Minggu, 01 Januari 2023

Tahun Baru dan Tekad Baru (Editorial SekolahTimur.com #1)

 

Ilustrasi (merdeka.com)

Dilansir antaranews.com dan sejumlah media daring lainnya, Presiden RI Joko Widodo mengajak semua pihak menyambut harapan, tantangan dan peluang baru di tahun 2023.

"Mari menyongsong harapan, tantangan dan peluang yang baru. Tetap bersama melangkahi ambang tahun 2023 menuju Indonesia yang maju," kata Jokowi dalam deskripsi unggahan di media sosial Instagram @jokowi, yang dikutip di Jakarta, Minggu
(01/01/2023).

Sebelumnya Presiden Jokowi juga mengajak seluruh pihak menatap tahun 2023 dengan tekad membawa Indonesia melangkah maju, melalui cuitan akun Twitter resminya, @jokowi, pada Sabtu (23/12
/2023).

"Apa yang patut kita kenang dari tahun 2022 yang segera kita tinggalkan? Banyak. Ada yang menggembirakan, tak sedikit pula yang kurang menyenangkan. Semua datang silih berganti, memberi pelajaran, sekaligus menguatkan dan semakin mempersatukan," cuit Presiden.

Presiden juga mengingatkan bahwa Indonesia berhasil melewati masa pandemi dan ancaman resesi lewat perekonomian yang tumbuh positif.
Bagaimana dengan bidang pendidikan?

Sepanjang tahun 2022 kita merasakan angin segar dengan meredanya pandemi Covid-19 yang memungkinkan proses pembelajaran kembali berjalan normal sampai dengan akhir semester ganjil.

Hal tersebut dikuatkan dengan pencabutan aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah pada Jumat (30/12/2022). Dengan demikian, kegiatan pembelajaran di tahun 2023 kiranya akan lebih kondusif, tentunya dengan tetap mengutamakan kesadaran dan kewaspadaan terhadap risiko Covid-19, sebagaimana ditegaskan Presiden Jokowi ketika mengumumkan keputusan pemerintah terkait pencabutan aturan PPKM.

Seiring kesadaran dan kewaspadaan tersebut, segala daya dan upaya dalam pembangunan pendidikan tetap didorong secara maksimal. Sebagaimana ditekankan Mendikbudristek RI Nadiem Makarim pada momentun Hari Guru Nasional 2022, bahwa ketangguhan kita dalam melewati setiap tantangan berkaitan dengan tekad untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Ketangguhan ini didorong oleh kemauan kita untuk berubah, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak lagi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Hal ini juga didorong oleh semangat kita untuk terus berinovasi, menciptakan perubahan dan kebaruan yang membawa kita melompat ke masa depan,” kata Nadiem dalam sambutannya.

Mungkin di antara kita sampai hari ini masih ada yang ragu untuk melakukan perubahan dalam proses pembelajaran di kelas atau dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin satuan pendidikan. Memang, pada dasamya tidak ada perubahan yang membuat kira nyaman. Jika masih nyaman, itu artinya kita tidak berubah,” lanjut Nadiem.

Pesan yang sama kiranya masih relevan untuk kita jadikan sebagai pesan awal tahun bagi guru, peserta didik, dan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Tahun 2023 kiranya menjadi momentum untuk terus memupuk kesadaran bersama akan tantangan dan peluang menuju perwujudan salah satu pilar visi Indonesia Emas 2045 yakni, “Pembangunan Manusia Serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” dengan tekad serta berbagai langkah konkret yang terarah dan terukur.

Selamat Tahun Baru 2023. Tantangan dan peluang baru telah menanti di depan mata. Saatnya mewujudkan tekad baru dalam tindakan nyata. Membangun manusia, membangun Indonesia. (rf)

Kamis, 11 Agustus 2022

Umbu Sang Metiyem

 


Oleh Robertus Fahik

 

Metiyem merupakan kata dari bahasa Bali kuno, yang memiliki arti seekor merpati yang memiliki ketahanan dan kemampuan terbang membubung tinggi ke angkasa, dalam sebuah peristiwa aduan. Merpati pemenang utama yang memiliki kemampuan terbang tertinggi dan paling lama, dalam bahasa Bali disebut Metiyem.

Dalam kehidupan sosial masyarakat di Bali, Metiyem adalah yang tersembunyi di relung kulminasi antara langit dan bumi yang merupakan pencapaian sempurna di ketinggian terbang seekor merpati.

Demikian penjelasan Iman Budhi Santosa tentang Metiyem, pada momentum penyerahan Ijazah Maiyah dari Komunitas Maiyah kepada Umbu Landu Paranggi, tanggal 5 Agustus 2019 di Umah Wisanggeni, Batu Bulan, Gianyar, Bali, sebagaimana dikutip dan dipublikasikan di laman caknun.com tanggal 6 Agustus 2019.

//

Pertama kali saya mengenal kata Metiyem adalah ketika saya menerima kiriman buku dari Rumah Budaya EAN Yogyakarta, tahun 2021 lalu. Buku itu berjudul Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi.

Memang tidak mudah mendapatkan buku itu. Konon katanya buku itu dicetak terbatas dan tidak untuk dijual secara luas. Ini sebagaimana juga ditulis pada laman caknun.com tanggal 6 Agustus 2019:

Buku “Metiyem” ini memang tidak diperjualbelikan, Pak Iman menegaskan bahwa buku tersebut tidak ternilai harganya, maka hanya Umbu yang kemudian menentukan kepada siapa buku-buku tersebut akan diberikan. Mbah Nun semalam juga mempersilakan kepada jamaah yang hadir di Masuisani untuk naik ke panggung jika berminat memiliki buku tersebut, kemudian menyampaikan alasannya mengapa ia layak mendapat buku tersebut, dan Umbu sendiri yang kemudian menilai apakah ia memang layak mendapatkan buku tersebut.

Namun beberapa waktu setelah kematian Umbu Landu Paranggi (6 April 2021), kira-kira pertengahan tahun 2021, berkat komunikasi sastrawan Fini Marjan – sahabat saya di Tangerang, dengan pihak Rumah Budaya EAN selaku penerbit, akhirnya saya pun bisa mendapatkan buku itu. Memang ketika itu saya sedang mencari buku tentang Umbu.

Pada bagian epilog dalam buku ini, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menggambarkan Umbu Landu Paranggi sebagai sosok Metiyem. Cak Nun menulis:

Ketika para pecinta burung-burung Merpati memperlombakan ratusan makhluk-makhluk indah itu dengan menerbangkannya ke angkasa, semua pengagum keindahan ciptaan Tuhan berdebar-debar menyaksikannya dengan menengadah ke langit.

