Kamis, 11 Agustus 2022

Umbu Sang Metiyem

 


Oleh Robertus Fahik

 

Metiyem merupakan kata dari bahasa Bali kuno, yang memiliki arti seekor merpati yang memiliki ketahanan dan kemampuan terbang membubung tinggi ke angkasa, dalam sebuah peristiwa aduan. Merpati pemenang utama yang memiliki kemampuan terbang tertinggi dan paling lama, dalam bahasa Bali disebut Metiyem.

Dalam kehidupan sosial masyarakat di Bali, Metiyem adalah yang tersembunyi di relung kulminasi antara langit dan bumi yang merupakan pencapaian sempurna di ketinggian terbang seekor merpati.

Demikian penjelasan Iman Budhi Santosa tentang Metiyem, pada momentum penyerahan Ijazah Maiyah dari Komunitas Maiyah kepada Umbu Landu Paranggi, tanggal 5 Agustus 2019 di Umah Wisanggeni, Batu Bulan, Gianyar, Bali, sebagaimana dikutip dan dipublikasikan di laman caknun.com tanggal 6 Agustus 2019.

//

Pertama kali saya mengenal kata Metiyem adalah ketika saya menerima kiriman buku dari Rumah Budaya EAN Yogyakarta, tahun 2021 lalu. Buku itu berjudul Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi.

Memang tidak mudah mendapatkan buku itu. Konon katanya buku itu dicetak terbatas dan tidak untuk dijual secara luas. Ini sebagaimana juga ditulis pada laman caknun.com tanggal 6 Agustus 2019:

Buku “Metiyem” ini memang tidak diperjualbelikan, Pak Iman menegaskan bahwa buku tersebut tidak ternilai harganya, maka hanya Umbu yang kemudian menentukan kepada siapa buku-buku tersebut akan diberikan. Mbah Nun semalam juga mempersilakan kepada jamaah yang hadir di Masuisani untuk naik ke panggung jika berminat memiliki buku tersebut, kemudian menyampaikan alasannya mengapa ia layak mendapat buku tersebut, dan Umbu sendiri yang kemudian menilai apakah ia memang layak mendapatkan buku tersebut.

Namun beberapa waktu setelah kematian Umbu Landu Paranggi (6 April 2021), kira-kira pertengahan tahun 2021, berkat komunikasi sastrawan Fini Marjan – sahabat saya di Tangerang, dengan pihak Rumah Budaya EAN selaku penerbit, akhirnya saya pun bisa mendapatkan buku itu. Memang ketika itu saya sedang mencari buku tentang Umbu.

Pada bagian epilog dalam buku ini, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menggambarkan Umbu Landu Paranggi sebagai sosok Metiyem. Cak Nun menulis:

Ketika para pecinta burung-burung Merpati memperlombakan ratusan makhluk-makhluk indah itu dengan menerbangkannya ke angkasa, semua pengagum keindahan ciptaan Tuhan berdebar-debar menyaksikannya dengan menengadah ke langit.

Rentang waktu yang mengalir mencatat urutan kelompok-kelompok Merpati yang turun dari angkasa. Yang paling duluan turun adalah rombongan merpati yang kalah. Rombongan demi rombongan bergiliran turun. Yang mereka penasaran menunggu adalah sesudah rentang waktu yang lama, Merpati mana yang paling akhir turun dari angkasa.

Ketika semua menyangka sudah tak ada lagi Merpati yang mengembara di angkasa – tiba-tiba dari balik awan tinggi, muncul Merpati, menukik, menembus mega, kemudian meluncur turun menghampiri pecintanya di antara ratusan orang lainnya.

Itulah Metiyem. Itulah makhluk yang kita sebut Umbu, yang kesejatiannya baru terlihat di ujung waktu. Itulah Umbu Metiyem, yang hidup di balik gumpalan-gumpalan awan.

Sementara kita adalah anak didik empat abad peradaban yang hanya melatih mata jasad untuk hanya mampu melihat yang wadag. Kita yang membusungkan dada di dalam keangkuhan peradaban materialisme, tidak tahu bahwa Umbu tersenyum menyaksikan kita dari balik lapisan mega-mega. Sedangkan kita tak mampu melihatnya.

Apa yang ditulis Cak Nun pada epilog itu saya temukan “penjelasan lanjutan” atau “penegasan”-nya pada laman caknun.com tanggal 6 Agustus 2019. Tiga kutipan berikut, bagi saya merupakan “penjelasan lanjutan” atau “penegasan” Cak Nun terkait Umbu sebagai Metiyem.

“Mas Umbu ini seorang sufi, namun tidak pernah merasa dirinya sebagai seorang sufi”, Mbah Nun menceritakan pergaulannya dengan Umbu. Umbu bukan hanya nyentrik, unik, tapi juga istimewa. Ketika orang-orang mengejar popularitas, Umbu memilih untuk lari dari popularitas. Ketika orang-orang berjuang untuk menjadi orang kaya, Umbu justru meninggalkan kekayaannya di tanah kelahirannya.

“Hidup saya belajar dari Umbu. Saya tidak ingin menjadi apa-apa dan tidak boleh ingin menjadi apa-apa. Saya hanya melakukan apa yang Tuhan suruh kepada saya”, ungkap Mbah Nun. Dan Ijazah Maiyah ini adalah dalam rangka memberi penghormatan kepada orang yang setia kepada dirinya sendiri, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan kepada dirinya. Umbu mengasuh anak-anak muda untuk menjiwai sastra, entah kelak anak-anak yang ia asuh menjadi apa, tetapi jiwa sastra sudah tumbuh dalam diri mereka. Dan, ibarat petani, Umbu telah menanam benih di banyak ladang, yang ketika benih-benih itu tumbuh, kemudian berbuah, tidak sedikitpun Umbu menikmati hasil panen. Umbu cukup bahagia melihat tanaman-tanaman yang ia jaga tumbuh subur.

Pak Iman Budhi Santosa kemudian menceritakan sedikit tentang buku “Metiyem”. Buku yang disusun oleh anak didik Umbu Landu Paranggi di Malioboro, yang disusun sejak tahun 2017 lalu. Dijelaskan oleh Pak Iman bahwa judul Metiyem ini diambil dari bahasa Bali kuno, … dst. Inilah gambaran sosok Umbu Landu Paranggi, melalui buku ini, Umbu dihormati lebih dari sekadar seorang guru, mentor, Bapak. Umbu mengasuh, mengasah dan mengasih anak-anak muda untuk tumbuh, melalui sastra, Umbu mengantarkan mereka, menemani mereka menemukan jati dirinya. Menjadi dirinya sendiri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan kepada mereka.

//

Rasanya sangat beralasan, sebuah buku dipersembahkan secara khusus untuk Umbu Landu Paranggi. Dedikasinya yang luar biasa pada dunia sastra baik selama di Yogyakarta maupun di Bali, menjadi alasan utama di balik itu.

Sangat beralasan pula Umbu diibaratkan sebagai Metiyem. Jejak Umbu sebagaimana diwartakan di berbagai literatur, sudah sangat cukup menggambarkan sosok yang satu ini. Berkat tangan dinginnya, lahir begitu banyak nama di kancah nasional baik sebagai penulis, maupun sebagai manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Sekalipun demikian, Umbu sendiri memilih untuk tidak menonjolkan dirinya sendiri.

Beberapa fase kehidupan Umbu, dengan sangat gamblang memberi penegasan terkait hal itu. Ini sebagaimana kisah-kisah yang dihadirkan dalam buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi, juga video-video yang beredar di berbagai akun youtube tentang sosok Umbu.

Satu di antaranya adalah ketika di tahun 1973 – sebagaimana dikisahkan Cak Nun, puluhan puisinya akan dimuat oleh majalah Horison. Ketika itu majalah Horison menjadi salah satu majalah nasional yang menjadi barometer sastra Indonesia. Semua penulis tentu ingin agar karyanya lolos dan dimuat di majalah Horison. Namun apa yang dilakukan Umbu?

Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sediri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.

Demikian ditulis Cak Nun dalam buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi. Kisah yang sama kerap disampaikan Cak Nun ketika berbicara mengenai sosok gurunya itu, sebagaimana termuat dalam beberapa video di beberapa akun youtube.

Hal lain yang menegaskan sosok Umbu sebagai Metiyem adalah kenyataan bahwa sampai dengan menutup matanya pada tanggal 6 April 2021, Umbu menolak untuk menerbitkan satu buku pun. Karya-karya terutama puisi hanya tersebar di berbagai media, juga buku antologi. Itu pun oleh sebagian referensi dikatakan bahwa atas inisiatif murid-muridnya.

Hal ini pernah ditanyakan secara langsung oleh Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas yang juga pernah berguru pada Umbu ketika di Bali. Putu Fajar Arcana kemudian menuliskan pengalamannya itu dalam buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi.

Berikut saya sajikan kutipan percakapan itu – dengan menambahkan keterangan PFA; Putu Fajar Arcana dan ULP; Umbu Landu Paranggi. Sengaja saya kutip secara utuh agar memberi gambaran yang utuh pula mengenai pilihan dan keyakinan seorang Umbu Landu Paranggi.

PFA: Anda dikenal sebagai pelopor dalam perkembangan sastra, sampai-sampai jarang yang mengenal karya Anda. Kapan bikin buku?

ULP: Ah itu biarkan saja orang lain. Tugas saya sejak di Yogya sampai Bali selalu bikin taman. Taman kreativitas untuk menemukan orang-orang yang mencintai hidup.

PFA: Anda tidak risau dalam masa kepenyairan 50 tahun lebih belum juga memiliki sebuah antologi?

ULP: Sudah saya katakan, itu tugas orang lain. Tugas saya ya begini saja, jalani kehidupan sebagai pencinta sunyi. Gede Prama pernah menulis, sepi yang mengilhami, ketika dia membahas soal nyepi di Bali. Itu rumusan yang luar biasa, sepi bukan berarti kosong, tetapi justru penuh geriap energi dalamnya.

PFA: Mengapa Anda tidak seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bakrie, Sapardi Djoko Damono, atau Rendra saja dalam menekuni dunia kepenyairan?

ULP: Saya Cuma menjalankan apa yang sudah dituliskan langit.

PFA: Maksudnya?

ULP: Semua punya peran masing-masing. Kalau semua seperti Chairil atau Sutardji, mungkin dunia kepenyairan dan kebahasaan kita tumbuh lamban. Berbahasa Indonesia bukan sesuatu yang mudah bagi sekalangan orang Jawa dan Bali dan orang-orang yang bukan Melayu. Karena itulah, Sumpah Pemuda itu puisi mantra. Ia ibarat amarah suci sebuah angkatan… 17 tahun kemudian terbukti terjadi proklamasi.  

Umbu rupanya benar-benar menyadari ruang kosong yang mungkin saja ketika itu dilihatnya dalam jagad sastra Indonesia. Ruang kosong itu ialah “taman kreativitas” sebagaimana disebutkannya, dan dia memilih untuk menjadi pembuat taman itu.

Pada sisi yang sama, Umbu seakan menunaikan nazarnya sendiri dalam “Lagu Tujuh Patah Kata” (Referensi lain ditulis dengan judul; “Doa”): sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku risau. Umbu memilih berada di balik layar panggung sastra Indonesia. Atau pun keyakinannya dalam “Melodia”:

rasa-saranya padalah dengan dunia sendiri, manis, bahagia, sederhana

di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa

kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja, harapan impian

yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan

//

Itulah Umbu. Itulah sang Metiyem. Dia memilih untuk bekerja dalam diam dengan cinta, kesetiaan, dan dengan keyakinan serta caranya sendiri. Dia memilih untuk membuat taman bagi tumbuh, mekar, dan mewanginya bunga-bunga. Sementara dia sendiri tidak pernah memetiknya.

Apakah kita juga harus seperti Umbu? Tentu tidak. Namun setidaknya lewat pilihannya itu, Umbu telah memberi pesan berarti bagi semua orang untuk melihat kehidupan secara utuh dan mendalam. Pilihan seperti ini pun memiliki konsekuensi untuk tidak menaruh kepentingan atau pun kejayaan diri sendiri di atas segalanya.

Ini sebagaimana dikatakan oleh Umbu sendiri dalam sebuah wawancara yang ditayangkan akun youtube Harian Kompas, tanggal 6 April 2021, hari ketika Umbu meninggal dunia:

Saya kagum sama Sudriman. Jadi saya ini menggunakan teknik gerilyanya dalam mencari-cari orang, saya pakai itu. Makanya harus sembunyi. Jangan terlalu ini. Makanya saya peringatkan Em (Emha Ainun Najib/Cak Nun), Em, jangan sekali-sekali kamu ngomong tentang jasa dan menggawat-gawatkan peran. Seniman kan seakan-akan dunia ini miliknya sendiri. Itu jangan.

Tidak hanya untuk “Em” dan para seniman. Pesan yang sama, hemat saya juga dialamatkan kepada siapa saja yang mau menjalani dan mencintai kehidupan sebagai pemenang sejati. Mereka yang mau berpeluh untuk menjadi Metiyem – sang pemenang, mereka yang mau mencapai puncak kesempurnaannya. Mereka yang benar-benar mau menjadi manusia. (*)