Kamis, 16 Juni 2016

Warga Desa Nekbaun Gotong-Royong Bangun Gedung Sekolah


Seperti Merdeka di Tanah Sendiri
 
Gedung SMKN 1 Amarasi Barat (Foto: Rezo Kaka/Cakrawala NTT)
 

Warga Desa Nekbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) punya cara tersendiri dalam mendukung akses pendidikan di daerahnya. Dengan semangat gotong-royong, mereka membangun gedung Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Amarasi Barat. Meski beratap alang-alang dan beralaskan tanah, berdirinya sekolah tersebut membuat mereka merasa merdeka di tanah sendiri.

Mata Isak Amnifu, S.H., berkaca-kaca ketika menatap gedung sekolah SMKN 1 Amarasi Barat sambil menceritakan kisah berdirinya sekolah tersebut, Senin (30/5/2016). Pertengahan tahun 2014, ketika itu dirinya yang masih menjabat kepala desa setempat bersama beberapa tokoh masyarakat berniat mendirikan sebuah sekolah menengah atas. Hal ini berangkat dari keprihatinan mereka akan anak-anak daerah ini yang harus menempuh jarak jauh untuk bersekolah di ibu kota kecamatan.

Setelah menempuh berbagai upaya, akhirnya pemerintah setempat menyetujui niat tersebut namun dengan syarat harus ada gedung sekolah. Amnifu pun segera menggerakkan warganya. Bahkan, rencana pembangunan gedung sekolah itu ia masukkan dalam program kerja desa. Salah satu point penting ialah penyerahan hak tanah seluas 5 hektar dari warga untuk sekolah tersebut.

Oktober 2014 masyarakat mulai membangun gedung SMKN 1 Amarasi Barat. Semangat gotong-royong menyelimuti mereka yang bekerja tanpa lelah, tanpa upah. Dalam waktu enam hari, gedung empat ruang tersebut selesai dibangun.

“Para orangtua dan keluarga-keluarga di sini sangat antusias. Kami kerja gotong royong, tidak ada imbalan. Intinya kita mau bangun kita punya kampung. Jangan kita punya anak-anak harus ke kota lagi. Tujuan lainnya untuk perkenalkan daerah ini. Kalau sudah ada sekolah, pasti orang akan ke sini. Nah, mereka bisa lihat daerah kita dengan potensi alam yang masih begitu luas. Ada juga pantai yang bisa dijadikan objek wisata,” kata Amnifu.

Tahun ini, kata Amnifu, komite sekolah bersama warga setempat membangun lagi dua ruang tambahan untuk menunjang proses pembelajaran di tahun ajaran baru nanti. Meski gedungnya masih darurat, namun dirinya berharap apa yang dilakukannya bersama warga dapat memberi dukungan bagi para guru dan siswa di sekolah ini. Sebelumnya warga juga sudah membangun kamar mandi/wc sekolah dengan bantuan semen dari sebuah sekolah tinggi di Kupang, serta uang penjualan batu pecah, hasil kerja para siswa.

Setelah dua tahun sekolah ini berjalan, ada keyakinan dalam diri Amnifu bersama warga setempat bahwa sekolah ini akan tetap hidup. Jumlah siswa yang awalnya hanya 9 orang, kini bertambah menjadi 31 orang, yang terbagi dalam kelas X dan XI dengan dua jurusan yakni Usaha Perjalanan Wisata dan Perhotelan. Demikian pula dengan tenaga pengajar yang sejak awal hanya 6 guru, kini terdapat 11 guru, meski hanya 1 guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tiga guru adalah guru kontrak kabupaten, sementara yang lainnya adalah guru honor komite.

“Secara pribadi saya bangga dengan adanya sekolah ini. Setelah sekolah ini berdiri, kami merasa sepeti merdeka di tanah sendiri, di kampung kami. Walau awalnya tertaih-tatih, kita modalnya hanya gotong royong dan kemauan kuat. Tetapi dengan diakuinya sekolah ini, apalagi dengan status negeri, saya bangga. Dan saya menangis di depan anak-anak waktu serah terima SK untuk sekolah ini dari pemerintah, sekitar Agustus 2015. Saya katakan, kalian ini adalah pahlawan, pendiri sekolah ini. Merdekalah kami Nekbaun, karena desa di pinggiran, terisolir, kapan dan siapa yang mau datang lihat kami di sini? Dengan adanya sekolah, wilayah kami sudah dilihat. Jangan sampai ada yang tertarik misalnya potensi alamnya,” tuturnya.

