Selasa, 20 April 2021

DUA KALI AHMAD YANI BERSAMA AYAHKU

 


R. Fahik

 

I

“Hidup pak Yani!”. Masih ingatkah kau ayah, pekikan singkat itu? Seperti yang pernah kau ceritakan. Iya, “Hidup pak Yani!”.

Kata-kata itu menggema di pelataran Seminari Tinggi Ledalero. Pimpinan biara, Pastor Jozef Bouman SVD bersama ratusan frater menyambut kehadiran Letjen TNI Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi, 25 September 1965 sekitar pukul 11.30 Wita. Ketika itu sang jendral hadir bersama Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan yang menjabat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik, bersama rombongan berjumlah sekitar 20 orang.

Itu merupakan rangkaian dari kunjungan Jendral Yani ke wilayah Timur Indonesia dalam upaya memperkuat pancasila dan keutuhan bangsa. Memang ketika itu mulai muncul ancaman serius terutama dari PKI. Sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, Jendral Yani membangkitkan semangat warga bangsa dan meyakinkan semuanya bahwa Negara tidak tinggal diam.

“PKI tidak akan berkuasa di Indonesia sebelum melewati mayat Yani!”

Salah satu petikan kalimat yang masih segar dalam ingatanmu. Dengan lantang, suara yang tegas – menggelar, Jendral Yani menyampaikan itu dalam pidatonya (kuliah umum) sekitar 45 menit. Dan gemuruh tepukan tangan segera terdengar di ujung kalimat itu. Tentu dengan pekikan yang sama, “Hidup pak Yani!”.

Kau ceritakan juga, ayah. Selain jamuan makan siang, ketika itu sang jendral juga disuguhi beberapa lagu yang memang sudah dipersiapkan secara khusus. Salah satunya adalah “Halleluya” ciptaan George Frideric Handel yang menyita perhatian Jendral Yani hingga dirinya meminta untuk dinyanyikan sekali lagi. Lagu lainnya adalah “Rayuan Pulau Kelapa” yang ditulis oleh salah satu komposer terbaik bangsa, Ismail Marzuki yang mengiris hati sang jendral hingga ia menitikkan air mata. Bahkan hampir semua yang hadir saat itu. Entahlah. Air mata itu lambang kecintaan yang utuh akan bangsa ini? Isyarat kematian sang jendral? Ataukah kedua-duanya.

Dan benarlah. Sang jendral begitu mecintai bangsa ini. Lima hari usai kunjungan ke Ledalero, tepatnya tanggal 30 September 1965, Jendral Yani meregang nyawa di ujung peluru pasukan pimpinan Letkol Untung yang saat itu menjadi Komandan Batalyon I Tjakrabirawa dalam gerakan yang hingga kini dikenal dengan “G-30S PKI”. Malam itu Ahmad Yani pergi untuk selamanya bersama sejumlah perwira militer yang kemudian digelari Pahlawan Revolusi.

Padahal masih terekam jelas dalam ingatanmu kata-kata terakhir sebelum sang jendral meninggalkan Ledalero, “Nanti saya akan datang kembali pastor rektor”. Rupanya ia kembali dalam bentuk berita kematiannya dan menghimpunmu bersama ratusan frater di kapela itu. Berdoa bersama. Lalu, menaikan bendera setengah tiang.

“Hidup pak Yani!”. Masih ingatkah kau ayah, pekikan singkat itu? Pak Yani masih hidup, ayah. Setidaknya di dalam jiwa putramu ini. Cintanya mengalir, menyatu dalam air mata yang menetes ini, ketika kutuliskan kembali kisah ini.

 

II       

Pemilihan umum tahun 1977 menyimpan cerita tersendiri tentang ayahku. Ketika itu sebagai seorang guru muda – beberapa tahun usai meninggalkan biara, semangat cinta tanah air begitu menggeora di dadanya. Rupanya itu buah pertemuan dengan Jendral Yani di Ledalero. Bukan begitu ayah?

Namun pilihan ayah barangkali tidak begitu tepat. Ia terlibat aktif di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai yang ada saat itu selain PPP dan tentunya Golkar dengan kekuatannya yang begitu besar di bawah komando Soeharto. Orang-orang yang bergerak di luarnya, menjadi perhatian utama. Tentu termasuk ayahku.

Dan terjadilah. Hari itu ia dijemput oleh sejumlah tentara dan dibawa ke pusat kabupaten. Diintegorasi dengan berbagai pertanyaan terkait keterlibatannya di PDI. Arahnya jelas, “Saya diminta untuk harus henggkang dari PDI,” kisah ayah. Namun ceritanya tentu tidak sesederhana itu. Untuk bisa “bebas” – pulang ke rumah, ayahku harus berjuang semampunya untuk merangkai kata-kata yang bisa menyelamatkannya dalam situasi itu.

Hingga akhirnya ketika kata-kata dirasanya tak mampu mem-“bebas”-kannya” saat itu, ayah teringat akan sosok yang dikaguminya. Jendral Ahmad Yani. Segera ayah mengeluarkan foto bersama sang jendral dalam kunjungannya ke Ledalero.

Sejumlah tentara yang “mewawancarai” ayah terhentak. Sang jendral kini hadir di mata mereka. Dan seolah mengatakan, “Ini perintah. Bebaskan orang ini. Pulangkan dia ke rumahnya!”. Jendral Ahmad Yani menyelamatkan ayahku hari itu.

Foto hitam-putih itu melengkapi kisah pertemuan ayahku bersama Jendral Ahmad Yani tahun 1965 di Ledalero. Bagiku, keduanya – kisah pertemuan dan foto itu, menjadi salah satu warisan berharga yang ditinggalkan ayah usai kepergiannya 4 Mei 2019 lalu.

Ayah, sampaikan salam hormatku pada Pak Yani bersama rekan-rekannya yang gugur malam itu. Pak Yani tidak harus kembali lagi ke Ledalero. Ia tetap hidup setidaknya di dadaku. Ayah pun tak harus kembali ke rumah ini. Ayah tetap hidup. Setidaknya dalam kisah ini.    

 

-----------------------------

Robertus Fahik, lahir di Betun (Malaka, NTT), 5 Juni 1985. Menyelesaikan pendidikan terakhir pada program Magister Sains Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (2012). Menulis sejumlah karya sastra antara lain novel Badut Malaka (2011) dan buku puisi Senja Hitam dan Ayahku (2019). Terlibat dalam berbagai kegiatan sastra dan kepenulisan antara lain Temu Sastrawan NTT (2013, 2015) dan MUNSI III (2020). Saat ini bekerja sebagai wartawan (pemimpin redaksi) Cakrawala NTT. Kontak pribadi 0852-5336-8008 (WA).


*Dipublikasikan dalam buku "Ayahku Jagoanku" (Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta, 2021)