Selasa, 08 Agustus 2017

GERSON POYK DAN TONGGAK BUDAYA YANG DITITIPKANNYA

Foto: Robert Fahik

Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual. Beberapa hari yang lalu, media massa nasional memberitakan kepulangan A. A. Navis ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Yakinlah bahwa Sang Pencipta Agung tidak akan menyia-nyiakan arwahnya, arwah seorang sastrawan yang telah diciptakanNya sebagai tonggak budaya personal yang selama hidupnya telah menciptakan budaya spiritual yang disebut sastra Indonesia – yang menjadi bagian dari sastra dunia.

Kalimat di atas merupakan prolog dari artikel berjudul “Mengenang Sastrawan A.A Navis” yang ditulis sastrawan Gerson Poyk di blog pribadinya gersonpoyk.blogspot.co.id., dipublikasikan pada Mingggu 27 April 2008. Rasaya tidak berlebihan bila penggalan kalimat tersebut kembali kita dengungkan saat ini ketika sang maestro telah pulang ke pangkuan Ilahi. Rupanya seorang Gerson Poyk menyadari betul arti terdalam dari ungkapan klasik
Ars tonga (longa – Red.) vita brevis; seni berumur panjang, hidup manusia pendek. Seperti A.A Navis, Gerson sungguh meyakini bahwa suatu ketika ia pun akan meninggalkan dunia ini yang oleh sahabatnya Taufiq Ismail adalah “panggung sandiwara”. Namun serentak ia pun menyadari bahwa dirinya beserta segala apa yang telah diperjuangkan, diraih, dan dipersembahkan bagi nusa dan bangsa akan tetap hidup dalam diri generasi penerusnya.
Menelisik petualangan sastrawan kelahiran Rote, 16 Juni 1931 ini, kita akan sepakat bahwa filosofi hidup yang dipegangnya bahwa “para sastrawan adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual” telah mencapai pemenuhan dalam dirinya. Sebagai pribadi, Gerson Poyk selalu menampilkan diri apa adanya, penuh kesederhanaan, pandai merangkul, dan seorang inspirator. Sementara karyanya yang bertebaran hingga akhir hayatnya (Jakarta, 24 Februari 2017) sungguh menyuarakan cinta kasih dan kebenaran yang tak lekang oleh ruang dan waktu.
Mengenang sang maestro bernama lengkap Gerson Gubertus Poyk ini, saya ingin mengemukakan beberapa poin yang menurut saya patut diketahui, dikenang, dan dihidupi oleh masyarakat budaya khususnya generasi penerus sebagai tonggak budaya yang dititipkannya. Adapun poin-poin yang saya kemukakan ini berangkat dari penelusuran saya di sejumlah literatur serta sedikit rangkuman hasil perjumpaan (wawancara) saya dengan Gerson Poyk.

