sastra Horison sebagai cerpen yang dinominasi untuk merih hadian majalah itu pada tahun 1968. Tahun 1972 ia menerima Penghargaan Sastra ASEAN untuk novelnya Sang Guru. Tahun 1985 dan 1986 ia berturut-turut memenangkan hadiah Adinegoro atas laporannya di majalah Sarinah, hadiah tertinggi dalam bidang jurnalistik yang diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Tahun 1989 ia mendapat SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Kerajaan Thailand. Ia juga pernah mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award dari Harian Kompas untuk kesetiaannya selama puluhan tahun menulis karya sastra (Kaki Langit 133/Januari 2008, dalam majalah sastra Horison edisi Januari 2008). 
Tahun 2011 Gerson juga menerima Anugerah Kebudayaan dari Presiden SBY karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya. Kemudian tahun 2012 ia mendapat penghargaan NTT Academia Award untuk kategori Sastra dan Humaniora (Sehandi, 2015). Dalam catatan saya, yang terdekat, sekitar dua tahun sebelum kematiannya, Gerson Poyk mendapat penghargaan dari Kantor Bahasa Provinsi NTT sebagai Tokoh Sastra NTT Tahun 2015. Penganugerahan tersebut dilakukan di hadapan ratusan peserta Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT yang memadati aula utama Universitas Flores - Ende, Jumat (9/10/2015) pagi.
Selain menerima berbagai penghargaan di bidang sastra dan jurnalistik, Gerson juga pernah terlibat dalam beberapa kegiatan bertaraf internasional. Akhir tahun 1982, ia diundang untuk mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di India. Sebelumnya pada tahun 1970 – 1971 Gerson menjadi sastrawan pertama dari Indonesia yang mengikuti International Creative Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa, Amerika Serikat. Dua puluh tahun kemudian ia diundang lagi sebagai Internasional Visitor pada program yang sama. 
Tentang pengalamannya di Amerika, dalam wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende (10/10/2015), dirinya menceritakan ketika itu ada orang dari Amerika yang datang ke Jakarta. Mereka bertemu di redaksi majalah Horison. Waktu itu ada dua nama yang diminta yakni Gerson Poyk dan Taufiq Ismail. Namun Gerson-lah yang pertama berangkat. Peserta waktu itu 30 orang dari seluruh dunia, dan mayoritas adalah para doktor.
“Saya bermimpi ada anak NTT yang bisa ke sana lagi. Ikut program itu. Syaratnya ringan. Punya buku. Lalu menulis lamaran ke sana,” tutur Gerson yang mengaku selama di Amerika menulis novelnya Sang Guru.
Atas karya serta pencapaiannya, kritikus sastra Indonesia berkebangsaan Belanda A. Teeuw menggolongkan Gerso Poyk ke dalam Angkatan Terbaru, yaitu generasi sastrawan Indonesia di era 1950-an yang sangat peduli dengan aspek regional dalam karya sastra mereka. Generasi sastrawan ini adalah generasi pertama sastrawan Indonesia yang terdidik dalam sejarah sebagai warga negara Indonesia dalam bahasa dan budaya Indonesia. Mereka tetap menjaga daerah mereka sebagai “rumah” mereka sambil pada saat yang sama menjadi orang Indonesia. Aspek-aspek regional dapat ditelusuri di dalam karya-karya mereka dalam pengertian “daerah”, sastra untuk wilayah daerah.
Kritikus HB Jassin menempatkan dia sebagai salah satu eksponen sas-trawan Angkatan 66. Periode menulisnya berbarengan dengan sastrawan besar lain, seperti Iwan Simatupang dan Sitor Situmorang. Penyair Umbu Landu Paranggi menyebut Gerson sebagai cerita berjalan. ”Kadang sulit, ya, bedakan mana fiksi mana biografi karena Gerson ke mana-mana bercerita dan menuliskannya,” kata Umbu, sesama penyair dari NTT.

16 Juni Hari Sastra NTT
Pada momen Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT yang digelar Kantor Bahasa Provinsi NTT bertempat di Universitas Flores - Ende, Oktober 2015 lalu, ada sejumlah keputusan serta rekomendasi yang dihasilkan. Salah satunya adalah penetapan tanggal 16 Juni (hari kelahiran Gerson Poyk) Hari Sastra NTT. Ini tentunya sangat beralasan. Sudah lebih dari setengah abad yang lalu, penulis Cumbuan Sabana ini membawa nama NTT ke tingkat nasional bahkan internasional lewat sastra.
Usai penetapan tanggal 16 Juni sebagai Hari Sastra NTT, tahun 2016, selain di kampus Universitas Flores, Hari Sastra NTT juga dirayakan di halaman Kantor Bahasa Provinsi NTT, Kupang, Minggu (19/6/2016). Dalam perayaan Hari Sastra NTT yang sedianya jatuh pada tanggal 16 Juni ini, hadir sejumlah sastrawan dari berbagai komunitas di kota Kupang, masyarakat pencinta sastra, seniman, dan sejumlah jurnalis. Kegiatan yang berlangsung pukul 19.00 – 22.00 Wita ini, diisi dengan penampilan musikalisasi puisi dari beberapa siswa binaan UKIM, beberapa sastrawan Dusun Flobamora, dan pembacaan puisi oleh sastrawan dan pecinta sastra, serta diskusi sastra termasuk rencana kegiatan Temu III Sastra NTT tahun 2017.
Meski tidak hadir, Gerson Poyk berhasil dihubungi panitia lewat sambungan telpon. Ketika itu, Gerso mengatakan, orang-orang yang bergerak di bidang sastra harus memiliki intuisi kreatif. Artinya, membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Mereka tidak hanya bergerak di bidang sastra tapi juga di bidang lain seperti bidang sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan. Menurut sastrawan senior yang pada 16 Juni 2016 genap berusia 85 tahun, kesadaran akan intuisi kreatif perlu ditumbuhkan dari hari ke hari lewat belajar dan kepekaan akan realitas sosial.
“Tidak usah takut bahwa NTT terlambat. Karya besar datang dari intuisi kreatif pengarang. Banyak baca, kenal sastra dan penulis dunia. Penting juga mempelajari filsafat. Tanpa filsafat, tidak bisa yang lain,” tegasnya.

Taman Budaya Gerson Poyk
Ada yang menarik di akhir hayat seorang Gerson Poyk. Tanggal 26 Februari 2017, jenazah Gerson Poyk tiba di Kupang. Usai melayat jenazah Gerson Poyk, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, mengungkapkan keputusan pemerintah Provinsi NTT untuk mengubah nama Taman Budaya NTT menjadi Taman Budaya Gerson Poyk.
“Pemberian nama ini bagian dari penghargaan dari pemerintah NTT atas berbagai karya sastranya yang telah diciptakannya selama ini,” kata Lebu Raya.
Gubernur Lebu Raya menilai meninggalnya Gerson Poyk memberikan duka yang mendalam bagi masyarakat NTT, khususnya bagi mereka yang mengenalnya secara dekat. Lebu Raya menambahkan, diabadikan nama sastrawan Gerson Poyk itu merupakan bagian dari penghargaan yang diberikan karena telah mengharumkan nama NTT secara nasional. Adapun nama Taman Budaya Gerson Poyk, tegas Lebu Raya, mulai berlaku 25 Februari 2017.
Apresasi patut diberikan kepada pemerintah daerah kelahiran Gerson Poyk ini. Sebuah langkah yang meyakinkan kita bahwa masih ada tempat bagi para seniman yang lahir dari rahim tanah Flobamora ini. Kita berharap, pemberian nama Taman Budaya Gerson Poyk bukan seremonial belaka namun akan menjadi salah satu momentum tentang seorang sastrawan besar yang pernah lahir dari tanah ini, serentak menjadi momentum menyemaikan, memupuk, serta mengawal benih penerus Gerson Poyk yang sesungguhnya sudah, sedang, dan akan terus berkiprah lewat seni sastra serta karya jurnalistik. Mereka yang dengan setia menjaga, melestarikan, dan menghidupkan tonggak budaya yang telah dititipkan sang maestro. (Robert Fahik)

Referensi:
 http://gersonpoyk.blogspot.co.id
Majalah  Bahasa dan Sastra LOTI BASASTRA (diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT) edisi II Desember 2015
Majalah Pendidikan CAKRAWALA NTT edisi 53 Juli 2015