Rentang waktu yang mengalir mencatat urutan kelompok-kelompok Merpati yang turun dari angkasa. Yang paling duluan turun adalah rombongan merpati yang kalah. Rombongan demi rombongan bergiliran turun. Yang mereka penasaran menunggu adalah sesudah rentang waktu yang lama, Merpati mana yang paling akhir turun dari angkasa.

Ketika semua menyangka sudah tak ada lagi Merpati yang mengembara di angkasa – tiba-tiba dari balik awan tinggi, muncul Merpati, menukik, menembus mega, kemudian meluncur turun menghampiri pecintanya di antara ratusan orang lainnya.

Itulah Metiyem. Itulah makhluk yang kita sebut Umbu, yang kesejatiannya baru terlihat di ujung waktu. Itulah Umbu Metiyem, yang hidup di balik gumpalan-gumpalan awan.

Sementara kita adalah anak didik empat abad peradaban yang hanya melatih mata jasad untuk hanya mampu melihat yang wadag. Kita yang membusungkan dada di dalam keangkuhan peradaban materialisme, tidak tahu bahwa Umbu tersenyum menyaksikan kita dari balik lapisan mega-mega. Sedangkan kita tak mampu melihatnya.

Apa yang ditulis Cak Nun pada epilog itu saya temukan “penjelasan lanjutan” atau “penegasan”-nya pada laman caknun.com tanggal 6 Agustus 2019. Tiga kutipan berikut, bagi saya merupakan “penjelasan lanjutan” atau “penegasan” Cak Nun terkait Umbu sebagai Metiyem.

“Mas Umbu ini seorang sufi, namun tidak pernah merasa dirinya sebagai seorang sufi”, Mbah Nun menceritakan pergaulannya dengan Umbu. Umbu bukan hanya nyentrik, unik, tapi juga istimewa. Ketika orang-orang mengejar popularitas, Umbu memilih untuk lari dari popularitas. Ketika orang-orang berjuang untuk menjadi orang kaya, Umbu justru meninggalkan kekayaannya di tanah kelahirannya.

“Hidup saya belajar dari Umbu. Saya tidak ingin menjadi apa-apa dan tidak boleh ingin menjadi apa-apa. Saya hanya melakukan apa yang Tuhan suruh kepada saya”, ungkap Mbah Nun. Dan Ijazah Maiyah ini adalah dalam rangka memberi penghormatan kepada orang yang setia kepada dirinya sendiri, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan kepada dirinya. Umbu mengasuh anak-anak muda untuk menjiwai sastra, entah kelak anak-anak yang ia asuh menjadi apa, tetapi jiwa sastra sudah tumbuh dalam diri mereka. Dan, ibarat petani, Umbu telah menanam benih di banyak ladang, yang ketika benih-benih itu tumbuh, kemudian berbuah, tidak sedikitpun Umbu menikmati hasil panen. Umbu cukup bahagia melihat tanaman-tanaman yang ia jaga tumbuh subur.

Pak Iman Budhi Santosa kemudian menceritakan sedikit tentang buku “Metiyem”. Buku yang disusun oleh anak didik Umbu Landu Paranggi di Malioboro, yang disusun sejak tahun 2017 lalu. Dijelaskan oleh Pak Iman bahwa judul Metiyem ini diambil dari bahasa Bali kuno, … dst. Inilah gambaran sosok Umbu Landu Paranggi, melalui buku ini, Umbu dihormati lebih dari sekadar seorang guru, mentor, Bapak. Umbu mengasuh, mengasah dan mengasih anak-anak muda untuk tumbuh, melalui sastra, Umbu mengantarkan mereka, menemani mereka menemukan jati dirinya. Menjadi dirinya sendiri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan kepada mereka.

//

Rasanya sangat beralasan, sebuah buku dipersembahkan secara khusus untuk Umbu Landu Paranggi. Dedikasinya yang luar biasa pada dunia sastra baik selama di Yogyakarta maupun di Bali, menjadi alasan utama di balik itu.

Sangat beralasan pula Umbu diibaratkan sebagai Metiyem. Jejak Umbu sebagaimana diwartakan di berbagai literatur, sudah sangat cukup menggambarkan sosok yang satu ini. Berkat tangan dinginnya, lahir begitu banyak nama di kancah nasional baik sebagai penulis, maupun sebagai manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Sekalipun demikian, Umbu sendiri memilih untuk tidak menonjolkan dirinya sendiri.

Beberapa fase kehidupan Umbu, dengan sangat gamblang memberi penegasan terkait hal itu. Ini sebagaimana kisah-kisah yang dihadirkan dalam buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi, juga video-video yang beredar di berbagai akun youtube tentang sosok Umbu.

Satu di antaranya adalah ketika di tahun 1973 – sebagaimana dikisahkan Cak Nun, puluhan puisinya akan dimuat oleh majalah Horison. Ketika itu majalah Horison menjadi salah satu majalah nasional yang menjadi barometer sastra Indonesia. Semua penulis tentu ingin agar karyanya lolos dan dimuat di majalah Horison. Namun apa yang dilakukan Umbu?

Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sediri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.

Demikian ditulis Cak Nun dalam buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi. Kisah yang sama kerap disampaikan Cak Nun ketika berbicara mengenai sosok gurunya itu, sebagaimana termuat dalam beberapa video di beberapa akun youtube.

Hal lain yang menegaskan sosok Umbu sebagai Metiyem adalah kenyataan bahwa sampai dengan menutup matanya pada tanggal 6 April 2021, Umbu menolak untuk menerbitkan satu buku pun. Karya-karya terutama puisi hanya tersebar di berbagai media, juga buku antologi. Itu pun oleh sebagian referensi dikatakan bahwa atas inisiatif murid-muridnya.

Hal ini pernah ditanyakan secara langsung oleh Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas yang juga pernah berguru pada Umbu ketika di Bali. Putu Fajar Arcana kemudian menuliskan pengalamannya itu dalam buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi.

Berikut saya sajikan kutipan percakapan itu – dengan menambahkan keterangan PFA; Putu Fajar Arcana dan ULP; Umbu Landu Paranggi. Sengaja saya kutip secara utuh agar memberi gambaran yang utuh pula mengenai pilihan dan keyakinan seorang Umbu Landu Paranggi.

PFA: Anda dikenal sebagai pelopor dalam perkembangan sastra, sampai-sampai jarang yang mengenal karya Anda. Kapan bikin buku?

ULP: Ah itu biarkan saja orang lain. Tugas saya sejak di Yogya sampai Bali selalu bikin taman. Taman kreativitas untuk menemukan orang-orang yang mencintai hidup.

PFA: Anda tidak risau dalam masa kepenyairan 50 tahun lebih belum juga memiliki sebuah antologi?

