Jumat, 07 Maret 2014

Opini Yohanes Sehandi



Minat Baca Terkubur Bersama Peti Mati
Oleh Yohanes Sehandi
Kepala Lembaga Publikasi Universitas Flores, Ende

Judul artikel ini diambil dari kesimpulan dalam satu kalimat atas hasil penelitian sosiolog Undana Kupang, Lasarus Jehamat terhadap minat baca masyarakat kota Kupang. Salah satu indikator yang dipakai Lasarus dalam mengukur minat baca masyarakat kota Kupang adalah dengan meneliti jumlah produksi rak buku pada sejumlah bengkel kayu yang tersebar di kota Kupang.
Dari 17 bengkel kayu yang diteliti, hanya 3 bengkel yang memproduksi rak buku, 14 bengkel yang lain lebih banyak memproduksi peti mati atau peti mayat. Indikator produksi rak buku yang rendah ini ditambah dengan sejumlah indikator yang lain, disimpulkan Lasarus, bahwa betapa rendahnya minat baca masyarakat kota Kupang. Terhadap temuan ini, Lasarus menyatakannya dengan satu kalimat yang membuat kita miris: “Minat baca masyarakat kita rupanya terkubur bersama peti mati!” 
Perihal minat baca yang terkubur bersama peti mati ini diceritakan Lasarus Jehamat pada waktu acara “Bedah dan Diskusi Novel Likurai untuk Sang Mempelai Karya R. Fahik” yang diselenggarakan di Gedung Graha Pena Harian Timor Express Kupang, pada Sabtu, 21 Desember 2013 lalu. Novel yang diterbitkan tahun 2013 oleh Penerbit Cipta Media, Yogyakarta ini merupakan novel kedua karya sastrawan NTT ini. Tahun 2011 R. Fahik  menerbitkan novel pertamanya berjudul Badut Malaka diterbitkan oleh penerbit yang sama.
Acara bedah dan diskusi novel di gedung megah bertingkat milik Harian Timor Express (Kelompok Jawa Pos milik Dahlan Iskan) pada hari Sabtu itu meninggalkan kesan khusus. Sekitar 40 orang tokoh yang hadir, dipandu langsung oleh Pemimpin Redaksi Timor Express, Simon Petrus Nilli. Sebagai penulis “Pengantar” untuk novel Likurai untuk Sang Mempelai, saya diminta untuk menjadi pembicara. Pembicara yang lain adalah R. Fahik, Mezra E. Pellondou, Pius Rengka, A.G. Hadzarmawit Netti, M. Luthfi Baihaqi, Lasarus Jehamat, dan Romo Amanche Franck.
Untuk tidak mengulangi penilaian saya terhadap novel Likurai untuk Sang Mempelai yang langsung dibaca dalam “Pengantar” novel tersebut, saya mengangkat tema baru yang belum banyak diketahui orang, dengan judul “Melacak Jejak Novel dalam Sastra NTT.” Saya bentangkan sejarah awal lahirnya karya sastra genre novel dalam sastra NTT yang dimulai tahun 1964. Pada tahun itu untuk pertama kalinya orang NTT menerbitkan karya sastra novel.
Orang NTT yang merintis penulisan novel tahun 1964 itu adalah Gerson Poyk. Novel pertamanya berjudul Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964). Novel kedua  Sang Guru (Pustaka Jaya, Jakarta, 1971), dan novel ketiga Cumbuan Sabana (Nusa Indah, Ende, 1979). Sampai Desember 2013, Gerson Poyk telah menerbitkan 12 judul buku novel. Dan hasil  penelusuran saya, sejak tahun 1964 sampai Desember 2013 lalu (selama 49 tahun), para sastrawan NTT telah mempersembahkan 48 judul buku novel kepada masyarakat NTT dan masyarakat Indonesia, karya 15 orang novelis NTT.
Pemaparan saya yang menyebut angka 48 judul buku novel karya 15 orang novelis NTT dalam rentang waktu 49 tahun inilah yang “memicu” diskusi hangat tentang minat baca masyarakat NTT, tidak hanya terhadap karya sastra, tetapi juga minat baca pada umumnya. Diskusi minat baca ini pulalah yang mendorong Lasarus Jehamat mengemukakan hasil penelitiannya terhadap minat baca masyarakat kota Kupang.
Angka 48 judul buku novel karya 15 orang sastrawan NTT ini mengejutkan sebagian besar peserta diskusi. Ada yang menyatakan, ternyata sudah banyak novel karya para sastrawan daerah kita NTT, tetapi di mana ya novel-novel itu? Ada yang menyatakan angka 48 judul buku novel itu terlalu sedikit, apalagi dalam rentang waktu 49 tahun dengan jumlah penduduk NTT yang lebih dari 4 juta orang. Meskipun jumlah novel itu sedikit, ternyata pertanyaannya tetap sama, di mana ya novel-novel itu?
Saya menjawab bahwa novel-novel itu ada, diterbitkan oleh penerbit, dijual di toko-toko buku, diedarkan dari orang ke orang, namun berapa banyak orang NTT yang mau membaca novel-novel itu? Anda yang membaca artikel ini, ada berapa novel karya sastrawan NTT yang pernah Anda baca? Siapa nama sastrawan NTT yang karyanya pernah Anda baca? Apakah Anda pernah membaca buku kumpulan cerpen dan buku kumpulan puisi karya para sastrawan NTT?
Pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan minat baca akan terus muncul. Apakah Anda sering membaca koran atau surat kabar? Surat kabar mana yang sering Anda  baca? Apakah Anda berlangganan surat kabar yang terbit di NTT, yakni Flores Pos, Pos Kupang, Timor Express, atau Victory News?
Dengan sangat gampang kita bisa menilai atau mengukur diri kita sendiri, memiliki minat baca atau tidak. Setelah menilai diri sendiri, kita coba menilai teman-teman kita,  mereka mempunyai minat baca atau tidak. Kalau Anda guru atau dosen, coba amati, apakah siswa dan mahasiswa Anda memiliki minat baca? Kalau Anda siswa atau mahasiswa, coba perhatikan, apakah teman-teman Anda, para guru dan dosen Anda memiliki minat baca?   Kalau Anda pimpinan atau pejabat dalam instansi tertentu, coba perhatikan, apakah bawahan Anda memiliki minat baca?
Indikator minat baca masyarakat kita di NTT atau di Flores dan Lembata ini dengan  gampang diukur. Dalam sehari, berapa jam kita membaca? Apakah memiliki perpustakaan pribadi? Apakah ada rak buku atau lemari buku di rumah? Berapa puluh, berapa ratus, berapa ribu buku yang sudah dibaca atau dimiliki secara pribadi? Berapa anggaran yang kita siapkan setiap bulan atau setiap tahun untuk membeli buku atau untuk berlangganan surat kabar atau majalah?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang dapat mengukur minat baca kita secara pribadi, minat baca orang lain, dan minat baca masyarakat kita. Kemudian kita bandingkan dengan minat baca pada masyarakat atau negara yang sudah maju. Di situlah baru kita sadar betapa rendah dan parahnya minat baca masyarakat kita.
Seorang ilmuwan bahasa dan sastra Indonesia modern, kelahiran Belanda, A. Teeuw, menyoroti minat baca masyarakat Indonesia dalam bukunya yang berjudul Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya, Jakarta, 1994). Meskipun buku ini terbit 20 tahun lalu, namun isinya masih relevan menggambarkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia saat ini, termasuk masyarakat NTT.  
Menurut Teeuw, dalam masyarakat Indonesia, ada jurang besar perbedaan antara “kelisanan” (bahasa lisan atau orality) dan “keberaksaraan” (bahasa tulis atau literacy). Jurang itu yang mengakibatkan kemajuan pembangunan Indonesia lamban, karena sebagian besar ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk kemajuan dipelajari secara tertulis. Jadi, budaya literasi (budaya baca-tulis) adalah syarat mutlak untuk bisa bersaing dan mengejar kemajuan di berbagai bidang kehidupan yang serba cepat pada era globalisasi sekarang ini. *
(Telah dimuat harian Flores Pos (Ende) pada Senin, 3 Maret 2014).