Perintis Sastra NTT
Mengacu pada hasil penelusuran Yohanes Sehandi (dituangkan dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT), tahun 1961 merupakan awal Gerson Poyk terjun ke dunia publikasi karya sastra. Hal ini terjadi ketika majalah Sastra Edisi Tahun I, Nomor 6, Oktober 1961, memuat cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah”. Bahkan di tahun yang sama, cerpen tersebut dianugerahi sebagai cerpen terbaik dan mendapat hadiah dari majalah Sastra. Atas alasan ini, Sehandi kemudian menyebut Gerson Poyk sebagai “Perintis Sastra NTT”, karena dialah orang NTT pertama yang menulis dan  mempublikasikan karya sastra di media massa.
Terkait hal tersebut, menurut saya ada yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Kesan ini saya perleh dari wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende, Sabtu (10/10/2015). Ketika itu Gerson poyk mengungkapkan bahwa tahun 1955 ketika bersekolah di SGA Kristen Surabaya, untuk pertama kalinya tulisan beliau terbit di media massa. Tulisan tersebut adalah sebuah puisi berjudul “Anak Karang” – kemudian baru menyusul puisi-puisi lain, dimuat di Mimbar Indonesia.
“Waktu itu saya menghebohkan orang-orang Surabaya. Karena waktu itu Mimbar Indonesia selalu memuat puisi satu halaman setiap hari. Dan itu nama-nama besar seperti Sitor Situmorang, Iwan Simatupang. Waktu tulisan saya masuk ke koran itu, teman-teman di Surabaya beri hormat sama saya. Kata mereka, kapan kita bisa kayak Gerson,” kisah Gerson Poyk sambil tertawa kecil. Gerson Poyk bahkan masih hafal betul lirik puisi yang ditulisnya puluhan tahun silam itu.
“Bea. Di tepi sini gubuk dan karang. Sekali pernah mama bilang. Cerita beta cerita kau. Bertulis di tanah berselang karang… Kira-kira begitu. Jadi angin muson itu kadang-kadang membikin kurang subur. Kita punya musin itu kadang muson. Tapi jangan takut. Kalau padi dan jagung tidak ada masih ada pohon lontar, gula. Kira-kira begitu maksud saya,” jelasnya.
Cerita Gerson Poyk ternyata sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, bahwa Gerson Poyk banyak menulis puisi di beberapa media massa yang terbit di Surabaya saat ia mengikuti pendidikannya di SGA Kristen di kota itu (1955 – 1956). Salah satu puisinya dijadikan judul buku Anak Karang, pertama kali dimuat H. B. Jasin di majalah Mimbar Indonesia (Kaki Langit 133/Januari 2008).
Di sisi lain meski menyebut cerpen Mutiara di Tengah Sawah (1961) sebagai karya pertama Gerson yang terbit di media massa – sesuai data otentik yang diperolehnya, Sehandi (2015) juga mengakui bahwa dari sejumlah sumber, ia mendapatkan informasi bahwa Gerson Poyk sudah mulai menulis sastra di media massa sebelum tahun 1961. Disebutkan sejumlah media yang memuat karya Gerson, yakni Mimbar Indonesia, Tjerita, dan Sastra.
“Hanya sayangnya, saya hanya menemukan data otentik karya Gerson Poyk pada majalah Sastra (1961), sedangkan pada Mimbar Indonesia dan Tjerita tidak ditemukan data otentiknya berupa judul karya sastra, jenis karya sastra, dan nomor edisi bulan dan tahun terbit karya Gerson Poyk tersebut,” tulis Sehandi dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015).
Jadi, kapan pertama kali Gerson Poyk menulis di media massa? Tentunya butuh penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan kebenarannya. Data otentik tentang puisi “Anak Karang” yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia tahun 1955, misalnya, perlu ditemukan. Untuk mencapai hal ini butuh kerja sama serta kerja keras segenap pencinta Sastra NTT.

Sejumlah Karya Tulis
Gerson ternyata tidak hanya menjadi orang pertama NTT yang menulis di media massa. Sejak tahun 1964 ketika buku (novel) pertamanya terbit, Gerson terus menghasilkan karya sastra yang berkualitas sambil tetap memberi warna yang khas di setiap karyanya. Tahun itu (1964) BPK Gunung Mulia Jakarta menerbitkan novel Hari-Hari Pertama sebagai karya pertama Gerson Poyk yang terbit dalam bentuk buku. Sejak saat itu pena Gerson terus menari. Dalam rentang waktu dari tahun 1964 sampai tahun 2014, tercatat 27 judul buku karya Gerson Poyk yang sudah diterbitkan. Dua puluh tujuh judul itu terdiri dari berbagai genre sastra seperti puisi, cerpen, novelet, dan novel serta liputan jurnalistik. Yohanes Sehandi bahkan mengakui bahwa angka 27 judul itu baru sekitar 2/3 karya Gerson Poyk, masih sekitar 1/3 karya beliau yang belum ditemukan dan perlu terus ditelusuri. Pada waktu ditanyakan, beliau sendiri tidak ingat lagi jumlah karya sastra yang telah diterbitkan (Sehandi, 2015). 
Dari paparan Sehandi terlihat dengan jelas bahwa Gerson Poyk meninggalkan begitu banyak karya tulis baik berupa buku puisi, cerpen, novel, maupun karya jurnalistik. Tidak sedikit dari karya-karya tersebut menghantarkannya untuk meraih sejumlah penghargaan. Dari berbagai literatur yang ada, tercatat karya-karya tersebut yakni: Hari-Hari Pertama (1968), Matias Akankari (1972), Sang Guru (novel, 1972), Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajagukguk (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1974), Nostalgia Nusa Tenggara (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1975), Jerat (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1978), Cumbuan Sabana (novel, Nusa Indah, Ende, 1979), Petualangan Dino (novel anak-anak, Nusa Indah, Ende, 1979), Giring-Giring (1982), Di Bawah Matahari Bali (1982), Seutas Benang Cinta (1982), Requem untuk Seorang Perempuan (1983), La Tirka Tar (1983), Mutiara di Tengah Sawah (cerpen, 1985), Anak Karang (1985), Puber Kedua di Sebuah Teluk (1985), Doa Perkabungan (1987), Impian Nyoman Sulastri (1988), Hanibal (1988), Poti Wolo (1988), Negeri Lintasan Petir (pemenang sastra asean 1989 dan adinegoro 1986), Sang Sutradara dan Wartawati Burung (2009), Keliling Indonesia, dari Era Bung Karno Sampai SBY (2011), Meredam Dendam, Tarian Ombak, Seruling Tulang, Enu Molas di Lembah Lingko, Putra-Putri Gutemberg, Cintaku yang Tulus Khinatimu yang Mulus, Profesor Blo,on. Karya terakhir Gerson Poyk yang diluncurkn yakni buku kumpulan puisinya berjudul Dari Rote ke Iowa, diluncurkan di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 25 Juni 2016. Acara peluncuran buku ini digelar sekaligus untuk merayakan Ulang Tahun Gerson Poyk ke-85. 
Selain itu Gerson masih sempat menulis dua buah buku. Pertama, sebuah buku tentang keberagaman agama di Indonesia. Menurut putri pertamanya, Fanny J. Poyk, buku itu ditulis Gerson Poyk sejak November 2016. Lewat buku tersebut, sang ayah ingin memberikan contoh indahnya perbedaan. Buku itu terinsipirasi dari seseorang muridnya yang bernama Ismail Mukhtar. Setiap hari pria asal Padang, Sumatera Barat itu selalu mengikuti kemana pun Gerson melangkah. Sampai pada suatu hari, Gerson merekomendasikan tiket haji melalui Kementerian Agama untuk diberikan kepada Ismail.
Selain buku tersebut, ada juga sebuah novel berjudul Terrorism No, Peace Yes. Novel ini sudah selesai ditulis, dan kepada putrinya, Gerson menitipkan pesan untuk melihat lagi catatan kaki yang ada. Ketika malayat ke rumah duka di Kupang, saya sempat menanyakan perihal dua buku tersebut kepada Fanny J. Poyk. Menurut putri sulung Gerson Poyk tersebut, novel Terrorism No, Peace Yes sementara dalam proses editing sebelum diberi ke penerbit. Sementara buku tentang keberagaman agama di Indonesia yang belum selesai ditulis almarhum ayahnya, Fanny mengungkapkan bahwa saat ini belum ada iat untuk melanjutkan (menulis) bukut trsebut meski banyak kalangan memintanya untuk melanjutkannya.

Sederet Pencapaian
Gerson Poyk tidak saja luar biasa dari segi kuantitas karya tulis. Kualitas tulisan mantan guru (di Ternate dan Bima) dan jurnalis (wartawan Sinar Harapan) ini tak perlu diragukan lagi. Gerson Poyk pernah meraih hadiah hiburan dari majalah Sastra pada tahun 1962 dengan cerpen “Mutiara di Tengah Sawah”. Cerpennya “Oleng-Kemoleng” mendapat pujian majalah sastra Horison sebagai cerpen yang dinominasi untuk merih hadian majalah itu pada tahun 1968. Tahun 1972 ia menerima Penghargaan Sastra ASEAN untuk novelnya Sang Guru. Tahun 1985 dan 1986 ia berturut-turut memenangkan hadiah Adinegoro atas laporannya di majalah Sarinah, hadiah tertinggi dalam bidang jurnalistik yang diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Tahun 1989 ia mendapat SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Kerajaan Thailand. Ia juga pernah mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award dari Harian Kompas untuk kesetiaannya selama puluhan tahun menulis karya sastra (Kaki Langit 133/Januari 2008, dalam majalah sastra Horison edisi Januari 2008). 
Tahun 2011 Gerson juga menerima Anugerah Kebudayaan dari Presiden SBY karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya. Kemudian tahun 2012 ia mendapat penghargaan NTT Academia Award untuk kategori Sastra dan Humaniora (Sehandi, 2015). Dalam catatan saya, yang terdekat, sekitar dua tahun sebelum kematiannya, Gerson Poyk mendapat penghargaan dari Kantor Bahasa Provinsi NTT sebagai Tokoh Sastra NTT Tahun 2015. Penganugerahan tersebut dilakukan di hadapan ratusan peserta Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT yang memadati aula utama Universitas Flores - Ende, Jumat (9/10/2015) pagi.
Selain menerima berbagai penghargaan di bidang sastra dan jurnalistik, Gerson juga pernah terlibat dalam beberapa kegiatan bertaraf internasional. Akhir tahun 1982, ia diundang untuk mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di India. Sebelumnya pada tahun 1970 – 1971 Gerson menjadi sastrawan pertama dari Indonesia yang mengikuti International Creative Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa, Amerika Serikat. Dua puluh tahun kemudian ia diundang lagi sebagai Internasional Visitor pada program yang sama. 
Tentang pengalamannya di Amerika, dalam wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende (10/10/2015), dirinya menceritakan ketika itu ada orang dari Amerika yang datang ke Jakarta. Mereka bertemu di redaksi majalah Horison. Waktu itu ada dua nama yang diminta yakni Gerson Poyk dan Taufiq Ismail. Namun Gerson-lah yang pertama berangkat. Peserta waktu itu 30 orang dari seluruh dunia, dan mayoritas adalah para doktor.
“Saya bermimpi ada anak NTT yang bisa ke sana lagi. Ikut program itu. Syaratnya ringan. Punya buku. Lalu menulis lamaran ke sana,” tutur Gerson yang mengaku selama di Amerika menulis novelnya Sang Guru.
Atas karya serta pencapaiannya, kritikus sastra Indonesia berkebangsaan Belanda A. Teeuw menggolongkan Gerso Poyk ke dalam Angkatan Terbaru, yaitu generasi sastrawan Indonesia di era 1950-an yang sangat peduli dengan aspek regional dalam karya sastra mereka. Generasi sastrawan ini adalah generasi pertama sastrawan Indonesia yang terdidik dalam sejarah sebagai warga negara Indonesia dalam bahasa dan budaya Indonesia. Mereka tetap menjaga daerah mereka sebagai “rumah” mereka sambil pada saat yang sama menjadi orang Indonesia. Aspek-aspek regional dapat ditelusuri di dalam karya-karya mereka dalam pengertian “daerah”, sastra untuk wilayah daerah.
Kritikus HB Jassin menempatkan dia sebagai salah satu eksponen sas-trawan Angkatan 66. Periode menulisnya berbarengan dengan sastrawan besar lain, seperti Iwan Simatupang dan Sitor Situmorang. Penyair Umbu Landu Paranggi menyebut Gerson sebagai cerita berjalan. ”Kadang sulit, ya, bedakan mana fiksi mana biografi karena Gerson ke mana-mana bercerita dan menuliskannya,” kata Umbu, sesama penyair dari NTT.

16 Juni Hari Sastra NTT
Pada momen Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT yang digelar Kantor Bahasa Provinsi NTT bertempat di Universitas Flores - Ende, Oktober 2015 lalu, ada sejumlah keputusan serta rekomendasi yang dihasilkan. Salah satunya adalah penetapan tanggal 16 Juni (hari kelahiran Gerson Poyk) Hari Sastra NTT. Ini tentunya sangat beralasan. Sudah lebih dari setengah abad yang lalu, penulis Cumbuan Sabana ini membawa nama NTT ke tingkat nasional bahkan internasional lewat sastra.
Usai penetapan tanggal 16 Juni sebagai Hari Sastra NTT, tahun 2016, selain di kampus Universitas Flores, Hari Sastra NTT juga dirayakan di halaman Kantor Bahasa Provinsi NTT, Kupang, Minggu (19/6/2016). Dalam perayaan Hari Sastra NTT yang sedianya jatuh pada tanggal 16 Juni ini, hadir sejumlah sastrawan dari berbagai komunitas di kota Kupang, masyarakat pencinta sastra, seniman, dan sejumlah jurnalis. Kegiatan yang berlangsung pukul 19.00 – 22.00 Wita ini, diisi dengan penampilan musikalisasi puisi dari beberapa siswa binaan UKIM, beberapa sastrawan Dusun Flobamora, dan pembacaan puisi oleh sastrawan dan pecinta sastra, serta diskusi sastra termasuk rencana kegiatan Temu III Sastra NTT tahun 2017.
Meski tidak hadir, Gerson Poyk berhasil dihubungi panitia lewat sambungan telpon. Ketika itu, Gerso mengatakan, orang-orang yang bergerak di bidang sastra harus memiliki intuisi kreatif. Artinya, membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Mereka tidak hanya bergerak di bidang sastra tapi juga di bidang lain seperti bidang sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan. Menurut sastrawan senior yang pada 16 Juni 2016 genap berusia 85 tahun, kesadaran akan intuisi kreatif perlu ditumbuhkan dari hari ke hari lewat belajar dan kepekaan akan realitas sosial.
“Tidak usah takut bahwa NTT terlambat. Karya besar datang dari intuisi kreatif pengarang. Banyak baca, kenal sastra dan penulis dunia. Penting juga mempelajari filsafat. Tanpa filsafat, tidak bisa yang lain,” tegasnya.

Taman Budaya Gerson Poyk
Ada yang menarik di akhir hayat seorang Gerson Poyk. Tanggal 26 Februari 2017, jenazah Gerson Poyk tiba di Kupang. Usai melayat jenazah Gerson Poyk, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, mengungkapkan keputusan pemerintah Provinsi NTT untuk mengubah nama Taman Budaya NTT menjadi Taman Budaya Gerson Poyk.
“Pemberian nama ini bagian dari penghargaan dari pemerintah NTT atas berbagai karya sastranya yang telah diciptakannya selama ini,” kata Lebu Raya.
Gubernur Lebu Raya menilai meninggalnya Gerson Poyk memberikan duka yang mendalam bagi masyarakat NTT, khususnya bagi mereka yang mengenalnya secara dekat. Lebu Raya menambahkan, diabadikan nama sastrawan Gerson Poyk itu merupakan bagian dari penghargaan yang diberikan karena telah mengharumkan nama NTT secara nasional. Adapun nama Taman Budaya Gerson Poyk, tegas Lebu Raya, mulai berlaku 25 Februari 2017.
Apresasi patut diberikan kepada pemerintah daerah kelahiran Gerson Poyk ini. Sebuah langkah yang meyakinkan kita bahwa masih ada tempat bagi para seniman yang lahir dari rahim tanah Flobamora ini. Kita berharap, pemberian nama Taman Budaya Gerson Poyk bukan seremonial belaka namun akan menjadi salah satu momentum tentang seorang sastrawan besar yang pernah lahir dari tanah ini, serentak menjadi momentum menyemaikan, memupuk, serta mengawal benih penerus Gerson Poyk yang sesungguhnya sudah, sedang, dan akan terus berkiprah lewat seni sastra serta karya jurnalistik. Mereka yang dengan setia menjaga, melestarikan, dan menghidupkan tonggak budaya yang telah dititipkan sang maestro. (Robert Fahik)

Referensi:
 http://gersonpoyk.blogspot.co.id
Majalah  Bahasa dan Sastra LOTI BASASTRA (diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT) edisi II Desember 2015
Majalah Pendidikan CAKRAWALA NTT edisi 53 Juli 2015

Sehandi, Yohanes. 2015. Sastra Indonesia Warna Daerah NTT. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma