Rabu, 22 April 2020

Belajar dari “Sang Guru”

“SANG GURU” merupakan novel karya sastrawan Indonesia kelahiran Rote – NTT, Gerson Poyk (1931 – 2018). Dalam sejumlah referensi, novel yang terbit tahun 1972 ini tercatat sebagai buku ketiga Gerson Poyk. Sebelumnya sudah terbit Hari-Hari Pertama dan Matias Akankari. Sesuai judulnya, novel Sang Guru berkisah tentang kehidupan seorang guru dengan latar Ternate dan Manado.

Cerita bermula dengan perjalanan Ben, seorang guru SMP, dengan kapal laut menuju Ternate, tempat tugasnya yang baru. Sang Guru disertai ibunya dan Sofie, seorang guru SKP yang juga akan bertugas di Ternate. Sofie kemudian menjadi istri Ben. Awal hidup Ben di Ternate sangat menantang terutama dalam hal ekonomi. Untuk membeli beras, misalnya, terpaksa ia berutang kepada Pak Ismail, seorang pesuruh sekolah. Namun hal itu tidak menyebabkan semangat Ben menurun karena ia yakin “di mana-mana seseorang tidak akan terlalu mendapat kesulitan jika di sana ada sesama manusia”. Apalagi, Ben sudah terbiasa bertualang sehingga sebagai guru wawasannya luas. Ia pernah menjadi buruh kasar pengantar hewan yang diekspor ke Singapura dan Hongkong. Ben juga mampu mengajarkan mata pelajaran apa saja di sekolah. Ilmu Alam, Bahasa Inggris, semuanya bisa ia ajarkan. Bahkan ia mampu mengajar di sekolah yang sederajat dengan pendidikannya. Dikisahkan pula, pada masa sulit itu, Ben sempat menjadi tentara (terlibat dalam Permesta) dan tak pernah malu bekerja sebagai kuli pemarut kelapa (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).

Sedikit uraian di atas memang hanya serpihan dari keutuhan narasi dan gagasan yang dibangun Gerson Poyk dalam novel yang pernah meraih penghargaan SEA Write Award, sebuah penghargaan sastra tingkat ASEAN. Keutuhan narasi dan gagasan tersebut tentu bisa didapat dengan membaca Sang Guru dan ulasan-ulasan terhadapnya. Namun beberapa poin penting kiranya dapat dicatat sebagai sebuah pembelajaran berharga dari Sang Guru.

Pertama, novel Sang Guru ditulis berdasarkan pengalaman hidup Gerson Poyk ketika ia menjalani profesi sebagai seorang guru SMP dan SGA di Ternate tahun 1956 – 1958, setelah tamat dari SGA Surabaya. Ini bisa menjadi motivasi terutama bagi teman-teman guru bahwa pengalaman hidup bisa menjadi inspirasi utama untuk menghasilkan sebuah karya sastra.

Kedua, dalam wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende tahun 2015, ia mengisahkan bahwa novel Sang Guru ditulisnya selama ia berada di Amerika Serikat, mengikuti International Creative Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa tahun 1970 – 1971. Pengakuan ini menjadi titik penting dalam proses kreatif, bahwa sebuah karya dapat lahir di tengah kepadatan rutinitas sekali pun. Karena itu, masalah utama dalam menulis bukan pada keterbatasan waktu, namun ketakterbatasan niat dan kerja keras.

Ketiga, mengacu pada kisah dalam novel Sang Guru, dua hal dapat dikutip: (1) Cerita dalam novel ini memberikan gambaran tentang kesederhanaan seorang guru yang membuahkan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia rela menjadi guru walaupun hidup di gudang dengan gaji sedikit. Bahkan ia tidak mau dikatakan sebagai seorang pahlawan karena tujuan, kebahagiaan dan harapannya adalah ingin mendapatkan sesuap nasi untuk memberi makan pada ibunya yang sudah tua (finudiasfa.blogspot.com); (2) Sosok Ben, guru dalam novel ini berbeda dengan sikap guru yang pada umumnya fanatik dengan profesinya yang halus sehingga pantang bekerja kasar. Ben dapat selalu bersikap optimistis dalam menghadapi kehidupannya. Dengan kepandaiannya ia mau dan mampu beralih pekerjaan dari halus sampai kasar jika situasi menuntut. Bahwa semua pekerjaan adalah baik telah dibuktikan oleh Ben dengan menjadi buruh, guru SMP dan SMA, tentara, dan pemarut kelapa. Oleh sebab itu, guru hendaknya bersedia melakukan pekerjaan apa saja dan kapan saja tanpa dibelenggu oleh status dan gengsi. Sikap Ben yang realistis ini semula memang didorong oleh tuntutan hidup, tetapi akhirnya menjadi kebiasaan (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).

Sekali lagi sedikit uraian di atas memang hanya serpihan dari keutuhan narasi dan gagasan dalam novel Sang Guru. Keutuhan narasi dan gagasan tersebut tentu bisa didapat dengan membaca Sang Guru dan ulasan-ulasan terhadapnya. Namun setidaknya kita telah belajar dari Sang Guru tentang mutiara bernama “kreatifitas” yang sejatinya tak pernah mati dalam diri seorang guru. Bahkan kata Albert Einstein (1879 – 1955), It is the supreme art of the teacher to awaken joy in creative expression and knowledge; seni tertinggi guru adalah untuk membangun kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan. (*)