Kamis, 02 Maret 2017

Meneropong Pendidikan NTT Bersama Dr. Harun Natonis (1)


Dr. Harun Natonis, M.Si (Foto: Robert Fahik-Cakrawala NTT)
Di NTT pendidikan sungguh sangat mahal. Untuk menjangkaunya ternyata membutuhkan banyak hal. Bagi masyarakat kita, untuk urusan pendidikan, uang masih nomor satu. Kedua, akses untuk sampai pada tempat pendidikan (sekolah, kampus). Ketiga, dukungan-dukungan seperti dari orangtua, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga yang belum maksimal.

Demikian kata Dr. Harun Natonis, M.Si., dalam wawancara dengan Cakrawala NTT di ruang kerjanya, Selasa (7/2/2017). Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Kupang ini menilai selama ini pendidikan kita sudah cukup baik, hanya saja, katanya, masih ada persoalan-persoalan yang masih harus disikapi bersama. Dirinya mencontohkan, hingga kini anak-anak NTT banyak yang terpaksa harus ikut human trafficking. Menurutnya, banyak anak NTT lebih suka menjadi pembantu rumah tangga di luar NTT atau bahkan di NTT.
“Apa yang menjadi akar permasalahannya? Kalau kita selidiki masalah utamanya adalah pendidikan. Orang mudah sekali dipengaruhi. Kalau wawasan pendidikan kurang, orang siapa saja akan mudah mempengaruhi kita. Apalagi sistem calo yang menggunakan keluarga dekat. Kalau keluarga yang bicara pasti lebih meyakinkan, apalagi didukung pendidikan yang kurang, orang akan mudah percaya.”
Hal yang tidak kalah penting, kata pria kelahiran Nunleu, 20 Juli 1970 ini, belum ada upaya maksimal dari para pemangku pendidikan. Tanpa upaya serius di bidang pendidikan, ia menilai, kemungkinan masalah ini (human trafficking) tidak bisa terselesaikan dalam waktu dekat atau bahkan tidak akan terselesaikan. Karena itu baginya, pendidikan harus menjadi prioritas program karena orang yang memiliki pengetahuan yang baik, misalnya, tidak akan bergantung pada orang lain. Misalnya saja orang punya keterampilan-keterampilan tertentu. Jadi pengetahuan (pendidikan) itu membawa orang pada keterampilan. Dengan keterampilan, orang bisa berbuat sesuatu tanpa harus bergantung pada orang lain.
“Saya kasih contoh, kita ini sumber daya alam itu melimpah. Pisang kita punya tapi mengubah pisang itu menjadi kripik, pisang goreng, molen, yang ubah itu siapa di sini? Teman-teman dari luar kan? Lalu kita yang beli. Padahal kalau kita lihat dari sisi ini, misalnya kalau satu tandan pisang itu harganya katakanlah 50 ribu, kalau orang beli dan ternyata satu buah itu dia menghasilkan 3 ribu, mana yang lebih untung? Yang jual atau yang beli?  Kita punya daging. Tapi yang buat warung-warung di kota Kupang kalau kita lihat itu orang mana? Ini kan hal-hal praktis. Karena pendidikan kita belum membuat kita berpikir bagaimana sumber daya alam itu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Daging kita punya, pisang kita punya, ubi kita punya. Tapi yang olah daging, pisang, dan ubi ini menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis, itu siapa? Akibatnya anak-anak NTT itu ke luar negeri, tapi kerja yang itu saja. Misalnya, kita di sini kan bisa menanam pohon-pohon yang produktif. Kenapa dia tanam harus di Malaysia? Kenapa tidak tanam pisang di sini?”
Pada sisi yang lain, dirinya menilai bahwa pendidikan kita lebih banyak berurusan dengan kognisi. Tekanan terus-menerus soal kognisi. Walaupun ada perubahan kurikulum, menurutnya, kurikulum itu media saja. Tetapi adakah pengetahuan guru tentang makna terdalam dari kurikulum itu? Terkait hal ini, menurutnya, persoalannya adakah dana bagi guru-guru untuk dilatih tentang bagaimana pemberlakuan Kurikulum 2013. Bukan hanya soal kurikulumnya saja, tapi bagaimana guru mentransfer pengetahuan, itu diubah menjadi mentransfer juga keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap. Ditambahkannya, dana untuk guru kalau 1 tahun hanya 3 kali pelatihan Kurikulum 2013 yang dilakukan LPMP NTT, atau dinas-dinas terkait, susah. Sementara guru kita ada ribuan. Pergantian kurikulum, sebagian besar guru belum menikmati.
“Sementara kita melihat banyak pemda lebih menyukai silpa. Bagaimana pergumulan pedidikan yang begini besar tapi kok masih ada silpa. Ini menyangkut pengelolaan anggaran terlebih APBD. Saya kasi contoh, di TTS silpa-nya cukup tinggi. Mungkin Kabupaten Kupang juga. Ini kita baca dari koran-koran, kalau ini dibiarkan terus, padahal sebenarnya pergumulan pendidikan kita, infrastrukturnya juga parah. Kalau kita kaitkan dengan 8 standar nasional. Kalau silpa ini digunakan secara optimal dan larinya katakanlah kepada penyediaan fasilitas pendidikan, kesejahteraan guru, dan hal-hal terkait 8 standar, itu bisa menolong. Sehingga gurunya punya SDM yang baik, dia akan punya dampak terhadap siswa. Bagaimana kita hanya bicara kurikulum tanpa berbicara tentang gurunya.”
Sebagai pelaku pendidikan, dirinya melihat, banyak kalangan ramai-ramai bicara tentang perubahan kurikulum. Namun, tegasnya, seperti apapun kurikulumnya kalau guru-guru tidak diperhatikan maka tidak akan ada dampak bagi siswa, apalagi didukung ekonomi orangtua yang tidak begitu memadai. Beasiswa misalnya. Di STAKN Kupang, jelasnya, ada beasiswa bidik misi, dan juga ada beasiswa berprestasi. Ternyata terlihat sekali bahwa mahasiswa punya semangat untuk mengurus beasiswa. Beasiswa disediakan pemerintah, di STAKN Kupang, 12 juta per orang, per tahun, untuk mereka yang miskin. Kuota tahun lalu untuk beasiswa bidik misi direalisasikan untuk 200 lebih mahasiswa. Lalu ada 200-an juga untuk beasiswa berprestasi.
“Kalau 1 anak diberi 1 juta per tahun oleh negara misalnya, kemudian dana itu dimanfaatkan untuk misalnya mulai dari bayar kos. SPP-nya kami kan Rp 1.200.000/tahun. Per semester Rp 600.000, untuk yang S1. Kemudian dia akan berdampak pada banyak hal. Dia bisa istilahnya kalau dia tidak punya lap top, karena sekarang jaman IT. Ternyata anak-anak kami dengan dana yang ada mereka bisa beli lap top. Sehingga bisa memanfaatkan jaringan Wifi di kampus untuk kepentingan pembelajaran dan seterusnya. Ternyata program ini sangat membantu mahasiswa. Ini berdampak pada minat mahasiswa masuk STAKN. Kami sekolah tinggi, ukuran mahasiswa 3000-an itu tidak gampang. Kenapa anak-anak ke sini? Pertama karena biayanya murah, mudah dijangkau. Hampir semua anak NTT ada di sini. Fakta ada di sini bahwa ternyata SPP murah akan membuat orang masuk perguruan tinggi. Pendidikan yang murah dan bisa dijangkau selama ini menjadi harapan.”
Hal lain yang menurut Natonis mesti diperhatikan adalah dari sisi fasilitas. Menurutnya, untuk urusan pendidikan, fasilitas tidak bisa dianggap sepele. Misalnya gedung yang baik dalam mendukung proses pembelajaran. Kenyataan di NTT, katanya, hanya sekolah-sekolah di kota yang kelihatan agak memadai dari sisi fasilitas.
“Coba kita turun ke desa dimana dari sanalah trafficking, anak-anak yang ikut human trafficking keluar. Tidak mungkin anak-anak yang tamat dari kota sini yang ikut human trafficking. Sedikit sekali. Paling banyak dari sekolah-sekolah di kampung. Karena memang di sana mereka hanya belajar untuk kalau bisa lulus dan dapat ijazah SD. Karena kondisi sekolah, apalagi diperparah dengan misalnya 1 atau 2 guru mengajar 1 sekolah. Ini kondisi nyata. Sementara di kota ada penumpukan guru. Tapi kalau bilang penumpukan di kota sabar dulu karena di kota juga walaupun guru banyak, tapi siswanya banyak. Kita sebenarnya ada pada posisi kekurangan guru. Lalu kita bicara soal pemerataan. Mari kita hitung dulu. Guru-guru di desa memang kurang, apalagi dengan adanya moratorium. Angka pensiun berapa? Dukungan untuk pengangkatan tenaga honorer melalui APBD, ada atau tidak? Kalaupun dialokasikan, sedikit. Tidak terlalu luar biasa menurut saya.”
Ia menilai, seandainya angka 20% untuk pendidikan dari APBN dan APBD itu bisa dioptimalkan, itu akan sangat baik. Dirinya bahkan bertanya, undang-undangnya jelas, tapi apakah pelaksanaannya ada atau tidak? Pertanyaan yang lain, sampai sekarang mana pemda yang betul-betul memaksimalkan dana itu untuk pendidikan? Karena kalau 20% itu dijalankan dengan baik maka gurunya mendapat perhatian, fasilitasnya pasti memadai. 

“Guru ini yang kita omong adalah pengembangan SDM-nya, mungkin ada sekolah lanjut atau barangkali diklat-diklat diperbanyak. APBD juga harus berkontribusi terhadap diklat-diklat. Tidak bisa hanya harap diklat dari APBN. Nah, selama ini semua orang kalau mau diklat larinya ke luar. Misalnya kalau mau diklat Kurikulum 2013, ke Surabaya. Kenapa di sini tidak bisa? Kalau ke sana kan, berarti orangnya sedikit. Kita kirim dari NTT katakanlah 5 orang. Bisa tidak, kalau narasumbernya yang dihadirkan di sini? Kalau narasumbernya yang datang ke sini berarti orangnya yang diperbanyak kan? Kita cukup bayar narasumbernya, lalu katakanlah 100 orang ikut. Kalau ini jadi prioritas program, menurut saya sangat membantu dari sisi diklatnya. Kemudian, berapa banyak guru kita yang di-studi-lanjutkan? Sekarang walaupun program nasional itu guru wajib S1, di lapangan, di kampung-kampung, itu masih banyak guru tamatan SPG dan PGA. Mereka terpaksa ikut UT. Nah, pola pembelajaran di UT sana menolong, tidak? Dari sisi ini, kita mau dongkrak apanya? Kalau mau dongkrak manusianya, pendidikan harus jadi prioritas.” (rf/adj/yl)