Siswa Tinggal di Rumah Warga

Ada hal menarik dari SMKN 1 Amarasi Barat. Warga di daerah setempat menerima para siswa untuk tinggal di rumahnya. Umumnya satu keluarga menerima dua sampai empat siswa. Ada juga beberapa siswa yang menempati rumah kosong milik warga yang punya rumah lebih dari satu atau bekas rumah warga yang sudah pindah.

Kepala Sekolah SMKN 1 Amarasi Barat, Maher Kaseh, S.Pd., menuturkan, hal tersebut dikarenakan rumah siswa yang berjarak belasan kilo meter dari sekolah, tidak memungkinkan mereka untuk pulang-pergi setiap hari. Meski tinggal di rumah warga, kata Kaseh, para siswa tetap nyaman dalam belajar. Keluarga-keluarga di daerah setempat pun menerima kehadiran para siswa dengan hati gembira.

“Sejak awal memang warga di sini sudah punya komitmen untuk mendukung sekolah ini. Termasuk untuk menerima siswa di rumahnya. Bahkan mereka bilang, ada anak-anak rasanya lebih ramai di kampung ini. Para siswa biasanya pulang ke rumahnya di hari Sabtu sore. Namun kebanyakan memilih tidak pulang juga, karena mereka juga terlibat dalam berbagai kegiatan masyarakat seperti di gereja,” jelas Kaseh.

Hal tersebut diamini Noni Mentari, siswi kelas XI Jurusan Pariwisata. Menurutnya, tinggal di rumah warga menjadi pengalaman tersendiri karena dirinya diajarkan untuk hidup mandiri sejak dini. Hal-hal sederhana seperti memasak, mencuci pakaian serta mengatur waktu belajar, baginya menjadi tantangan sekaligus peluang untuk belajar mandiri.

“Kadang ingat mama dan bapa di rumah, tapi tetap saja bertahan karena kalau saya sukses, orangtua juga pasti bahagia dan bangga. Warga di sini juga sangar ramah dan baik terhadap kami, jadi kami sangat betah,” kata Mentari.

Fasilitas Minim

Terletak jauh dari kota, SMKN 1 Amarasi Barat menyajikan keheningan alam yang sangat mendukung suasana pembelajaran di kelas. Jaraknya yang hanya sekira 500 meter dari bibir pantai juga memungkinkan adanya pembelajaran di luar kelas, sekaligus wadah ‘refreshing’ bagi gusu dan siswa. Meski demikian, fasilitas yang minim tentu masih menjadi pekerjaan rumah serta harapan bagi pihak komite maupun pihak sekolah.

Maher Kaseh, S.Pd., mengakui hingga kini sekolah yang dipimpinnya masih kekurangan sarana dan prasarana. Dirinya mencontohkan, papan tulis yang masih dipinjam dari sekolah (SD, SMP) terdekat. Kapur tulis juga sering diminta dari sekolah-sekolah tersebut. Untuk meja dan kursi, meski masih kurang, pihak komite punya kebijakan yakni setiap siswa baru wajib membawanya sebagai sumbangan untuk sekolah.

Kita coba terus maju meski ada kekurangan sana-sini. Dan saya bersyukur karena pihak komite dan teman-teman sangat mendukung. Kadang kita terpaksa pinjam uang dari ibu Rizky, guru SM3T kita. Baru-baru ini ibu Rizky pinjamkan uangnya untuk pengadaan seragam siswa kelas XI yang akan praktek bulan Juni hingga September nanti,” kisah Kaseh.

Fasilitas sekolah yang minim juga diakui Herlin Y. Sortuy, S.Pd.K., guru agama SMKN 1 Amarasi Barat. Namun dirinya bersyukur karena semangat anak-anak tidak pernah pudar. Disipilin siswa sangat baik, entah dalam pembelajaran atau pun dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti kerohanian, berkebun, dan les tambahan bahasa Inggris.

“Harapan kami, akses jalan serta listrik ke sekolah bisa diperhatikan, selain tentunya gedung sekolah yang lebih layak. Juga kesejahteraan guru honor yang hingga kini masih menerima upah Rp 35.000 per bulan,” harap guru honorer yang mengabdi di SMKN 1 Amarasi Barat sejak sekolah tersebut berdiri. (Robert Fahik)