Sehandi, Yohanes. 2015. Sastra Indonesia Warna Daerah NTT. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma

Kamis, 02 Maret 2017

Meneropong Pendidikan NTT Bersama Dr. Harun Natonis (1)


Dr. Harun Natonis, M.Si (Foto: Robert Fahik-Cakrawala NTT)
Di NTT pendidikan sungguh sangat mahal. Untuk menjangkaunya ternyata membutuhkan banyak hal. Bagi masyarakat kita, untuk urusan pendidikan, uang masih nomor satu. Kedua, akses untuk sampai pada tempat pendidikan (sekolah, kampus). Ketiga, dukungan-dukungan seperti dari orangtua, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga yang belum maksimal.

Demikian kata Dr. Harun Natonis, M.Si., dalam wawancara dengan Cakrawala NTT di ruang kerjanya, Selasa (7/2/2017). Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Kupang ini menilai selama ini pendidikan kita sudah cukup baik, hanya saja, katanya, masih ada persoalan-persoalan yang masih harus disikapi bersama. Dirinya mencontohkan, hingga kini anak-anak NTT banyak yang terpaksa harus ikut human trafficking. Menurutnya, banyak anak NTT lebih suka menjadi pembantu rumah tangga di luar NTT atau bahkan di NTT.
“Apa yang menjadi akar permasalahannya? Kalau kita selidiki masalah utamanya adalah pendidikan. Orang mudah sekali dipengaruhi. Kalau wawasan pendidikan kurang, orang siapa saja akan mudah mempengaruhi kita. Apalagi sistem calo yang menggunakan keluarga dekat. Kalau keluarga yang bicara pasti lebih meyakinkan, apalagi didukung pendidikan yang kurang, orang akan mudah percaya.”
Hal yang tidak kalah penting, kata pria kelahiran Nunleu, 20 Juli 1970 ini, belum ada upaya maksimal dari para pemangku pendidikan. Tanpa upaya serius di bidang pendidikan, ia menilai, kemungkinan masalah ini (human trafficking) tidak bisa terselesaikan dalam waktu dekat atau bahkan tidak akan terselesaikan. Karena itu baginya, pendidikan harus menjadi prioritas program karena orang yang memiliki pengetahuan yang baik, misalnya, tidak akan bergantung pada orang lain. Misalnya saja orang punya keterampilan-keterampilan tertentu. Jadi pengetahuan (pendidikan) itu membawa orang pada keterampilan. Dengan keterampilan, orang bisa berbuat sesuatu tanpa harus bergantung pada orang lain.
“Saya kasih contoh, kita ini sumber daya alam itu melimpah. Pisang kita punya tapi mengubah pisang itu menjadi kripik, pisang goreng, molen, yang ubah itu siapa di sini? Teman-teman dari luar kan? Lalu kita yang beli. Padahal kalau kita lihat dari sisi ini, misalnya kalau satu tandan pisang itu harganya katakanlah 50 ribu, kalau orang beli dan ternyata satu buah itu dia menghasilkan 3 ribu, mana yang lebih untung? Yang jual atau yang beli?  Kita punya daging. Tapi yang buat warung-warung di kota Kupang kalau kita lihat itu orang mana? Ini kan hal-hal praktis. Karena pendidikan kita belum membuat kita berpikir bagaimana sumber daya alam itu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Daging kita punya, pisang kita punya, ubi kita punya. Tapi yang olah daging, pisang, dan ubi ini menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis, itu siapa? Akibatnya anak-anak NTT itu ke luar negeri, tapi kerja yang itu saja. Misalnya, kita di sini kan bisa menanam pohon-pohon yang produktif. Kenapa dia tanam harus di Malaysia? Kenapa tidak tanam pisang di sini?”
Pada sisi yang lain, dirinya menilai bahwa pendidikan kita lebih banyak berurusan dengan kognisi. Tekanan terus-menerus soal kognisi. Walaupun ada perubahan kurikulum, menurutnya, kurikulum itu media saja. Tetapi adakah pengetahuan guru tentang makna terdalam dari kurikulum itu? Terkait hal ini, menurutnya, persoalannya adakah dana bagi guru-guru untuk dilatih tentang bagaimana pemberlakuan Kurikulum 2013. Bukan hanya soal kurikulumnya saja, tapi bagaimana guru mentransfer pengetahuan, itu diubah menjadi mentransfer juga keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap. Ditambahkannya, dana untuk guru kalau 1 tahun hanya 3 kali pelatihan Kurikulum 2013 yang dilakukan LPMP NTT, atau dinas-dinas terkait, susah. Sementara guru kita ada ribuan. Pergantian kurikulum, sebagian besar guru belum menikmati.
“Sementara kita melihat banyak pemda lebih menyukai silpa. Bagaimana pergumulan pedidikan yang begini besar tapi kok masih ada silpa. Ini menyangkut pengelolaan anggaran terlebih APBD. Saya kasi contoh, di TTS silpa-nya cukup tinggi. Mungkin Kabupaten Kupang juga. Ini kita baca dari koran-koran, kalau ini dibiarkan terus, padahal sebenarnya pergumulan pendidikan kita, infrastrukturnya juga parah. Kalau kita kaitkan dengan 8 standar nasional. Kalau silpa ini digunakan secara optimal dan larinya katakanlah kepada penyediaan fasilitas pendidikan, kesejahteraan guru, dan hal-hal terkait 8 standar, itu bisa menolong. Sehingga gurunya punya SDM yang baik, dia akan punya dampak terhadap siswa. Bagaimana kita hanya bicara kurikulum tanpa berbicara tentang gurunya.”
Sebagai pelaku pendidikan, dirinya melihat, banyak kalangan ramai-ramai bicara tentang perubahan kurikulum. Namun, tegasnya, seperti apapun kurikulumnya kalau guru-guru tidak diperhatikan maka tidak akan ada dampak bagi siswa, apalagi didukung ekonomi orangtua yang tidak begitu memadai. Beasiswa misalnya. Di STAKN Kupang, jelasnya, ada beasiswa bidik misi, dan juga ada beasiswa berprestasi. Ternyata terlihat sekali bahwa mahasiswa punya semangat untuk mengurus beasiswa. Beasiswa disediakan pemerintah, di STAKN Kupang, 12 juta per orang, per tahun, untuk mereka yang miskin. Kuota tahun lalu untuk beasiswa bidik misi direalisasikan untuk 200 lebih mahasiswa. Lalu ada 200-an juga untuk beasiswa berprestasi.
“Kalau 1 anak diberi 1 juta per tahun oleh negara misalnya, kemudian dana itu dimanfaatkan untuk misalnya mulai dari bayar kos. SPP-nya kami kan Rp 1.200.000/tahun. Per semester Rp 600.000, untuk yang S1. Kemudian dia akan berdampak pada banyak hal. Dia bisa istilahnya kalau dia tidak punya lap top, karena sekarang jaman IT. Ternyata anak-anak kami dengan dana yang ada mereka bisa beli lap top. Sehingga bisa memanfaatkan jaringan Wifi di kampus untuk kepentingan pembelajaran dan seterusnya. Ternyata program ini sangat membantu mahasiswa. Ini berdampak pada minat mahasiswa masuk STAKN. Kami sekolah tinggi, ukuran mahasiswa 3000-an itu tidak gampang. Kenapa anak-anak ke sini? Pertama karena biayanya murah, mudah dijangkau. Hampir semua anak NTT ada di sini. Fakta ada di sini bahwa ternyata SPP murah akan membuat orang masuk perguruan tinggi. Pendidikan yang murah dan bisa dijangkau selama ini menjadi harapan.”
Hal lain yang menurut Natonis mesti diperhatikan adalah dari sisi fasilitas. Menurutnya, untuk urusan pendidikan, fasilitas tidak bisa dianggap sepele. Misalnya gedung yang baik dalam mendukung proses pembelajaran. Kenyataan di NTT, katanya, hanya sekolah-sekolah di kota yang kelihatan agak memadai dari sisi fasilitas.
“Coba kita turun ke desa dimana dari sanalah trafficking, anak-anak yang ikut human trafficking keluar. Tidak mungkin anak-anak yang tamat dari kota sini yang ikut human trafficking. Sedikit sekali. Paling banyak dari sekolah-sekolah di kampung. Karena memang di sana mereka hanya belajar untuk kalau bisa lulus dan dapat ijazah SD. Karena kondisi sekolah, apalagi diperparah dengan misalnya 1 atau 2 guru mengajar 1 sekolah. Ini kondisi nyata. Sementara di kota ada penumpukan guru. Tapi kalau bilang penumpukan di kota sabar dulu karena di kota juga walaupun guru banyak, tapi siswanya banyak. Kita sebenarnya ada pada posisi kekurangan guru. Lalu kita bicara soal pemerataan. Mari kita hitung dulu. Guru-guru di desa memang kurang, apalagi dengan adanya moratorium. Angka pensiun berapa? Dukungan untuk pengangkatan tenaga honorer melalui APBD, ada atau tidak? Kalaupun dialokasikan, sedikit. Tidak terlalu luar biasa menurut saya.”
Ia menilai, seandainya angka 20% untuk pendidikan dari APBN dan APBD itu bisa dioptimalkan, itu akan sangat baik. Dirinya bahkan bertanya, undang-undangnya jelas, tapi apakah pelaksanaannya ada atau tidak? Pertanyaan yang lain, sampai sekarang mana pemda yang betul-betul memaksimalkan dana itu untuk pendidikan? Karena kalau 20% itu dijalankan dengan baik maka gurunya mendapat perhatian, fasilitasnya pasti memadai. 

“Guru ini yang kita omong adalah pengembangan SDM-nya, mungkin ada sekolah lanjut atau barangkali diklat-diklat diperbanyak. APBD juga harus berkontribusi terhadap diklat-diklat. Tidak bisa hanya harap diklat dari APBN. Nah, selama ini semua orang kalau mau diklat larinya ke luar. Misalnya kalau mau diklat Kurikulum 2013, ke Surabaya. Kenapa di sini tidak bisa? Kalau ke sana kan, berarti orangnya sedikit. Kita kirim dari NTT katakanlah 5 orang. Bisa tidak, kalau narasumbernya yang dihadirkan di sini? Kalau narasumbernya yang datang ke sini berarti orangnya yang diperbanyak kan? Kita cukup bayar narasumbernya, lalu katakanlah 100 orang ikut. Kalau ini jadi prioritas program, menurut saya sangat membantu dari sisi diklatnya. Kemudian, berapa banyak guru kita yang di-studi-lanjutkan? Sekarang walaupun program nasional itu guru wajib S1, di lapangan, di kampung-kampung, itu masih banyak guru tamatan SPG dan PGA. Mereka terpaksa ikut UT. Nah, pola pembelajaran di UT sana menolong, tidak? Dari sisi ini, kita mau dongkrak apanya? Kalau mau dongkrak manusianya, pendidikan harus jadi prioritas.” (rf/adj/yl) 

Kamis, 09 Februari 2017

Resensi Buku

“MEMBACA” BUKU KARYA PENULIS NTT



DATA BUKU


Judul                     : DARI AVONTUR KE WASIAT KEMUHAR
                                (Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT)
Penulis                 : Afrizal Malna, dkk
Editor                   : A. Nabil Wibisana & Christian Senda
Lay Out                : Irwan A. Pellondou
Penerbit              : Kantor Bahasa Provinsi NTT
Cetakan I             : September 2015
Tebal buku         : ix + 148 halaman
ISBN                     : 978-602-73153-5-8

Pada waktu tiga sastrawan/budayawan Indonesia, yakni Putu Wijaya, Radhar Panca Dahana, dan Gerson Poyk tampil dalam “Seminar Nasional Seni Budaya dan Pembangunan” yang diselenggarakan Komunitas Sastra Rumah Poetica di Taman Budaya NTT, Kupang pada 11 April 2012, dinyatakan secara jelas bahwa NTT butuh kritikus sastra dan budaya.  “Di NTT banyak potensi seni dan budaya, tetapi kurang kritikus. NTT butuh kritikus sastra,” tandas  Radhar Panca Dahana diamini Putu Wijaya dan Gerson Poyk (Victory News, 12, 13 April 2012 – dikutip Yohanes Sehandi dalam bukunya Sastra Indonesia Warna Daerah NTT – Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2015).
Harapan serentak ‘kegelisahan’ yang sama kembali diutarakan dalam Temu I Sastrawan NTT yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi NTT pada Agustus 2013 di Kupang. Seakan belum menemukan jawabannya, “kritik/kritikus sastra di NTT” kembali menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan dalam Temu II Sastrawan NTT di Ende, Oktober 2015. Namun angin segar serasa hadir pada kegiatan yang digelar di Universitas Flores tersebut. Selain buku antologi puisi “Nyanyian Sasando” dan antologi cerpen “Cerita dari Selat Gonzallu” yang berisi karya pada penulis NTT (sebagaimana dihasilkan dalam Temu I Sastrawan NTT), diluncurkan juga buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT.
Buku yang diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ini seakan menjadi gerbang menuju pemenuhan atas harapan serta kegelisahan dalam dunia sastra NTT akan hadirnya kritik/krikikus sastra di NTT. Sebagaimana diakui oleh editor buku ini dalam catatan editor; Antologi ulasan buku karya penulis NTT ini adalah rintisan awal yang merangkum, mendokumentasikan, dan memaparkan ruang diskusi antara buku dan pembacanya… Tugas antologi ini pertama-tama adalah sebagai kumpulan ulasan buku, bukan semacam pemilihan buku-buku “terbaik” yang terbit dalam periode waktu tertentu. Tugas kedua antologi ini membentangkan jembatan dialog , menggambarkan peta antarwacana tentang kecenderungan-kecenderungan tematik maupun stilistik dalam buku-buku sastra karya penulis NTT yang terbit dalam periode lim tahun terakhir (2011 – 2015).          
Buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” berisi 13 artikel berupa ulasan karya buku penulis NTT baik antologi puisi, antologi cerpen, maupun novel. Artikel pertama merupakan ulasan Moh. Fathoni terhadap antologi puisi Ragil Supriyatno Samid berjudul Avontur. Ulasan yang diberi judul “Kesaksian dan Pernyataan dalam Peristiwa” tersebut pernah disampaikan sebagai makalah dalam acara bedah buku Avontur di Yogyakarta, 18 Maret 2012. Artikel kedua berjudul “Badut Malaka: Panggilan Kenabian, Panggilan Kemanusiaan.” Ulasan terhadap novel Badut Malaka karya Robert Fahik ini ditulis Juwandi Ahmad, pernah disampaikan sebagai makalah dalam bedah novel Badut Malaka di Program Magister Sains Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Mei 2011. Artikel ketiga datang dari Yosef Serano Korbaffo. Tulisannya “Filsafat dan Novel Benang Merah: Sebuah Benang Merah” merupakan ulasan terhadap novel Benang Merah karya Unu Ruben Paineon, pernah dipsampaikan sebagai makalah dalam Parade Buku Sastra NTT (Festival Sastra Santarang, Kupang, Juni 2015) dan dipublikasikan di Pos Kupang edisi 18 Maret 2015.
Sastrawan muda NTT Mario F. Lawi juga turut menyumbangkan tulisannya dalam buku ini. Mario mengulas buku puisi Catatan Sunyi karya Monika N. Arundhati dalam artikelnya “Sunyi, Gembala, dan Kelahiran” – pernah dipublikasikan di Jurnal Sastra Santarang edisi Maret 2015. Tulisan Mario disusul ulasan terhadap buku puisinya berjudul “Ekaristi”, yang disumbangkan oleh Yohanes Seo. Tulisan Yohanes Seo yang pernah dipublikasikan di Koran Tempo edisi 4 Januari 2015 tersebut diberi judul “Antara Alkitab, Sawu, dan Puisi.” Tulisan berikut datang dari Patris Allegro berjudul “Kanuku Leon: Sebuah ‘Katekese’ Ekologis.” Tulisan yang pernah dipublikasikan di Jurnal Sastra Santarang edisi Desember 2013 ini merupakan ulasan terhadap antologi cerpen Kanuku Leon karya Christian Senda. Sastrawan kenamaan Indonesia Afrizal Malna juga menyumbangkan salah satu ulasan sastranya dalam buku ini. Afrizal Malna mengulas buku puisi Kuyup Basahmu karya Ishack Sonlay dalam tulisannya berjudul “Ishack Sonlay. Lensa Makna dalam 5 kali Pembesaran.” Tulisan yang merupakan prolog dalam buku Ishack ini juga dipublikasikan di Blog Indonesian Literary Collective, Desember 2014.
Karya sastra penulis NTT berikut yang diulas dalam buku ini datang dari tanah Sumba melalui Christo Ngasi lewat novelnya Matta Liku. Novel Christo diluas oleh Herman P. Panda dalam tulisan berjudul “Antara Harga Diri Lelaki, Kehormatan Suku, dan Tangisan Putri.” – merupakan prolog dalam novel ini. Tulisan Herman P. Panda disusul ulasan Sintus Runesi terhadap buku puisi Parinseja karya Steve Elu. Tulisan Sintus Runesi berjudul “Dan Kita Pun Diundang ke Timor: Steve Elu, Parinseja, dan Anamnetik Jiwa” pernah dipublikasikan di Jurnal Sastra Santarang edisi Mei 2015.
Ulasan sastra berjudul “Sastra dan Kampung” karya Paul Budi Kleden turut mewarnai  buku ini. Ulasan terhadap buku puisi Pukeng Moe, Lamalera karya Bruno Dasion ini pernah dipublikasikan di Pos Kupang edisi  10 Maret 2012. Tulisan Paul Budi Kleden diikuti ulasan Eka Putra Nggalu “Ketika Sastrawan ‘Asyik’ dengan Dunianya”. Tulisan yang belum pernah dipublikasikan ini merupakan ulasan terhadap buku kumpulan cerpen Sabtu Kelabu karya penulis muda NTT, Erlyn Lasar. Hengky Ola Sura hadir dengan “Imajinasi Penyair dan Keadaban Budaya.” Tulisan yang pernah dipublikasikan di Pos Kupang edisi 24 November 2013 ini merupakan ulasan terhadap buku puisi karya penyair Bara Pattyradja. Ulasan buku karya penulis NTT dalam buku ini ditutup dengan sebuah ulasan ilmiah-sistematik karya dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta asal NTT, Yoseph Yapi Taum. Tulisan berjudul “Wasiat Kemuhar Pion Ratulolly: Cerita dari NTT untuk Indonesia” ini merupakan Prolog yang dimuat dalam buku kumpulan cerpen Wasiat Kemuhar karya Pion Ratulolly.  
Hadirnya buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” memberi warna tersendiri dalam dunia publikasi NTT yang sejauh ini memang masih sepi dari buku ulasan sastra. Buku ini seakan menjadi titik api pertama yang akan membawa cahaya besar dalam apresiasi karya sastra di NTT. Beberapa hal menarik dapat dicatat dari buku ini. Pertama, seluruh buku yang diulas dalam buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” merupakan buku karya penulis NTT. Sekalipun sebagaimana ditulis oleh editor buku ini bahwa antologi ini bukan semacam pemilihan buku “terbaik”, namun sebagai masyarakat NTT tidak berlebihan jika kita boleh berbangga bahwa di tanah Flobamora telah lahir penulis-penulis sastra yang punya potensi besar.
Kedua, karya sastra yang diulas dalam buku ini tidak sedikit yang mencerminkan warna lokal NTT. Saya mengutip catatan editor buku ini; Dengan segala keterbatasannya, antologi ini berupaya untuk memberikan gambaran tentang keragaman tematik dan stilistik yang coba ditawarkan oleh para penulis NTT melalui karya-karya mereka (dari segi setting saja, misalnya, ada prosa dengan latar Malaka, Sumba, Adonara, dan sebagainya, atau eksplorasi tematik puisi-puisi yang mengangkat lokalitas Sabu, Lembata atau Lamalera). Dengan ini sebuah kesadaran bisa lahir bahwa sastra pada konteks tertentu dapat menjadi wadah komunikasi antarbudaya, selain merupakan ekspresi jiwa penulisnya.    
Ketiga, ada perpaduan indah sekaligus bernas. Perpaduan pertama, adalah para penulis dalam buku ini (boleh saya sebut sebagai krikikus sastra – dalam konteks buku ini) tidak hanya berasal dari (orang) NTT tetapi juga dari luar NTT, seperti Afrizal Malna dan Juwandi Ahmad. Masih dalam point ini, para penulis ulasan buku sastra dalam buku ini tidak hanya berasal dari kalangan “senior” yang sudah tidak asing di dunia publikasi seperti Paul Budi Kleden dan Yoseph Yapi Taum, tetapi juga muncul penulis-penulis muda potensial dengan ulasannya yang tidak kalah menarik serta ber-isi. Perpaduan kedua, adalah warna ulasan yang ditampilkan dalam buku ini, sebagaimana dipaparkan dalam catatan editor; ulasan-ulasan terpilih dalam antologi ini disajikan dalam bentuk dan tone yang beragam, mulai dari ulasan yang sitematik model telaah akademik… sampai ulasan yang “lebih cair”… yang mencoba menangkap dan menjabarkan segi paling menonjol dari buku yang dibahas. Beberapa ulasan disajikan secara impresif, dalam arti mampu menguak sudut-sudut tersembunyi dari buku yang dikupasnya, berhasil menggali dan memaparkan wacana-wacana yang mungkin luput dalam modus pembacaan ala kadarnya.  
Keempat, hadirnya buku ini (ulasan-ulasan di dalamnya) dapat menjadi “contoh” bagi masyarakat pembaca di NTT tentang bagaimana “membaca” sebuah karya sastra termasuk karya sastra penulis NTT. Dengan ini kita pun sesungguhnya disadarkan tentang kekayaan sastra yang dimiliki bumi Flobamora. Di sisi lain hadirnya buku ini perlahan memberi jawaban atas pertanyaan sekaligus tantangan yang pernah dilontarkan Yohanes Sehandi dalam tulisannya di Pos Kupang (11 Juni 2013); kritikus sastra NTT, di manakah kau?
              Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada Kantor Bahasa NTT beserta tim editor yang telah berupaya menghadirkan buku ini – sebuah buku yang memberi warna baru dalam publikasi di NTT. Kiranya (untuk dipertimbangkan) buku ini dapat diperbanyak oleh Kantor Bahasa NTT sehingga bisa menjangkau masyarakat luas (setidaknya sekolah dan kampus; karena buku ini tidak diperjualbelikan). Akhirnya, buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” sesungguhnya mengajak kita untuk mulai “membaca” buku karya penulis NTT dengan penuh kebanggaan tanpa harus mengabaikan sikap kritis dalam sebuah pembacaan karya sastra. Dengan ini kita juga berharap ke depan dapat lahir (terbit) lagi buku-buku ulasan karya sastra penulis NTT, atau setidaknya makin banyak ulasan sastra yang mewarnai media-media di NTT sebagaimana publikasi karya sastra yang tidak lagi sepi. (robert fahik)

Kamis, 12 Januari 2017

Ketika Mengingatmu (1)


Di pantai ini segenap rasaku melebur dalam deburan ombak, seperti buah-buah kerinduan yang pernah kau titipkan pada ruang jiwaku. Menghentak, berlarian, hingga telah menyatu dalam detak jantungku. Andaikan kau di sini, akan kuajak engkau mengarungi samudera maha luas ini. Bukankah kita pernah mengarungi indahnya padang sabana di tanahmu? Aku makin menyadari bahwa kerinduanku jauh melebihi luasnya samudera ini; kerinduan untuk selalu bersamamu.


Pantai Bengga – Nagekeo, 1 November 2016


Ketika Mengingatmu (2)

Ingin kutumpahkan saja air mataku di sini. Gemuruh ombak yang datang dan pergi sungguh mewakili getaran rasa ini yang kadang tak mampu kubendung. Akhirnya aku hanya bisa menangis meski suara tangisanku tenggelam dalam riuh gelombang amarahmu yang belum kumengerti. Akhirnya aku hanya bisa tertegun bisu menatap samudera di depanku. Walau ku tahu, kerinduanku lebih luas melebihi samudera ini. Aku merindukan hari-hari indah yang telah pergi itu. Aku merindukanmu.

Pantai Betawa – Nagekeo, 11 November 2016