Minat Baca Terkubur Bersama Peti
Mati
Oleh Yohanes Sehandi
Kepala Lembaga
Publikasi Universitas Flores, Ende
Judul artikel ini diambil dari kesimpulan dalam satu
kalimat atas hasil penelitian sosiolog Undana Kupang, Lasarus Jehamat terhadap
minat baca masyarakat kota Kupang. Salah satu indikator yang dipakai Lasarus
dalam mengukur minat baca masyarakat kota Kupang adalah dengan meneliti jumlah
produksi rak buku pada sejumlah bengkel kayu yang tersebar di kota Kupang.
Dari 17 bengkel kayu yang diteliti, hanya 3 bengkel
yang memproduksi rak buku, 14 bengkel yang lain lebih banyak memproduksi peti
mati atau peti mayat. Indikator produksi rak buku yang rendah ini ditambah
dengan sejumlah indikator yang lain, disimpulkan Lasarus, bahwa betapa rendahnya
minat baca masyarakat kota Kupang. Terhadap temuan ini, Lasarus menyatakannya
dengan satu kalimat yang membuat kita miris: “Minat baca masyarakat kita
rupanya terkubur bersama peti mati!”
Perihal minat baca yang terkubur bersama peti mati
ini diceritakan Lasarus Jehamat pada waktu acara “Bedah dan Diskusi Novel Likurai untuk Sang Mempelai Karya R.
Fahik” yang diselenggarakan di Gedung Graha Pena Harian Timor Express Kupang, pada Sabtu, 21 Desember 2013 lalu. Novel yang
diterbitkan tahun 2013 oleh Penerbit Cipta Media, Yogyakarta ini merupakan
novel kedua karya sastrawan NTT ini. Tahun 2011 R. Fahik menerbitkan novel pertamanya berjudul Badut Malaka diterbitkan oleh penerbit
yang sama.
Acara bedah dan diskusi novel di gedung megah
bertingkat milik Harian Timor Express (Kelompok
Jawa Pos milik Dahlan Iskan) pada hari
Sabtu itu meninggalkan kesan khusus. Sekitar 40 orang tokoh yang hadir, dipandu
langsung oleh Pemimpin Redaksi Timor
Express, Simon Petrus Nilli. Sebagai penulis “Pengantar” untuk novel Likurai untuk Sang Mempelai, saya
diminta untuk menjadi pembicara. Pembicara yang lain adalah R. Fahik, Mezra E.
Pellondou, Pius Rengka, A.G. Hadzarmawit Netti, M. Luthfi Baihaqi, Lasarus
Jehamat, dan Romo Amanche Franck.
Untuk tidak mengulangi penilaian saya terhadap novel
Likurai untuk Sang Mempelai yang langsung
dibaca dalam “Pengantar” novel tersebut, saya mengangkat tema baru yang belum banyak
diketahui orang, dengan judul “Melacak Jejak Novel dalam Sastra NTT.” Saya bentangkan
sejarah awal lahirnya karya sastra genre novel
dalam sastra NTT yang dimulai tahun 1964. Pada tahun itu untuk pertama kalinya
orang NTT menerbitkan karya sastra novel.
Orang NTT yang merintis penulisan novel tahun 1964 itu
adalah Gerson Poyk. Novel pertamanya berjudul Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964). Novel kedua Sang
Guru (Pustaka Jaya, Jakarta, 1971), dan novel ketiga Cumbuan Sabana (Nusa Indah, Ende, 1979). Sampai Desember 2013,
Gerson Poyk telah menerbitkan 12 judul buku novel. Dan hasil penelusuran saya, sejak tahun 1964 sampai
Desember 2013 lalu (selama 49 tahun), para sastrawan NTT telah mempersembahkan
48 judul buku novel kepada masyarakat NTT dan masyarakat Indonesia, karya 15
orang novelis NTT.
Pemaparan saya yang menyebut angka 48 judul buku
novel karya 15 orang novelis NTT dalam rentang waktu 49 tahun inilah yang “memicu”
diskusi hangat tentang minat baca masyarakat NTT, tidak hanya terhadap karya
sastra, tetapi juga minat baca pada umumnya. Diskusi minat baca ini pulalah yang
mendorong Lasarus Jehamat mengemukakan hasil penelitiannya terhadap minat baca
masyarakat kota Kupang.
Angka 48 judul buku novel karya 15 orang sastrawan
NTT ini mengejutkan sebagian besar peserta diskusi. Ada yang menyatakan,
ternyata sudah banyak novel karya para sastrawan daerah kita NTT, tetapi di
mana ya novel-novel itu? Ada yang menyatakan angka 48 judul buku novel itu terlalu
sedikit, apalagi dalam rentang waktu 49 tahun dengan jumlah penduduk NTT yang
lebih dari 4 juta orang. Meskipun jumlah novel itu sedikit, ternyata pertanyaannya
tetap sama, di mana ya novel-novel itu?
Saya menjawab bahwa novel-novel itu ada, diterbitkan
oleh penerbit, dijual di toko-toko buku, diedarkan dari orang ke orang, namun berapa
banyak orang NTT yang mau membaca novel-novel itu? Anda yang membaca artikel
ini, ada berapa novel karya sastrawan NTT yang pernah Anda baca? Siapa nama
sastrawan NTT yang karyanya pernah Anda baca? Apakah Anda pernah membaca buku
kumpulan cerpen dan buku kumpulan puisi karya para sastrawan NTT?
Pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan
minat baca akan terus muncul. Apakah Anda sering membaca koran atau surat
kabar? Surat kabar mana yang sering Anda
baca? Apakah Anda berlangganan surat kabar yang terbit di NTT, yakni Flores Pos, Pos Kupang, Timor Express, atau Victory News?
Dengan sangat gampang kita bisa menilai atau
mengukur diri kita sendiri, memiliki minat baca atau tidak. Setelah menilai
diri sendiri, kita coba menilai teman-teman kita, mereka mempunyai minat baca atau tidak. Kalau
Anda guru atau dosen, coba amati, apakah siswa dan mahasiswa Anda memiliki
minat baca? Kalau Anda siswa atau mahasiswa, coba perhatikan, apakah
teman-teman Anda, para guru dan dosen Anda memiliki minat baca? Kalau
Anda pimpinan atau pejabat dalam instansi tertentu, coba perhatikan, apakah
bawahan Anda memiliki minat baca?
Indikator
minat baca masyarakat kita di NTT atau di Flores dan Lembata ini dengan gampang diukur. Dalam sehari, berapa jam kita
membaca? Apakah memiliki perpustakaan pribadi? Apakah ada rak buku atau lemari
buku di rumah? Berapa puluh, berapa ratus, berapa ribu buku yang sudah dibaca
atau dimiliki secara pribadi? Berapa anggaran yang kita siapkan setiap bulan
atau setiap tahun untuk membeli buku atau untuk berlangganan surat kabar atau
majalah?
Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang dapat mengukur minat baca kita secara
pribadi, minat baca orang lain, dan minat baca masyarakat kita. Kemudian kita
bandingkan dengan minat baca pada masyarakat atau negara yang sudah maju. Di
situlah baru kita sadar betapa rendah dan parahnya minat baca masyarakat kita.
Seorang ilmuwan bahasa
dan sastra Indonesia modern, kelahiran Belanda, A. Teeuw, menyoroti minat baca
masyarakat Indonesia dalam bukunya yang berjudul Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya,
Jakarta, 1994). Meskipun buku ini terbit 20 tahun lalu, namun isinya masih
relevan menggambarkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia saat ini,
termasuk masyarakat NTT.
Menurut Teeuw, dalam
masyarakat Indonesia, ada jurang besar perbedaan antara “kelisanan” (bahasa
lisan atau orality) dan “keberaksaraan”
(bahasa tulis atau literacy). Jurang
itu yang mengakibatkan kemajuan pembangunan Indonesia lamban, karena sebagian besar
ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk kemajuan dipelajari secara tertulis.
Jadi, budaya literasi (budaya baca-tulis) adalah syarat mutlak untuk bisa
bersaing dan mengejar kemajuan di berbagai bidang kehidupan yang serba cepat pada
era globalisasi sekarang ini. *
(Telah dimuat harian Flores Pos (Ende) pada Senin, 3 Maret
2014).