Selasa, 22 April 2014

Strategi Coping Siswa Seminari



STRATEGI COPING SISWA SEMINARI
 (Naskah Publikasi Tesis)

Robertus Fahik
Universitas Mercu Buana Yogyakarta (2012)

Abstrak



Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan memahami secara rinci melalui pendekatan interpersonal mengenai permasalahan yang dialami siswa seminari berkaitan dengan panggilan hidupnya sebagai calon imam. 2. Mengetahui dan memahami strategi coping apa yang dilakukan siswa seminari untuk mengatasi permasalahan yang dialaminya.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Kualitatif yakni menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumen dalam memperoleh data. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini berjumlah 5 orang siswa seminari dan juga infroman yang berjumlah 8 orang. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis data model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Permasalahan siswa seminari mencakup tiga aspek utama pembinaan seminari yakni: Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), dan Scientia (pengetahuan). 2. Strategi coping siswa seminari bukanlah merupakan suatu pola yang baku, dalam arti tidak ada bentuk coping yang khusus untuk masalah tertentu. Namun, masing-masing subjek menerapkan bentuk coping sesuai jenis masalah dan kepribadiannya.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran: 1. Kepada Seminari Menengah Lalian sebagai lembaga pendidikan calon imam, perbedaan pola coping yang ditunjukkan siswa kiranya menjadi bahan pertimbangan dalam proses pembinaan. Pola yang dinilai sudah tepat kiranya dikembangkan, sebaliknya pola yang dinilai belum begitu tepat, dapat diarahkan dengan lengkah tertentu. 2. Kepada subjek peneltian, kiranya perbedaan pola coping  yang terungkap dalam hasil penelitian menjadi acuan berarti bagi subjek dalam proses pematangan dirinya di seminari. 3. Bagi peneliti lain yang juga menaruh perhatian pada masalah strategi coping siswa seminari, hasil penelitian ini kiranya menjadi acuan untuk dapat mengembangkan penelitian mengenai strategi coping siswa seminari di seminari-seminari lainnya.

Kata Kunci: Strategi Coping, Siswa Seminari


STRATEGI COPING SISWA SEMINARI


Robertus Fahik
Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Abstract



This research aims to: 1. Knowing and understanding in detail the interpersonal approach of the problems experienced by seminary students associated with the call of his life as a priest candidate. 2. Knowing and understanding what kind of coping strategies the seminary students to overcome the problems they experienced.
This research was conducted with qualitative methods, i.e. using interview techniques, observation, and document study in obtaining data. Subjects were included in this study amounted to 5 seminary students and also infroman amounted to 8 people. The data analysed by using an interactive model of data analysis proposed by Miles and Huberman.
The results showed that: 1. Seminary student issues include three main aspects of the seminary formation: Sanctitas (holiness), Sanitas (health), and Scientia (knowledge). 2. Seminary student coping strategies is not a standard pattern, in the sense that no form of coping are specific to a particular problem. However, each subject to apply appropriate forms of coping according to types of problems and the personality.
Based on the results of the study, researcher puts forward some suggestions: 1. To the Lalian Seminary as an institution for the priesthood candidates, the difference in coping patterns indicated by students should be taken into consideration in the process of teaching. Patterns that are considered appropriate should be developed, otherwise the pattern considered not so right, it can be directed to a particular side. 2. To research subjects, presumably differences of coping patterns revealed in the results of research could be a meaningful reference for the subject in their maturation process in the seminary. 3. For other researchers who are also paying attention to the problem of coping strategies of seminary students, the results of this study would be a reference in developing coping research strategy of seminary students in other seminaries.

Keywords: Coping Strategy, Seminary Student



A.    PENDAHULUAN
            Masa remaja sering disebut masa transisi. Adapun alasannya adalah: bila dibandingkan dengan masa sebelumnya, pada masa ini terjadi perkembangan yang spesifik dan hampir segala macam perkembangan mencapai puncaknya. Akibatnya masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling unik, sedangkan pada masa dewasa tidak banyak terjadi perubahan yang menonjol bila dibandingkan dengan masa remaja (Abdullah, 2010). Secara lebih spesifik, masa remaja juga disebut sebagai masa transisi dari periode anak ke periode dewasa. Secara psikologis, kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri psikologis tertentu pada seseorang.
Ciri-ciri psikologis itu menurut Allport (dalam Sarwono, 2011) adalah: (1) pemekaran diri sendiri (extension of the self), yang ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya sendiri, (2) kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication), yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri dan kemampuan untuk menangkap humor termasuk yang menjadikan dirinya sebagai sasaran, dan (3) memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life), yang dapat dilakukan tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannnya dalam kata-kata.
            Berdasarkan ciri-ciri psikologis tersebut, dalam pertumbuhan dan perkembangannya seorang remaja berusaha untuk melepaskan diri dari milieu (lingkungan) orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Erikson (dalam Monks, et al., 2006) menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego. Dalam pencarian identitas ini, remaja mengalami proses perubahan baik karena pengalaman maupun karena usia. Sarwono (2011) menjelaskan bahwa khususnya pada diri remaja, proses perubahan karena pengalaman dan usia merupakan hal yang harus terjadi karena dalam proses pematangan kepribadiannya, remaja sedikit demi sedikit memunculkan ke permukaan sifat-sifatnya yang sebenarnya, yang harus berbenturan dengan rangsangan dari luar.
            Siswa seminari (seminaris) adalah bagian dari remaja umumnya. Siswa seminari adalah siswa yang mengenyam pendidikan dan pembinaan di lembaga pendidikan calon imam. Secara lebih jelas, siswa seminari adalah remaja laki-laki yang dididik dan dibina sebagai calon imam dalam gereja Katolik Roma sesuai tahapan tertentu. Dalam kaitannya dengan pendidikan dan pembinaan calon imam, dikenal dua strata/tingkatan yaitu Seminari Menengah (setara SMA) dan Seminari Tinggi (setara S1). Adapun proses pendidikan dan pendidikan di Seminari Menengah berlangsung selama empat tahun. Demikian pula proses pendidikan dan pendidikan di Seminari Tinggi berlangsung empat tahun.
Sebagai remaja, para seminaris pun tentu mengalami masa transisi, gejolak, goncangan, benturan, dan ”krisis” sebagaimana dialami seorang remaja. Bahkan boleh dikatakan, para seminaris adalah kelompok remaja dengan dunianya sendiri yang unik. Hidup dalam komunitas religius yang penuh dengan berbagai aturan serta tuntutan tentu menjadi pergulatan tersendiri bagi para seminaris. Dalam konteks ini para seminaris benar-benar mengalami goncangan. Di satu sisi, mereka adalah bagian dari remaja yang sedang berusaha mencari dan menemukan kebebasan serta identitas diri. Namun di sisi lain, mereka dihadapkan pada berbagai aturan dan tuntutan hidup seminari. Adapun aturan dan tuntutan hidup seminari ini terkait dengan panggilan para seminaris sebagai calon imam yang sedang dipersiapkan untuk menjadi seorang imam.
            Dalam dokumen yang dikeluarkan Kongregasi Pendidikan Katolik (2009) diuraikan beberapa hal dasar terkait syarat-syarat utama dalam pembinaan dan pendidikan calon imam (seminaris). Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa kerasulan imamat yang dipahami dan dihidupi sebagai keselarasan dengan Kristus, Mempelai dan Gembala yang Baik, mensyaratkan kemampuan-kemampuan tertentu serta keutamaan-keutamaan moral dan teologis, yang didukung oleh keseimbangan manusiawi dan psikologis – terutama keseimbangan afektif – untuk memungkinkan calon (seminaris) memiliki kecenderungan untuk memberi diri di dalam hidup selibat, dengan cara yang sungguh-sungguh bebas di dalam relasinya dengan umat beriman. Keutamaan-keutamaan dan kualitas-kualitas ini berkisar dari keseimbangan umum sampai ke kemampuan untuk menanggung beban tanggung jawab pastoral, dari pengetahuan yang mendalam tentang spirit manusia sampai citarasa keadilan dan kesetiaan.       
            Tuntutan hidup siswa seminari menjadi lebih jelas bila kita merujuk pada Pedoman Pembinaan Calon Imam Bagian Seminari Menengah, sebagaimana dirumuskan secara konkret dalam Pedoman Pembinaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Calon Imam di Seminari Lalian (2010), yang antara lain menegaskan bahwa lulusan seminari menengah adalah remaja yang mampu tumbuh seimbang dalam tiga aspek utama yakni: Sanctitas (Kekudusan), Sanitas (Kesehatan), dan Sciencia (Pengetahuan).
            Berbagai tuntutan serta kriteria seminaris dalam tigas aspek pembinaan di atas menjadi bagian dalam pergumulan siswa seminari, khususnya bila kita kembali pada konsep bahwa siswa seminari adalah bagian dari remaja yang sedang berada dalam masa transisi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan Pastor Prefek (Kepala Asrama) dan salah seorang Pastor Pembina Siswa Seminari di Seminari Menengah Lalian – Atambua pada tanggal 30 Februari 2011 dan 15 Maret 2011, terungkap bahwa dalam proses pendidikan dan pembinaan terhadap siswa seminari, ada beberapa hal yang muncul terkait pergumulan siswa seminari sebagai seorang remaja di satu sisi dan sebagai seorang calon pastor di sisi lainnya.
Pertama, ada proses penyesuaian diri yang tidak mudah terkait berbagai aturan hidup di seminari, terutama bagi mereka yang berasal dari orangtua dan keluarga yang tidak begitu menekankan disiplin terhadap anak. Dalam hal ini, ada siswa seminari yang tidak bertahan lama di seminari dan akhirnya pergi begitu saja tanpa pemberitahuan sebelum akhirnya diinformasikan sendiri oleh orangtuanya. Namun, umumnya siswa seminari mengalami perkembangan yang baik dari tahun ke tahun terkait proses penyesuaian diri terhadap berbagai aturan hidup di seminari.
Kedua, dalam menghadapi berbagai aturan hidup di seminari, para siswa seminari kurang terbuka terhadap bapa rohani dan para pastor pembina. Hal ini terjadi hampir pada sebagian besar siswa. Dalam aturan atau pedoman pembinaan seminari, setiap siswa diwajibkan memilih salah satu pastor sebagai bapa rohani. Hal ini merupakan bagian penting dalam proses pendampingan siswa bukan hanya terkait aspek sanctitas namun mencakup semua aspek. Dengan membangun komunikasi dengan bapa rohaninya, setiap siswa diharapkan mampu membagikan berbagai perasaan termasuk kesulitannya di seminari dan boleh mendapat masukan berarti dari bapa rohani.Namun dalam kenyataannya, justru banyak siswa jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohaninya.Hal ini menjadi salah satu perhatian serius dari pihak seminari dan dilihat sebagai suatu “masalah” yang perlu dipertimbangkan jalan keluarnya.
Ketiga, pergumulan siswa seminari pada umumnya berkaitan dengan tiga aspek dasar pendidikan dan pembinaan di seminari yaitu, sanctitas (kekudusan), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan).
Keempat, untuk menciptakan dialog antara pembina dan siswa seminari, maka dibuat jadwal wawancara rutin misalnya setiap semester untuk tiap siswa seminari. Dalam hal ini, ada kesempatan bagi siswa seminari untuk membagikan suka duka serta apapun yang dihadapinya terkait proses pembinaan dan pendidikan di seminari kepada pastor pembina. Hal ini berdampak cukup positif karena dalam kenyataannya banyak siswa seminari yang akhirnya tetap bertahan di seminari walaupun mengalami persoalan tertentu.
            Selain melakukan wawancara dengan pembina, peneliti juga melakukan wawancara dengan tiga siswa seminari. Dari wawancara tersebut terungkap bahwa para siswa seminari mengalami pergumulan yang tidak mudah dalam proses pembinaan dan pendidikan di seminari. Para siswa seminari juga mengakui bahwa mereka sering mengalami kebosanan hidup bahkan timbul niat untuk keluar dari seminari. Dalam menghadapi berbagai aturan dan tuntutan hidup termasuk kebosanan dan niat untuk keluar dari seminari, para siswa seminari mengakui bahwa mereka lebih sering mengungkapkannya kepada teman dan jarang memutuskan untuk bertemu pastor pembina. Alasan utama yang diungkapkan adalah mereka takut dikeluarkan dari seminari jika terbuka kepada pastor pembina. Alasan lainnya adalah mereka tidak memiliki keberanian yang cukup untuk berbicara langsung secara pribadi dengan seorang pastor pembina.
            Hasil wawancara peneliti dengan tiga siswa seminari tersebut juga mengungkapkan bahwa salah satu “masalah” (stressor) yang sering dialami siswa seminari ialah kekhawatiran akan nilai ujian yang tidak mencapai standar seminari. Misalnya, syarat yang ditentukan seminari untuk mata pelajaran seperti Bahasa Latin, Liturgi, dan Kitab Suci, tidak boleh di bawah enam (6). Syarat lain misalnya rata-rata nilai ujian yang harus mencapai 7,5. Jika siswa seminari tidak mampu memenuhi syarat di atas, konsekuensinya ia akan dikeluarkan dari seminari.  
Dari uraian di atas, terdapat sebuah gambaran bahwa memang siswa seminari mengalami pergumulan yang tidak mudah dalam menghadapi kenyataan bahwa di satu sisi ia adalah seorang remaja yang ingin bebas, namun di sisi lain ia adalah seorang calon imam yang harus hidup dalam aturan serta tuntutan yang tidak mudah. Secara konkret dapat digambarkan beberapa hal terkait pergumulan siswa seminari.Pertama, dari aspek perkembangan manusia, siswa seminari adalah kelompok usia remaja yang mendambakan kebebasan, namun di sisi lain siswa seminari adalah calon imam yang hidup dalam berbagai aturan dan tuntutan hidup, misalnya rutinitas yang sudah terprogram (terjadwal); bangun pagi, mengikuti misa (ekaristi), makan, sekolah, kerja, olahraga, tidur, kunjungan tamu. Masih terkait perkembangan remaja, secara manusiawi siswa seminari tentu menghadapi kenyataan jatuh cinta (menyukai lawan jenis). Dalam hal ini, keputusan yang diambil siswa seminari akan sangat menentukan responsnya. Jika siswa seminari memutuskan untuk larut dalam perasaannya atau bahkan terlanjur menjalin hubungan dengan lawan jenis, tentu akan mempengaruhi seluruh rutinitasnya di seminari. Hal berbeda akan terjadi jika siswa seminari memutuskan untuk mengalihkan perasaannya kepada hal-hal lain seperti menulis atau mengembangkan minat dan bakat seperti musik atau olahraga. 
Kedua, tuntutan akademik seperti rata-rata nilai ujian yang harus mencapai 7,5 mengharuskan siswa seminari tekun dalam belajar, termasuk bagaimana mengatur dan menggunakan waktu belajar secara baik, di antara berbagai aktivitas lain. Persoalan yang muncul, terkadang kekhawatiran yang berlebihan malah akan membuat siswa seminari tidak memiliki motivasi untuk belajar dan akhirnya tidak mencapai tuntutan seminari.  
Ketiga, berdasarkan pergumulan sebagaimana digambarkan di atas, semua pihak entah keluarga, seminari, maupun siswa seminari sendiri mengharapkan agar dalam menghadapi berbagai tuntutan dan aturan hidup, siswa seminari mampu mengambil keputusan yang tepat. Hal ini bisa dilakukan siswa seminari lewat refleksi mendalam yang terus diasah dari hari ke hari ataupun lewat bantuan dialog (sharing, konsultasi) dengan teman-teman dan para pastor Pembina yang ada. 
Uraian di atas menegaskan bahwa siswa seminari adalah kelompok remaja yang menghadapi pergumulan antara kebebasan masa remaja dan aturan hidup sebagai calon imam di seminari. Bagaimanapun juga, keputusan siswa seminari akan menentukan berhasil-tidaknya siswa seminari dalam melewati setiap pergumulan yang dialaminya. Oleh karena itu menarik untuk ditelaah hal-hal apa saja yang dilakukan seorang siswa seminari dalam menyikapi berbagai aturan, kriteria, dan tuntutan menyangkut panggilan hidupnya sebagai calon imam. Karena bagaimana pun juga cara yang dipilih seseorang dalam menyikapi persoalan hidupnyaakan sangat menentukan berhasil-tidaknya individu bersangkutan melewati sebuah proses perkembangan. Dalam konteks hidup seorang siswa seminari, cara yang ditempuh dalam menghadapi berbagai aturan serta tuntutan hidup di seminari sangat menentukan berhasil-tidaknya seorang siswa seminari dalam proses pembinaan dan pendidikan sebagai seorang calon imam. Dalam disiplin ilmu psikologi, hal ini dinamakan “coping” atau “coping behavior”, yakni segala perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu; tugas, masalah (Chaplin, 2009).
Tentang “strategi coping”, Stone dan Neale (1994) menguraikan bahwa strategi coping merupakan cara yang dilakukan individu baik secara nyata maupun tidak nyata, tampak atau tidak tampak untuk menghadapi situasi yang menimbulkan tekanan atau tuntutan baik yang bersifat eksternal maupun internal. Strategi coping dipandang sebagai suatu proses dinamik dari suatu pola prilaku atau pikiran-pikiran seseorang yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan atau menegangkan.
Strategi coping yang dilakukan seseorang bisa bermacam-macam, tergantung pada stressor yang dihadapi dan kemampuan individu untuk mengambil keputusan.Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Stern, 1995), secara umum, strategi coping dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu:problem- focused coping dan emotion- focused coping.
Problem-focused coping, merupakan salah satu bentuk coping yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving), meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif yang merupakan sumber kcemasan atau melakukan sesuatu untuk merubah sumber kecemaan tersebut. Problem-focused coping merupakan strategi yang bersifat eksternal. Dalam problem focused coping, orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dalam rangka mengurangi stressor yang dihadapi atau yang dirasakan.  
Emotion-focused coping, merupakan usaha-usaha untuk mengurangi atau mengatur emosi dengan cara menghindari untuk berhadapan langsung dengan stressor. Emotional focused coping merupakan strategi yang bersifat internal. Dalam emotional focused coping terdapat kecenderungan untuk lebih memfokuskan diri dan melepaskan emosi yang berfokus pada kekecewaan ataupun distres yang dialami dalam rangka untuk melepaskan emosi atau perasaan tersebut (focusing on and venting of emotion).
Strategi coping yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Parker (1986), ketika seseorang melakukan strategi coping, ada tiga faktor utama yang dapat mempengaruhinya, yakni: karakteristik situasional, lingkungan, dan personal atau perbedaan individual.
Dalam konteks hidup siswa seminari, strategi coping dapat dipahami sebagai usaha yang dilakukan oleh siswa seminari dalam mengantisipasi atau menghadapi masalah, tuntutan, dan tekanan tertentu dalam hidupnya, misalnya kekhawatiran tentang nilai ujian atau perasaan jatuh cinta.Bentuk strategi coping yang dilakukan siswa seminari meliputi problem-focused coping dan emotion-focused coping.Ketika siswa seminari memilih problem-focused coping, maka kecenderungan yang diakukan adalah mencari dan menghadapi hal-hal yang dianggap sebagai sumber masalah atau tekanan, dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dengan tujuan mengurangi tingkat tekanan yang dihadapi atau dirasakan.
Misalnya, ada ketakutan akan nilai ujian yang jelek, siswa seminari bisa memotivasi dirinya untuk belajar tekun. Jika yang dilakukan adalah emotion-focused coping, maka kecenderungan siswa seminari adalah menghindari sumber tekanan dengan tujuan untuk mengurangi atau menghindari perasaan atau emosi yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh sumber tekanan yang dihadapi. Misalnya, ketika jatuh cinta terhadap lawan jenis, seorang siswa seminari bisa saja mengungkapkan perasaan tersebut dengan menulis atau menciptakan kreasi lainnya. 
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini melalui pendekatan interpersonal yang mendalam serta didukung pengamatan dan berbagai informasi yang dikumpulkan, peneliti hendak mengetahui strategi coping apa yang dilakukan siswa seminari dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dialaminya di seminari sebagai seorang remaja dan calon imam?