ULP: Sudah saya katakan, itu tugas orang lain. Tugas saya ya begini saja, jalani kehidupan sebagai pencinta sunyi. Gede Prama pernah menulis, sepi yang mengilhami, ketika dia membahas soal nyepi di Bali. Itu rumusan yang luar biasa, sepi bukan berarti kosong, tetapi justru penuh geriap energi dalamnya.

PFA: Mengapa Anda tidak seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bakrie, Sapardi Djoko Damono, atau Rendra saja dalam menekuni dunia kepenyairan?

ULP: Saya Cuma menjalankan apa yang sudah dituliskan langit.

PFA: Maksudnya?

ULP: Semua punya peran masing-masing. Kalau semua seperti Chairil atau Sutardji, mungkin dunia kepenyairan dan kebahasaan kita tumbuh lamban. Berbahasa Indonesia bukan sesuatu yang mudah bagi sekalangan orang Jawa dan Bali dan orang-orang yang bukan Melayu. Karena itulah, Sumpah Pemuda itu puisi mantra. Ia ibarat amarah suci sebuah angkatan… 17 tahun kemudian terbukti terjadi proklamasi.  

Umbu rupanya benar-benar menyadari ruang kosong yang mungkin saja ketika itu dilihatnya dalam jagad sastra Indonesia. Ruang kosong itu ialah “taman kreativitas” sebagaimana disebutkannya, dan dia memilih untuk menjadi pembuat taman itu.

Pada sisi yang sama, Umbu seakan menunaikan nazarnya sendiri dalam “Lagu Tujuh Patah Kata” (Referensi lain ditulis dengan judul; “Doa”): sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku risau. Umbu memilih berada di balik layar panggung sastra Indonesia. Atau pun keyakinannya dalam “Melodia”:

rasa-saranya padalah dengan dunia sendiri, manis, bahagia, sederhana

di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa

kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja, harapan impian

yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan

//

Itulah Umbu. Itulah sang Metiyem. Dia memilih untuk bekerja dalam diam dengan cinta, kesetiaan, dan dengan keyakinan serta caranya sendiri. Dia memilih untuk membuat taman bagi tumbuh, mekar, dan mewanginya bunga-bunga. Sementara dia sendiri tidak pernah memetiknya.

Apakah kita juga harus seperti Umbu? Tentu tidak. Namun setidaknya lewat pilihannya itu, Umbu telah memberi pesan berarti bagi semua orang untuk melihat kehidupan secara utuh dan mendalam. Pilihan seperti ini pun memiliki konsekuensi untuk tidak menaruh kepentingan atau pun kejayaan diri sendiri di atas segalanya.

Ini sebagaimana dikatakan oleh Umbu sendiri dalam sebuah wawancara yang ditayangkan akun youtube Harian Kompas, tanggal 6 April 2021, hari ketika Umbu meninggal dunia:

Saya kagum sama Sudriman. Jadi saya ini menggunakan teknik gerilyanya dalam mencari-cari orang, saya pakai itu. Makanya harus sembunyi. Jangan terlalu ini. Makanya saya peringatkan Em (Emha Ainun Najib/Cak Nun), Em, jangan sekali-sekali kamu ngomong tentang jasa dan menggawat-gawatkan peran. Seniman kan seakan-akan dunia ini miliknya sendiri. Itu jangan.

Tidak hanya untuk “Em” dan para seniman. Pesan yang sama, hemat saya juga dialamatkan kepada siapa saja yang mau menjalani dan mencintai kehidupan sebagai pemenang sejati. Mereka yang mau berpeluh untuk menjadi Metiyem – sang pemenang, mereka yang mau mencapai puncak kesempurnaannya. Mereka yang benar-benar mau menjadi manusia. (*)

Selasa, 24 Mei 2022

UMBU LANDU PARANGGI DAN “KEBENARAN DALAM SASTRA” YANG DIHIDUPINYA

 


Oleh Robertus Fahik

*Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di majalah Loti Basastra (Kantor Bahasa NTT) Edisi Desember 2021 dan masuk dalam buku antologi Reuni Alumni Munsi III (Sibera Bandung, 2022)

“Singkatnya, saya menggarisbawahi apa yang dikemukakan Sir Isaac Newton, ‘Siapakah saya di dunia ini?’. Kadang-kadang saya melihat diri saya seperti anak kecil yang bermain di pantai, dan tiba-tiba melihat kerang yang sangat jauh berbeda dengan yang pernah saya lihat di hari sebelumnya. Sementara, di depan terhampar lautan kebenaran yang belum tersingkap. Bagi saya, inilah yang dimaknai dalam sastra. Sekarang kita cenderung memilah kebenaran dalam hitam dan putih saja, sehingga absolut. Kebenaran dalam sastra sebenarnya kaya warna dan nuansa”.

Demikian diungkapkan legenda sastra Indonesia, Umbu Landu Paranggi, menjawab pertanyaan wartawan – terkait moralitas atau nilai-nilai esensial kehidupan yang ia yakini dalam sastra – dalam sebuah wawancara khusus yang dimuat dalam rubrik “Insan Wawasan” majalah Balairung No.30/Th/XIV/1999.   

Dalam wawancara yang diunggah kembali di balairungpress.com tanggal 31 Oktober 2018 tersebut, Umbu Landu Paranggi menegaskan bahwa “kebenaran dalam sastra” itu patut diperjuangkan, “Toh, fungsinya adalah untuk memperkaya kehidupan, sebagaimana yang dinyatakan penyair Subagyo Sastrowardoyo, ‘beri kami satu puisi daripada seribu rumus penuh janji’. Sangat tepat apa yang dikemukakan oleh mantan Rektor UGM, Prof. Koesnadi Hardjasoemantri tentang upaya pendidikan, kapasitas intelektual dengan apresiasi seni mesti berjalan seimbang.”

Umbu melanjutkan, “Pendidikan kita selama ini memang mengarahkan kita menjadi ‘Habibie-Habibie’. Itu wajar dan normal, tetapi perjalanan hidup sebagai manusia kan tidak selalu begitu. Prestasi ilmiah harus setara dengan prestasi insaniah. Tak cukup kita ke bulan, ke langit, tanpa ditopang oleh kekayaan batin. Semua yang rasional itu ada batasnya. Bekal semacam ini wajib dimiliki oleh seorang pemimpin”.

“Kebenaran dalam Sastra”, ternyata tidak saja narasi hampa yang keluar dari mulutnya dalam wawancara tersebut. Jauh sebelum wawancara itu dilakukan, Umbu Landu Paranggi telah memulai petualangannya menghidupi kebenaran tersebut. Yogyakarta serupa titik api yang membakar semangat si “kuda putih” dari savana Sumba untuk “jatuh hati” pada kebenaran yang ia yakini itu. “Pokoknya saya jatuh hati rata dengan tanah pada Jogja,” kata Umbu dalam wawancara yang sama.

Selanjutnya sepanjang hidup dan karyanya yang penuh misteri, Umbu Landu Paranggi memegang teguh kebenaran itu. Bahkan pada titik tertentu, setiap orang boleh berpikir bahwa jalan hidup seorang Umbu Landu Paranggi sesungguhnya adalah siluet “kebenaran dalam sastra” itu sendiri. Jejak tapak kakinya di Yogyakarta dan Bali dengan cukup gamblang menegaskan itu.

 

Yogyakarta, SMA Bopkri 1, dan PSK Malioboro

Umbu Landu Paranggi lahir di Kananggar, Sumba Timur, NTT pada 10 Agustus 1943. Sekolah Rakyat dan Sekolah Menengah Pertama ia tempuh di tanah kelahirannya sebelum memulai petualangannya ke Yogyakarta pada 1960. Impian awalnya adalah untuk belajar di SMA Taman Siswa tetapi karena terlambat mendaftar akhirnya ia bersekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta.

Meski mimpi untuk mengenyam pendidikan di Taman Siswa kandas, namun Umbu tetap bersyukur. Di SMA Bopkri ia bertemu dengan guru bahasa Inggris bernama Lasiyah Soetanto. Umbu menyebutnya "guru yang tidak menggurui". Umbu dikenal sebagai anak yang pendiam dan sering menulis puisi. Suatu hari, Lasiyah, yang menjabat Menteri Peranan Wanita Pertama RI itu meminta Umbu membacakan puisinya di depan kelas. "Dan Ibu Lasiyah selalu bilang, nanti saja kalau puisinya sudah dimuat di koran kita kritik ramai-ramai,” tutur Umbu dikutip dari Harian Kompas (18/11/2012). 

Usai lulus dari SMA Bopkri 1, Umbu melanjutkan pendidikan di Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan Ilmu Sosiatri dan di Universitas Janabadra Yogyakarta jurusan Sosiologi. Dan benih kecintaannya akan puisi yang didapat dari guru bahasa Inggris-nya itu pun terus ia tumbuhkan.

Namanya pun mulai dikenal di kalangan sastrawan tanah air ketika karyanya dimuat dalam rubrik “Fajar Menyingsing” majalah Mimbar Indonesia pada tahun 1960. Di sini ia berada bersama sederet nama besar dalam dunia kepenulisan dan sastra yang menjadi awak redaksinya antara lain, Sudjatmoko, Rosihan Anwar, Rivai Apin, H.B. Jassin, A.D. Donggo, dan A.B. Loebis.

Sejak saat itu, Umbu terus meningkatkan kualitas menulisnya hingga akhirnya puisi-puisi Umbu pun menembus "Ruang Budaya" pada tahun 1962. Selanjutnya, sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, Gajah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Gelanggang, dan Pelopor Yogya.

Umbu kemudian menjadi pengasuh rubrik “Persada” dan “Sabana” mingguan Pelopor Yogya selama 1969 – 1975. Dalam kurun waktu yang sama, Umbu pun berperan dalam menghadirkan atmosfer sastra di Yogyakarta terutama di kalangan generasi muda dengan ikut mendirikan Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas yang kelak melahirkan tokoh-tokoh nasional. Peran Umbu sedemikian strategis dalam PSK hingga ia dijuluki “Presiden Malioboro”.

Ketika Umbu Hijrah dari Yogya ke Bali ia memberikan surat kuasa atau mandat penuh kepada Ragil Suwarna Pragolapati untuk mengelola PSK, tetapi mandat itu dilakoni dengan ogah-ogahan. Akhirya PSK dikelola Linus Suryadi 1975 – 1976 dan digantikan Teguh Ranusastra Asmara 1976 – 1977 hingga PSK lenyap karena Pelopor Yogya gulung tikar. Beberapa kali PSK muncul pada tahun 1978, 1979 di tangan Teguh Ranusastra Asmara hingga sirna tahun 1980.

Sekalipun PSK akhirnya sirna pada tahun 1980 – usai Umbu hijrah ke Bali, sebagaimana dilukiskan Ragil Suwarna Pragolapati di atas, benih-benih “kebenaran dalam sastra” yang ditabur, disemaikan, dipupuki, dan dirawat Umbu Landu Paranggi dengan segenap keutuhan jiwa-raganya dalam dirinya dan dalam diri anggota PSK, rasanya tetap hidup. Sederet nama besar dalam kepenulisan dan sastra Indonesia seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Yudistira Ardhi Nugraha, bahkan Agus Dermawan T., dan Ebiet G. Ade, membuktikan hal itu. Dan pada sisi yang lain, Umbu, di tempat petualangan barunya di Bali, masih dengan setia memeluk “kebenaran dalam sastra” itu.

 

Bali, Nyepi dan “InTenSBeh”

Tahun 1975 Umbu memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta. Sejumlah sumber bahkan menyebut tahun itu Umbu menghilang secara misterius. Kemudian diketahui bahwa Umbu ada di Denpasar, Bali. Melansir Harian Kompas, Rabu, 28 Desember 1994, setelah meninggalkan Yogyakarta, Umbu pun memutuskan untuk bermukim di Bali pada 1979, setelah sebelumnya sempat kembali ke kampung halamannya di Sumba, NTT.

Perihal pilihannya untuk hijrah ke Bali ini, Umbu sendiri memang tidak pernah menjelaskannya secara terperinci bila merujuk pada sejumlah referensi tentangnya. Namun dalam wawancara dengan majalah Balairung, kita bisa menangkap sedikit pesan bahwa keputusannya untuk bermukim di Bali tidak terlepas dari proses kreatifnya baik dalam menulis puisi maupun dalam misinya menebar benih “kebenaran dalam sastra” yang ia yakini.

Bila bicara proses kreatif, Umbu merujuk pada perayaan keagamaan Nyepi sebagai suatu konsep yang baginya sangat dahsyat. “Semacam menyepi, menarik diri, namun sekaligus menyerahkan diri pada permenungan atas apa yang kita rasakan,” ungkap Umbu. Ia juga mengatakan bahwa kondisi hutan dan air melimpah mempengaruhi proses kreatifnya. “Kalau sedang sakit, saya pergi berendam di Tabanan dengan air yang meruah,” terangnya, “Serasa merengkuh Denpasar.”

“Ada saat-saat tertentu bagi seorang seniman dimana dia harus mampu ‘merebut dirinya’ dan meninggalkan kegaduhan di luar. Semacam memberi jarak dan semakin memperdalam refleksi,” lanjut Umbu dalam wawancara tersebut.

Sekalipun demikian, Umbu tidak pernah menyepi untuk dirinya sendiri. Di Bali, ia tetap melanjutkan apa yang telah dimulainya di Yogyakarta bersama PSK. Jika di Yogyakarta Umbu mengasuh rubrik “Persada” dan “Sabana” mingguan Pelopor Yogya, di Bali ia mengasuh rubrik “Apresiasi” Bali Post. Jika di Yogyakarta Umbu berperan aktif di PSK, di Jalan Bedahulu XV/28 Denpasar, Bali ia menjadi sosok penting di sebuah komunitas penyair yang ia namakan “Inspirasi Tendangan Sudut Bedahulu”, disingkat “InTenSBeh”.   

Menurut Wajan Jengki Sunarta (2019), selama di Bali, Umbu tidak saja bergiat di “InTenSBeh”.  Umbu juga menggairahkan kehidupan bersastra di sejumlah pelosok desa di Bali, seperti Desa Marga di Tabanan. Peran Umbu di Bali juga nampak dalam berbagai kegiatan apresiasi sastra sebagaimana ditulis Nuryana Asmaudi SA (2019) yakni, di Yayasan Yasakerti Amlapura (Karangasem), SMAN 1 Dawan, di pantai Goa Lawa, di depan Pura Tamansari Semarapura (Klungkung), di salah satu Bale Banjar di Sukawati (Gianyar), di Taman Makam Pahlawan Margarana, di rumah Pak Agus Darmita Wirawan, di SMPN 1 Marga, di halaman SMP TP 45 Marga, di aula SMAN 1 Tabanan, di Museum Subak (Tabanan), di Art Centre 1 Denpasar, dan tempat lainnya. Nuryana Asmaudi SA melanjutkan bahwa terbentuknya Teater Teater Jinang Smasta SMAN 1 Tabanan juga berkat dukungan Umbu, dan Umbu jugalah yang memprakarsai Lomba Cipta Puisi Pelajar Nasional (1999) yang diadakan oleh teater tersebut.

Dan seperti halnya di Yogyakarta, berkat sentuhan tangan dinginnya, sejumlah nama penulis pun lahir di Bali. Mereka di antaranya Wayan Jengki Sunarta, Cok Sawitri, Warih Wisatnana, Oka Rusmini, I Nyoman Wirata, Putu Fajar Arcana, dan masih banyak yang lainnya.

Dilansir National Geographic Indonesia, Selasa (6/4/2021), Wayan Jengki Sunarta mengatakan, Umbu adalah seorang pendidik, motivator, dan pencari bakat. "Dia seorang guru, tapi tidak menggurui," kata Jengki.

"Dia mengajar dengan caranya sendiri, dengan caranya yang unik. Dengan bahasa kode, bahasa simbol. Dia mengajari kita bukan cuma soal memahami sastra, tapi juga bagaimana memahami kehidupan yang lebih luas. Dia nggak pernah ngajari kita teknik puisi secara teori. Tapi mengajarkan kita bersentuhan langsung pada kehidupan yang lebih luas, yang bagi dia adalah puisi alam raya," ujar Jengki.

 

Pisungsung Adiluhung untuk Umbu

Pisungsung adalah kata bahasa Sansekerta yang memiliki arti; hadiah, pemberian, persembahan. Sementara Adiluhung berarti; tinggi mutunya. Atas prakarsa Bpk. Tjie Jehnsen dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), tahun 2019 terbitlah sebuah buku berjudul “Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”. Buku ini diluncurkan pada 31 Juli 2019 di Rumah Budaya EAN, Kadipiro, Yogyakarta. Berlanjut dipersembahkan kepada Umbu Landu Paranggi, 5 Agustus 2019 di Umah Wisanggeni, Batu Bulan, Gianyar, Bali, menyertai penyerahan Ijazah Maiyah dari Komunitas Maiyah kepada sosok yang sama.

Iman Budhi Santosa (2019) menguraikan, buku ini berisi tulisan dari 52 sastrawan yang dipresentasikan sebagai wujud kecil dari ucapan matur nuwun atau matur suksma kepada Saudara Tua Umbu Landu Paranggi yang telah memberikan bertumpuk momentum bersastra serta ajaran mengenai kearifan hidup kepada kita semua. Karena sampai usia 76 tahun (2019) ia tak pernah mundur setapak pun dari jalan hidup yang diyakini dan ditempuhnya. Sebagai orang tua, saudara, guru, motivator, sekaligus sahabat setia yang senantiasa muncul di setiap penjuru dan siap membantu siapa pun yang mulai menapakkan kaki ke dunia sastra. Mulai dari sejarah Persada Studi Klub (PSK) di Koran Minggu Pelopor Yogya hingga Bali Pos, ULP tetap mengamalkan semangat: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Terbitnya buku ini tentu tidak saja merupakan sebuah apresiasi para penulis kepada guru mereka; Umbu, namun sekaligus sebuah pengakuan akan peran besar sosok yang satu ini dalam pertumbuhan sastra Indonesia dan kepenulisan pada umumnya.

Pengakuan akan peran besar Umbu dalam dunia sastra Indonesia tidak sebatas pada apa yang dilakukan oleh murid-muridnya lewat penerbitan buku itu. Oleh pemerintah, Umbu Landu Paranggi merupakan tokoh sastra penerima Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra. Penghargaan tersebut diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019.

Sebelumnya pada tahun 2018, Umbu juga menerima penghargaan dari dunia kampus. Tahun itu Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) memberikan anugerah budaya kepada tiga tokoh. Anugerah diberikan sebagai apresiasi kepada praktisi budaya atau seniman yang dinilai telah memberikan sumbangan istimewa terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan di Indonesia. Pemberian Anugerah Budaya digelar di Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (3/5/2018).

Penerima Anugerah Budaya 2018 adalah Iman Rahman Anggawiria Kusumah atau Kimung dalam Kategori Seniman Tradisi, Umbu Wulang Landu Paranggi dalam Kategori Seniman Modern, dan Eddie Marzuki Nalapraya dalam Kategori Pembina Seni.

Jauh sebelumnya, pada tahun 1999 sebuah prasasti bahkan didirikan di Taman Tirtagangga, Bali. Foto prasasti tersebut dimuat di halaman akhir buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (2019) dengan keterangan; Prasasti Umu Landu Paranggi yang berada di Taman Tirtagangga, Bali. Dalam prasasti itu ada tulisan; RANGTUAKARANG YANG BERTAHTA MAHLIGAI NYAWAKU, UMBU LANDU PARANGGI. Di bawahnya tertulis; PRASASTI PERGANTIAN MILLENIUM Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) bekerja sama dengan Bali Imperial Hotel dan Taman Air Tirtagangga 9 – 9 – ’99.

Barangkali masih terdapat sejumlah penghargaan yang diterima Umbu. Namun beberapa kisah ini menegaskan peran Umbu yang tak bisa lagi dibantah dalam dunia sastra Indonesia. Dan yang pasti, prasasti penghargaan untuk Umbu, telah terpatri dalam dada setiap anak bangsa yang pernah mengalami sentuhan Umbu baik secara langsung maupun tidak langsung melalui karya dan kisah-kisah tentang Umbu.  

 

Memungut Lembar “Kebenaran dalam Sastra”

Selasa (6/4/2021) dini hari pukul pukul 03.55 Wita, di Rumah Sakit Bali Mandara Denpasar, Umbu Landu Paranggi menghembuskan nafas terakhirnya usai menjalani perawatan sejak Sabtu (3/4/2021) karena terserang Covid-19. Pengembaraan sang “kuda putih” Sumba seakan berakhir di sini. Namun tentu tidaklah demikian halnya dengan “kebenaran dalam sastra” yang pernah ia hidupi sejak di Yogyakarta hingga di Bali. Kebenaran itu tetap hidup dalam diri murid-muridnya dan dalam diri siapa saja yang ingin memasuki dunia sastra dan seni.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umbu sendiri dalam wawancara dengan majalah Balairing, “Masukilah dunia sastra dan seni sebagai orang yang bebas dan mau membebaskan diri, tanpa pretensi apa-apa. Ada sesuatu yang menawarkan kepenuhan di dalam sastra dan seni. Sesungguhnya, kalau orang terus takjub atas kehidupan yang dijalaninya, seni dan sastra tak akan pernah habis digarap. Proses pergumulan dalam menyimak suara kehidupan memang tak ada habisnya”.

Terima kasih Umbu, terima kasih Sang Guru. Kau telah benar-benar telah “pulang ke desa” dan “kembali ke huma berhati”. Namun lembaran karya dan kisah tentangmu masih berserakan di padang-padang terbuka; lika-liku kehidupan kami, menawarkan “kebenaran dalam sastra” yang telah kau hidupi. Doakan agar kami mampu memungutnya meski selembar.

 

Daftar Pustaka

Imam Budhi Santosa, dkk. 2019. Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi. Yogyakarta: Rumah Budaya EAN & Azyan Mitra Media

https://www.beritasatu.com/nasional/490920/ui-berikan-penghargaan-anugerah-budaya-kepada-tiga-tokoh

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Umbu_Landu_Paranggi

https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/06/101724165/meninggal-dunia-berikut-sosok-umbu-landu-paranggi-presiden-malioboro?page=all

https://www.kompas.com/hype/read/2021/04/06/091841066/profil-umbu-landu-paranggi-penyair-yang-dijuluki-presiden-malioboro.

https://nationalgeographic.grid.id/read/132636119/obituari-umbu-landu-paranggi-presiden-malioboro-hingga-mahaguru-puisi?page=all

https://historia.id/kultur/articles/berpulangnya-presiden-malioboro-umbu-landu-paranggi-vZVKQ/page/1

https://historia.id/kultur/articles/umbu-landu-paranggi-dan-yori-antar-raih-penghargaan-akademi-jakarta-2019-P7eR2/page/2

https://rumahpusbin.kemdikbud.go.id/penghargaan/profil_detail.php?id=3

https://fib.ui.ac.id/penghargaan-budaya-fib-ui/

https://www.caknun.com/2019/metiyem-pisungsung-adiluhung-untuk-umbu-landu-paranggi/

 

Sabtu, 07 Agustus 2021

Pesan Kebinekaan dari Suku Boti

Oleh Robertus Fahik

Seorang gadis Suku Boti memintal benang dari kapas. Foto: Robertus Fahik

 

Budaya tengah-tengah kita

Budaya daerah sebagai warga Suku Boti

Indonesia ekonomi daerah Boti

Tetap, tetap mantap dua puluh tahun

Hidup, hidup bermasyarakat, berbudaya

 

Dipimpin Mama Molo Benu – adik kandung Raja Suku Boti, Usif Namah Benu, lagu singkat itu dinyanyikan oleh beberapa gadis dan perempuan paruh baya, Rabu (2/12/2020). Pagi itu kami hendak pamit usai menjalankan tugas pengambilan materi – foto, video, dan wawancara, selama tiga hari untuk sebuah proyek dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Nusa Tenggara Timur (NTT).

 

Saya sangat bersyukur dilibatkan dalam pengalaman berharga itu. Keunikan Suku Boti yang tersiar di berbagai literatur khususnya dunia maya akhirnya boleh saya rengkuh sendiri di tempat asalnya. Dua malam menginap di Kampung Boti, bertemu warga Suku Boti, dan mewancarai langsung sang raja, menjadi pengalaman tak terlupakan yang bakal terus mengingatkanku akan uniknya kehidupan, akan indahnya keberagaman.

Kaum perempuan Suku Boti membersihkan beras dari hasil panen. Foto: Robertus Fahik

 

Suku Boti merupakan suku penghuni Kampung Boti yang terletak di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Hingga akhir tahun 2020, Kampung Adat Boti dihuni 76 kepala keluarga (KK) dengan total jumlah penduduk 319 jiwa. Mereka adalah keturunan dari suku asli pulau Timor yakni, Atoin Meto yang hingga kini masih mempertahankan warisan tradisi leluhurnya.

 

Dipimpin seorang raja, masih memegang teguh aliran kepercayaan leluhur yakni Halaika, menggantungkan hidup pada bercocok tanam dan beternak serta menenun – menggunakan benang yang dipintal dari kapas dengan tangan sendiri, dengan pewarna alamiah, memasak menggunakan kayu api, hidup tanpa aliran listrik dan sarana telekomonunikasi seperti televisi (TV) dan telepon genggam (HP), setia mengenakan kain tanpa alas kaki dalam kesehariannya, rambut kaum lelaki yang dibiarkan panjang dan disanggul ke atas, sistem penanggalan 9 hari dalam seminggu, keteguhan untuk menolak segala jenis bantuan dari pihak luar termasuk bantuan pemerintah, menjadikan Suku Boti sebagai salah satu suku terunik yang masih dimiliki NTT dan Indonesia.

Raja Suku Boti, Usif Namah Benu (duduk di tengah) pose bersama sejumlah warga Suku Boti. Foto: Robertus Fahik


Tanpa menutup gerbang Sonaf – istana raja, terhadap kunjungan dari luar, Raja Suku Boti, Usif Namah Benu bersama warganya tetap memegang teguh warisan leluhurnya sebagai bagian dari kebinekaan di negeri ini. “Jika ada perbedaan semacam ini kan ada nilai tambahnya, tetapi jika semua sama maka tidak mungkin kita mau pergi untuk melihatnya, tetapi karena perbedaan itulah yang membuat orang lain datang untuk saling mempelajari. Maka itu ada yang keluar masuk ke sini,” ungkapnya dalam bahasa Dawan – bahasa daerah setempat.

 

Berkesempatan menghirup udara di Kampung Boti, merekam aneka kisah dan pandangan hidup mereka, menjadikanku semakin menyadari betapa indahnya negeriku Indonesia, negeri seribu warna, negeri sejuta rupa. Boti barangkali hanyalah sekeping keindahan negeriku, namun telah menorehkan pesan kebinekaan. 

Bocah lelaki Suku Boti. Foto: Robertus Fahik


Pesan itulah yang kubawa pulang. Di ujung jalan, suara Mama Molo Benu bersama sejumlah gadis dan perempuan paruh baya itu masih terngiang; Budaya tengah-tengah kita. Budaya daerah sebagai warga Suku Boti. Indonesia ekonomi daerah Boti. Tetap, tetap mantap dua puluh tahun. Hidup, hidup bermasyarakat, berbudaya. Dan tatapan bening bocah lelaki di bawah kibaran sang merah putih di tengah kampung itu seakan melengkapi pesan kebinekaan dari Suku Boti.




Selasa, 20 April 2021

DUA KALI AHMAD YANI BERSAMA AYAHKU

 


R. Fahik

 

I

“Hidup pak Yani!”. Masih ingatkah kau ayah, pekikan singkat itu? Seperti yang pernah kau ceritakan. Iya, “Hidup pak Yani!”.

Kata-kata itu menggema di pelataran Seminari Tinggi Ledalero. Pimpinan biara, Pastor Jozef Bouman SVD bersama ratusan frater menyambut kehadiran Letjen TNI Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi, 25 September 1965 sekitar pukul 11.30 Wita. Ketika itu sang jendral hadir bersama Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan yang menjabat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik, bersama rombongan berjumlah sekitar 20 orang.

Itu merupakan rangkaian dari kunjungan Jendral Yani ke wilayah Timur Indonesia dalam upaya memperkuat pancasila dan keutuhan bangsa. Memang ketika itu mulai muncul ancaman serius terutama dari PKI. Sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, Jendral Yani membangkitkan semangat warga bangsa dan meyakinkan semuanya bahwa Negara tidak tinggal diam.

“PKI tidak akan berkuasa di Indonesia sebelum melewati mayat Yani!”

Salah satu petikan kalimat yang masih segar dalam ingatanmu. Dengan lantang, suara yang tegas – menggelar, Jendral Yani menyampaikan itu dalam pidatonya (kuliah umum) sekitar 45 menit. Dan gemuruh tepukan tangan segera terdengar di ujung kalimat itu. Tentu dengan pekikan yang sama, “Hidup pak Yani!”.

Kau ceritakan juga, ayah. Selain jamuan makan siang, ketika itu sang jendral juga disuguhi beberapa lagu yang memang sudah dipersiapkan secara khusus. Salah satunya adalah “Halleluya” ciptaan George Frideric Handel yang menyita perhatian Jendral Yani hingga dirinya meminta untuk dinyanyikan sekali lagi. Lagu lainnya adalah “Rayuan Pulau Kelapa” yang ditulis oleh salah satu komposer terbaik bangsa, Ismail Marzuki yang mengiris hati sang jendral hingga ia menitikkan air mata. Bahkan hampir semua yang hadir saat itu. Entahlah. Air mata itu lambang kecintaan yang utuh akan bangsa ini? Isyarat kematian sang jendral? Ataukah kedua-duanya.

Dan benarlah. Sang jendral begitu mecintai bangsa ini. Lima hari usai kunjungan ke Ledalero, tepatnya tanggal 30 September 1965, Jendral Yani meregang nyawa di ujung peluru pasukan pimpinan Letkol Untung yang saat itu menjadi Komandan Batalyon I Tjakrabirawa dalam gerakan yang hingga kini dikenal dengan “G-30S PKI”. Malam itu Ahmad Yani pergi untuk selamanya bersama sejumlah perwira militer yang kemudian digelari Pahlawan Revolusi.

Padahal masih terekam jelas dalam ingatanmu kata-kata terakhir sebelum sang jendral meninggalkan Ledalero, “Nanti saya akan datang kembali pastor rektor”. Rupanya ia kembali dalam bentuk berita kematiannya dan menghimpunmu bersama ratusan frater di kapela itu. Berdoa bersama. Lalu, menaikan bendera setengah tiang.

“Hidup pak Yani!”. Masih ingatkah kau ayah, pekikan singkat itu? Pak Yani masih hidup, ayah. Setidaknya di dalam jiwa putramu ini. Cintanya mengalir, menyatu dalam air mata yang menetes ini, ketika kutuliskan kembali kisah ini.

 

II       

Pemilihan umum tahun 1977 menyimpan cerita tersendiri tentang ayahku. Ketika itu sebagai seorang guru muda – beberapa tahun usai meninggalkan biara, semangat cinta tanah air begitu menggeora di dadanya. Rupanya itu buah pertemuan dengan Jendral Yani di Ledalero. Bukan begitu ayah?

Namun pilihan ayah barangkali tidak begitu tepat. Ia terlibat aktif di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai yang ada saat itu selain PPP dan tentunya Golkar dengan kekuatannya yang begitu besar di bawah komando Soeharto. Orang-orang yang bergerak di luarnya, menjadi perhatian utama. Tentu termasuk ayahku.

Dan terjadilah. Hari itu ia dijemput oleh sejumlah tentara dan dibawa ke pusat kabupaten. Diintegorasi dengan berbagai pertanyaan terkait keterlibatannya di PDI. Arahnya jelas, “Saya diminta untuk harus henggkang dari PDI,” kisah ayah. Namun ceritanya tentu tidak sesederhana itu. Untuk bisa “bebas” – pulang ke rumah, ayahku harus berjuang semampunya untuk merangkai kata-kata yang bisa menyelamatkannya dalam situasi itu.

Hingga akhirnya ketika kata-kata dirasanya tak mampu mem-“bebas”-kannya” saat itu, ayah teringat akan sosok yang dikaguminya. Jendral Ahmad Yani. Segera ayah mengeluarkan foto bersama sang jendral dalam kunjungannya ke Ledalero.

Sejumlah tentara yang “mewawancarai” ayah terhentak. Sang jendral kini hadir di mata mereka. Dan seolah mengatakan, “Ini perintah. Bebaskan orang ini. Pulangkan dia ke rumahnya!”. Jendral Ahmad Yani menyelamatkan ayahku hari itu.

Foto hitam-putih itu melengkapi kisah pertemuan ayahku bersama Jendral Ahmad Yani tahun 1965 di Ledalero. Bagiku, keduanya – kisah pertemuan dan foto itu, menjadi salah satu warisan berharga yang ditinggalkan ayah usai kepergiannya 4 Mei 2019 lalu.

Ayah, sampaikan salam hormatku pada Pak Yani bersama rekan-rekannya yang gugur malam itu. Pak Yani tidak harus kembali lagi ke Ledalero. Ia tetap hidup setidaknya di dadaku. Ayah pun tak harus kembali ke rumah ini. Ayah tetap hidup. Setidaknya dalam kisah ini.    

 

-----------------------------

Robertus Fahik, lahir di Betun (Malaka, NTT), 5 Juni 1985. Menyelesaikan pendidikan terakhir pada program Magister Sains Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (2012). Menulis sejumlah karya sastra antara lain novel Badut Malaka (2011) dan buku puisi Senja Hitam dan Ayahku (2019). Terlibat dalam berbagai kegiatan sastra dan kepenulisan antara lain Temu Sastrawan NTT (2013, 2015) dan MUNSI III (2020). Saat ini bekerja sebagai wartawan (pemimpin redaksi) Cakrawala NTT. Kontak pribadi 0852-5336-8008 (WA).


*Dipublikasikan dalam buku "Ayahku Jagoanku" (Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta, 2021)

Rabu, 22 April 2020

Belajar dari “Sang Guru”

“SANG GURU” merupakan novel karya sastrawan Indonesia kelahiran Rote – NTT, Gerson Poyk (1931 – 2018). Dalam sejumlah referensi, novel yang terbit tahun 1972 ini tercatat sebagai buku ketiga Gerson Poyk. Sebelumnya sudah terbit Hari-Hari Pertama dan Matias Akankari. Sesuai judulnya, novel Sang Guru berkisah tentang kehidupan seorang guru dengan latar Ternate dan Manado.

Cerita bermula dengan perjalanan Ben, seorang guru SMP, dengan kapal laut menuju Ternate, tempat tugasnya yang baru. Sang Guru disertai ibunya dan Sofie, seorang guru SKP yang juga akan bertugas di Ternate. Sofie kemudian menjadi istri Ben. Awal hidup Ben di Ternate sangat menantang terutama dalam hal ekonomi. Untuk membeli beras, misalnya, terpaksa ia berutang kepada Pak Ismail, seorang pesuruh sekolah. Namun hal itu tidak menyebabkan semangat Ben menurun karena ia yakin “di mana-mana seseorang tidak akan terlalu mendapat kesulitan jika di sana ada sesama manusia”. Apalagi, Ben sudah terbiasa bertualang sehingga sebagai guru wawasannya luas. Ia pernah menjadi buruh kasar pengantar hewan yang diekspor ke Singapura dan Hongkong. Ben juga mampu mengajarkan mata pelajaran apa saja di sekolah. Ilmu Alam, Bahasa Inggris, semuanya bisa ia ajarkan. Bahkan ia mampu mengajar di sekolah yang sederajat dengan pendidikannya. Dikisahkan pula, pada masa sulit itu, Ben sempat menjadi tentara (terlibat dalam Permesta) dan tak pernah malu bekerja sebagai kuli pemarut kelapa (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).

Sedikit uraian di atas memang hanya serpihan dari keutuhan narasi dan gagasan yang dibangun Gerson Poyk dalam novel yang pernah meraih penghargaan SEA Write Award, sebuah penghargaan sastra tingkat ASEAN. Keutuhan narasi dan gagasan tersebut tentu bisa didapat dengan membaca Sang Guru dan ulasan-ulasan terhadapnya. Namun beberapa poin penting kiranya dapat dicatat sebagai sebuah pembelajaran berharga dari Sang Guru.

Pertama, novel Sang Guru ditulis berdasarkan pengalaman hidup Gerson Poyk ketika ia menjalani profesi sebagai seorang guru SMP dan SGA di Ternate tahun 1956 – 1958, setelah tamat dari SGA Surabaya. Ini bisa menjadi motivasi terutama bagi teman-teman guru bahwa pengalaman hidup bisa menjadi inspirasi utama untuk menghasilkan sebuah karya sastra.

Kedua, dalam wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende tahun 2015, ia mengisahkan bahwa novel Sang Guru ditulisnya selama ia berada di Amerika Serikat, mengikuti International Creative Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa tahun 1970 – 1971. Pengakuan ini menjadi titik penting dalam proses kreatif, bahwa sebuah karya dapat lahir di tengah kepadatan rutinitas sekali pun. Karena itu, masalah utama dalam menulis bukan pada keterbatasan waktu, namun ketakterbatasan niat dan kerja keras.

Ketiga, mengacu pada kisah dalam novel Sang Guru, dua hal dapat dikutip: (1) Cerita dalam novel ini memberikan gambaran tentang kesederhanaan seorang guru yang membuahkan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia rela menjadi guru walaupun hidup di gudang dengan gaji sedikit. Bahkan ia tidak mau dikatakan sebagai seorang pahlawan karena tujuan, kebahagiaan dan harapannya adalah ingin mendapatkan sesuap nasi untuk memberi makan pada ibunya yang sudah tua (finudiasfa.blogspot.com); (2) Sosok Ben, guru dalam novel ini berbeda dengan sikap guru yang pada umumnya fanatik dengan profesinya yang halus sehingga pantang bekerja kasar. Ben dapat selalu bersikap optimistis dalam menghadapi kehidupannya. Dengan kepandaiannya ia mau dan mampu beralih pekerjaan dari halus sampai kasar jika situasi menuntut. Bahwa semua pekerjaan adalah baik telah dibuktikan oleh Ben dengan menjadi buruh, guru SMP dan SMA, tentara, dan pemarut kelapa. Oleh sebab itu, guru hendaknya bersedia melakukan pekerjaan apa saja dan kapan saja tanpa dibelenggu oleh status dan gengsi. Sikap Ben yang realistis ini semula memang didorong oleh tuntutan hidup, tetapi akhirnya menjadi kebiasaan (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).

Sekali lagi sedikit uraian di atas memang hanya serpihan dari keutuhan narasi dan gagasan dalam novel Sang Guru. Keutuhan narasi dan gagasan tersebut tentu bisa didapat dengan membaca Sang Guru dan ulasan-ulasan terhadapnya. Namun setidaknya kita telah belajar dari Sang Guru tentang mutiara bernama “kreatifitas” yang sejatinya tak pernah mati dalam diri seorang guru. Bahkan kata Albert Einstein (1879 – 1955), It is the supreme art of the teacher to awaken joy in creative expression and knowledge; seni tertinggi guru adalah untuk membangun kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan. (*)