B.     Rumusan Masalah
            Dalam penelitian ini, peneliti akan mencoba menemukan dan menjelaskan strategi coping siswa seminari berdasarkan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Sebagai seorang remaja, siswa seminari tentu mengalami masa transisi yang ditandai oleh adanya berbagai permasalahan. Dengan penelitian ini akan diungkap permasalahan apa saja yang dialami siswa seminari. 2. Sebagai konsekuensi dari permasalahan yang dialami siswa seminari, strategi coping apa yang dilakukan siswa seminari untuk mengatasi yang dialaminya.

C. Tujuan Penelitian
            Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan memahami secara rinci melalui pendekatan interpersonal mengenai permasalahan yang dialami siswa seminari berkaitan dengan panggilan hidupnya sebagai calon imam.
2. Mengetahui dan memahami strategi coping apa yang dilakukan siswa seminari untuk mengatasi permasalahan yang dialaminya.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini yakni dapat memberikan sumbangan positif terhadap khasanah ilmu psikologi secara umum, maupun psikologi pendidikan khususnya pada komunitas siswa seminari.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan masukan bagi:
a.       Komunitas Seminari Lalian, khususnya subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini. Bahwa dengan menjadi seorang calon imam, siswa seminari akan menghadapi berbagai permasalahan yang tidak mudah karena di satu sisi mereka adalah remaja yang sedang mengalami masa transisi namun di sisi lain mereka dihadapkan pada berbagai aturan dan tuntutan hidup. Hasil penelitian ini bisa menjadi bahan untuk saling belajar dari pengalaman masing-masing individu terkait strategi coping.
b.      Keluarga. Keluarga yang memiliki anak atau anggota keluarga sebagai siswa seminari. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bahwa dukungan dari keluarga adalah hal yang sangat penting dalam pendampingan siswa seminari khususnya dalam upaya mereka mengatasi berbagai permasalahan yang dialaminya.
c.       Masyarakat umum. Melalui penelitian ini kiranya masyarakat mengetahui bahwa pendidikan dan pembinaan siswa seminari mutlak membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk masyarakat umum karena bagaimana pun juga sebagai remaja, siswa seminari menghadapi berbagai permasalahan.
d.      Peneliti Lain. Menjadi acuan bagi para peneliti lain yang juga menaruh perhatian pada persoalan siswa seminari.

E.TINJAUAN PUSTAKA
A.    Strategi Coping
1. Pengertian Strategi Coping
            Strategi coping didefinisikan sebagai suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha dalam rangka merubah domain kognitif dan berperilaku secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan dan ketahanan individu yang bersangkutan (Lazarus dan Folkman, dalam Bowman dan Stern, 1995).
Aldwin dan Revenson (1997) mengatakan bahwa strategi coping merupakan suatu cara atau metode yang dilakukan oleh tiap individu untuk mengatasi dan mengendalikan situasi atau masalah yang dialami dan dipandang sebagai hambatan, tantangan yang bersifat menyakitkan, serta merupakan ancaman yang bersifat merugikan.
Stone dan Neale (1994) menguraikan bahwa strategi coping merupakan cara yang dilakukan individu baik secara nyata maupun tidak nyata, tampak atau tidak tampak untuk menghadapi situasi yang menimbulkan tekanan  atau tuntutan baik yang bersifat eksternal maupun internal. Strategi coping dipandang sebagai suatu proses dinamik dari suatu pola prilaku atau pikiran-pikiran seseorang yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan atau menegangkan.
Dari beberapa pengertian mengenai strategi coping di atas, dalam penelitan ini disimpulkan bahwa strategi coping adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengantisipasi atau menghadapi masalah, tuntutan, dan tekanan tertentu dalam hidupnya. Adapun usaha yang dilakukan individu tersebut berupa usaha yang tampak dan tidak tampak. 

2. Bentuk-Bentuk Strategi Coping
Pendapat mengenai Bentuk-Bentuk Strategi Coping diungkapkan oleh beberapa ahli. Pendapat yang pertama dikemukakan oleh Santrock. Menurut Santrock (1996), secara garis besar berdasarkan perilaku yang muncul, strategi coping dibedakan menjadi dua; pertama, strategi mendekat (approach strategy). Dalam approach strategy, individu cenderung melakukan suatu usaha atau cara kognitif untuk memahami sumber penyebab kecemasan dan berusaha untuk menghadapi masalah penyebab kecemasan tersebut beserta konsekuensinya secara langsung. Kedua, strategi menghindar (avoidance strategy). Berbeda dengan approach strategy, pada avoidance strategy individu cenderung untuk menyangkal atau meminimalisasian sumber penyebab kecemasan secara kognitif, kemudian memunculkan usaha dalam bentuk tingkah laku untuk menarik atau meminimalkan sumber penyebab kecemasan tersebut.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Stern, 1995), secara umum strategi coping dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu:
a.       Problem-focused coping
Merupakan salah satu bentuk coping yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving), meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif yang merupakan sumber kcemasan atau melakukan sesuatu untuk merubah sumber kecemaan tersebut. Problem-focused coping merupakan strategi yang bersifat eksternal. Dalam problem focused coping, orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dalam rangka mengurangi stressor yang dihadapi atau yang dirasakan.  
b.      Emotion-focused coping
Merupakan usaha-usaha untuk megurangi atau mengatur emosi dengan cara menghindari untuk berhadapan langsung dengan stressor. Emotional focused coping merupakan strategi yang bersifat internal. Dalam emotional focused coping terdapat kecenderungan untuk lebih memfokuskan diri dan melepaskan emosi yang berfokus pada kekecewaan ataupun distres yang dialami dalam rangka untuk melepaskan emosi atau perasaan tersebut (focusing on and venting of emotion).
Berdasarkan beberapa teori di atas yang menguraikan berbagai bentuk strategi coping, dalam penelitian ini peneliti menggunakan bentuk strategi coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Adapun alasannya yakni, kedua bentuk strategi coping ini dapat dugunakan secara sederhana untuk menjelaskan strategi coping yang dilakukan subjek dalam penelitian ini (siswa seminari).

3.      Aspek-aspek Strategi Coping
Carver et al., (1989) mengemukakan beberapa aspek dalam strategi coping yang terbagi dalam aspek-aspek Problem Focused Coping dan aspek-aspek Emotion Focused Coping. Adapun aspek-aspek itu, meliputi:
a.      Aspek-aspek Problem Focused Coping:
1.      Active Coping, merupakan proses pengambilan langkah-langkah aktif yang dilakukan individu yang bersangkutan untuk mencoba memindahkan, menghindari tekakan, memperbaiki dampaknya. Active Coping melibatkan pengambilan tindakan langsung, peningkatan upaya individu dan mencoba untuk melaksanakan penyelesaian masalah dengan bijak. Dalam aspek ini, seorang individu dapat menunjukkan beberapa hal antara lain: mengambil tindakan tambahan untuk mencoba untuk menyingkirkanmasalah, memusatkan upaya untuk melakukansesuatu, melakukan apa yang harus dilakukan, dan mengambil tindakan langsung untuk menanggulangi masalah.
2.      Planning, yaitu individu memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan yang dihadapi. Palannig melibatkan strategi-strategi tindakan, memikirkan tindakan yang diambil dan menentukan cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah. Dalam aspek ini seorang individu menunjukkan beberapa hal yakni: mencoba memikirkan strategi tertentu,
membuat rencana aksi
, berpikir keras tentang apa langkah yang harus diambil, dan berpikir tentang bagaimana cara terbaik dalam menangani
masalah.
3.      Suppresion of Competing. Individu dapat menahan diri utnuk tidak terlibat dalam aktifitas-aktifitas kompetitif atau menahan alur informasi yang bersifat kompetitif agar bisa berkonsentrasi penuh pada permasalahan yang dihadapi. Dalam aspek ini, individu mengesampingkan kegiatan lain untukberkonsentrasi pada masalahnya, fokus mengatasi masalah, menjaga diri dagar tidakterganggu olehpikiran atau kegiatan lain, berusaha keras untuk mencegah hal-hal lain yang mengganggu usaha penyelesaian masalah.
4.      Restraint Coping. Hampir sama dengan Suppresion of Competing tetapi Restraint Coping lebih kepada menciptakan respons menahan diri yang dianggap bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi tekanan. Dalam aspek ini individu memaksa diri untuk menunggu waktu yang tepat untuk
melakukan sesuatu
, individu terus tidak melakukan apa-apa sampaisituasi mengijinkan, individu memastikan untuk tidak memperburuk keadaan denganbertindak terlalu cepat, dan individu menahan diri dari melakukan sesuatu yang terlalucepat.
5.      Seeking Social Support for Instrumental Reasons, adalah upaya untuk mencari dukungan sosial, seperti mencaari nasihat, informasi, dan bimbingan dari orang-orang yang dianggap bisa memberi dukungan. Dalam aspek ini seorang individu melakukan beberapa hal: meminta orang-orang yang memiliki masalah serupa untuk menceritakanapa yang mereka lakukan, mencoba untuk mendapatkan saran dari seseorang tentangapa yang harus dilakukan, berbicara dengan seseorang untuk mengetahui lebih lanjut tentang
situasi
tertentu, dan berbicara dengan seseorang yang bisa melakukan sesuatuterkait masalah ini.
b.      Aspek-aspek Emotion Focused Coping:
1.      Seeking Social Support for Emotional Reasons, merupakan upaya yang dilakukan individu untuk mencari dukungan sosial, dukungan moral, dan simpati dari orang lain. Dalam aspek ini seorang individu menunjukkan beberapa hal yakni: berbicara dengan seseorang tentang bagaimana individu merasa, mencoba untuk mendapatkan dukungan emosi dari teman
atau kerabat
, membahas perasaannya dengan seseorang, dan individu mendapatkan simpati dan pengertian dariseseorang.
2.      Positive Reinterpretation, yaitu mengadakan perubahan dan pengembangan pribadi dengan pengertian yang baru dan menumbuhkan kepercayaan akan arti makna kebenaran yang utama yang dibutuhkan dalam hidup
3.      Self Acceptance, yaitu menerima keadaan yang terjadi karena tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah keadaannya
4.      Denial, yakni upaya untuk mengingkari dan melupakan kejadian-kejadian yang dialami dengan menyangkal semua yang terjadi
5.      Back to The value, yaitu kembali kepada nilai atau ajaran agama; usaha untuk melakukan dan meningkatkan ajaran keagamaan. Aspek ini meliputi tindakan berdoa, dan memperbanyak ibadah untuk meminta bantuan pada Tuhan

4.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strategi Coping
Strategi coping yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Parker (1986), ketika seseorang melakukan strategi coping, ada tiga faktor utama yang dapat mempengaruhinya, yakni:
1)   Karakteristik Situasional
Dalam melakukan coping, seseorang akan melihat dan menilai situasi yang dihadapinya, apakah dapat dikontrol, diinginkan atau tidak diinginkan, menentang atau mengancam. Jika individu menilai suatu kejadian menantang maka ia akan bertindak rasional, berpikir positif dan percaya diri dalam mengatasi permasalahannya. Namun, jika situasi dinilai mengancam maka ia akan mengacu pada kepercayaan atau agama yang dianut, berpikir tentang kematian atau keinginan yang cepat dipenuhi oleh Tuhan.
2)   Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik dan psikososial yang berpengaruh pada perilaku dan emosi individu. Peran lingkungan seperti rumah tangga atau tempat kerja akan mempengaruhi coping yang digunakan oeh seseorang. Bentuk perilaku menarik diri biasanya terjadi pada seseorang yang berasal dari keluarga yang kurang mendukung satu sama lain dan dari status sosial ekonomi yang rendah.
3)   Faktor personal atau perbedaan individu. Perbedaan individu yang mempengaruhi strategi coping seseorang antara lain: jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, persepsi terhadap stimulus yang dihadapi dan tingkat perkembangan kognitif individu.
            Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Stern, 1995) mengemukakan bahwa cara individu dalam memilih strategi coping dipengaruhi oleh kepribadian, tuntutan situasi dan peran, penilaian kognitif, kebudayaan, dan kesenangan pribadi. Selanjutnya, Smeth (1994) menguraikan bahwa ada perbedaan strategi coping pada tingkat usia individu. Setiap tingkat individu mempunyai tingkat kemampuan berpikir dan kemampuan untuk beradaptasi yang berbeda-beda dengan tingkat usia di atas atau di bawahnya. Hal tersebut berhubungan dengan kemampuan untuk memperhatikan tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkat usia individu.
            Berdasarkan beberapa teori di atas, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping adalah faktor lingkungan (lingkungan fisik maupun psikososial), dan kepribadian.      

B. Siswa Seminari
1. Definisi Siswa Seminari
            Seminari berasal dari kata bahasa Latin, “Semen-Sementis” yang berarti: “benih” atau ”bibit”. Maka, seminari adalah tempat ”pembenihan” atau ”pembibitan” calon imam. Di seminari, seorang calon imam dibina dan dididik untuk memiliki kemampuan serta kepribadian yang unggul dalam segala aspek terkait pelayanan sebagai seorang imam (Pedoman Pembinaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Calon Imam di Seminari Lalian, 2010). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), kata “seminari” diartikan sebagai lembaga pendidikan bagi para calon pendeta (padri, pastor) Katolik Roma.
            Dari definisi seminari di atas, maka siswa seminari adalah siswa yang mengenyam pendidikan dan pembinaan di lembaga pendidikan calon imam. Secara lebih jelas, siswa seminari adalah remaja laki-laki yang dididik dan dibina sebagai calon imam dalam gereja Katolik Roma sesuai tahapan tertentu. Dalam kaitannya dengan pendidikan dan pembinaan calon imam, dikenal dua istilah yaitu Seminari Menengah (setara SMA) dan Seminari Tinggi (setara S1). Adapun proses pendidikan dan pendidikan di Seminari Menengah berlangsung selama empat tahun. Demikian pula proses pendidikan dan pendidikan di Seminari Tinggi berlangsung empat tahun. Dalam penelitian ini, siswa seminari yang dimaksud ialah siswa seminari di Seminari Menengah Santa Maria Immaculata Lalian – Atambua.

2. Aspek-Aspek Pembinaan Siswa Seminari
Proses pembinaan di Seminari merupakan proses pembinaan berkesinambungan. Adapun aspek dan pokok pembinaan di Seminari mencakup tiga aspek utama yakni Sanctitas (Kekudusan), Sanitas (Kesehatan), dan Scientia (Pengetahuan). Dalam penerapannya, ketiga aspek ini haruslah berjalan seiring (Pedoman Pembinaan dan Pendidikan Seminari Lalian, 2010).
1). Sanctitas
Para seminaris dibimbing untuk beriman dan mengikuti Kristus dengan meneladan Bunda Maria.  Seminaris didampingi agar pola hidup dan sikap rohani mereka bersumber pada Yesus Kristus. Dalam pembinaan Sanctitas, seminaris didampingi agar berkembang dalam hidup rohani, panggilan, hidup menggereja dan masyarakat.
2). Aspek Sanitas
Untuk tugas imamat  dan keseimbangan kepribadian, maka seminaris dituntut berbadan sehat, berjiwa sehat dan berkepribadian dewasa.
3).  Aspek Scientia
Pembinaan scientia meliputi pengembangan terbimbing bagi seminaris dalam bidang pengetahuan, keterampilan, dan organisasi. Pembinaan ini dimaksudkan agar seminaris memiliki kedisiplinan berpikir, tradisi membaca dan studi yang kuat, serta semangat untuk mengembangkan potensi-potensi diri.

C. Strategi Coping Siswa Seminari
Siswa seminari adalah kelompok remaja yang hidup dalam komunitas religius. Sebagai manusia yang sedang mengalami masa remaja yang secara umum dikenal sebagai masa transisi dan penuh dengan gejolak, siswa seminari tentu mengalami berbagai masalah, tekanan, ataupun tantangan khususnya menyangkut berbagai aturan dan tuntutan hidup di seminari. Di satu sisi mereka (siswa seminari) adalah kaum remaja yang menginginkan kebebasan dalam mencari jati diri, namun di sisi yang lain mereka adalah calon pastor (imam) yang harus mentaati berbagai aturan dan tuntutan hidup di seminari.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam proses pendidikan dan pembinaannya, siswa seminari mengalami ”goncangan” dan ”benturan” yang tidak mudah. Hal ini bisa dipahami bila kita mengacu pada prinsip dasar pendidikan dan pembinaan Calon Imam yang tentunya sarat aturan dan tuntutan hidup. Menurut Kusumawanta (2009), prinsip dasar pembentukan imamat mengatakan bahwa, pembentukan imamat merupakan proses yang progresif. Hal ini memiliki dimensi temporal. Seorang pemuda yang masuk ke seminari, sedikit demi sedikit mengalami pertumbuhan dan kedewasaan pribadi. Secara perlahan ia mengubah dirinya sesuai dengan gambaran Imam yang ideal, dan secara bertahap mengidentifikasi dirinya seperti Kristus, Sang Imam Agung.
Secara lebih konkret, tuntutan hidup yang dihadapi siswa seminari tertuang dalam aspek-aspek pendidikan dan pembinaan calon imam sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, yakni: Sanctitas (Kekudusan), Sanitas (Kesehatan), dan Scientia (Pengetahuan). Dari gambaran ini, muncul pertanyaan: apa yang biasanya dilakukan siswa seminari dalam menghadapi berbagai aturan dan tuntutan hidup di seminari sebagai seorang calon imam?
Pertanyaan di atas menghantar kita pada pemahaman tentang bagaimana seseorang dalam hal ini siswa seminari berhadapan dengan stressor hidupnya dan mengambil keputusan di dalamnya. Konsep inilah yang dalam ilmu psikologi dikenal dengan strategi coping. Dalam konteks penelitian ini, strategi copingsiswa seminari diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh siswa seminari dalam menghadapistressor hidupnya di seminari misalnya menyangkut berbagai aturan dan tuntutan seminari ataupun fenomena psikologis yang bergejolak dalam dirinya sebagai remaja.
Strategi coping yang dilakukan siswa seminari tidaklah terlepas dari pergolakan pribadi yang dialaminya. Bahwa di satu sisi siswa seminari adalah seorang remaja yang berada dalam masa yang penuh gejolak dan keinginan untuk merasakan kebebasan dalam mencari jati dirinya. Namun di sisi lain, siswa seminari adalah calon imam yang hidup dalam komunitas khusus dengan berbagai aturan serta tuntutan hidup yang tentunya tidak bisa diabaikan.
Monks, et al., (2006) mengemukakan bahwa dalam perkembangan sosial remaja, dapat dilihat adanya dua macam gerak: pertama, memisahkan diri dari orang tua dan gerak kedua adalah menuju ke arah teman-teman sebaya. Dua macam gerak ini merupakan suatu reaksi terhadap status interim anak muda. Sesudah mulainya pubertas, timbul suatu diskrepansi yang besar antara ”kedewasaan” jasmaniah dengan ikatan sosial pada lingkungan orang tua.
Dalam tahapan dan fenomena sebagaimana diuraikan di atas, siswa seminari justru masuk dalam sebuah komunitas khusus. Maka, bagaimanapun juga siswa seminari berhadapan dengan berbagai gejolak psikologis seperti perasaan terkekang, bosan dengan rutinitas hidup, ingin bebas, dan lain sebagainya. Hal ini tentu menjadi fenomena yang menarik jika kita kembali kepada tiga aspek utama dalam pendidikan dan pembinaan siswa seminari, yakni : sanitas (kekudusan), sanctitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan).
Tiga aspek yang disebutkan di atas menjadi bagian dari keseharian siswa seminari. Seiring dengan itu, proses pendampingan terhadap siswa seminari pun didasarkan pada ketiga aspek di atas. Misalnya, untuk aspek sanitas (kekudusan), seorang siswa seminari diarahkan untuk menjadi pribadi yang matang dalam hidup religiusnya. Hal ini dilihat dari rutinitas seperti menghadiri ibadat atau doa secara rutin, dan membiasakan hidup sesuai aturan yang ada di seminari. Aspek sanitas (kesehatan) mengutamakan kesehatan baik fisik maupun mental seorang siswa seminari. Dalam hal ini, rutinitas hidup misalnya makan serta tidur yang teratur menjadi sisi tersendiri bagi seorang siswa seminari. Aspek lainnya yakni scientia (pengetahuan) menjadi aspek yang tidak kalah pentingnya bagi seminari. Standar minimal nilai misalnya untuk mata pelajaran tertentu menjadi tuntutan yang sangat diperhatikan. Hal ini menjadi sesuatu yang penting dalam mempersiapkan seorang calon imam yang berkualitas, tanpa mengesampingkan aspek lain seperti pengembangan bakat menulis dan berbicara di depan umum.
Inilah sekilas gambaran tentang tiga aspek yang menjadi bagian dalam pergumulan siswa seminari. Pada sisi lainnya, patut dicatat juga bahwa sebagai manusia normal, siswa seminari tentu mengalami fenomena psikologis, misalnya ada saat dimana siswa seminari jatuh cinta terhadap lawan jenis. Hal lainnya ialah rasa bosan terhadap rutinitas hidup yang kemudian melahirkan keinginan untuk keluar dari seminari. 
Uraian di atas sesunggunya menyajikan kepada kita tentang sebuah realitas yang dialami siswa seminari yang di satu sisi adalah remaja, namun di sisi lainnya adalah calon imam. Maka menarik bagi kita untuk menelaah apa saja yang dilakukan siswa seminari sebagai bagaian dari strategi coping-nya dalam menghadapi berbagai stressor hidup di seminari. Dalam konteks ini, strategi coping siswa seminari bisa dilihat dari dua bentuk yakni: Probem-focused coping dan Emotion-focused coping. Ketika siswa seminari memilih problem-focused coping, maka kecenderungan yang diakukan adalah mencari dan menghadapi hal-hal yang dianggap sebagai sumber masalah atau tekanan, dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dengan tujuan mengurangi tingkat tekanan yang dihadapi atau dirasakan. Misalnya, ada ketakutan akan nilai ujian yang jelek (aspek scientia/pengetahuan), siswa seminari mengahdapinya dengan belajar secara tekun. Jika yang dilakukan adalah emotion-focused coping, maka kecenderungan siswa seminari adalah menghindari sumber tekanan dengan tujuan untuk mengurangi atau menghindari perasaan atau emosi yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh sumber tekanan yang dihadapi. Misalnya, ketika jatuh cinta terhadap lawan jenis (aspek sanitas/kekudusan), seorang siswa seminari bisa saja mengungkapkan perasaan tersebut dengan menulis atau menciptakan kreasi lainnya.

F.PENDEKATAN PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Denzin dan Lincoln (2009) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif merupakan fokus perhatian dengan beragam metode, yang mencakup pendekatan interpretif dan naturalistik terhadap subjek kajiannya. Hal ini berarti bahwa para peneliti kualitatif mempelajari benda-benda di dalam konteks alaminya, yang berupaya untuk memahami atau menafsirkan fenomena dilihat dari sisi makna yang dilekatkan manusia (peneliti) kepadanya. Penelitian kualitatif mencakup penggunaan subjek yang dikaji dan dikumpulkan berbagai data empiris – studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, perjalanan hidup, wawancara, teks-teks hasil pengamatan, historis, interaksional, dan visual – yang menggambarkan saat-saat dan makna keseharian dan problematis dalam kehidupan seseorang.
Uraian di atas senada dengan pendapat Parker (2008), yang mengatakan bahwa salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah suatu interpretasi atas materi – entah itu data catatan harian etnografis, transkrip wawancara, tuturan kisah-kisah kehidupan seseorang yang dikumpulkan, teks tertulis maupun ujaran, atau bahan-bahan dari media yang dikumpulkan demi kepentingan psikoanalisis.
   Secara lebih konkret dalam konteks penelitian psikologi, Smith (2009) mengemukakan bahwa pendekatan kualitatif dalam psikologi umumnya dilakukan dengan cara eksplorasi, deskripsi, dan interpretasi terhadap pengalaman personal dan sosial para partisipan. Suatu usaha biasanya dilakukan untuk memahami kerangka acuan atau pandangan yang dimiliki sejumlah kecil partisipan terhadap dunia, bukannya mencoba menguji suatu hipotesis yang telah ditetapkan pada sampel dalam jumlah besar. Bagi beberapa peneliti kualitatif, penekanan utama terletak pada bagaimana makna-makna dikonstruksi dan dibentuk secara diskursif.
Dalam penelitian kualitatif, dikenal studi kasus yakni studi yang berusaha menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan, mengapa keputusan itu diambil, bagaimana diterapkan, dan apa hasilnya (Salam, 2006).

B.     Batasan Istilah
1. Strategi Coping
            Strategi coping adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang (siswa seminari) dalam menghadapi atau menyikapi berbagaipermasalahan dalam hidupnya sebagai remaja dan calon imam di seminari.Adapun permasalahan yang dimaksud mencakup aspek Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), dan Scientia (pengetahuan).

2. Siswa Seminari
             Dalam penelitian ini, siswa seminari yang dimaksud ialah siswa seminari di Seminari Menengah Santa Maria Immaculata Lalian – Atambua. Adapun subjek dalam penelitian ini berjumlah lima (5) siswa seminari.

C. Partisipan Penelitian
            Prosedur pemilihan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif pada umumnya mengikuti beberapa kaidah, antara lain (Poerwandari, 1998):
1.      Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
2.      Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam jumlah, maupun karakteristik sampelnya sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
3.      Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Berdasarkan kaidah di atas, subjek dalam penelitian ini dibatasi pada jumlah yang kecil sesuai dengan konteks penelitian, yakni mengenai strategi coping siswa seminari. Adapun jumlah keseluruhan subjek dan informan dalam penelitian ini sebanyak 13 orang.
           
D. Metode Pengumpulan Data
            Dalam penelitian kualitatif dikenal beberapa metode pengumpulan data yang umum digunakan. Beberapa metode tersebut antara lain, wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan Focused Group Discussion (Herdiyansyah, 2010). Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara.
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data yang pelaksanaannya bisa dilakukan secara langsung dengan orang yang diwawancarai, atau secara tidak langsung seperti melalui telepon, internet, atau surat (Romli, 2006).
Denzin dan Lincoln (2009) menguraikan bahwa dalam penelitian kalitatif terdapat dua jenis wawancara yakni wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur. Wawancara terstruktur mengacu pada situsasi ketika seorang peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap responden berdasarkan kategori jawaban tertentu. Sedangkan wawancara tak terstruktur memberikan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan tipe-tipe wawancara yang lain. Wawancara terstruktur bertujuan untuk meraih keakuratan data dari karakteristik yang dapat di-kode-kan untuk menjelaskan perilaku dalam berbagai kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan wawancara tak terstruktur digunakan untuk memahami kompleksitas perilaku subjek tanpa adanya kategori apriori yang dapat membatasi kekayaan data yang dapat diperoleh.  
Selain kedua bentuk wawancara di atas, dalam berbagai penelitian juga dikenal bentuk wawancara semi terstruktur.Bentuk wawancara semi terstruktur sering disebut dengan wawancara bebas terpimpin.Bebas artinya wawancara dilakukan melalui kewajaran yang maksimal sehingga dapat diperoleh data yang mendalam.Terpimpin artinya memiliki arah yang jelas sehingga dapat dipertahankan komparabilitas dan reliabilitasnya.Bentuk wawancara ini adalah berupa kerangka pertanyaan yang penting dan sejalan dengan tujuan penelitian (Purnamasari, 2011). Bentuk wawancara semi terstruktur lebih tepat jika dilakukan pada penelitian kualitatif daripada penelitian lainnya (Herdiansyah,2010).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan bentuk wawancara semi-terstruktur.Artinya, pertanyaan yang disiapkan dalam panduan wawancara tidak bersifat kaku dan terbatas. Dalam prakteknya, pertanyaan lain bisa saja muncul, namun tetap sesuai dengan topik dan tujuan penelitian.


G.HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Hasil Penelitian
1.      Masalah-masalah Siswa Seminari
Berdasarkan hasil wawancara, peneliti menemukan beberapa permasalahan siswa seminari yang mencakup tiga aspek utama pembinaan seminari yakni: Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), dan Scientia (pengetahuan).
Permasalahan dalam aspek Sanctitas (kekudusan) meliputi kesulitan beradaptasi dengan kegiatan harian di seminari terutama kegiatan rohani seperti doa pagi, misa pagi, dan doa pribadi. Hal yang sering muncul ialah siswa sulit untuk bangun pagi.Hal lainnya ialah rasa bosan yang muncul karena kegiatan yang diulang tiap hari. Masalah lain yang terkait aspek Sanctitas ialah motivasi menjadi imam yang terkadang menurun. Bahkan ada siswa yang dengan jujur mengungkapkan bahwa dia tidak mau menjadi imam dan hanya berharap bisa tamat dari seminari dan menjadi frater.
Permasalahan dalam aspek Sanitas (kesehatan) antara lain meliputi bagaimana seorang siswa seminari berinteraksi dengan sesama siswa seminari dan juga bagaimana siswa seminari berinteraksi dengan para pembina. Interaksi antarsiswa umumnya sangat baik.Hal yang masih kurang ialah interaksi siswa dengan pembina. Umumnya siswa merasa minder bahkan tidak berani berkomunikasi dengan Pembina, contohnya banyak siswa yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pastor Pembina. Masalah aspek Sanitas lainnya ialah kesehatan fisik, emosi, dan keluarga yang umumnya tidak dialami oleh semua siswa.
Permasalahan dalam aspek Scientia (pengetahuan) meliputi kecemasan dalam menghadapi ujian.Kebanyakan siswa takut mendapatkan nilai ujian (raport) yang tidak mencapai standar seminari. Hal lainnya ialah motivasi belajar, cara belajar, kesulitan dalam pelajaran tertentu, dan pengembangan bakat. Hal lain yang juga terkait aspek Scientia ialah keributan dalam kelas dan mengantuk dalam kelas.
Selain permasalahan umum yang terangkum dalam 3 aspek pembinaan seminari di atas, terungkap pula permasalahan umum lainnya yakni keterlambatan dalam mengikuti kegiatan dan “kenakalan remaja” umumnya seperti malas, bolos, solidaritas negatif (“berkelompok”) dan motivasi yang rendah.

2.      Strategi Coping Siswa Seminari
Berbagai permasalahan yang dialami siswa seminari sebagaimana diuraikan dalam 3 aspek pembinaan seminari yang meliputi aspek sanctitas (kekudusan), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan) mendorong siswa seminari untuk melakukan strategi coping tertentu untuk menghadapinya.
Adapun strategi coping yang dilakukan siswa seminari dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya berbeda-beda sesuai sumber masalah dan juga karakter pribadi masing-masing siswa. Sekalipun demikian ada pula strategi coping yang umumya sama dilakukan oleh siswa seminari.
Permasalahan dalam aspek Sanctitas (kekudusan) meliputi kesulitan beradaptasi dengan kegiatan harian di seminari terutama kegiatan rohani seperti doa padi, misa pagi, dan doa pribadi. Hal yang sering muncul ialah siswa sulit untuk bangun pagi dan juga mengantuk saat di kapela.Hal lainnya ialah rasa bosan yang muncul karena kegiatan yang diulang tiap hari. Masalah lain yang terkait aspek Sanctitas ialah motivasi menjadi imam yang terkadang menurun. Bahkan ada siswa yang dengan jujur mengungkapkan bahwa dia tidak mau menjadi imam dan hanya berharap bisa tamat dari seminari dan menjadi frater.Masih terkait aspek sanctitas, masalah yang mucul yakni umumnya siswa seminari jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina. Strategi coping  yang dilakukan siswa seminari untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam aspek sanctitas umumnya dengan langsung menghadapi sumber masalah. Misalnya menghadapi kesulitan adaptasi dengan kebiasaan baru seperti bangun pagi, doa pagi, dan misa, siswa seminari tetap berusaha untuk mengikuti semua kegiatan yang ada. Khusus untuk bangun pagi, salah satu cara yang dilakukan siswa ialah dengan meminta bantuan teman untuk membangunkan. Strategi menghadapi sumber masalah juga dilakukan siswa seminari untuk mengatasi motivasi menjadi imam yang kadang turun yakni dengan tetap menjalani kegiatan-kegiatan seminari atau mencari dukungan dengan menceritakan masalah pribadi dengan teman. Namun siswa seminari juga menghindari sumber masalah misalnya siswa menyadari bahwa ia jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina namun tidak ada upaya untuk bertemu bapa rohani dan Pembina. Salah satu alasan yang diungkapkan ialah rasa takut berbicara secara pribadi dengan pastor dan juga rasa malas untuk mensyeringkan masalah pribadi.
Permasalah dalam aspek Sanitas (kesehatan) antara lain meliputi relasi antarsiswa dan relasi siswa dengan Pembina. Relasi antarsiswa umumnya sangat baik.Hal yang masih kurang ialah relasi siswa dengan pembina. Umumnya siswa merasa minder bahkan tidak berani berkomunikasi dengan Pembina, contohnya banyak siswa yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pastor Pembina. Masih terkait aspek sanitas, salah satu hal yang umumnya dialami siswa ialah ketertarikan terhadap lawan jenis.Masalah aspek sanitas lainnya ialah kesehatan fisik, emosi, dan keluarga yang umumnya tidak dialami oleh semua siswa.Strategi coping yang dilakukan siswa seminari dalam menghadapi permasalah dalam aspek sanitas berbeda-beda. Misalnya menyadari bahwa ia kurang dan bahkan tidak berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina, siswa seminari cenderung untuk tidak berbuat apa-apa dan hanya menerima keadaan. Sebaliknya menghadapi adanya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, umumnya siswa seminari menghadapi sumber masalah yakni dengan menjalin hubungan khusus (pacar) dengan wanita yang dicintai.
Permasalahan dalam aspek Scientia (pengetahuan) meliputi kecemasan dalam menghadapi ujian.Kebanyakan siswa takut mendapatkan nilai ujian (raport) yang tidak mencapai standar seminari. Hal lainnya ialah motivasi belajar, cara belajar, kesulitan dalam pelajaran tertentu, dan pengembangan bakat. Hal lain yang juga terkait aspek scientia ialah keributan dalam kelas dan mengantuk dalam kelas. Strategi coping  yang dilakukan siswa seminari untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam aspek scientia umumnya dengan langsung menghadapi sumber masalah. Misalnya menghadapai rasa cemas dan takut menjelang ujian, siswa umumnya belajar secara tekun. Hal yang sama dilakukan siswa ketika megalami kesulitan dalam mata pelajaran tertentu yakni dengan belajar bersama teman lain. Namun siswa juga terkadang hanya menerima keadaan misalnya ketika terjadi keributan dalam kelas, siswa tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya menerima situasi kelas yang ribut.

B.     Pembahasan
Siswa seminari adalah kelompok usia remaja yang hidup dalam komunitas khusus yakni seminari. Sebagai pribadi yang sedang mengalami masa remaja yang secara umum dikenal sebagai masa transisi dan penuh dengan gejolak, siswa seminari tentu mengalami berbagai masalah, tekanan, ataupun tantangan khususnya menyangkut berbagai aturan dan tuntutan hidup di seminari. Di satu sisi mereka (siswa seminari) adalah kaum remaja yang menginginkan kebebasan dalam mencari jati diri, namun di sisi yang lain mereka adalah calon pastor (imam) yang harus mentaati berbagai aturan dan tuntutan hidup di seminari.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan berbagai permasalahan siswa seminari yang dapat dikelompokkan dalam tiga aspek pembinaan seminari, yaitu aspek Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), dan Scientia (pengetahuan). Dalam tiga aspek pembinaan seminari di atas, siswa seminari menyadari berbagai permasalahan yang berbeda-beda sesuai pengalaman pribadinya. Sekalipun demikian, ada pula permasalahan umum yang dialami oleh semua subjek. Berbagai permasalahan yang dialami oleh siswa seminari dalam tiga aspek pembinaan seminari di atas, mendorong siswa seminari untuk melakukan strategi coping tertentu.
1.      Aspek Sanctitas (Kekudusan)
Permasalahan dalam aspek Sanctitas (kekudusan) meliputi kesulitan beradaptasi dengan kegiatan harian di seminari terutama kegiatan rohani seperti doa padi, misa pagi, dan doa pribadi. Hal yang sering muncul ialah siswa sulit untuk bangun pagi dan juga mengantuk saat di kapela.Hal lainnya ialah rasa bosan yang muncul karena kegiatan yang diulang tiap hari.
Masalah lain yang terkait aspek Sanctitas ialah motivasi menjadi imam yang terkadang menurun. Bahkan ada siswa yang dengan jujur mengungkapkan bahwa dia tidak mau menjadi imam dan hanya berharap bisa tamat dari seminari dan menjadi frater.Masih terkait aspek sanctitas, masalah yang mucul yakni umumnya siswa seminari jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina.
Berbagai permasalahan yang terungkap di atas, mendorong siswa seminari untuk melakukan strategi coping tertentu. Strategi coping  yang dilakukan siswa seminari untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam aspek sanctitas umumnya dengan langsung menghadapi sumber masalah. Misalnya menghadapi kesulitan adaptasi dengan kebiasaan baru seperti bangun pagi, doa pagi, dan misa, siswa seminari tetap berusaha untuk mengikuti semua kegiatan yang ada. Khusus untuk bangun pagi, salah satu cara yang dilakukan siswa ialah dengan meminta bantuan teman untuk membangunkan. Hal ini terungkap dalam diri RT, HH, MB dan YG subjek yang mengakui bahwa salah satu kesulitan yang dialami ketika masuk seminari ialah kebiasaan bangun pagi, dan umumnya dihadapi dengan meminta bantuan teman untuk membangunkan.
Strategi menghadapi sumber masalah juga dilakukan siswa seminari untuk mengatasi motivasi menjadi imam yang kadang turun yakni dengan tetap menjalani kegiatan-kegiatan seminari atau mencari dukungan dengan menceritakan masalah pribadi kepada teman.Hal ini juga nampak dalam diri semua subjek. Namun siswa seminari juga menghindari sumber masalah misalnya siswa menyadari bahwa ia jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina namun tidak ada upaya untuk bertemu bapa rohani dan Pembina. Salah satu alasan yang diungkapkan ialah rasa takut berbicara secara pribadi dengan pastor dan juga rasa malas untuk mensyeringkan masalah pribadi. Hal ini nampak dalam diri semua subjek kecuali subjek RT yang selalu berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina.
Jika dirunut secara detail, berbagai permasalahan dalam aspek sanctitas sebagaimana diuraikan di atas dapat dikategorikan dalam dalam dua kelompok yakni pertama, masalah-masalah yang biasa seperti kesulitan untuk bangun pagi dan megikuti kegiatan-kegiatan rohani, mengantuk saat doa dan misa pagi, rasa bosan dan malas yang muncul karena kegiatan yang diulang-ulang. Kelompok kedua, yakni masalah-masalah mendasar yang meliputi motivasi yang rendah dan ketertutupan diri yang ditunjukkan siswa seminari dengan jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina.
Masalah-masalah biasa seperti kesulitan untuk bangun pagi dan mengikuti kegiatan-kegiatan rohani, mengantuk saat doa dan misa pagi, rasa bosan dan malas yang muncul karena kegiatan yang diulang-ulang dapat dipahami dengan melihat latar belakang keluarga siswa seminari yang umumnya tidak menekankan kebiasaan seperti bangun pagi dan kegiatan rohani yang rutin sebagaimana dialami siswa seminari di seminari. Karena itu ketika mereka (siswa seminari) berhadapan dengan rutinitas baru, adaptasi menjadi sebuah keharusan serentak menjadi kesulitan tersendiri. Namun menarik untuk menyimak bahwa ternyata kesulitan yang dialami tetap dihadapi siswa seminari dengan tekun. Misalnya untuk kesulitan bangun pagi yang dihadapi dengan meminta bantuan teman sebagaimana dinyatakan oleh subjek RT, HH, MB, dan YG. Hal lainnya ialah rasa bosan yang kadang muncul akibat kegiatan (rohani) yang diulang-ulang setiap hari sebagaimana diungkapkan subjek KS, HH, MB, dan YG. Menyikapi rasa bosan itu, subjek KS, HH, MB, dan YG mengaku tetap menjalani semua kegiatan yang ada. Hal sedikit berebeda diungkapkan HH dan YG. HH mengaku pernah tidak mengikuti kegiatan Misa karena malas. Namun kebanyakan ia tetap berusaha mengikuti kegiatan rohani. YG memiliki cara yang unik untuk mengatasi rasa bosan yakni dengan bermain gitar pada jam rekreasi. YG juga mengungkapkan bahwa olah raga juga bisa menjadi wadah untuk menyegarkan diri dari segala rutinitas. 
      Jika dianalisa menurut pendapat Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Stern, 1995), itu semua merupakan bentuk dari coping yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah (Problem focused coping), meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif yang merupakan sumber masalah atau melakukan sesuatu untuk merubah sumber masalah tersebut. Dalam Problem focused coping orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dalam rangka memgurasi stressor yang dihadapi atau dirasakan.
Misalnya untuk kesulitan bangun pagi yang dihadapi dengan meminta bantuan teman sebagaimana dinyatakan oleh subjek RT, HH, MB, dan YG. Meminta teman membangunkan menunjukkan bahwa subjek memiliki rencana untuk bangun pagi. Hal ini menurut Carver et al., (1989) termasuk dalam salah satu aspek Problem Focused Coping yakni aspek Planning, dalam hal ini individu memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan yang dihadapi. Apa yang diungkapan oleh subjek tersebut dikuatkan oleh teman dekat masing-masing subjek yang mengatakan bahwa dalam hal bangun pagi, mereka biasanya saling membangunkan.
Selanjutnya terkait rasa bosan yang kadang muncul akibat kegiatan (rohani) yang diulang-ulang setiap hari sebagaimana diungkapkan subjek KS, HH, MB, dan YG. Menyikapi rasa bosan itu, subjek KS, HH, MB, dan YG mengaku tetap menjalani semua kegiatan yang ada. Menurut Carver et al., (1989) hal ini menunjukkan salah satu aspek Problem Focused Coping yakni aspek Active Coping. Dalam hal ini, subjek memilih menghadapi masalah dengan tindakan langsung. Hal ini juga terungkap dalam hasl observasi yang menunjukkan bahwa semua subjek umumnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan seminari. 
Hal sedikit berebeda diungkapkan HH dan YG. Subjek HH mengaku pernah tidak mengikuti kegiatan Misa karena malas. Namun kebanyakan ia tetap berusaha mengikuti kegiatan rohani. YG memiliki cara yang unik untuk mengatasi rasa bosan yakni dengan bermain gitar pada jam rekreasi. YG juga mengungkapkan bahwa olah raga juga bisa menjadi wadah untuk menyegarkan diri dari segala rutinitas. Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan YG memperlihatkan aspek Restraint Coping dalam Problem Focused Coping, dalam hal ini subjek menciptakan respons menahan diri yang dianggap bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi tekanan. Pengakuan YG dibenarkan oleh YN (teman dekat YG) dan DA (pembina YG) yang mengatakan bahwa YG memiliki ketertarikan terhadap musik, dalam hal ini gitar. Sedangkan subjek HH yang pernah tidak mengikuti Misa karena malas menuunjukkan Self Acceptance dalam Emotion Focused Coping, dalam hal ini subjek menerima keadaan yang terjadi (rasa malas).   
Strategi Problem focused coping juga diterapkan siswa seminari dalam menghadapi masalah motivasi yang kadang menurun. RT mengakui bahwa menghadapi motivasi yang menurun, ia memilih berkonsultasi dengan bapa rohani  dan temannya. HH dan YG juga mengaku demikian namun HH hanya mengungkapkan perasaannya kepada teman sedangkan YG mengungkapkannya kepada teman dan orangtuanya. Hal lain diungkapkan MB yang mengaku biasanya mengingat kembali pesan atau motivasi dari pembina ketika ia merasa motivasinya menurun. Selain itu, doa pribadi juga menjadi jalan lain dalam menghadapi motivasi yang menurun. Hal ini diungkapkan oleh RT dan MB.
Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan subjek RT, HH, dan YG dalam menyikapi motivasi yang menurun dengan menceritakannya kepada orang lain menggambarkan salah satu aspek dalam Problem Focused Coping yakni aspek Seeking Social Support for Instrumental Reasons, dalam hal ini individu mencari dukungan sosial seperti nasihat dan bimbingan dari orang-orang yang dianggap bisa memberi dukungan.   
Masih terkait menurunnya motivasi, menurut pendapat Carver et al., (1989), subjek RT dan MB memperlihatan salah satu aspek Emotional Focused Coping yakni Back to The Value, yang meliputi tindakan berdoa dan memperbanyak ibadah untuk meminta bantuan pada Tuhan. Dalam konteks RT dan MB, keduanya memilih menyerahkan persoalannya kepada Tuhan lewat doa pribadi, selain doa bersama. Secara khusus, subjek MB juga menunjukkan aspek lain dalam Emotional Focused Coping yakni Positive Reinterpretation, dalam hal ini subjek menciptakan perubahan dalam konsep berpikirnya tentang masalah yang dihadapi. Subjek berusaha menemukan makna baru dalam masalahnya. Dalam pengalaman MB, hal ini didukung dengan mengingat kembali nasihat atau motivasi dari para pembina.  
Sementara itu dalam menyikapi masalah interaksi dengan pembina (siswa seminari jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina), siswa seminari cenderung menerapkan strategi Emotion FocusedCoping, yakni dengan menghindari sumber masalah. Dalam hal ini, siswa seminari lebih memilih untuk berdiam diri tanpa adanya usaha untuk berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. KS dan HH, mengaku sangat jarang berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. MB dan YG mengaku belum pernah berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina. Hanya subjek RT yang mengaku selalu berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. Menghadapi masalah ini, umumnya subjek memilih menerima keadaan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengatasinya misalnya dengan membuat niat untuk berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina. Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan subjek (kecuali RT yang selalu berkonsultasi), menunjukkan aspek Emotion FocusedCoping yakni Self Acceptance, dalam hal ini tidak ada usaha dari subjek dalam menyikapi masalah yang dihadapi. 
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ternyata terdapat pola coping berbeda yang ditunjukkan masing-masing subjek, selain pola umum yang umumnya ditunjukkan oleh semua subjek. Hal ini menegaskan bahwa faktor personal/perbedaan individu juga turut menentukan coping seseorang selain faktor lingkungan dan karakteristik sosial (Parker, 1986).    
2.      Aspek Sanitas (Kesehatan)
Permasalahan dalam aspek Sanitas (kesehatan) antara lain meliputi relasi antarsiswa dan relasi siswa dengan Pembina. Relasi antarsiswa umumnya sangat baik.Hal yang masih kurang ialah relasi siswa dengan pembina. Umumnya siswa merasa minder bahkan tidak berani berkomunikasi dengan Pembina, contohnya banyak siswa yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pastor Pembina. Hal ini secara lebih jelas sudah dibahas dalam bagian sebelumnya (aspek sanctitas).
Masih terkait aspek sanitas, salah satu hal yang umumnya dialami siswa ialah ketertarikan terhadap lawan jenis (semua subjek mengakui hal ini).Masalah aspek sanitas lainnya ialah kesehatan fisik, emosi, dan keluarga yang umumnya tidak dialami oleh semua siswa.Masalah kesehatan fisik hanya dialami subjek MB yang memiliki penyakit Mag dan paru-paru.Sedangkan masalah emosi dan keluarga hanya dialami subjek KS.Subjek KS mengaku termasuk orang yang biasanya cepat marah.Terkait keluarga, orangtua KS sudah bercerai dan sejak kecil KS tinggal dengan neneknya dan dibiayai oleh seorang pamannya.Hal ini kadang menjadi “sumber sakit hati” bagi KS.
Strategi coping yang dilakukan siswa seminari dalam menghadapi permasalahan dalam aspek sanitas berbeda-beda. Misalnya menyadari bahwa ia kurang dan bahkan tidak berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina, siswa seminari cenderung untuk tidak berbuat apa-apa dan hanya menerima keadaan. Hal ini terungkap dalam semua subjek kecuali subjek RT yang selalu berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina.Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang terjadi pada subjek (kecuali subjek RT yang selalu berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina) menunjukkan aspek Self Acceptance dalam Emotional Focused Coping, dalam hal ini subjek tidak melakukan usaha apapun dalam menyikapi masalah dan hanya menerima keadaan.
Sebaliknya menghadapi adanya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, umumnya siswa seminari menghadapi sumber masalah yakni dengan menjalin hubungan khusus (pacar) dengan wanita yang dicintai.Hal ini juga terungkap dalam diri semua subjek kecuali subjek RT mengaku tidak memiliki pacar dan sejauh ini hanya menyimpan perasaan dalam hatinya.Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan RT yakni dengan memendam perasaan cinta dan hanya ingin menadi teman menunjukkan salah satu aspek Emotional Focused Coping yakni aspek Denial, dalam hal ini subjek berupaya mengingkari dan melupakan perasaan cintanya kepada seorang wanita. Pengakuan RT dikuatkan oleh informan HU (teman dekat RT) yang mengatakan bahwa RT memiliki rasa cinta terhadap seorang wanita namun sejuah ini RT hanya berusaha menjadikan wanita tersebut sebagai teman dan tidak ingin menjalin hubungan sebagai pacar. Selanjutnya, mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang terjadi pada subjek KS, HH, MB, dan YG yakni memilih menjalin hubungan khusus (pacar) dengan wanita yang dicintai menjunjukkan aspek Active Coping dalam Problem Focused Coping, dalam hal ini subjek memilih langsung mengadapi sumber masalah. Namun, dalam kesehariannya, semua subjek juga menunjukkan pola coping berbeda selain coping yang telah diuraikan di atas. Umumnya subjek memilih menuangkan perasaannya dalam bentuk tulisan bila mengingat wanita yang dicintai. 
Masalah lain yang terkait aspek sanitas ialah kesehatan fisik, yang umumnya tidak dialami oleh semua subjek kecuali subjek MB yang mengaku memiliki penyakit Mag dan paru-paru. Subjek RT, HH, MB dan YG mengaku tidak memiliki penyakit dan hanya mengalami sakit yang biasa seperti flu dan demam. Sedangkan untuk subjek MB yang mengaku memiliki penyakit Mag dan paru-paru, sejuah ini subjek pernah berobat ke dokter (waktu SMP), menyampaikannya kepada orangtua, berusaha makan tepat waktu dan selalu meminta ijin di kelas untuk meminum air jika Mag-nya kambuh. Hal ini juga diungkapkan oleh informan JL (teman dekat MB) yang mengakui bahwa MB memiliki pengakit Mag dan biasanya meminta ijin untuk makan atau minum ketika jam pekajaran terkahir di kelas. Apa yang dilakukan MB dalam menyikapi masalah kesehatan fisiknya, menurut pendapat Carver et al., (1989), merupakan aspek Active Coping dalam Problem Focused Coping, dalam hal ini subjek melakukan tindakan-tindakan langsung dalam menghadapi masalah seperti berobat ke dokter, dan berusaha makan tepat waktu. 
Masalah lain terkait aspek sanitas ialah masalah emosi (cepat marah) yang dialami subjek KS. Subjek KS mengaku ia termasuk pribadi yang cepat marah. Bahkan di kelas peralihan ia pernah terlibat adu fisik dengan temannya. Namun sejuah ini ia masih bisa menguasai emosinya. KS mengaku jika sedang marah, iacenderung meninggalkan temannya. Hal ini dibenarkan oleh informan YG (teman dekat KS) yang mengatakan bahwa KS memang sering cepat marah jika diganggu teman.Namun KS juga biasanya cepat meredakan emosinya dengan meninggalkan temannya. Meninggalkan teman untuk meredakan emosi (marah) seperti yang dilakukan KS, menurut pendapat Carver et al., (1989), termasuk dalam salah satu aspek Emotional Focused Coping yakni aspek Denial, dalam hal ini subjek berusaha melupakan apa yang dialaminya.
Masih terkait aspek sanitas, kadang ada rasa tertekan yang muncul akibat berbagai aturan seminari.Hal ini diakui oleh subjek KS yang mengaku menuangkan perasaan itu dalam cerpen.Berkaitan dengan itu, subjek RT, MB dan YG mengakui hal yang sedikit berbeda yakni pernah mendapat sanksi dari Pembina akibat kelalaian.Umumnya, subjek menjalani sanksi yang diberikan. RT mengakui juga bahwa ia sering menuangkan perasaan dalam buku harian. MB dan YG menerima keadaan begitu saja. Menuangkan perasaan (masalah) dalam buku harian sebagaimana dilakukan KS dan RT, menurut pendapat Carver et al., (1989), menunjukkan salah satu aspek Emotional Focused Coping yakni aspek Positive Reinterpretation, dalam hal ini subjek berupaya menumbuhkan pengertian baru berdasarkan masalah yang ada dan mengambil makna dari masalah tersebut. 
Menyimak berbagai permasalahan dalam aspek sanitas dan strategi coping yang dilakukan subjek di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pola coping berbeda yang ditunjukkan subjek dalam menghadapi masalahnya. Misalnya untuk masalah relasi dengan Pembina, dalam arti subjek jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi, subjek lebih memilih strategi emotional focused coping  yakni dengan menerima keadaan, dan tidak memiliki usaha untuk mengubah situasi atau masalah yang ada. Hal ini nampak dalam diri semua subjek, kecuali RT yang memiliki kebiasaan berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina.
Hal berbeda ditunjukkan subjek dalam menyikapi perasaan menyukai lawan jenis/ jatuh cinta.Semua subjek mengakui memiliki pacar, kecuali RT yang mengaku sejauh ini hanya menyimpan perasaan saja. Jatuh cinta dan kemudian memilih menjalin relasi khusus dengan teman wanita (pacar) adalah bagian dari strategi problem focused coping yakni langsung menghadapi sumber masalah. Namun dalam kesehariannya di seminari subjek juga menunjukkan strategi emotional focused coping misalnya menuangkan perasaan dalam buku harian atau membuat sebuah tulisan ketika merindukan sang pacar, sebagaimana diungkapkan KS, HH, dan YG. Mengungkapkan perasaan kepada teman juga menjadi alternatif lain, sebagaimana diungkpan subjek KS, HH, MB, dan YG. Hal yang sama diakui oleh RT yang mengaku mengungkapkan perasaannya (ketertarikan terhadap wanita) kepada bapa rohani dan teman.
Sebagaimana dalam aspek sanctitas, subjek menunjukkan pola coping  yang berbeda untuk setiap masalah, demikian pula dalam aspek sanitas, terdapat pola coping  yang berbeda untuk setiap jenis masalah. Ada masalah yang dihadapi subjek dengan strategi problem focused coping, ada pula masalah yang dihadapi subjek dengan strategi emotional focused coping.
3.      Aspek Scientia (Pengetahuan)
Permasalahan dalam aspek Scientia (pengetahuan) meliputi kecemasan dalam menghadapi ujian.Kebanyakan siswa takut mendapatkan nilai ujian (raport) yang tidak mencapai standar seminari. Hal lainnya ialah motivasi belajar, cara belajar, kesulitan dalam pelajaran tertentu, dan pengembangan bakat. Hal lain yang juga terkait aspek scientia ialah keributan dalam kelas dan mengantuk dalam kelas.
Strategi coping yang dilakukan siswa seminari untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam aspek scientia umumnya dengan langsung menghadapi sumber masalah.Misalnya menghadapai rasa cemas dan takut menjelang ujian, siswa umumnya belajar secara tekun. Hal yang sama dilakukan siswa ketika mengalami kesulitan dalam mata pelajaran tertentu yakni dengan belajar bersama teman lain. Namun siswa juga terkadang hanya menerima keadaan misalnya ketika terjadi keributan dalam kelas, siswa tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya menerima situasi kelas yang ribut.
Dari uraian di atas terdapat dua pola coping yakni problem focused coping dan emotional focused coping. Pola problem focused coping diterapkan subjek dalam menyikapi tuntutan akademik yakni terkait nilai ujian yang harus mencapai standar seminari. Semua subjek mengakui bahwa mereka menyikapi tuntutan akademik dengan belajar, walaupun tidak semua subjek mencapai nilai yang tinggi.Semua subjek mengakui bahwa sering belajar bersama teman untuk mata pelajaran atau tugas yang dirasa sulit. Khusus untuk RT, selain belajar bersama teman, ia juga sering berkonsultasi dengan Pembina terkait aspek scientia.
Jika dianalisa menurut pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan subje dalam menyikapi masalah aspek scientia sebagai diuraikan di atas, menunjukkan pola Problem Focused Coping yang antara lain terungkap dalam aspek-aspek seperti Active Coping (subjek belajar tekun untuk mendapatkan nilai ujian yang memenuhi standar seminari), Seeking Social Support for Instrumental Reasons (subjek bertanya kepada teman atau pembina dan belajar bersama teman untuk pelajaran tertentu yang sulit).  
Pola Problem Focused Coping jugaterungkap dalam cara subjek menyikapi masalah seperti keributan dalam kelas. KS dan RT mengakui menyikapi keributan dalam kelas dengan menyesuaikan diri dengan keadaan.Jika terjadi keributan, seperti ada yang bercerita dalam kelas, sesekali KS ikut bercerita, namun kemudian berusaha untuk kembali fokus dalam bejalar.Subjek RT memilih mengalah dan tetap berusaha untuk belajar jika terjadi keributan dalam kelas.Subjek MB dan YG memilih mengerjakan tugas ketika terjadi keributan dalam kelas ketimbang memaksakan diri untuk belajar. Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan subjek di atas memperlihatkan aspek Problem Focused Coping yakni Restraint Coping, dalam hal ini subjek menciptakan respons yang perlu dan bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada. Dalam konteks keributan dalam kelas, subjek memilih untuk tetap belajar, membuat tulisan tertentu atau mengerjakan tugas.

Uraian di atas menggambarkan betapa kehidupan siswa seminari tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dialaminya dalam proses pendidikan dan pembinaan di seminari. Berbagai permasalahan itulah yang dari sudut pandang teori dapat dikategorikan dalam tiga aspek pembinaan seminari yang mencakup aspek Sanctitas, Sanitas, dan Scientia. Namun secara lebih luas, berbagai permasalahan yang terungkap di atas menjadi gambaran betapa siswa seminari bergumul dalam kesehariannya, dan mencari berbagai alternatif terbaik (coping) dalam menyikapi berbagai masalah yang dihadapinya.  
Supardi (dalam Kusumawanta, 2011) mengatakan bahwa kehidupan seminaris dari waktu ke waktu juga mengalami gelombang dinamika. Ada banyak tantangan dan kendala yang dihadapi oleh para calon imam pada zaman ini. Anak-anak seminaris seolah-olah ada di persimpangan jalan zaman ini antara tuntutan hidup seminari dan berbagai aneka tawaran zaman yang serba memikat hati. Rutinitas hidup seminari dihadapkan dengan daya pikat zaman serba cepat. Tentulah daya tarik perkembangan dunia modern sangat berpengaruh terhadap pola hidup dan karakter seminaris dalam proses pembinaan di seminari (HP, FB, notebook, dll). Supardi (dalam Kusumawanta, 2011) menambahkan bahwa dalam penghayatan iman atau cita rasa religius kurang mendapat tanggapan baik, terbukti dari banyaknya anak yang tidak tahu berdoa, sulit hening, kesetiaan dan kreativitas sangat lemah, dalam bekerja harus selalu didampingi, selalu mencari gampang, mental enak dengan kemudahan internet. Sementara ada sebagian anak seminaris coba-coba melanggar aturan, munculnya tipe pemberontak, anak-anak kurang mendalam, hanya datar-datar saja (kurang refleksif).
Gambaran di atas menjadi nyata dalam pengalaman subjek di seminari, misalnya kesulitan awal untuk beradaptasi dengan rutinitas baru di seminari seperti bangun pagi, doa, misa, dan kegiatan lainnya yang menuntut disiplin hidup. Hal lain yang muncul sebagai gambaran siswa seminari yang mengalami ”persimpangan jalan” adalah rasa bosan dan malas yang lahir akibat kegiatan yang diulang-ulang, selain motivasi yang kadang menurun.   
Pada sisi lain, perlu dipahami pula bahwa siswa seminari adalah pribadi remaja yang sedang menuju kedewasaan. Menurut Kurnianto (dalam Kusumawanta, 2011) pada kenyataannya, sendiri sedang bertumbuh dan berkembang menuju kedewasaannya, baik secara fisik, emosi dan intelektualnya. Tiga elemen ini berkembang seiring sejalan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, seminaris mempunyai soal di dalam dirinya. Dalam konteks kehidupan nyata di seminari Lalian, berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa hal yang menggambarkan dinamika perkembangan siswa seminari menuju kedewasaannya, di antaranya pengalaman jatuh cinta yang umumnya disikapi dengan langsung menghadapi sumber stressor. Hal lainnya ialah motivasi menjadi imam yang terkadang menurun, yang umumnya disikapi dengan tetap menjalani semua aturan seminari sambil terus menumbuhkan harapan dalam diri untuk tetap bertahan di seminari. Namun itulah gambaran betapa siswa seminari benar-benar meleburkan diri dalam perkembangan pribadinya baik sebagai remaja maupun sebagai calon imam.
Selanjutnya dalam konteks coping, jika dianalisa menurut pendapat Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Sternn, 1995), dan pendapat Carver et al., (1989) tentang aspek-aspek strategi coping, maka ditemukan dua pola coping  yang diterapkan siswa seminari dalam menyikapi berbaai permasalahannya yakni Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping. Jika Problem Focused Coping merupakan bentuk coping yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah, maka Emotion Focused Coping merupakan usaha-usaha untuk mengurangi atau mengatur emosi dengan cara menghindari untuk berhadapan langsung dengan stressor.
Kedua bentuk coping di atas diterapkan siswa seminari pada tiap masalah yang berbeda, bergantung pada jenis masalah, dan juga kepribadian. Jika dirunut secara jelas, pola Problem Focused Coping diterapkan siswa seminari dalam menyikapi persoalan umum seperti kesulitan beradaptasi dengan rutinitas baru di seminari, misalnya bangun pagi, doa, misa, dan berbagai kegiatan lainnya yang sudah terjadwal. Pola yang sama juga diterapkan siswa seminari dalam menyikapi tuntutan akademik dalam arti nilai ujian yang harus mencapai standar seminari. Umumnya semua subjek memilih tekun belajar agar mendapat nilai yang memenuhi standar seminari. Dalam belajar itu, umumnya mereka belajar secara pribadi, belajar bersama teman, dan ada juga subjek yang mengaku berkonsultasi dengan pembina.
            Uraian di atas menggambarkan bahwa ketika memasuki suatu lingkungan yang baru, individu akan cenderung menerapkan pola Problem Focused Coping yakni dengan langsung mengahadapi sumber masalah, seperti menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan baru. Hal tersebut sebagaimana terungkap dalam hasil penelitian Kertamuda (2009) tentang Pengaruh Strategi Coping Terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru.Berdasarkan hasil penelitiannya, Kertamuda (2009) menyimpulkan bahwa bentuk strategi coping yang dilakukan mahasiswa baru lebih dominan kepada problem-focused coping yang berorientasi pada pencarian pemecahan masalah dari stresor, yang diterima dengan cara mencari usaha dan mengatur atau merubah kondisi objektif yang merupakan hambatan dalam penyesuaian diri atau melakukan sesuatu untuk merubah hambatan tersebut. Mahasiswa baru aktif dalam mempelajari kultur, kebiasaan, pola pembelajaran, serta memahami dinamika yang ada di universitas yang kemudian berusaha memahami semua hal tersebut ke dalam dirinya, serta menyesuaikan diri dengan semua hambatan dan stresor yang ada.
            Dalam konteks kehidupan siswa seminari, proses penyesuaian diri menjadi menjadi sebuah keharusan karena bagaimanapun siswa seminari hidup dalam lingkungan kehidupan baru yang tentunya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Di sisi lain, berbagai aturan dan tuntutan hidup seminari juga mengharuskan siswa seminari menghadapinya dengan sabar dan tekun, seperti tuntutan kehidupan rohani dan kemampuan akademik.  
Pola Problem Focused Coping juga diterapkan subjek dalam menyikapi pengalaman jatuh cinta. Umumnya subjek memilih langsung menghadapi sumber stressor yakni dengan menjalin hubungan khusus (pacar) dengan wanita yang ia cintai, kecuali subjek RT yang mengaku berusaha menyimpan perasaannya. Dalam menyikapi motivasi yang kadang menurun, umumnya subjek juga menerapkan pola Problem Focused Coping yakni dengan tetap berusaha menjalani rutinitas di seminari.     
Pola Emotion Focused Coping diterapkan subjek dalam menyikapi masalah seperti subjek jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. Kecuali subjek RT yang selalu berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina, subjek lainnya mengaku hanya menerima keadaan dan tidak memiliki usaha untuk menghadapi stressor. Dalam hal ini, mereka mengakui bahwa sejauh ini mereka belum memiliki usaha untuk berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina. Kebanyakan masalah dihadapi subjek dengan menceritakannya kepada teman, bahkan ada subjek yang mengakui bahwa ia lebih memilih menyelesaikan persoalannnya sendiri ketimbang berkonsultasi dengan pembina maupun teman. Hal ini menggambarkan salah satu ciri remaja sebagai individu yang berupaya mencari kebebasan. Menurut Allport (dalam Sarwono, 2011), dalam pertumbuhan dan perkembagannya sorang remaja berusaha untuk melepaskan diri dari milieu (lingkungan) orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Hal ini menjadi nyata dalam diri subjek penelitian yang lebih memilih menceritakan masalahnya kepada teman atau menyelesaikannya sendiri daripada berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. Pada sisi lain, kurangnya intensitas berkonsultasi dengan pembina disadari oleh subjek namun subje lebih memilih diam dan tidak melakukan usaha apapun. Dalam perspektif Carver et.al., (1989), hal ini merupakan pola Emotion Focused Coping yakni aspek Self Acceptance,dalam hal ini subjek menerima keadaan yang ada tanpa usaha apapun.
Namun melihat pengalaman berbeda yang ditunjukkan subjek RT yang memiliki intensitas tinggi dalam berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina, dapat dipertimbangkan bahwa ada faktor tertentu yang turut mempengaruhi pola coping seseorang, selain faktor pertumbuhan dan perkembangan sebagai remaja sebagaimana diuraikan di atas. Salah satu faktor yang dapat diuraikan ialah faktor kecerdasan sosial sebagaimana terungkap dalam penelitian Kusuma (2010) tentang Hubungan Antara Hubungan Antara Kecerdasan Sosial Dengan Gaya Penyelesaian Konflik Siswa Seminari Menengah. Hasil penelitian Kusuma (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan sosial dengan gaya penyelesaian konflik, sehingga dapat disimpulkan bahwa kecerdasan sosial mempunyai kontribusi menentukan gaya penyelesaian konflik yang digunakan seseorang. Dengan demikian dapat diduga bahwa terdapat perbedaan kecerdasan sosial di antara subjek penelitian, yang menjadikannya berbeda dalam menentukan pola coping. Tentu hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut lewat penelitian yang akurat.
Selanjutnya, melihat kecenderungan siswa pada pola Emotion Focused Coping dalam menyikapi permasalahannya sebagaimana diuraikan di atas, patut dipertimbangkan faktor dukungan sosial dan optimisme individu, sebagaimana dijabarkan Utaminingsih (2010) dalam penelitiannya tentang Pengaruh Dukungan Sosial Dan Optimisme Dengan Kecenderungan Penggunaan Emotional Focused Coping Pada Remaja Awal. Hasil penelitian ini memperlihatkan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dan Emotional Focused Coping. Makin tinggi dukungan sosial akan makin rendah kecenderungan penggunaan Emotional Focused Coping dan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara optimisme dengan Emotional Focused Coping. Makin tinggi optimisme akan makin rendah kecenderungan penggunaan Emotional Focused Coping. Dalam konteks kehidupan siswa seminari, dukungan social yang dimaksud bisa berupa langkah-langkah konkret dari seminari seperti mengadakan evauluasi terhadap berbagai kegiatan, aturan dan tuntutan yang ada, dan tentunya ketersediaan ruang dan waktu bagi siswa untuk mengembangkan diri secara utuh dan seimbang dalam berbagai aspek.Dukungan sosial juga bisa berupa suasana keakraban yang membangun di antara siswa.Dengan dukungan sosial seperti ini, diharapkan siswa memiliki perhatian yang lebih terhadap pola Problem Focused Coping dalam menyikapi permasalahannya. Sedangkan faktor optimisme (individu) dalam konteks siswa seminari dapat diartikan sebagai proses pendewasaan diri siswa secara internal. Melalui pengalaman dan permenungan diri yang dalam, siswa diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahannya secara bijak dan membangun optimisme yang tinggi terhadap masa depan.
Dari uraian di atas, didapatkan gambaran bahwa strategi coping siswa seminari bukanlah merupakan suatu pola yang baku, dalam arti tidak ada bentuk coping yang khusus untuk masalah tertentu. Namun, masing-masing subjek menerapkan bentuk coping sesuai jenis masalah dan kepribadiannya. Walaupun demikian, ada pola coping umum yang nampak dalam kehidupan siswa seminari, seperti pola Problem Focused Coping yang umumnya diterapkan siswa seminari dalam hampir seluruh kesehariannya yakni tetap berusaha mengikuti berbagai aturan dan tuntutan hidup (rutinitas/kegiatan harian), walaupun terkadang muncul rasa bosan dan malas, serta motivasi yang rendah.
Sedangkan pola Emotion Focused Coping umumnya diterapkan subjek dalam menyikapi persoalan internalnya, seperti pacar (kerinduan akan pacar yang dituangkan dalam bentuk tulisan), dan kurang dekatnya siswa dengan pembina yang terungkap dalam pengalaman subjek yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. Perbedaan pola coping yang diterapkan siswa seminari menjadi gambaran nyata kehidupan siswa seminari serentak menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi lembaga seminari untuk mengambil langkah-langkah bijak demi perkembangan siswa seminari yang seimbang dan utuh dalam aspek Sanctitas, Sanitas, dan Scientia.

H.KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak.Pada masa ini, seseorang mengalami berbagai perubahan dalam dirinya baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.Perubahan yang dimaksud mencakup hampir semua aspek pribadi seseorang entah secara fisik maupun secara psikis.Seiring dengan perubahan itu, seorang remaja mengalami berbagai permasalahan terutama ketika remaja berhadapan dengan situasi yang menurutnya bertentangan dengan keinginannya.
Siswa seminari adalah kelompok remaja yang juga mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang penuh gejolak.Hal ini menjadi lebih mudah dipahami dengan melihat keseharian siswa seminari yang hidup dalam komunitas khusus (seminari) yang penuh dengan berbagai aturan serta tuntutan hidup yang tidak mudah.Sebagai seorang remaja yang sedang tumbuh, siswa seminari mengalami berbagai perasalahan dalam kesehariannya di seminari.Berbagai permasalahan yang dialami siswa seminari, mendorong siswa seminari untuk melakukan strategi coping tertentu untuk menghadapinya.
Jika dianalisa menurut pendapat Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Sternn, 1995), dan pendapat Carver et al., (1989) tentang aspek-aspek strategi coping, maka ditemukan dua pola coping  yang diterapkan siswa seminari dalam menyikapi berbaai permasalahannya yakni Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping. Jika Problem Focused Coping merupakan bentuk coping  yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah, maka Emotion Focused Coping merupakan usaha-usaha untuk mengurangi atau mengatur emosi dengan cara menghindari untuk berhadapan langsung dengan stressor.
Dua bentuk coping di atas diterapkan siswa seminari pada tiap masalah yang berbeda, bergantung pada jenis masalah, dan juga kepribadian. Jika dirunut secara jelas, pola Problem Focused Coping diterapkan siswa seminari dalam menyikapi persoalan umum seperti kesulitan beradaptasi dengan rutinitas baru di seminari, misalnya bangun pagi, doa, misa, dan berbagai kegiatan lainnya yang sudah terjadwal. Pola yang sama juga diterapkan siswa seminari dalam menyikapi tuntutan akademik dalam arti nilai ujian yang harus mencapai standar seminari. Umumnya semua subjek memilih tekun belajar agar mendapat nilai yang memenuhi standar seminari. Dalam belajar itu, umumnya mereka belajar secara pribadi, belajar bersama teman, dan ada juga subjek yang mengaku berkonsultasi dengan pembina. Pola Problem Focused Coping juga diterapkan subjek dalam menyikapi pengalaman jatuh cinta. Umumnya subjek memilih langsung menghadapi sumber stressor yakni dengan menjalin hubungan khusus (pacar) dengan wanita yang ia cintai. Dalam menyikapi motivasi yang kadang menurun, umumnya subjek juga menerapkan pola Problem Focused Coping yakni dengan tetap berusaha menjalani rutinitas di seminari.     
Pola Emotion Focused Coping diterapkan subjek dalam menyikapi masalah seperti subjek jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. Subjek umumnya mengaku hanya menerima keadaan dan tidak memiliki usaha untuk menghadapi stressor. Dalam hal ini, mereka mengakui bahwa sejauh ini mereka belum memiliki usaha untuk berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina. Kebanyakan masalah dihadapi subjek dengan mensyeringkannya kepada teman, bahkan ada subjek yang mengakui bahwa ia lebih memilih menyelesaikan persoalannnya sendiri ketimbang berkonsultasi dengan pembina maupun teman. Dalam hal ini subjek menerapkan self acceptance yakni menerima keadaan begitu saja tanpa usaha apapun. Pola yang sama diterapkan subjek dalam menyikapi relasi khusus (pacar) dengan lawan jenis. Subjek mengakui bahwa di satu sisi ia adalah calon imam, namun di sisi lain, ia masih tetap menjalin hubungan khusus (pacar) dengan seorang wanita. Hal ini kadang disadari namun tetap dibiarkan berjalan begitu saja seiring waktu. 
      Dari uraian di atas didapatkan gambaran bahwa strategi coping siswa seminari bukanlah merupakan suatu pola yang baku, dalam arti tidak ada bentuk coping yang khusus untuk masalah tertentu. Namun, masing-masing subjek menerapkan bentuk coping sesuai jenis masalah dan kepribadiannya. Walaupun demikian, ada pola coping umum yang nampak dalam kehidupan siswa seminari, seperti pola Problem Focused Coping yang umumnya diterapkan siswa seminari dalam hampir seluruh kesehariannya yakni tetap berusaha mengikuti berbagai aturan dan tuntutan hidup (rutinitas/kegiatan harian), walaupun terkadang muncul rasa bosan dan malas, serta motivasi yang rendah. Sedangkan pola Emotion Focused Coping umumnya diterapkan subjek dalam menyikapi persoalan internalnya, seperti pacar (kerinduan akan pacar yang dituangkan dalam bentuk tulisan), dan kurang dekatnya siswa dengan pembina yang terungkap dalam pengalaman subjek yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina.

B.     Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang diajukan peneliti kepada beberapa pihak, antara lain:
1.      Keuskupan Atambua
Kepada Keuskupan Atambua sebagai pemilik Seminari Menengah Lalian, berdasarkan hasil penelitian ini kiranya Keuskupan Atambua menyadari pentingnya pendampingan psikologi bagi para siswa seminari.Selanjutnya dengan pemikiran ini, kiranya Keuskupan Atambua dapat menyediakan tenaga psikologi di Seminari Menengah Lalian, baik dari kalangan imam maupun awam.
2.      Seminari Menengah Lalian
Kepada Seminari Menengah Lalian sebagai lembaga pendidikan calon imam, perbedaan pola coping yang ditunjukkan siswa kiranya menjadi bahan pertimbangan dalam proses pembinaan. Pola yang dinilai sudah tepat kiranya dikembangkan, sebaliknya pola yang dinilai belum begitu tepat, dapat diarahkan dengan langkah tertentu. Contohnya, menyikapi kecenderungan siswa yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina, pihak seminari kiranya dapat mengembangkan proses pendekatan seperti jadwal bimbingan pribadi yang sebenarnya sudah ada selama ini. Contoh lain, menyikapi rasa bosan dan malas yang dialami siswa karena rutinitas, pihak seminari hendaknya menyediakan ruang dan waktu yang cukup bagi siswa dalam mengembangkan diri secara utuh dan menyalurkan ekspresi dirinya secara sehat, misalnya waktu untuk piknik bersama atau rekreasi bersama.  
3. Subjek Penelitian
Kepada subjek penelitian, kiranya perbedaan pola coping  yang terungkap dalam hasil penelitian menjadi acuan berarti bagi subjek dalam proses pematangan dirinya di seminari. Subjek yang satu bisa belajar dari subjek yang lain tentang pola coping tertentu dalam menyikapi masalah tertentu. Masing-masing subjek kiranya dapat menilai kelebihan dan kekurangan pola coping-nya dan bisa saling belajar satu sama lainnya. 
4.      Peneliti lain
Bagi peneliti lain yang juga menaruh perhatian pada masalah strategi coping siswa seminari, hasil penelitian ini kiranya menjadi acuan untuk dapat mengembangkan penelitian mengenai strategi coping siswa seminari di seminari-seminari lainnya. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh hasil penelitian lain yang lebih menarik dan bervariasi untuk dijadikan bahan diskusi dan lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya psikologi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S.M. (2010). Modul psikologi perkembangan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana.
Ai, L. (2011).Seminari. Diunduh dari www.seminarikwi.org,  23 Desember 2011.
Aldwin, C.M. & Revenson, T.A. (1997). Does coping help? A reexamination of the relation between coping and mental health.Journal of Personality and Social Psychology.Vol. 53. 2,  337-348.
Benediktus XVI, Sri Paus (2010). Surat kepada seminaris. Diunduh dari www.seminarikwi.org, 18 Desember 2011.
Betu, K. (2000). Persepsi siswa seminari menengah atas terhadap pembinaan diri calon imam; Studi deskripsi tentang persepsi siswa Seminari Menengah Atas Santo Yohanes Berkhmans Todabelu – Mataloko – Flores tahun ajaran 1999/2000 (Skripsi tidak diterbitkan), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Indonesia.
Bowman, G.D., & Stern, M. (1994). Adjustment to occupational stress: The relationship of perceived control to effectiveness of coping strategies. Journal of Counseling Psychology. 60. 294-303.
Carver, C.S., Scheier, M.F. & Meintraub, J.K. (1989). Assessing copingstrategies: Theorically based approach. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 56, 2, 267-283.
Chaplin, J. (2009). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Chorneawati, T.F. (2010). Perbedaan coping stress ditinjau dari kematangan emosi pada remaja yang tinggal di panti asuhan.Diunduh dari http://library.um.ac.id, 2 Desember 2011.
Dekrit tentang pembinaan imam, Roma, 28 Oktober 1965 (Paulus Uskup).
Denzim, N.K., & Lincoln Y.S. (2009).Hand book of qualitative research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus besar bahasa indonesia edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Dewan Pembina Seminari Lalian.(2010). Pedoman pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan calon imam di Seminari Lalian.Lalian: Seminari SMU Lalian.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Kertamuda, F. & Herdiansyah, H. (2009).Pengaruh strategi coping terhadap penyesuaian diri mahasiswa baru.Jurnal Universitas Paramadina Vol. 6 No.1, April 2009: 11-23.
Kongregasi Pendidikan Katolik. (2009). Psikologi dan pendidikan calon imam.Yogyakarta: Kanisius.
Kusuma, W.R. (2005). Hubungan antara kecerdasan sosial dengan gaya penyelesaian konflik siswa Seminari Menengah St. Vincentius A Paulo Garum Blitar. Diunduh dari www.libraryunair.com, 27 Desember 2011.
Kusumawanta, G.B. (2009). Tahapan pembentukan imamat. Jakarta: Komisi Seminari KWI.
Kusumawanta, G.B. (2011). Panggilan menjadi formator seminari. Yogyakarta: Kanisius.
Moleong, J.L. (2005). Metodologi penelitian kualitatif, edisi revisi. Bandung: Rosda Karya.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (2006). Psikologi perkembangan-pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muhibbinsyah. (2010). Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung: Rosda Karya.
Nazir, M. (2001).Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Parker, K.R. (1986).Coping in stressful episodes: The role of individual differences, enviorment factor, and situational characteristic.Journal of Personality dan Social Psychology.Vol. 51. 6: 1277-1292.
Parker, I. (2008).Psikologi kualitatif.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Paulus II, Y. (2009). Redemptoris missio. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.
Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: LPSP3.
Purnamasari, S.E. (2011). Panduan wawancara. Yogyakarta: Universitas Mercu Buana.
Salam, A. (2006). Teori dan paradigma penelitian sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sarwono, S. (2011). Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Smeth, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia.
Smith, J.A. (2009). Psikologi kualitatif-panduan praktis metode riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santrock, J.W. (1996). Life span development: Perkembangan masa hidup edisi 5, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Stone, A.A., & Neale, J.M. (1994). New measure of daily coping: Development and preliminary results. Journal of Applied Psychology.Vol. 46. 4. 892-906.
Sugiyono.(2012). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Tierney, T. (2002).Should you become a priest? Yogyakarta: Kanisius.
Utaminingsih, D. (2009). Pengaruh dukungan sosial dan optimisme dengan kecenderungan penggunaan emotional focused coping pada remaja awal. Diunduh darihttp://emotionalfocusedcopingunila.wordpress.com, 4 Desember 2011.
Wahyudi, D. (2008). Seminari. Diunduh dari www.xaverindo.org, 23 Desember 2011.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar