STRATEGI COPING SISWA
SEMINARI
(Naskah Publikasi Tesis)
Robertus Fahik
Universitas Mercu
Buana Yogyakarta (2012)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan
memahami secara rinci melalui pendekatan interpersonal mengenai permasalahan
yang dialami siswa seminari berkaitan dengan panggilan hidupnya sebagai calon
imam. 2. Mengetahui dan memahami strategi coping apa yang dilakukan
siswa seminari untuk mengatasi permasalahan yang dialaminya.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Kualitatif
yakni menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumen dalam
memperoleh data. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini berjumlah 5 orang
siswa seminari dan juga infroman yang berjumlah 8 orang. Teknik analisis data
dilakukan dengan teknik analisis data model interaktif yang dikemukakan oleh
Miles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Permasalahan
siswa seminari mencakup tiga aspek utama pembinaan seminari yakni: Sanctitas
(kekudusan), Sanitas (kesehatan), dan Scientia (pengetahuan). 2. Strategi coping siswa seminari bukanlah merupakan
suatu pola yang baku, dalam arti tidak ada bentuk coping yang khusus untuk masalah tertentu. Namun, masing-masing
subjek menerapkan bentuk coping sesuai
jenis masalah dan kepribadiannya.
Berdasarkan
hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa saran: 1. Kepada Seminari
Menengah Lalian sebagai lembaga pendidikan calon imam, perbedaan pola coping yang ditunjukkan siswa kiranya
menjadi bahan pertimbangan dalam proses pembinaan. Pola yang dinilai sudah
tepat kiranya dikembangkan, sebaliknya pola yang dinilai belum begitu tepat,
dapat diarahkan dengan lengkah tertentu. 2. Kepada subjek peneltian, kiranya
perbedaan pola coping yang terungkap dalam hasil penelitian menjadi
acuan berarti bagi subjek dalam proses pematangan dirinya di seminari. 3. Bagi
peneliti lain yang juga menaruh perhatian pada masalah strategi coping siswa seminari, hasil penelitian
ini kiranya menjadi acuan untuk dapat mengembangkan penelitian mengenai
strategi coping siswa seminari di
seminari-seminari lainnya.
Kata Kunci: Strategi
Coping, Siswa Seminari
STRATEGI COPING SISWA
SEMINARI
Robertus Fahik
Universitas Mercu
Buana Yogyakarta
Abstract
This research
aims to: 1. Knowing and understanding in
detail the interpersonal approach
of the problems experienced by seminary students associated
with the call of
his life as a priest candidate.
2. Knowing and
understanding what kind of coping
strategies the seminary students to overcome the problems they experienced.
This research was conducted with qualitative methods, i.e. using interview techniques, observation, and document
study in obtaining data. Subjects were
included in this study amounted to 5 seminary students and
also infroman amounted
to 8 people. The data analysed by
using an interactive model of
data analysis proposed by Miles and Huberman.
The results
showed that: 1. Seminary student issues include three main aspects of the
seminary formation: Sanctitas (holiness), Sanitas (health), and Scientia
(knowledge). 2. Seminary student coping strategies is not a standard pattern,
in the sense that no form of coping are specific to a particular problem.
However, each subject to apply appropriate forms of coping according to types
of problems and the personality.
Based on the results of the study, researcher
puts forward some suggestions: 1. To the
Lalian Seminary as
an institution for the priesthood
candidates, the difference in coping patterns indicated by students
should be taken into consideration in
the process of teaching. Patterns
that are considered appropriate should be
developed, otherwise the pattern
considered not so right, it can be directed to a
particular side. 2. To research subjects, presumably
differences of coping patterns revealed in
the results of research could be a meaningful
reference for the subject in their maturation process in the seminary. 3. For
other researchers who are also
paying attention to the problem
of coping strategies of seminary students, the results of this study would be a
reference in developing coping
research strategy of seminary students in
other seminaries.
Keywords: Coping Strategy,
Seminary Student
A. PENDAHULUAN
Masa remaja sering disebut
masa transisi. Adapun alasannya adalah: bila dibandingkan dengan masa
sebelumnya, pada masa ini terjadi perkembangan yang spesifik dan hampir segala
macam perkembangan mencapai puncaknya. Akibatnya masa remaja sering dianggap
sebagai masa yang paling unik, sedangkan pada masa dewasa tidak banyak terjadi
perubahan yang menonjol bila dibandingkan dengan masa remaja (Abdullah, 2010).
Secara lebih spesifik, masa remaja juga disebut sebagai masa transisi dari
periode anak ke periode dewasa. Secara psikologis, kedewasaan adalah keadaan
dimana sudah ada ciri-ciri psikologis tertentu pada seseorang.
Ciri-ciri psikologis itu menurut Allport (dalam
Sarwono, 2011) adalah: (1) pemekaran diri sendiri (extension of the self),
yang ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain
sebagai bagian dari dirinya sendiri, (2) kemampuan untuk melihat diri sendiri
secara objektif (self objectivication), yang ditandai dengan
kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri dan kemampuan untuk
menangkap humor termasuk yang menjadikan dirinya sebagai sasaran, dan (3)
memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life), yang
dapat dilakukan tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannnya dalam kata-kata.
Berdasarkan ciri-ciri
psikologis tersebut, dalam pertumbuhan dan perkembangannya seorang remaja
berusaha untuk melepaskan diri dari milieu (lingkungan) orangtua dengan maksud
untuk menemukan dirinya. Erikson (dalam Monks, et al., 2006) menamakan proses
tersebut sebagai proses mencari identitas ego. Dalam pencarian identitas ini, remaja mengalami
proses perubahan baik karena pengalaman maupun karena usia. Sarwono (2011)
menjelaskan bahwa khususnya pada diri remaja, proses perubahan karena
pengalaman dan usia merupakan hal yang harus terjadi karena dalam proses
pematangan kepribadiannya, remaja sedikit demi sedikit memunculkan ke permukaan
sifat-sifatnya yang sebenarnya, yang harus berbenturan dengan rangsangan dari
luar.
Siswa seminari (seminaris)
adalah bagian dari remaja umumnya. Siswa seminari adalah siswa yang mengenyam
pendidikan dan pembinaan di lembaga pendidikan calon imam. Secara lebih jelas,
siswa seminari adalah remaja laki-laki yang dididik dan dibina sebagai calon
imam dalam gereja Katolik Roma sesuai tahapan tertentu. Dalam kaitannya dengan pendidikan dan pembinaan
calon imam, dikenal dua strata/tingkatan yaitu Seminari Menengah (setara SMA)
dan Seminari Tinggi (setara S1). Adapun proses pendidikan dan pendidikan di
Seminari Menengah berlangsung selama empat tahun. Demikian pula proses
pendidikan dan pendidikan di Seminari Tinggi berlangsung empat tahun.
Sebagai remaja, para seminaris pun tentu mengalami
masa transisi, gejolak, goncangan, benturan, dan ”krisis” sebagaimana dialami
seorang remaja. Bahkan boleh dikatakan, para seminaris adalah kelompok remaja
dengan dunianya sendiri yang unik. Hidup dalam komunitas religius yang penuh
dengan berbagai aturan serta tuntutan tentu menjadi pergulatan tersendiri bagi
para seminaris. Dalam konteks
ini para seminaris benar-benar mengalami goncangan. Di satu sisi, mereka adalah
bagian dari remaja yang sedang berusaha mencari dan menemukan kebebasan serta
identitas diri. Namun di sisi
lain, mereka dihadapkan pada berbagai aturan dan tuntutan hidup seminari. Adapun aturan dan tuntutan hidup seminari
ini terkait dengan panggilan para seminaris sebagai calon imam yang sedang
dipersiapkan untuk menjadi seorang imam.
Dalam dokumen yang
dikeluarkan Kongregasi Pendidikan Katolik (2009) diuraikan beberapa hal dasar
terkait syarat-syarat utama dalam pembinaan dan pendidikan calon imam
(seminaris). Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa kerasulan imamat yang
dipahami dan dihidupi sebagai keselarasan dengan Kristus, Mempelai dan Gembala
yang Baik, mensyaratkan kemampuan-kemampuan tertentu serta keutamaan-keutamaan
moral dan teologis, yang didukung oleh keseimbangan manusiawi dan psikologis –
terutama keseimbangan afektif – untuk memungkinkan calon (seminaris) memiliki
kecenderungan untuk memberi diri di dalam hidup selibat, dengan cara yang
sungguh-sungguh bebas di dalam relasinya dengan umat beriman.
Keutamaan-keutamaan dan kualitas-kualitas ini berkisar dari keseimbangan umum
sampai ke kemampuan untuk menanggung beban tanggung jawab pastoral, dari
pengetahuan yang mendalam tentang spirit manusia sampai citarasa keadilan dan
kesetiaan.
Tuntutan hidup siswa
seminari menjadi lebih jelas bila kita merujuk pada Pedoman Pembinaan Calon Imam Bagian Seminari Menengah,
sebagaimana dirumuskan secara konkret dalam Pedoman Pembinaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Calon Imam di Seminari
Lalian (2010), yang antara lain menegaskan bahwa lulusan seminari menengah adalah remaja yang mampu
tumbuh seimbang dalam tiga aspek utama yakni: Sanctitas (Kekudusan), Sanitas
(Kesehatan), dan Sciencia (Pengetahuan).
Berbagai tuntutan serta
kriteria seminaris dalam tigas aspek pembinaan di atas menjadi bagian dalam pergumulan siswa
seminari, khususnya bila kita kembali pada konsep bahwa siswa seminari adalah
bagian dari remaja yang sedang berada dalam masa transisi. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan peneliti dengan Pastor Prefek (Kepala Asrama)
dan salah seorang Pastor Pembina
Siswa Seminari di Seminari Menengah Lalian – Atambua pada tanggal 30 Februari
2011 dan 15 Maret 2011, terungkap bahwa dalam proses pendidikan dan pembinaan
terhadap siswa seminari, ada beberapa hal yang muncul terkait pergumulan siswa
seminari sebagai seorang remaja di satu sisi dan sebagai seorang calon pastor
di sisi lainnya.
Pertama, ada proses penyesuaian diri yang tidak mudah
terkait berbagai aturan hidup di seminari, terutama bagi mereka yang berasal dari orangtua
dan keluarga yang tidak begitu menekankan disiplin terhadap anak. Dalam hal
ini, ada siswa seminari yang tidak bertahan lama di seminari dan akhirnya pergi
begitu saja tanpa pemberitahuan sebelum akhirnya diinformasikan sendiri oleh
orangtuanya. Namun, umumnya siswa seminari mengalami perkembangan yang baik
dari tahun ke tahun terkait proses penyesuaian diri terhadap berbagai aturan
hidup di seminari.
Kedua, dalam menghadapi berbagai aturan hidup di
seminari, para siswa seminari kurang terbuka terhadap bapa rohani dan para pastor pembina. Hal ini terjadi hampir
pada sebagian besar siswa. Dalam aturan atau pedoman pembinaan seminari, setiap
siswa diwajibkan memilih salah satu pastor sebagai bapa rohani. Hal ini
merupakan bagian penting dalam proses pendampingan siswa bukan hanya terkait
aspek sanctitas namun mencakup semua aspek. Dengan membangun komunikasi dengan
bapa rohaninya, setiap siswa diharapkan mampu membagikan berbagai perasaan
termasuk kesulitannya di seminari dan boleh mendapat masukan berarti dari bapa
rohani.Namun dalam kenyataannya, justru banyak siswa jarang bahkan tidak pernah
berkonsultasi dengan bapa rohaninya.Hal ini menjadi salah satu perhatian serius
dari pihak seminari dan dilihat sebagai suatu “masalah” yang perlu
dipertimbangkan jalan keluarnya.
Ketiga, pergumulan siswa seminari pada umumnya berkaitan
dengan tiga aspek dasar pendidikan dan pembinaan di seminari yaitu, sanctitas
(kekudusan), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan).
Keempat, untuk menciptakan dialog antara pembina dan siswa seminari, maka dibuat
jadwal wawancara rutin misalnya setiap semester untuk tiap siswa seminari.
Dalam hal ini, ada kesempatan bagi siswa seminari untuk membagikan suka duka
serta apapun yang dihadapinya terkait proses pembinaan dan pendidikan di
seminari kepada pastor pembina. Hal ini berdampak cukup positif karena dalam
kenyataannya banyak siswa seminari yang akhirnya tetap bertahan di seminari
walaupun mengalami persoalan tertentu.
Selain melakukan wawancara
dengan pembina, peneliti juga
melakukan wawancara dengan tiga siswa seminari. Dari wawancara tersebut terungkap bahwa para siswa seminari mengalami pergumulan yang
tidak mudah dalam proses pembinaan dan pendidikan di seminari. Para
siswa seminari juga mengakui bahwa
mereka sering mengalami kebosanan hidup bahkan timbul niat untuk keluar dari
seminari. Dalam menghadapi berbagai aturan dan tuntutan hidup termasuk
kebosanan dan niat untuk keluar dari seminari, para siswa seminari mengakui
bahwa mereka lebih sering mengungkapkannya kepada teman dan jarang memutuskan
untuk bertemu pastor pembina. Alasan utama yang diungkapkan adalah mereka takut
dikeluarkan dari seminari jika terbuka kepada pastor pembina. Alasan lainnya
adalah mereka tidak memiliki keberanian yang cukup untuk berbicara langsung
secara pribadi dengan seorang pastor pembina.
Hasil
wawancara peneliti dengan tiga siswa seminari tersebut juga mengungkapkan bahwa
salah satu “masalah” (stressor) yang sering dialami siswa seminari ialah
kekhawatiran akan nilai ujian yang tidak mencapai standar seminari. Misalnya,
syarat yang ditentukan seminari untuk mata pelajaran seperti Bahasa Latin,
Liturgi, dan Kitab Suci, tidak boleh di bawah enam (6). Syarat lain misalnya
rata-rata nilai ujian yang harus mencapai 7,5. Jika siswa seminari tidak mampu
memenuhi syarat di atas, konsekuensinya ia akan dikeluarkan dari seminari.
Dari uraian di atas, terdapat sebuah gambaran
bahwa memang siswa seminari mengalami pergumulan yang tidak mudah dalam
menghadapi kenyataan bahwa di satu sisi ia adalah seorang remaja yang ingin
bebas, namun di sisi lain ia
adalah seorang calon imam yang harus hidup dalam aturan serta tuntutan yang
tidak mudah. Secara konkret dapat digambarkan beberapa hal terkait
pergumulan siswa seminari.Pertama,
dari aspek perkembangan manusia, siswa seminari adalah kelompok usia remaja
yang mendambakan kebebasan, namun di sisi lain siswa seminari adalah calon imam
yang hidup dalam berbagai aturan dan tuntutan hidup, misalnya rutinitas yang
sudah terprogram (terjadwal); bangun pagi, mengikuti misa (ekaristi), makan,
sekolah, kerja, olahraga, tidur, kunjungan tamu. Masih terkait perkembangan
remaja, secara manusiawi siswa seminari tentu menghadapi kenyataan jatuh cinta
(menyukai lawan jenis). Dalam hal ini, keputusan yang diambil siswa seminari
akan sangat menentukan responsnya. Jika siswa seminari memutuskan untuk larut
dalam perasaannya atau bahkan terlanjur menjalin hubungan dengan lawan jenis,
tentu akan mempengaruhi seluruh rutinitasnya di seminari. Hal berbeda akan
terjadi jika siswa seminari memutuskan untuk mengalihkan perasaannya kepada
hal-hal lain seperti menulis atau mengembangkan minat dan bakat seperti musik
atau olahraga.
Kedua, tuntutan akademik seperti
rata-rata nilai ujian yang harus mencapai 7,5 mengharuskan siswa seminari tekun
dalam belajar, termasuk bagaimana mengatur dan menggunakan waktu belajar secara
baik, di antara berbagai aktivitas lain. Persoalan yang muncul, terkadang
kekhawatiran yang berlebihan malah akan membuat siswa seminari tidak memiliki
motivasi untuk belajar dan akhirnya tidak mencapai tuntutan seminari.
Ketiga, berdasarkan pergumulan
sebagaimana digambarkan di atas, semua pihak entah keluarga, seminari, maupun
siswa seminari sendiri mengharapkan agar dalam menghadapi berbagai tuntutan dan
aturan hidup, siswa seminari mampu mengambil keputusan yang tepat. Hal ini bisa
dilakukan siswa seminari lewat refleksi mendalam yang terus diasah dari hari ke
hari ataupun lewat bantuan dialog (sharing, konsultasi) dengan teman-teman dan
para pastor Pembina yang ada.
Uraian di atas
menegaskan bahwa siswa seminari adalah kelompok remaja yang menghadapi
pergumulan antara kebebasan masa remaja dan aturan hidup sebagai calon imam di
seminari. Bagaimanapun juga, keputusan siswa seminari akan menentukan
berhasil-tidaknya siswa seminari dalam melewati setiap pergumulan yang dialaminya.
Oleh karena itu menarik untuk ditelaah hal-hal apa saja yang dilakukan seorang siswa seminari dalam
menyikapi berbagai aturan, kriteria, dan tuntutan menyangkut panggilan hidupnya
sebagai calon imam. Karena bagaimana pun juga cara yang dipilih seseorang dalam
menyikapi persoalan hidupnyaakan sangat menentukan berhasil-tidaknya individu
bersangkutan melewati sebuah proses perkembangan. Dalam konteks hidup seorang
siswa seminari, cara yang ditempuh dalam menghadapi berbagai aturan serta
tuntutan hidup di seminari sangat menentukan berhasil-tidaknya seorang siswa
seminari dalam proses pembinaan dan pendidikan sebagai seorang calon imam.
Dalam disiplin ilmu psikologi, hal ini dinamakan “coping” atau “coping
behavior”, yakni segala perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi
dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu; tugas,
masalah (Chaplin, 2009).
Tentang
“strategi coping”, Stone dan Neale (1994) menguraikan bahwa strategi coping
merupakan cara yang dilakukan individu baik secara nyata maupun tidak nyata,
tampak atau tidak tampak untuk menghadapi situasi yang menimbulkan tekanan atau
tuntutan baik yang bersifat eksternal maupun internal. Strategi coping
dipandang sebagai suatu proses dinamik dari suatu pola prilaku atau pikiran-pikiran
seseorang yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam
situasi yang menekan atau menegangkan.
Strategi coping yang dilakukan seseorang bisa
bermacam-macam, tergantung pada stressor yang dihadapi dan kemampuan individu
untuk mengambil keputusan.Menurut
Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Stern, 1995), secara umum, strategi coping
dibagi ke dalam dua kategori utama yaitu:problem- focused coping dan emotion-
focused coping.
Problem-focused coping, merupakan salah satu bentuk coping
yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving),
meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif yang
merupakan sumber kcemasan atau melakukan sesuatu untuk merubah sumber kecemaan
tersebut. Problem-focused coping merupakan strategi yang bersifat
eksternal. Dalam problem focused coping, orientasi utamanya adalah
mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau
keterampilan-keterampilan baru dalam rangka mengurangi stressor yang dihadapi atau
yang dirasakan.
Emotion-focused coping, merupakan usaha-usaha untuk mengurangi
atau mengatur emosi dengan cara menghindari untuk berhadapan langsung dengan
stressor. Emotional focused coping merupakan strategi yang bersifat
internal. Dalam emotional focused coping terdapat kecenderungan untuk
lebih memfokuskan diri dan melepaskan emosi yang berfokus pada kekecewaan
ataupun distres yang dialami dalam rangka untuk melepaskan emosi atau perasaan
tersebut (focusing on and venting of emotion).
Strategi coping yang dilakukan seseorang
tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Parker
(1986), ketika seseorang melakukan strategi coping, ada tiga faktor
utama yang dapat mempengaruhinya, yakni: karakteristik situasional, lingkungan,
dan personal atau perbedaan individual.
Dalam konteks hidup siswa seminari, strategi coping dapat dipahami sebagai usaha yang dilakukan oleh siswa
seminari dalam mengantisipasi atau
menghadapi masalah, tuntutan, dan tekanan tertentu dalam hidupnya,
misalnya kekhawatiran tentang nilai ujian atau perasaan jatuh cinta.Bentuk
strategi coping yang dilakukan siswa
seminari meliputi problem-focused coping
dan emotion-focused coping.Ketika siswa seminari memilih problem-focused
coping, maka kecenderungan yang diakukan adalah mencari dan menghadapi
hal-hal yang dianggap sebagai sumber masalah atau tekanan, dengan cara
mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dengan tujuan
mengurangi tingkat tekanan yang dihadapi atau dirasakan.
Misalnya, ada ketakutan akan nilai ujian yang
jelek, siswa seminari bisa memotivasi dirinya untuk belajar tekun. Jika yang
dilakukan adalah emotion-focused coping, maka kecenderungan siswa
seminari adalah menghindari sumber tekanan dengan tujuan untuk mengurangi atau
menghindari perasaan atau emosi yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh
sumber tekanan yang dihadapi. Misalnya, ketika jatuh cinta terhadap lawan
jenis, seorang siswa seminari bisa saja mengungkapkan perasaan tersebut dengan
menulis atau menciptakan kreasi lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini
melalui pendekatan interpersonal yang mendalam serta didukung pengamatan dan
berbagai informasi yang dikumpulkan, peneliti hendak mengetahui strategi coping
apa yang dilakukan siswa seminari dalam menghadapi berbagai permasalahan
yang dialaminya di seminari sebagai
seorang remaja dan calon imam?
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini,
peneliti akan mencoba menemukan dan menjelaskan strategi coping siswa
seminari berdasarkan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Sebagai seorang remaja, siswa seminari
tentu mengalami masa transisi yang ditandai oleh adanya berbagai permasalahan. Dengan penelitian ini akan diungkap permasalahan apa saja yang dialami siswa seminari.
2. Sebagai konsekuensi dari permasalahan yang dialami siswa seminari, strategi coping
apa yang dilakukan siswa seminari untuk mengatasi yang dialaminya.
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan memahami
secara rinci melalui pendekatan interpersonal mengenai permasalahan yang
dialami siswa seminari berkaitan dengan panggilan hidupnya sebagai calon imam.
2. Mengetahui dan memahami
strategi coping apa yang dilakukan siswa seminari untuk mengatasi
permasalahan yang dialaminya.
D. Manfaat
Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini yakni dapat memberikan
sumbangan positif terhadap khasanah ilmu psikologi secara umum, maupun
psikologi pendidikan khususnya pada komunitas siswa seminari.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan
masukan bagi:
a. Komunitas Seminari Lalian, khususnya
subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini. Bahwa dengan menjadi
seorang calon imam, siswa seminari akan menghadapi berbagai permasalahan yang
tidak mudah karena di satu sisi mereka adalah remaja yang sedang mengalami masa
transisi namun di sisi lain mereka dihadapkan pada berbagai aturan dan tuntutan
hidup. Hasil penelitian ini bisa menjadi bahan untuk saling belajar dari
pengalaman masing-masing individu terkait strategi coping.
b. Keluarga. Keluarga yang memiliki anak atau
anggota keluarga sebagai siswa seminari. Hasil penelitian ini dapat menjadi
bahan pertimbangan bahwa dukungan dari keluarga adalah hal yang sangat penting
dalam pendampingan siswa seminari khususnya dalam upaya mereka mengatasi
berbagai permasalahan yang dialaminya.
c. Masyarakat umum. Melalui penelitian ini
kiranya masyarakat mengetahui bahwa pendidikan dan pembinaan siswa seminari
mutlak membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk masyarakat umum karena
bagaimana pun juga sebagai remaja, siswa seminari menghadapi berbagai
permasalahan.
d.
Peneliti
Lain. Menjadi acuan bagi para peneliti lain yang juga menaruh perhatian pada
persoalan siswa seminari.
E.TINJAUAN
PUSTAKA
A. Strategi Coping
1. Pengertian
Strategi Coping
Strategi coping
didefinisikan sebagai suatu proses tertentu yang disertai dengan suatu usaha
dalam rangka merubah domain kognitif dan berperilaku secara konstan untuk
mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal yang
diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan dan ketahanan individu
yang bersangkutan (Lazarus dan Folkman, dalam Bowman dan Stern, 1995).
Aldwin dan Revenson (1997) mengatakan bahwa
strategi coping merupakan suatu cara atau metode yang dilakukan oleh
tiap individu untuk mengatasi dan mengendalikan situasi atau masalah yang
dialami dan dipandang sebagai hambatan, tantangan yang bersifat menyakitkan,
serta merupakan ancaman yang bersifat merugikan.
Stone dan Neale (1994) menguraikan bahwa strategi coping
merupakan cara yang dilakukan individu baik secara nyata maupun tidak nyata,
tampak atau tidak tampak untuk menghadapi situasi yang menimbulkan tekanan atau tuntutan baik yang bersifat eksternal
maupun internal. Strategi coping dipandang sebagai suatu proses dinamik
dari suatu pola prilaku atau pikiran-pikiran seseorang yang secara sadar
digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan atau
menegangkan.
Dari beberapa pengertian mengenai strategi coping
di atas, dalam penelitan ini disimpulkan bahwa strategi coping adalah
usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengantisipasi atau menghadapi
masalah, tuntutan, dan tekanan tertentu dalam hidupnya. Adapun usaha yang
dilakukan individu tersebut berupa usaha yang tampak dan tidak tampak.
2.
Bentuk-Bentuk Strategi Coping
Pendapat mengenai Bentuk-Bentuk Strategi Coping
diungkapkan oleh beberapa ahli. Pendapat yang pertama dikemukakan oleh
Santrock. Menurut Santrock (1996), secara garis besar berdasarkan perilaku yang
muncul, strategi coping dibedakan menjadi dua; pertama, strategi
mendekat (approach strategy). Dalam approach strategy, individu
cenderung melakukan suatu usaha atau cara kognitif untuk memahami sumber
penyebab kecemasan dan berusaha untuk menghadapi masalah penyebab kecemasan
tersebut beserta konsekuensinya secara langsung. Kedua, strategi
menghindar (avoidance strategy). Berbeda dengan approach strategy,
pada avoidance strategy individu cenderung untuk menyangkal atau
meminimalisasian sumber penyebab kecemasan secara kognitif, kemudian
memunculkan usaha dalam bentuk tingkah laku untuk menarik atau meminimalkan
sumber penyebab kecemasan tersebut.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan
Stern, 1995), secara umum strategi coping dibagi ke dalam dua kategori
utama yaitu:
a. Problem-focused coping
Merupakan salah satu bentuk coping yang
lebih berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving), meliputi
usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif yang merupakan sumber
kcemasan atau melakukan sesuatu untuk merubah sumber kecemaan tersebut. Problem-focused
coping merupakan strategi yang bersifat eksternal. Dalam problem focused
coping, orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan
dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dalam
rangka mengurangi stressor yang dihadapi atau yang dirasakan.
b. Emotion-focused coping
Merupakan usaha-usaha untuk megurangi atau mengatur emosi dengan cara
menghindari untuk berhadapan langsung dengan stressor. Emotional focused
coping merupakan strategi yang bersifat internal. Dalam emotional
focused coping terdapat kecenderungan untuk lebih memfokuskan diri dan
melepaskan emosi yang berfokus pada kekecewaan ataupun distres yang dialami
dalam rangka untuk melepaskan emosi atau perasaan tersebut (focusing on and
venting of emotion).
Berdasarkan beberapa teori di atas yang
menguraikan berbagai bentuk strategi coping, dalam penelitian ini
peneliti menggunakan bentuk strategi coping yang dikemukakan oleh
Lazarus dan Folkman yaitu problem-focused coping dan emotion-focused
coping. Adapun alasannya yakni, kedua bentuk strategi coping ini
dapat dugunakan secara sederhana untuk menjelaskan strategi coping yang
dilakukan subjek dalam penelitian ini (siswa seminari).
3. Aspek-aspek Strategi Coping
Carver et al.,
(1989) mengemukakan beberapa aspek dalam strategi coping yang terbagi dalam
aspek-aspek Problem Focused Coping
dan aspek-aspek Emotion Focused Coping. Adapun
aspek-aspek itu, meliputi:
a. Aspek-aspek Problem Focused Coping:
1.
Active Coping, merupakan proses
pengambilan langkah-langkah aktif yang dilakukan individu yang bersangkutan
untuk mencoba memindahkan, menghindari tekakan, memperbaiki dampaknya. Active Coping melibatkan pengambilan
tindakan langsung, peningkatan upaya individu dan mencoba untuk melaksanakan
penyelesaian masalah dengan bijak. Dalam aspek ini, seorang individu dapat
menunjukkan beberapa hal antara lain: mengambil tindakan tambahan untuk mencoba untuk menyingkirkanmasalah,
memusatkan upaya untuk
melakukansesuatu, melakukan apa yang harus dilakukan, dan mengambil tindakan langsung untuk menanggulangi
masalah.
2.
Planning, yaitu individu memikirkan
bagaimana mengatasi permasalahan yang dihadapi. Palannig melibatkan
strategi-strategi tindakan, memikirkan tindakan yang diambil dan menentukan
cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah. Dalam aspek ini seorang
individu menunjukkan beberapa hal yakni: mencoba memikirkan
strategi tertentu,
membuat rencana aksi, berpikir keras tentang apa langkah yang harus diambil, dan berpikir tentang bagaimana cara terbaik dalam menangani
masalah.
membuat rencana aksi, berpikir keras tentang apa langkah yang harus diambil, dan berpikir tentang bagaimana cara terbaik dalam menangani
masalah.
3.
Suppresion of Competing. Individu
dapat menahan diri utnuk tidak terlibat dalam aktifitas-aktifitas kompetitif
atau menahan alur informasi yang bersifat kompetitif agar bisa berkonsentrasi
penuh pada permasalahan yang dihadapi. Dalam aspek ini, individu mengesampingkan kegiatan lain untukberkonsentrasi
pada masalahnya, fokus
mengatasi masalah, menjaga diri dagar tidakterganggu olehpikiran atau kegiatan lain, berusaha keras untuk mencegah hal-hal lain
yang mengganggu usaha penyelesaian
masalah.
4.
Restraint Coping. Hampir sama dengan
Suppresion of Competing tetapi Restraint Coping lebih kepada menciptakan
respons menahan diri yang dianggap bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi
tekanan. Dalam aspek ini individu memaksa
diri untuk menunggu waktu yang tepat untuk
melakukan sesuatu, individu terus tidak melakukan apa-apa sampaisituasi mengijinkan, individu memastikan untuk tidak memperburuk keadaan denganbertindak terlalu cepat, dan individu menahan diri dari melakukan sesuatu yang terlalucepat.
melakukan sesuatu, individu terus tidak melakukan apa-apa sampaisituasi mengijinkan, individu memastikan untuk tidak memperburuk keadaan denganbertindak terlalu cepat, dan individu menahan diri dari melakukan sesuatu yang terlalucepat.
5.
Seeking Social Support for Instrumental
Reasons, adalah upaya untuk mencari dukungan sosial, seperti mencaari
nasihat, informasi, dan bimbingan dari orang-orang yang dianggap bisa memberi
dukungan. Dalam aspek ini seorang individu melakukan beberapa hal: meminta orang-orang yang memiliki
masalah serupa untuk
menceritakanapa yang mereka lakukan,
mencoba untuk mendapatkan saran dari
seseorang tentangapa yang harus dilakukan, berbicara dengan seseorang untuk mengetahui lebih
lanjut tentang
situasi tertentu, dan berbicara dengan seseorang yang bisa melakukan sesuatuterkait masalah ini.
situasi tertentu, dan berbicara dengan seseorang yang bisa melakukan sesuatuterkait masalah ini.
b. Aspek-aspek Emotion Focused Coping:
1.
Seeking Social Support for Emotional Reasons,
merupakan upaya yang dilakukan individu untuk mencari dukungan sosial, dukungan
moral, dan simpati dari orang lain. Dalam aspek ini seorang individu
menunjukkan beberapa hal yakni: berbicara
dengan seseorang tentang bagaimana individu merasa, mencoba untuk mendapatkan dukungan emosi dari teman
atau kerabat, membahas perasaannya dengan seseorang, dan individu mendapatkan simpati dan pengertian dariseseorang.
atau kerabat, membahas perasaannya dengan seseorang, dan individu mendapatkan simpati dan pengertian dariseseorang.
2.
Positive Reinterpretation, yaitu
mengadakan perubahan dan pengembangan pribadi dengan pengertian yang baru dan
menumbuhkan kepercayaan akan arti makna kebenaran yang utama yang dibutuhkan
dalam hidup
3.
Self Acceptance, yaitu menerima
keadaan yang terjadi karena tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah
keadaannya
4.
Denial, yakni upaya untuk
mengingkari dan melupakan kejadian-kejadian yang dialami dengan menyangkal
semua yang terjadi
5.
Back to The value, yaitu kembali
kepada nilai atau ajaran agama; usaha untuk melakukan dan meningkatkan ajaran
keagamaan. Aspek ini meliputi tindakan berdoa, dan memperbanyak ibadah untuk
meminta bantuan pada Tuhan
4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Strategi Coping
Strategi coping yang dilakukan seseorang
tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Parker
(1986), ketika seseorang melakukan strategi coping, ada tiga faktor
utama yang dapat mempengaruhinya, yakni:
1)
Karakteristik Situasional
Dalam melakukan coping, seseorang akan
melihat dan menilai situasi yang dihadapinya, apakah dapat dikontrol,
diinginkan atau tidak diinginkan, menentang atau mengancam. Jika individu
menilai suatu kejadian menantang maka ia akan bertindak rasional, berpikir
positif dan percaya diri dalam mengatasi permasalahannya. Namun, jika situasi
dinilai mengancam maka ia akan mengacu pada kepercayaan atau agama yang dianut,
berpikir tentang kematian atau keinginan yang cepat dipenuhi oleh Tuhan.
2) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik dan psikososial yang
berpengaruh pada perilaku dan emosi individu. Peran lingkungan seperti rumah
tangga atau tempat kerja akan mempengaruhi coping yang digunakan oeh
seseorang. Bentuk perilaku menarik diri biasanya terjadi pada seseorang yang
berasal dari keluarga yang kurang mendukung satu sama lain dan dari status
sosial ekonomi yang rendah.
3) Faktor personal atau perbedaan
individu. Perbedaan individu yang mempengaruhi strategi coping seseorang
antara lain: jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi,
persepsi terhadap stimulus yang dihadapi dan tingkat perkembangan kognitif
individu.
Lazarus dan Folkman (dalam
Bowman dan Stern, 1995) mengemukakan bahwa cara individu dalam memilih strategi
coping dipengaruhi oleh kepribadian, tuntutan situasi dan peran,
penilaian kognitif, kebudayaan, dan kesenangan pribadi. Selanjutnya, Smeth
(1994) menguraikan bahwa ada perbedaan strategi coping pada tingkat usia
individu. Setiap tingkat individu mempunyai tingkat kemampuan berpikir dan
kemampuan untuk beradaptasi yang berbeda-beda dengan tingkat usia di atas atau
di bawahnya. Hal tersebut berhubungan dengan kemampuan untuk memperhatikan
tuntutan hidup yang semakin bertambah sesuai dengan tingkat usia individu.
Berdasarkan beberapa teori
di atas, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
strategi coping adalah faktor lingkungan (lingkungan fisik maupun
psikososial), dan kepribadian.
B. Siswa
Seminari
1. Definisi
Siswa Seminari
Seminari berasal dari kata bahasa Latin,
“Semen-Sementis” yang berarti: “benih” atau ”bibit”. Maka, seminari adalah
tempat ”pembenihan” atau ”pembibitan” calon imam. Di seminari, seorang calon
imam dibina dan dididik untuk memiliki kemampuan serta kepribadian yang unggul
dalam segala aspek terkait pelayanan sebagai seorang imam (Pedoman Pembinaan
dan Penyelenggaraan Pendidikan Calon Imam di Seminari Lalian, 2010). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), kata “seminari” diartikan sebagai lembaga
pendidikan bagi para calon pendeta (padri, pastor) Katolik Roma.
Dari definisi seminari di
atas, maka siswa seminari adalah siswa yang mengenyam pendidikan dan pembinaan
di lembaga pendidikan calon imam. Secara lebih jelas, siswa seminari adalah
remaja laki-laki yang dididik dan dibina sebagai calon imam dalam gereja
Katolik Roma sesuai tahapan tertentu. Dalam kaitannya dengan pendidikan dan pembinaan calon imam, dikenal dua
istilah yaitu Seminari Menengah (setara SMA) dan Seminari Tinggi (setara S1).
Adapun proses pendidikan dan pendidikan di Seminari Menengah berlangsung selama
empat tahun. Demikian pula proses pendidikan dan pendidikan di Seminari Tinggi
berlangsung empat tahun. Dalam penelitian ini, siswa seminari yang dimaksud
ialah siswa seminari di Seminari Menengah Santa Maria Immaculata Lalian –
Atambua.
2. Aspek-Aspek Pembinaan Siswa Seminari
Proses pembinaan di Seminari merupakan proses pembinaan berkesinambungan.
Adapun aspek dan pokok pembinaan di Seminari mencakup tiga aspek utama yakni
Sanctitas (Kekudusan), Sanitas (Kesehatan), dan Scientia (Pengetahuan). Dalam
penerapannya, ketiga aspek ini haruslah berjalan seiring (Pedoman Pembinaan dan
Pendidikan Seminari Lalian, 2010).
1). Sanctitas
Para seminaris dibimbing
untuk beriman dan mengikuti Kristus dengan meneladan Bunda Maria. Seminaris didampingi agar pola hidup dan
sikap rohani mereka bersumber pada Yesus Kristus. Dalam pembinaan Sanctitas,
seminaris didampingi agar berkembang dalam hidup rohani, panggilan, hidup
menggereja dan masyarakat.
2). Aspek Sanitas
Untuk tugas
imamat dan keseimbangan kepribadian,
maka seminaris dituntut berbadan sehat, berjiwa sehat dan berkepribadian
dewasa.
3). Aspek Scientia
Pembinaan
scientia meliputi pengembangan terbimbing bagi seminaris dalam bidang
pengetahuan, keterampilan, dan organisasi. Pembinaan ini dimaksudkan agar
seminaris memiliki kedisiplinan berpikir, tradisi membaca dan studi yang kuat,
serta semangat untuk mengembangkan potensi-potensi diri.
C. Strategi Coping Siswa Seminari
Siswa seminari adalah kelompok remaja yang hidup
dalam komunitas religius. Sebagai manusia yang sedang mengalami masa remaja
yang secara umum dikenal sebagai masa transisi dan penuh dengan gejolak, siswa
seminari tentu mengalami berbagai masalah, tekanan, ataupun tantangan khususnya
menyangkut berbagai aturan dan tuntutan hidup di seminari. Di satu sisi mereka
(siswa seminari) adalah kaum remaja yang menginginkan kebebasan dalam mencari
jati diri, namun di sisi yang lain mereka adalah calon pastor (imam) yang harus
mentaati berbagai aturan dan tuntutan hidup di seminari.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam
proses pendidikan dan pembinaannya, siswa seminari mengalami ”goncangan” dan
”benturan” yang tidak mudah. Hal ini bisa dipahami bila kita mengacu pada
prinsip dasar pendidikan dan pembinaan Calon Imam yang tentunya sarat aturan
dan tuntutan hidup. Menurut Kusumawanta (2009), prinsip dasar pembentukan
imamat mengatakan bahwa, pembentukan imamat merupakan proses yang progresif.
Hal ini memiliki dimensi temporal. Seorang pemuda yang masuk ke seminari,
sedikit demi sedikit mengalami pertumbuhan dan kedewasaan pribadi. Secara
perlahan ia mengubah dirinya sesuai dengan gambaran Imam yang ideal, dan secara
bertahap mengidentifikasi dirinya seperti Kristus, Sang Imam Agung.
Secara lebih konkret,
tuntutan hidup yang dihadapi siswa seminari tertuang dalam aspek-aspek
pendidikan dan pembinaan calon imam sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, yakni: Sanctitas (Kekudusan), Sanitas (Kesehatan), dan Scientia
(Pengetahuan). Dari gambaran ini, muncul pertanyaan: apa yang biasanya
dilakukan siswa seminari dalam menghadapi berbagai aturan dan tuntutan hidup di
seminari sebagai seorang calon imam?
Pertanyaan di atas
menghantar kita pada pemahaman tentang bagaimana seseorang dalam hal ini siswa
seminari berhadapan dengan stressor hidupnya dan mengambil keputusan di
dalamnya. Konsep inilah yang dalam ilmu psikologi dikenal dengan strategi coping. Dalam konteks penelitian ini, strategi copingsiswa
seminari diartikan sebagai usaha
yang dilakukan oleh siswa seminari dalam menghadapistressor hidupnya di seminari misalnya menyangkut
berbagai aturan dan tuntutan seminari ataupun fenomena psikologis yang
bergejolak dalam dirinya sebagai remaja.
Strategi coping
yang dilakukan siswa seminari tidaklah terlepas dari pergolakan pribadi yang
dialaminya. Bahwa di satu sisi siswa seminari adalah seorang remaja yang berada
dalam masa yang penuh gejolak dan keinginan untuk merasakan kebebasan dalam
mencari jati dirinya. Namun di sisi lain, siswa seminari adalah calon imam yang
hidup dalam komunitas khusus dengan berbagai aturan serta tuntutan hidup yang
tentunya tidak bisa diabaikan.
Monks, et al., (2006) mengemukakan bahwa dalam
perkembangan sosial remaja, dapat dilihat adanya dua macam gerak: pertama,
memisahkan diri dari orang tua dan gerak kedua adalah menuju ke arah
teman-teman sebaya. Dua macam gerak ini merupakan suatu reaksi terhadap status
interim anak muda. Sesudah mulainya pubertas, timbul suatu diskrepansi yang
besar antara ”kedewasaan” jasmaniah dengan ikatan sosial pada lingkungan orang
tua.
Dalam tahapan dan fenomena sebagaimana diuraikan
di atas, siswa seminari justru masuk dalam sebuah komunitas khusus. Maka,
bagaimanapun juga siswa seminari berhadapan dengan berbagai gejolak psikologis
seperti perasaan terkekang, bosan dengan rutinitas hidup, ingin bebas, dan lain
sebagainya. Hal ini tentu menjadi fenomena yang menarik jika kita kembali
kepada tiga aspek utama dalam pendidikan dan pembinaan siswa seminari, yakni :
sanitas (kekudusan), sanctitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan).
Tiga aspek yang disebutkan di atas menjadi bagian
dari keseharian siswa seminari. Seiring dengan itu, proses pendampingan
terhadap siswa seminari pun didasarkan pada ketiga aspek di atas. Misalnya,
untuk aspek sanitas (kekudusan), seorang siswa seminari diarahkan untuk menjadi
pribadi yang matang dalam hidup religiusnya. Hal ini dilihat dari rutinitas
seperti menghadiri ibadat atau doa secara rutin, dan membiasakan hidup sesuai
aturan yang ada di seminari. Aspek sanitas (kesehatan) mengutamakan kesehatan
baik fisik maupun mental seorang siswa seminari. Dalam hal ini, rutinitas hidup
misalnya makan serta tidur yang teratur menjadi sisi tersendiri bagi seorang siswa
seminari. Aspek lainnya yakni scientia (pengetahuan) menjadi aspek yang tidak
kalah pentingnya bagi seminari. Standar minimal nilai misalnya untuk mata
pelajaran tertentu menjadi tuntutan yang sangat diperhatikan. Hal ini menjadi
sesuatu yang penting dalam mempersiapkan seorang calon imam yang berkualitas,
tanpa mengesampingkan aspek lain seperti pengembangan bakat menulis dan
berbicara di depan umum.
Inilah sekilas gambaran tentang tiga aspek yang
menjadi bagian dalam pergumulan siswa seminari. Pada sisi lainnya, patut
dicatat juga bahwa sebagai manusia normal, siswa seminari tentu mengalami
fenomena psikologis, misalnya ada saat dimana siswa seminari jatuh cinta
terhadap lawan jenis. Hal lainnya ialah rasa bosan terhadap rutinitas hidup
yang kemudian melahirkan keinginan untuk keluar dari seminari.
Uraian di atas sesunggunya menyajikan kepada kita
tentang sebuah realitas yang dialami siswa seminari yang di satu sisi adalah
remaja, namun di sisi lainnya adalah calon imam. Maka menarik bagi kita untuk menelaah
apa saja yang dilakukan siswa seminari sebagai bagaian dari strategi coping-nya dalam menghadapi berbagai
stressor hidup di seminari. Dalam konteks ini, strategi coping siswa seminari bisa dilihat dari dua bentuk yakni: Probem-focused coping dan Emotion-focused coping. Ketika siswa seminari memilih problem-focused
coping, maka kecenderungan yang diakukan adalah mencari dan menghadapi
hal-hal yang dianggap sebagai sumber masalah atau tekanan, dengan cara
mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dengan tujuan
mengurangi tingkat tekanan yang dihadapi atau dirasakan. Misalnya, ada
ketakutan akan nilai ujian yang jelek (aspek scientia/pengetahuan), siswa
seminari mengahdapinya dengan belajar secara tekun. Jika yang dilakukan adalah emotion-focused
coping, maka kecenderungan siswa seminari adalah menghindari sumber tekanan
dengan tujuan untuk mengurangi atau menghindari perasaan atau emosi yang tidak
menyenangkan yang diakibatkan oleh sumber tekanan yang dihadapi. Misalnya,
ketika jatuh cinta terhadap lawan jenis (aspek sanitas/kekudusan), seorang
siswa seminari bisa saja mengungkapkan perasaan tersebut dengan menulis atau
menciptakan kreasi lainnya.
F.PENDEKATAN
PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Denzin dan Lincoln (2009) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif merupakan
fokus perhatian dengan beragam metode, yang mencakup pendekatan interpretif dan
naturalistik terhadap subjek kajiannya. Hal ini berarti bahwa para peneliti
kualitatif mempelajari benda-benda di dalam konteks alaminya, yang berupaya
untuk memahami atau menafsirkan fenomena dilihat dari sisi makna yang
dilekatkan manusia (peneliti) kepadanya. Penelitian kualitatif mencakup
penggunaan subjek yang dikaji dan dikumpulkan berbagai data empiris – studi
kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, perjalanan hidup, wawancara, teks-teks
hasil pengamatan, historis, interaksional, dan visual – yang menggambarkan
saat-saat dan makna keseharian dan problematis dalam kehidupan seseorang.
Uraian di atas senada dengan pendapat Parker
(2008), yang mengatakan bahwa salah satu karakteristik penelitian kualitatif
adalah suatu interpretasi atas materi – entah itu data catatan harian
etnografis, transkrip wawancara, tuturan kisah-kisah kehidupan seseorang yang
dikumpulkan, teks tertulis maupun ujaran, atau bahan-bahan dari media yang
dikumpulkan demi kepentingan psikoanalisis.
Secara
lebih konkret dalam konteks penelitian psikologi, Smith (2009) mengemukakan
bahwa pendekatan kualitatif dalam psikologi umumnya dilakukan dengan cara
eksplorasi, deskripsi, dan interpretasi terhadap pengalaman personal dan sosial
para partisipan. Suatu usaha biasanya dilakukan untuk memahami kerangka acuan
atau pandangan yang dimiliki sejumlah kecil partisipan terhadap dunia, bukannya
mencoba menguji suatu hipotesis yang telah ditetapkan pada sampel dalam jumlah
besar. Bagi beberapa peneliti kualitatif, penekanan utama terletak pada
bagaimana makna-makna dikonstruksi dan dibentuk secara diskursif.
Dalam penelitian kualitatif, dikenal studi kasus
yakni studi yang berusaha menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan,
mengapa keputusan itu diambil, bagaimana diterapkan, dan apa hasilnya (Salam,
2006).
B. Batasan Istilah
1. Strategi Coping
Strategi coping
adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang (siswa seminari) dalam menghadapi atau menyikapi
berbagaipermasalahan dalam hidupnya sebagai remaja dan
calon imam di seminari.Adapun
permasalahan yang dimaksud mencakup aspek Sanctitas (kekudusan), Sanitas
(kesehatan), dan Scientia (pengetahuan).
2. Siswa
Seminari
Dalam penelitian ini, siswa seminari yang
dimaksud ialah siswa seminari di Seminari Menengah Santa Maria Immaculata
Lalian – Atambua. Adapun subjek dalam penelitian ini berjumlah lima (5) siswa
seminari.
C. Partisipan
Penelitian
Prosedur pemilihan subjek
penelitian dalam penelitian kualitatif pada umumnya mengikuti beberapa kaidah,
antara lain (Poerwandari, 1998):
1. Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang
besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal,
tetapi dapat berubah baik dalam jumlah, maupun karakteristik sampelnya sesuai
dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
3. Tidak diarahkan pada keterwakilan
melainkan pada kecocokan konteks.
Berdasarkan kaidah di atas, subjek dalam
penelitian ini dibatasi pada jumlah yang kecil sesuai dengan konteks penelitian,
yakni mengenai strategi coping siswa seminari. Adapun jumlah keseluruhan
subjek dan informan dalam penelitian ini sebanyak 13 orang.
D. Metode
Pengumpulan Data
Dalam penelitian
kualitatif dikenal beberapa metode pengumpulan data yang umum digunakan.
Beberapa metode tersebut antara lain, wawancara, observasi, studi dokumentasi,
dan Focused Group Discussion (Herdiyansyah,
2010). Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara.
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan
data yang pelaksanaannya bisa dilakukan secara langsung dengan orang yang
diwawancarai, atau secara tidak langsung seperti melalui telepon, internet,
atau surat (Romli, 2006).
Denzin dan Lincoln (2009) menguraikan bahwa dalam
penelitian kalitatif terdapat dua jenis wawancara yakni wawancara terstruktur
dan wawancara tak terstruktur. Wawancara terstruktur mengacu pada situsasi ketika
seorang peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap
responden berdasarkan kategori jawaban tertentu. Sedangkan wawancara tak
terstruktur memberikan ruang yang lebih luas dibandingkan dengan tipe-tipe
wawancara yang lain. Wawancara terstruktur bertujuan untuk meraih keakuratan
data dari karakteristik yang dapat di-kode-kan untuk menjelaskan
perilaku dalam berbagai kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan
wawancara tak terstruktur digunakan untuk memahami kompleksitas perilaku subjek
tanpa adanya kategori apriori yang dapat membatasi kekayaan data yang dapat
diperoleh.
Selain kedua
bentuk wawancara di atas, dalam berbagai penelitian juga dikenal bentuk
wawancara semi terstruktur.Bentuk wawancara semi terstruktur sering disebut
dengan wawancara bebas terpimpin.Bebas artinya wawancara dilakukan melalui
kewajaran yang maksimal sehingga dapat diperoleh data yang mendalam.Terpimpin
artinya memiliki arah yang jelas sehingga dapat dipertahankan komparabilitas
dan reliabilitasnya.Bentuk wawancara ini adalah berupa kerangka pertanyaan yang
penting dan sejalan dengan tujuan penelitian (Purnamasari, 2011). Bentuk
wawancara semi terstruktur lebih tepat jika dilakukan pada penelitian
kualitatif daripada penelitian lainnya (Herdiansyah,2010).
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan bentuk wawancara semi-terstruktur.Artinya,
pertanyaan yang disiapkan dalam panduan wawancara tidak bersifat kaku dan
terbatas. Dalam prakteknya, pertanyaan lain bisa saja muncul, namun tetap
sesuai dengan topik dan tujuan penelitian.
G.HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Penelitian
1. Masalah-masalah Siswa Seminari
Berdasarkan hasil wawancara, peneliti
menemukan beberapa permasalahan siswa seminari yang mencakup tiga aspek utama
pembinaan seminari yakni: Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), dan
Scientia (pengetahuan).
Permasalahan dalam aspek Sanctitas
(kekudusan) meliputi kesulitan beradaptasi dengan kegiatan harian di seminari
terutama kegiatan rohani seperti doa pagi, misa pagi, dan doa pribadi. Hal yang
sering muncul ialah siswa sulit untuk bangun pagi.Hal lainnya ialah rasa bosan
yang muncul karena kegiatan yang diulang tiap hari. Masalah lain yang terkait
aspek Sanctitas ialah motivasi menjadi imam yang terkadang menurun. Bahkan ada
siswa yang dengan jujur mengungkapkan bahwa dia tidak mau menjadi imam dan
hanya berharap bisa tamat dari seminari dan menjadi frater.
Permasalahan dalam aspek Sanitas
(kesehatan) antara lain meliputi bagaimana seorang siswa seminari berinteraksi
dengan sesama siswa seminari dan juga bagaimana siswa seminari berinteraksi
dengan para pembina. Interaksi antarsiswa umumnya sangat baik.Hal yang masih
kurang ialah interaksi siswa dengan pembina. Umumnya siswa merasa minder bahkan
tidak berani berkomunikasi dengan Pembina, contohnya banyak siswa yang jarang
bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pastor Pembina.
Masalah aspek Sanitas lainnya ialah kesehatan fisik, emosi, dan keluarga yang
umumnya tidak dialami oleh semua siswa.
Permasalahan dalam aspek Scientia
(pengetahuan) meliputi kecemasan dalam menghadapi ujian.Kebanyakan siswa takut
mendapatkan nilai ujian (raport) yang tidak mencapai standar seminari. Hal
lainnya ialah motivasi belajar, cara belajar, kesulitan dalam pelajaran
tertentu, dan pengembangan bakat. Hal lain yang juga terkait aspek Scientia
ialah keributan dalam kelas dan mengantuk dalam kelas.
Selain
permasalahan umum yang terangkum dalam 3 aspek pembinaan seminari di atas,
terungkap pula permasalahan umum lainnya yakni keterlambatan dalam mengikuti
kegiatan dan “kenakalan remaja” umumnya seperti malas, bolos, solidaritas
negatif (“berkelompok”) dan motivasi yang rendah.
2.
Strategi Coping Siswa Seminari
Berbagai permasalahan yang dialami siswa
seminari sebagaimana diuraikan dalam 3 aspek pembinaan seminari yang meliputi
aspek sanctitas (kekudusan), sanitas (kesehatan), dan scientia (pengetahuan)
mendorong siswa seminari untuk melakukan strategi coping tertentu untuk menghadapinya.
Adapun strategi coping yang dilakukan siswa seminari dalam menghadapi permasalahan
yang dialaminya berbeda-beda sesuai sumber masalah dan juga karakter pribadi
masing-masing siswa. Sekalipun demikian ada pula strategi coping yang umumya sama dilakukan oleh siswa seminari.
Permasalahan dalam aspek Sanctitas
(kekudusan) meliputi kesulitan beradaptasi dengan kegiatan harian di seminari
terutama kegiatan rohani seperti doa padi, misa pagi, dan doa pribadi. Hal yang
sering muncul ialah siswa sulit untuk bangun pagi dan juga mengantuk saat di
kapela.Hal lainnya ialah rasa bosan yang muncul karena kegiatan yang diulang
tiap hari. Masalah lain yang terkait aspek Sanctitas ialah motivasi menjadi
imam yang terkadang menurun. Bahkan ada siswa yang dengan jujur mengungkapkan
bahwa dia tidak mau menjadi imam dan hanya berharap bisa tamat dari seminari
dan menjadi frater.Masih terkait aspek sanctitas, masalah yang mucul yakni
umumnya siswa seminari jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa
rohani dan Pembina. Strategi coping yang dilakukan siswa seminari untuk menghadapi
berbagai permasalahan dalam aspek sanctitas umumnya dengan langsung menghadapi
sumber masalah. Misalnya menghadapi kesulitan adaptasi dengan kebiasaan baru
seperti bangun pagi, doa pagi, dan misa, siswa seminari tetap berusaha untuk
mengikuti semua kegiatan yang ada. Khusus untuk bangun pagi, salah satu cara
yang dilakukan siswa ialah dengan meminta bantuan teman untuk membangunkan.
Strategi menghadapi sumber masalah juga dilakukan siswa seminari untuk
mengatasi motivasi menjadi imam yang kadang turun yakni dengan tetap menjalani
kegiatan-kegiatan seminari atau mencari dukungan dengan menceritakan masalah
pribadi dengan teman. Namun siswa seminari juga menghindari sumber masalah
misalnya siswa menyadari bahwa ia jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi
dengan bapa rohani dan Pembina namun tidak ada upaya untuk bertemu bapa rohani
dan Pembina. Salah satu alasan yang diungkapkan ialah rasa takut berbicara
secara pribadi dengan pastor dan juga rasa malas untuk mensyeringkan masalah
pribadi.
Permasalah dalam aspek Sanitas (kesehatan)
antara lain meliputi relasi antarsiswa dan relasi siswa dengan Pembina. Relasi
antarsiswa umumnya sangat baik.Hal yang masih kurang ialah relasi siswa dengan
pembina. Umumnya siswa merasa minder bahkan tidak berani berkomunikasi dengan
Pembina, contohnya banyak siswa yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi
dengan bapa rohani dan pastor Pembina. Masih terkait aspek sanitas, salah satu
hal yang umumnya dialami siswa ialah ketertarikan terhadap lawan jenis.Masalah
aspek sanitas lainnya ialah kesehatan fisik, emosi, dan keluarga yang umumnya
tidak dialami oleh semua siswa.Strategi coping
yang dilakukan siswa seminari dalam menghadapi permasalah dalam aspek
sanitas berbeda-beda. Misalnya menyadari bahwa ia kurang dan bahkan tidak
berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina, siswa seminari cenderung untuk
tidak berbuat apa-apa dan hanya menerima keadaan. Sebaliknya menghadapi adanya
rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, umumnya siswa seminari menghadapi
sumber masalah yakni dengan menjalin hubungan khusus (pacar) dengan wanita yang
dicintai.
Permasalahan
dalam aspek Scientia (pengetahuan) meliputi kecemasan dalam menghadapi
ujian.Kebanyakan siswa takut mendapatkan nilai ujian (raport) yang tidak
mencapai standar seminari. Hal lainnya ialah motivasi belajar, cara belajar,
kesulitan dalam pelajaran tertentu, dan pengembangan bakat. Hal lain yang juga
terkait aspek scientia ialah keributan dalam kelas dan mengantuk dalam kelas.
Strategi coping yang dilakukan siswa seminari untuk menghadapi
berbagai permasalahan dalam aspek scientia umumnya dengan langsung menghadapi
sumber masalah. Misalnya menghadapai rasa cemas dan takut menjelang ujian,
siswa umumnya belajar secara tekun. Hal yang sama dilakukan siswa ketika
megalami kesulitan dalam mata pelajaran tertentu yakni dengan belajar bersama
teman lain. Namun siswa juga terkadang hanya menerima keadaan misalnya ketika
terjadi keributan dalam kelas, siswa tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya
menerima situasi kelas yang ribut.
B. Pembahasan
Siswa seminari adalah kelompok usia remaja yang
hidup dalam komunitas khusus yakni seminari. Sebagai pribadi yang sedang
mengalami masa remaja yang secara umum dikenal sebagai masa transisi dan penuh
dengan gejolak, siswa seminari tentu mengalami berbagai masalah, tekanan, ataupun
tantangan khususnya menyangkut berbagai aturan dan tuntutan hidup di seminari.
Di satu sisi mereka (siswa seminari) adalah kaum remaja yang menginginkan
kebebasan dalam mencari jati diri, namun di sisi yang lain mereka adalah calon
pastor (imam) yang harus mentaati berbagai aturan dan tuntutan hidup di
seminari.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan berbagai
permasalahan siswa seminari yang dapat dikelompokkan dalam tiga aspek pembinaan
seminari, yaitu aspek Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), dan Scientia
(pengetahuan). Dalam tiga aspek pembinaan seminari di atas, siswa seminari
menyadari berbagai permasalahan yang berbeda-beda sesuai pengalaman pribadinya.
Sekalipun demikian, ada pula permasalahan umum yang dialami oleh semua subjek.
Berbagai permasalahan yang dialami oleh siswa seminari dalam tiga aspek
pembinaan seminari di atas, mendorong siswa seminari untuk melakukan strategi coping tertentu.
1.
Aspek Sanctitas (Kekudusan)
Permasalahan dalam aspek Sanctitas
(kekudusan) meliputi kesulitan beradaptasi dengan kegiatan harian di seminari
terutama kegiatan rohani seperti doa padi, misa pagi, dan doa pribadi. Hal yang
sering muncul ialah siswa sulit untuk bangun pagi dan juga mengantuk saat di
kapela.Hal lainnya ialah rasa bosan yang muncul karena kegiatan yang diulang
tiap hari.
Masalah lain yang terkait aspek
Sanctitas ialah motivasi menjadi imam yang terkadang menurun. Bahkan ada siswa
yang dengan jujur mengungkapkan bahwa dia tidak mau menjadi imam dan hanya
berharap bisa tamat dari seminari dan menjadi frater.Masih terkait aspek
sanctitas, masalah yang mucul yakni umumnya siswa seminari jarang bahkan tidak
pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina.
Berbagai permasalahan yang terungkap di
atas, mendorong siswa seminari untuk melakukan strategi coping tertentu. Strategi coping
yang dilakukan siswa seminari untuk
menghadapi berbagai permasalahan dalam aspek sanctitas umumnya dengan langsung
menghadapi sumber masalah. Misalnya menghadapi kesulitan adaptasi dengan
kebiasaan baru seperti bangun pagi, doa pagi, dan misa, siswa seminari tetap
berusaha untuk mengikuti semua kegiatan yang ada. Khusus untuk bangun pagi,
salah satu cara yang dilakukan siswa ialah dengan meminta bantuan teman untuk
membangunkan. Hal ini terungkap dalam diri RT, HH, MB dan YG subjek yang
mengakui bahwa salah satu kesulitan yang dialami ketika masuk seminari ialah
kebiasaan bangun pagi, dan umumnya dihadapi dengan meminta bantuan teman untuk
membangunkan.
Strategi menghadapi sumber masalah juga
dilakukan siswa seminari untuk mengatasi motivasi menjadi imam yang kadang
turun yakni dengan tetap menjalani kegiatan-kegiatan seminari atau mencari
dukungan dengan menceritakan masalah pribadi kepada teman.Hal ini juga nampak
dalam diri semua subjek. Namun siswa seminari juga menghindari sumber masalah
misalnya siswa menyadari bahwa ia jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi
dengan bapa rohani dan Pembina namun tidak ada upaya untuk bertemu bapa rohani
dan Pembina. Salah satu alasan yang diungkapkan ialah rasa takut berbicara secara
pribadi dengan pastor dan juga rasa malas untuk mensyeringkan masalah pribadi.
Hal ini nampak dalam diri semua subjek kecuali subjek RT yang selalu
berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina.
Jika dirunut secara detail, berbagai permasalahan dalam aspek sanctitas
sebagaimana diuraikan di atas dapat dikategorikan dalam dalam dua kelompok
yakni pertama, masalah-masalah yang biasa seperti kesulitan untuk bangun pagi
dan megikuti kegiatan-kegiatan rohani, mengantuk saat doa dan misa pagi, rasa
bosan dan malas yang muncul karena kegiatan yang diulang-ulang. Kelompok kedua,
yakni masalah-masalah mendasar yang meliputi motivasi yang rendah dan
ketertutupan diri yang ditunjukkan siswa seminari dengan jarang bahkan tidak
pernah berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina.
Masalah-masalah biasa seperti kesulitan untuk bangun pagi dan mengikuti
kegiatan-kegiatan rohani, mengantuk saat doa dan misa pagi, rasa bosan dan
malas yang muncul karena kegiatan yang diulang-ulang dapat dipahami dengan melihat
latar belakang keluarga siswa seminari yang umumnya tidak menekankan kebiasaan
seperti bangun pagi dan kegiatan rohani yang rutin sebagaimana dialami siswa
seminari di seminari. Karena itu ketika mereka (siswa seminari) berhadapan
dengan rutinitas baru, adaptasi menjadi sebuah keharusan serentak menjadi
kesulitan tersendiri. Namun menarik untuk menyimak bahwa ternyata kesulitan
yang dialami tetap dihadapi siswa seminari dengan tekun. Misalnya untuk
kesulitan bangun pagi yang dihadapi dengan meminta bantuan teman sebagaimana
dinyatakan oleh subjek RT, HH, MB, dan YG. Hal lainnya ialah rasa bosan yang
kadang muncul akibat kegiatan (rohani) yang diulang-ulang setiap hari
sebagaimana diungkapkan subjek KS, HH, MB, dan YG. Menyikapi rasa bosan itu,
subjek KS, HH, MB, dan YG mengaku tetap menjalani semua kegiatan yang ada. Hal
sedikit berebeda diungkapkan HH dan YG. HH mengaku pernah tidak mengikuti
kegiatan Misa karena malas. Namun kebanyakan ia tetap berusaha mengikuti
kegiatan rohani. YG memiliki cara yang unik untuk mengatasi rasa bosan yakni
dengan bermain gitar pada jam rekreasi. YG juga mengungkapkan bahwa olah raga
juga bisa menjadi wadah untuk menyegarkan diri dari segala rutinitas.
Jika dianalisa menurut pendapat
Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Stern, 1995), itu semua merupakan bentuk
dari coping yang lebih berorientasi
pada pemecahan masalah (Problem focused
coping), meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif
yang merupakan sumber masalah atau melakukan sesuatu untuk merubah sumber
masalah tersebut. Dalam Problem focused
coping orientasi utamanya adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan
dengan cara mempelajari strategi atau keterampilan-keterampilan baru dalam
rangka memgurasi stressor yang dihadapi atau dirasakan.
Misalnya untuk kesulitan bangun pagi yang dihadapi dengan meminta bantuan
teman sebagaimana dinyatakan oleh subjek RT, HH, MB, dan YG. Meminta teman
membangunkan menunjukkan bahwa subjek memiliki rencana untuk bangun pagi. Hal
ini menurut Carver et al., (1989) termasuk dalam salah satu aspek Problem Focused Coping yakni aspek Planning, dalam hal ini individu
memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan yang dihadapi. Apa yang diungkapan
oleh subjek tersebut dikuatkan oleh teman dekat masing-masing subjek yang
mengatakan bahwa dalam hal bangun pagi, mereka biasanya saling membangunkan.
Selanjutnya terkait rasa bosan yang kadang muncul akibat kegiatan (rohani)
yang diulang-ulang setiap hari sebagaimana diungkapkan subjek KS, HH, MB, dan
YG. Menyikapi rasa bosan itu, subjek KS, HH, MB, dan YG mengaku tetap menjalani
semua kegiatan yang ada. Menurut Carver et al., (1989) hal ini menunjukkan
salah satu aspek Problem Focused Coping
yakni aspek Active Coping. Dalam hal
ini, subjek memilih menghadapi masalah dengan tindakan langsung. Hal ini juga
terungkap dalam hasl observasi yang menunjukkan bahwa semua subjek umumnya
terlibat dalam kegiatan-kegiatan seminari.
Hal sedikit berebeda diungkapkan HH dan YG. Subjek HH mengaku pernah tidak
mengikuti kegiatan Misa karena malas. Namun kebanyakan ia tetap berusaha
mengikuti kegiatan rohani. YG memiliki cara yang unik untuk mengatasi rasa
bosan yakni dengan bermain gitar pada jam rekreasi. YG juga mengungkapkan bahwa
olah raga juga bisa menjadi wadah untuk menyegarkan diri dari segala rutinitas.
Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan YG
memperlihatkan aspek Restraint Coping
dalam Problem Focused Coping, dalam
hal ini subjek menciptakan respons menahan diri yang dianggap bermanfaat dan
diperlukan untuk mengatasi tekanan. Pengakuan YG dibenarkan oleh YN (teman
dekat YG) dan DA (pembina YG) yang mengatakan bahwa YG memiliki ketertarikan
terhadap musik, dalam hal ini gitar. Sedangkan subjek HH yang pernah tidak
mengikuti Misa karena malas menuunjukkan Self
Acceptance dalam Emotion Focused
Coping, dalam hal ini subjek menerima keadaan yang terjadi (rasa
malas).
Strategi Problem focused coping juga
diterapkan siswa seminari dalam menghadapi masalah motivasi yang kadang
menurun. RT mengakui bahwa menghadapi motivasi yang menurun, ia memilih
berkonsultasi dengan bapa rohani dan
temannya. HH dan YG juga mengaku demikian namun HH hanya mengungkapkan
perasaannya kepada teman sedangkan YG mengungkapkannya kepada teman dan
orangtuanya. Hal lain diungkapkan MB yang mengaku biasanya mengingat kembali
pesan atau motivasi dari pembina ketika ia merasa motivasinya menurun. Selain
itu, doa pribadi juga menjadi jalan lain dalam menghadapi motivasi yang
menurun. Hal ini diungkapkan oleh RT dan MB.
Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan subjek RT,
HH, dan YG dalam menyikapi motivasi yang menurun dengan menceritakannya kepada
orang lain menggambarkan salah satu aspek dalam Problem Focused Coping yakni aspek Seeking Social Support for Instrumental Reasons, dalam hal ini
individu mencari dukungan sosial seperti nasihat dan bimbingan dari orang-orang
yang dianggap bisa memberi dukungan.
Masih terkait menurunnya motivasi, menurut pendapat Carver et al., (1989),
subjek RT dan MB memperlihatan salah satu aspek Emotional Focused Coping yakni Back
to The Value, yang meliputi tindakan berdoa dan memperbanyak ibadah untuk
meminta bantuan pada Tuhan. Dalam konteks RT dan MB, keduanya memilih
menyerahkan persoalannya kepada Tuhan lewat doa pribadi, selain doa bersama.
Secara khusus, subjek MB juga menunjukkan aspek lain dalam Emotional Focused Coping yakni Positive
Reinterpretation, dalam hal ini subjek menciptakan perubahan dalam konsep
berpikirnya tentang masalah yang dihadapi. Subjek berusaha menemukan makna baru
dalam masalahnya. Dalam pengalaman MB, hal ini didukung dengan mengingat
kembali nasihat atau motivasi dari para pembina.
Sementara itu dalam menyikapi masalah interaksi dengan pembina (siswa
seminari jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan
pembina), siswa seminari cenderung menerapkan strategi Emotion FocusedCoping, yakni dengan menghindari sumber masalah.
Dalam hal ini, siswa seminari lebih memilih untuk berdiam diri tanpa adanya
usaha untuk berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. KS dan HH, mengaku
sangat jarang berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. MB dan YG mengaku
belum pernah berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina. Hanya
subjek RT yang mengaku selalu berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina.
Menghadapi masalah ini, umumnya subjek memilih menerima keadaan begitu saja
tanpa ada usaha untuk mengatasinya misalnya dengan membuat niat untuk
berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina. Mengacu pada
pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan subjek (kecuali RT yang
selalu berkonsultasi), menunjukkan aspek Emotion
FocusedCoping yakni Self Acceptance,
dalam hal ini tidak ada usaha dari subjek dalam menyikapi masalah yang
dihadapi.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ternyata terdapat pola coping berbeda yang ditunjukkan
masing-masing subjek, selain pola umum yang umumnya ditunjukkan oleh semua
subjek. Hal ini menegaskan bahwa faktor personal/perbedaan individu juga turut
menentukan coping seseorang selain
faktor lingkungan dan karakteristik sosial (Parker, 1986).
2.
Aspek Sanitas (Kesehatan)
Permasalahan
dalam aspek Sanitas (kesehatan) antara lain meliputi relasi antarsiswa dan
relasi siswa dengan Pembina. Relasi antarsiswa umumnya sangat baik.Hal yang
masih kurang ialah relasi siswa dengan pembina. Umumnya siswa merasa minder
bahkan tidak berani berkomunikasi dengan Pembina, contohnya banyak siswa yang
jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pastor Pembina.
Hal ini secara lebih jelas sudah dibahas dalam bagian sebelumnya (aspek
sanctitas).
Masih terkait
aspek sanitas, salah satu hal yang umumnya dialami siswa ialah ketertarikan
terhadap lawan jenis (semua subjek mengakui hal ini).Masalah aspek sanitas
lainnya ialah kesehatan fisik, emosi, dan keluarga yang umumnya tidak dialami
oleh semua siswa.Masalah kesehatan fisik hanya dialami subjek MB yang memiliki
penyakit Mag dan paru-paru.Sedangkan masalah emosi dan keluarga hanya dialami
subjek KS.Subjek KS mengaku termasuk orang yang biasanya cepat marah.Terkait
keluarga, orangtua KS sudah bercerai dan sejak kecil KS tinggal dengan neneknya
dan dibiayai oleh seorang pamannya.Hal ini kadang menjadi “sumber sakit hati”
bagi KS.
Strategi coping yang dilakukan siswa seminari
dalam menghadapi permasalahan dalam aspek sanitas berbeda-beda. Misalnya
menyadari bahwa ia kurang dan bahkan tidak berkonsultasi dengan bapa rohani dan
Pembina, siswa seminari cenderung untuk tidak berbuat apa-apa dan hanya
menerima keadaan. Hal ini terungkap dalam semua subjek kecuali subjek RT yang
selalu berkonsultasi dengan bapa rohani dan Pembina.Mengacu pada pendapat Carver et al., (1989), apa
yang terjadi pada subjek (kecuali subjek RT yang selalu berkonsultasi
dengan bapa rohani dan Pembina)
menunjukkan aspek Self Acceptance dalam Emotional Focused Coping, dalam hal ini
subjek tidak melakukan usaha apapun dalam menyikapi masalah dan hanya menerima
keadaan.
Sebaliknya
menghadapi adanya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, umumnya siswa
seminari menghadapi sumber masalah yakni dengan menjalin hubungan khusus
(pacar) dengan wanita yang dicintai.Hal ini juga terungkap dalam diri semua
subjek kecuali subjek RT mengaku tidak memiliki pacar dan sejauh ini hanya
menyimpan perasaan dalam hatinya.Mengacu
pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang dilakukan RT yakni dengan
memendam perasaan cinta dan hanya ingin menadi teman menunjukkan salah satu
aspek Emotional Focused Coping yakni
aspek Denial, dalam hal ini subjek
berupaya mengingkari dan melupakan perasaan cintanya kepada seorang wanita.
Pengakuan RT dikuatkan oleh informan HU (teman dekat RT) yang mengatakan bahwa
RT memiliki rasa cinta terhadap seorang wanita namun sejuah ini RT hanya
berusaha menjadikan wanita tersebut sebagai teman dan tidak ingin menjalin hubungan
sebagai pacar. Selanjutnya, mengacu
pada pendapat Carver et al., (1989), apa yang terjadi pada subjek KS, HH, MB,
dan YG yakni memilih menjalin hubungan khusus (pacar) dengan wanita yang
dicintai menjunjukkan aspek Active Coping
dalam Problem Focused Coping,
dalam hal ini subjek memilih langsung mengadapi sumber masalah. Namun, dalam
kesehariannya, semua subjek juga menunjukkan pola coping berbeda selain coping
yang telah diuraikan di atas. Umumnya subjek memilih menuangkan perasaannya
dalam bentuk tulisan bila mengingat wanita yang dicintai.
Masalah lain
yang terkait aspek sanitas ialah kesehatan fisik, yang umumnya tidak dialami
oleh semua subjek kecuali subjek MB yang mengaku memiliki penyakit Mag dan
paru-paru. Subjek RT, HH, MB dan YG mengaku tidak memiliki penyakit dan hanya
mengalami sakit yang biasa seperti flu dan demam. Sedangkan untuk subjek MB
yang mengaku memiliki penyakit Mag dan paru-paru, sejuah ini subjek pernah
berobat ke dokter (waktu SMP), menyampaikannya kepada orangtua, berusaha makan
tepat waktu dan selalu meminta ijin di kelas untuk meminum air jika Mag-nya
kambuh. Hal ini juga diungkapkan oleh informan JL (teman dekat MB) yang
mengakui bahwa MB memiliki pengakit Mag dan biasanya meminta ijin untuk makan
atau minum ketika jam pekajaran terkahir di kelas. Apa yang dilakukan MB dalam
menyikapi masalah kesehatan fisiknya, menurut pendapat Carver et al., (1989), merupakan aspek Active Coping dalam Problem Focused Coping, dalam hal ini subjek melakukan
tindakan-tindakan langsung dalam menghadapi masalah seperti berobat ke dokter,
dan berusaha makan tepat waktu.
Masalah lain
terkait aspek sanitas ialah masalah emosi (cepat marah) yang dialami subjek KS.
Subjek KS mengaku ia termasuk pribadi yang cepat marah. Bahkan di kelas
peralihan ia pernah terlibat adu fisik dengan temannya. Namun sejuah ini ia
masih bisa menguasai emosinya. KS mengaku jika sedang marah, iacenderung
meninggalkan temannya. Hal ini dibenarkan oleh informan YG (teman dekat KS)
yang mengatakan bahwa KS memang sering cepat marah jika diganggu teman.Namun KS
juga biasanya cepat meredakan emosinya dengan meninggalkan temannya.
Meninggalkan teman untuk meredakan emosi (marah) seperti yang dilakukan KS, menurut pendapat Carver et al., (1989),
termasuk dalam salah satu aspek Emotional
Focused Coping yakni aspek Denial,
dalam hal ini subjek berusaha melupakan apa yang dialaminya.
Masih terkait
aspek sanitas, kadang ada rasa tertekan yang muncul akibat berbagai aturan
seminari.Hal ini diakui oleh subjek KS yang mengaku menuangkan perasaan itu
dalam cerpen.Berkaitan dengan itu, subjek RT, MB dan YG mengakui hal yang
sedikit berbeda yakni pernah mendapat sanksi dari Pembina akibat
kelalaian.Umumnya, subjek menjalani sanksi yang diberikan. RT mengakui juga
bahwa ia sering menuangkan perasaan dalam buku harian. MB dan YG menerima
keadaan begitu saja. Menuangkan perasaan (masalah) dalam buku harian
sebagaimana dilakukan KS dan RT, menurut
pendapat Carver et al., (1989), menunjukkan salah satu aspek Emotional Focused Coping yakni aspek Positive Reinterpretation, dalam hal ini
subjek berupaya menumbuhkan pengertian baru berdasarkan masalah yang ada dan
mengambil makna dari masalah tersebut.
Menyimak
berbagai permasalahan dalam aspek sanitas dan strategi coping yang dilakukan subjek di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa terdapat pola coping berbeda
yang ditunjukkan subjek dalam menghadapi masalahnya. Misalnya untuk masalah
relasi dengan Pembina, dalam arti subjek jarang bahkan tidak pernah
berkonsultasi, subjek lebih memilih strategi emotional focused coping yakni dengan menerima keadaan, dan tidak
memiliki usaha untuk mengubah situasi atau masalah yang ada. Hal ini nampak
dalam diri semua subjek, kecuali RT yang memiliki kebiasaan berkonsultasi
dengan bapa rohani dan Pembina.
Hal berbeda
ditunjukkan subjek dalam menyikapi perasaan menyukai lawan jenis/ jatuh
cinta.Semua subjek mengakui memiliki pacar, kecuali RT yang mengaku sejauh ini
hanya menyimpan perasaan saja. Jatuh cinta dan kemudian memilih menjalin relasi
khusus dengan teman wanita (pacar) adalah bagian dari strategi problem focused coping yakni langsung
menghadapi sumber masalah. Namun dalam kesehariannya di seminari subjek juga
menunjukkan strategi emotional focused
coping misalnya menuangkan perasaan dalam buku harian atau membuat sebuah
tulisan ketika merindukan sang pacar, sebagaimana diungkapkan KS, HH, dan YG.
Mengungkapkan perasaan kepada teman juga menjadi alternatif lain, sebagaimana
diungkpan subjek KS, HH, MB, dan YG. Hal yang sama diakui oleh RT yang mengaku
mengungkapkan perasaannya (ketertarikan terhadap wanita) kepada bapa rohani dan
teman.
Sebagaimana
dalam aspek sanctitas, subjek menunjukkan pola coping yang berbeda untuk
setiap masalah, demikian pula dalam aspek sanitas, terdapat pola coping yang berbeda untuk setiap jenis masalah. Ada
masalah yang dihadapi subjek dengan strategi problem focused coping, ada pula masalah yang dihadapi subjek
dengan strategi emotional focused coping.
3.
Aspek Scientia (Pengetahuan)
Permasalahan dalam aspek Scientia
(pengetahuan) meliputi kecemasan dalam menghadapi ujian.Kebanyakan siswa takut
mendapatkan nilai ujian (raport) yang tidak mencapai standar seminari. Hal
lainnya ialah motivasi belajar, cara belajar, kesulitan dalam pelajaran
tertentu, dan pengembangan bakat. Hal lain yang juga terkait aspek scientia
ialah keributan dalam kelas dan mengantuk dalam kelas.
Strategi coping yang dilakukan siswa seminari untuk menghadapi berbagai
permasalahan dalam aspek scientia umumnya dengan langsung menghadapi sumber
masalah.Misalnya menghadapai rasa cemas dan takut menjelang ujian, siswa
umumnya belajar secara tekun. Hal yang sama dilakukan siswa ketika mengalami
kesulitan dalam mata pelajaran tertentu yakni dengan belajar bersama teman
lain. Namun siswa juga terkadang hanya menerima keadaan misalnya ketika terjadi
keributan dalam kelas, siswa tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya menerima
situasi kelas yang ribut.
Dari uraian di atas terdapat dua pola coping yakni problem focused coping dan emotional
focused coping. Pola problem focused
coping diterapkan subjek dalam menyikapi tuntutan akademik yakni terkait
nilai ujian yang harus mencapai standar seminari. Semua subjek mengakui bahwa
mereka menyikapi tuntutan akademik dengan belajar, walaupun tidak semua subjek
mencapai nilai yang tinggi.Semua subjek mengakui bahwa sering belajar bersama
teman untuk mata pelajaran atau tugas yang dirasa sulit. Khusus untuk RT,
selain belajar bersama teman, ia juga sering berkonsultasi dengan Pembina
terkait aspek scientia.
Jika dianalisa menurut pendapat Carver et al., (1989), apa yang
dilakukan subje dalam menyikapi masalah aspek scientia sebagai diuraikan di
atas, menunjukkan pola Problem Focused
Coping yang antara lain terungkap dalam aspek-aspek seperti Active Coping (subjek belajar tekun
untuk mendapatkan nilai ujian yang memenuhi standar seminari), Seeking Social Support for Instrumental
Reasons (subjek bertanya kepada teman atau pembina dan belajar bersama
teman untuk pelajaran tertentu yang sulit).
Pola Problem
Focused Coping jugaterungkap dalam cara subjek menyikapi masalah seperti
keributan dalam kelas. KS dan RT mengakui menyikapi keributan dalam kelas
dengan menyesuaikan diri dengan keadaan.Jika terjadi keributan, seperti ada
yang bercerita dalam kelas, sesekali KS ikut bercerita, namun kemudian berusaha
untuk kembali fokus dalam bejalar.Subjek RT memilih mengalah dan tetap berusaha
untuk belajar jika terjadi keributan dalam kelas.Subjek MB dan YG memilih
mengerjakan tugas ketika terjadi keributan dalam kelas ketimbang memaksakan
diri untuk belajar. Mengacu pada pendapat
Carver et al., (1989), apa yang dilakukan subjek di atas memperlihatkan aspek
Problem Focused Coping yakni Restraint Coping, dalam hal ini subjek
menciptakan respons yang perlu dan bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.
Dalam konteks keributan dalam kelas, subjek memilih untuk tetap belajar,
membuat tulisan tertentu atau mengerjakan tugas.
Uraian di atas menggambarkan betapa kehidupan siswa seminari tidak terlepas
dari berbagai permasalahan yang dialaminya dalam proses pendidikan dan
pembinaan di seminari. Berbagai permasalahan itulah yang dari sudut pandang
teori dapat dikategorikan dalam tiga aspek pembinaan seminari yang mencakup
aspek Sanctitas, Sanitas, dan Scientia. Namun secara lebih luas, berbagai
permasalahan yang terungkap di atas menjadi gambaran betapa siswa seminari
bergumul dalam kesehariannya, dan mencari berbagai alternatif terbaik (coping) dalam menyikapi berbagai masalah
yang dihadapinya.
Supardi (dalam Kusumawanta, 2011) mengatakan bahwa kehidupan seminaris dari
waktu ke waktu juga mengalami gelombang dinamika. Ada banyak tantangan dan
kendala yang dihadapi oleh para calon imam pada zaman ini. Anak-anak seminaris
seolah-olah ada di persimpangan jalan zaman ini antara tuntutan hidup seminari
dan berbagai aneka tawaran zaman yang serba memikat hati. Rutinitas hidup
seminari dihadapkan dengan daya pikat zaman serba cepat. Tentulah daya tarik
perkembangan dunia modern sangat berpengaruh terhadap pola hidup dan karakter
seminaris dalam proses pembinaan di seminari (HP, FB, notebook, dll). Supardi
(dalam Kusumawanta, 2011) menambahkan bahwa dalam penghayatan iman atau cita
rasa religius kurang mendapat tanggapan baik, terbukti dari banyaknya anak yang
tidak tahu berdoa, sulit hening, kesetiaan dan kreativitas sangat lemah, dalam
bekerja harus selalu didampingi, selalu mencari gampang, mental enak dengan
kemudahan internet. Sementara ada sebagian anak seminaris coba-coba melanggar
aturan, munculnya tipe pemberontak, anak-anak kurang mendalam, hanya
datar-datar saja (kurang refleksif).
Gambaran di atas menjadi nyata dalam pengalaman subjek di seminari,
misalnya kesulitan awal untuk beradaptasi dengan rutinitas baru di seminari
seperti bangun pagi, doa, misa, dan kegiatan lainnya yang menuntut disiplin
hidup. Hal lain yang muncul sebagai gambaran siswa seminari yang mengalami
”persimpangan jalan” adalah rasa bosan dan malas yang lahir akibat kegiatan
yang diulang-ulang, selain motivasi yang kadang menurun.
Pada sisi lain, perlu dipahami pula bahwa siswa seminari adalah pribadi
remaja yang sedang menuju kedewasaan. Menurut Kurnianto (dalam Kusumawanta,
2011) pada kenyataannya, sendiri sedang bertumbuh dan berkembang menuju
kedewasaannya, baik secara fisik, emosi dan intelektualnya. Tiga elemen ini
berkembang seiring sejalan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini, seminaris mempunyai soal di dalam dirinya. Dalam konteks
kehidupan nyata di seminari Lalian, berdasarkan hasil penelitian, diperoleh
beberapa hal yang menggambarkan dinamika perkembangan siswa seminari menuju
kedewasaannya, di antaranya pengalaman jatuh cinta yang umumnya disikapi dengan
langsung menghadapi sumber stressor. Hal lainnya ialah motivasi menjadi imam
yang terkadang menurun, yang umumnya disikapi dengan tetap menjalani semua
aturan seminari sambil terus menumbuhkan harapan dalam diri untuk tetap
bertahan di seminari. Namun itulah gambaran betapa siswa seminari benar-benar
meleburkan diri dalam perkembangan pribadinya baik sebagai remaja maupun
sebagai calon imam.
Selanjutnya dalam konteks coping,
jika dianalisa menurut pendapat Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan Sternn,
1995), dan pendapat Carver et al., (1989) tentang aspek-aspek strategi coping, maka ditemukan dua pola coping yang diterapkan siswa seminari dalam menyikapi
berbaai permasalahannya yakni Problem
Focused Coping dan Emotion Focused
Coping. Jika Problem Focused Coping merupakan
bentuk coping yang lebih berorientasi
pada pemecahan masalah, maka Emotion
Focused Coping merupakan usaha-usaha untuk mengurangi atau mengatur emosi
dengan cara menghindari untuk berhadapan langsung dengan stressor.
Kedua bentuk coping di atas
diterapkan siswa seminari pada tiap masalah yang berbeda, bergantung pada jenis
masalah, dan juga kepribadian. Jika dirunut secara jelas, pola Problem Focused Coping diterapkan siswa
seminari dalam menyikapi persoalan umum seperti kesulitan beradaptasi dengan
rutinitas baru di seminari, misalnya bangun pagi, doa, misa, dan berbagai
kegiatan lainnya yang sudah terjadwal. Pola yang sama juga diterapkan siswa
seminari dalam menyikapi tuntutan akademik dalam arti nilai ujian yang harus
mencapai standar seminari. Umumnya semua subjek memilih tekun belajar agar
mendapat nilai yang memenuhi standar seminari. Dalam belajar itu, umumnya
mereka belajar secara pribadi, belajar bersama teman, dan ada juga subjek yang
mengaku berkonsultasi dengan pembina.
Uraian di atas menggambarkan bahwa ketika memasuki suatu
lingkungan yang baru, individu akan cenderung menerapkan pola Problem Focused Coping yakni dengan
langsung mengahadapi sumber masalah, seperti menyesuaikan diri dengan
kebiasaan-kebiasaan baru. Hal tersebut sebagaimana terungkap dalam hasil
penelitian Kertamuda (2009) tentang Pengaruh
Strategi Coping Terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru.Berdasarkan hasil
penelitiannya, Kertamuda (2009) menyimpulkan bahwa bentuk strategi coping yang dilakukan mahasiswa baru
lebih dominan kepada problem-focused
coping yang berorientasi pada pencarian pemecahan masalah dari stresor,
yang diterima dengan cara mencari usaha dan mengatur atau merubah kondisi
objektif yang merupakan hambatan dalam penyesuaian diri atau melakukan sesuatu
untuk merubah hambatan tersebut. Mahasiswa baru aktif dalam mempelajari kultur,
kebiasaan, pola pembelajaran, serta memahami dinamika yang ada di universitas
yang kemudian berusaha memahami semua hal tersebut ke dalam dirinya, serta
menyesuaikan diri dengan semua hambatan dan stresor yang ada.
Dalam
konteks kehidupan siswa seminari, proses penyesuaian diri menjadi menjadi
sebuah keharusan karena bagaimanapun siswa seminari hidup dalam lingkungan
kehidupan baru yang tentunya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Di sisi
lain, berbagai aturan dan tuntutan hidup seminari juga mengharuskan siswa
seminari menghadapinya dengan sabar dan tekun, seperti tuntutan kehidupan
rohani dan kemampuan akademik.
Pola Problem Focused Coping juga
diterapkan subjek dalam menyikapi pengalaman jatuh cinta. Umumnya subjek
memilih langsung menghadapi sumber stressor yakni dengan menjalin hubungan
khusus (pacar) dengan wanita yang ia cintai, kecuali subjek RT yang mengaku
berusaha menyimpan perasaannya. Dalam menyikapi motivasi yang kadang menurun,
umumnya subjek juga menerapkan pola Problem
Focused Coping yakni dengan tetap berusaha menjalani rutinitas di seminari.
Pola Emotion Focused Coping diterapkan
subjek dalam menyikapi masalah seperti subjek jarang bahkan tidak pernah
berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. Kecuali subjek RT yang selalu
berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina, subjek lainnya mengaku hanya
menerima keadaan dan tidak memiliki usaha untuk menghadapi stressor. Dalam hal
ini, mereka mengakui bahwa sejauh ini mereka belum memiliki usaha untuk
berkonsultasi secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina. Kebanyakan masalah
dihadapi subjek dengan menceritakannya kepada teman, bahkan ada subjek yang
mengakui bahwa ia lebih memilih menyelesaikan persoalannnya sendiri ketimbang
berkonsultasi dengan pembina maupun teman. Hal ini menggambarkan salah satu
ciri remaja sebagai individu yang berupaya mencari kebebasan. Menurut Allport
(dalam Sarwono, 2011), dalam pertumbuhan dan perkembagannya sorang remaja
berusaha untuk melepaskan diri dari milieu (lingkungan) orangtua dengan maksud
untuk menemukan dirinya. Hal ini menjadi nyata dalam diri subjek penelitian
yang lebih memilih menceritakan masalahnya kepada teman atau menyelesaikannya
sendiri daripada berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. Pada sisi lain,
kurangnya intensitas berkonsultasi dengan pembina disadari oleh subjek namun
subje lebih memilih diam dan tidak melakukan usaha apapun. Dalam perspektif
Carver et.al., (1989), hal ini merupakan pola Emotion Focused Coping yakni aspek Self Acceptance,dalam hal ini subjek menerima keadaan yang ada
tanpa usaha apapun.
Namun melihat pengalaman berbeda yang ditunjukkan subjek RT yang memiliki
intensitas tinggi dalam berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina, dapat
dipertimbangkan bahwa ada faktor tertentu yang turut mempengaruhi pola coping seseorang, selain faktor
pertumbuhan dan perkembangan sebagai remaja sebagaimana diuraikan di atas.
Salah satu faktor yang dapat diuraikan ialah faktor kecerdasan sosial
sebagaimana terungkap dalam penelitian Kusuma (2010) tentang Hubungan Antara Hubungan Antara Kecerdasan Sosial
Dengan Gaya Penyelesaian Konflik Siswa Seminari Menengah. Hasil penelitian
Kusuma (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan sosial
dengan gaya penyelesaian konflik, sehingga dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
sosial mempunyai kontribusi menentukan gaya penyelesaian konflik yang digunakan
seseorang. Dengan demikian dapat diduga bahwa terdapat perbedaan kecerdasan
sosial di antara subjek penelitian, yang menjadikannya berbeda dalam menentukan
pola coping. Tentu hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut lewat penelitian
yang akurat.
Selanjutnya, melihat
kecenderungan siswa pada pola Emotion Focused Coping dalam menyikapi
permasalahannya sebagaimana diuraikan di atas, patut dipertimbangkan faktor
dukungan sosial dan optimisme individu, sebagaimana dijabarkan Utaminingsih
(2010) dalam penelitiannya tentang Pengaruh
Dukungan Sosial Dan Optimisme Dengan Kecenderungan Penggunaan Emotional Focused
Coping Pada Remaja Awal. Hasil penelitian ini memperlihatkan ada hubungan
negatif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dan Emotional Focused Coping. Makin tinggi dukungan sosial akan makin
rendah kecenderungan penggunaan Emotional
Focused Coping dan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara
optimisme dengan Emotional Focused Coping.
Makin tinggi optimisme akan makin rendah kecenderungan penggunaan Emotional Focused Coping. Dalam konteks
kehidupan siswa seminari, dukungan social yang dimaksud bisa berupa
langkah-langkah konkret dari seminari seperti mengadakan evauluasi terhadap
berbagai kegiatan, aturan dan tuntutan yang ada, dan tentunya ketersediaan
ruang dan waktu bagi siswa untuk mengembangkan diri secara utuh dan seimbang
dalam berbagai aspek.Dukungan sosial juga bisa berupa suasana keakraban yang
membangun di antara siswa.Dengan dukungan sosial seperti ini, diharapkan siswa
memiliki perhatian yang lebih terhadap pola Problem
Focused Coping dalam menyikapi permasalahannya. Sedangkan faktor optimisme
(individu) dalam konteks siswa seminari dapat diartikan sebagai proses
pendewasaan diri siswa secara internal. Melalui pengalaman dan permenungan diri
yang dalam, siswa diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahannya secara
bijak dan membangun optimisme yang tinggi terhadap masa depan.
Dari uraian di
atas, didapatkan gambaran bahwa strategi coping
siswa seminari bukanlah merupakan suatu pola yang baku, dalam arti tidak
ada bentuk coping yang khusus untuk
masalah tertentu. Namun, masing-masing subjek menerapkan bentuk coping sesuai jenis masalah dan
kepribadiannya. Walaupun demikian, ada pola coping
umum yang nampak dalam kehidupan siswa seminari, seperti pola Problem
Focused Coping yang
umumnya diterapkan siswa seminari dalam hampir seluruh kesehariannya yakni
tetap berusaha mengikuti berbagai aturan dan tuntutan hidup (rutinitas/kegiatan
harian), walaupun terkadang muncul rasa bosan dan malas, serta motivasi yang
rendah.
Sedangkan pola Emotion
Focused Coping umumnya diterapkan subjek dalam menyikapi persoalan
internalnya, seperti pacar (kerinduan akan pacar yang dituangkan dalam bentuk
tulisan), dan kurang dekatnya siswa dengan pembina yang terungkap dalam
pengalaman subjek yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa
rohani dan pembina. Perbedaan pola coping
yang diterapkan siswa seminari menjadi gambaran nyata kehidupan siswa
seminari serentak menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi lembaga seminari
untuk mengambil langkah-langkah bijak demi perkembangan siswa seminari yang
seimbang dan utuh dalam aspek Sanctitas, Sanitas, dan Scientia.
H.KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Masa remaja merupakan masa yang penuh
gejolak.Pada masa ini, seseorang mengalami berbagai perubahan dalam dirinya
baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.Perubahan yang dimaksud mencakup
hampir semua aspek pribadi seseorang entah secara fisik maupun secara
psikis.Seiring dengan perubahan itu, seorang remaja mengalami berbagai
permasalahan terutama ketika remaja berhadapan dengan situasi yang menurutnya
bertentangan dengan keinginannya.
Siswa seminari adalah kelompok remaja
yang juga mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang penuh gejolak.Hal
ini menjadi lebih mudah dipahami dengan melihat keseharian siswa seminari yang
hidup dalam komunitas khusus (seminari) yang penuh dengan berbagai aturan serta
tuntutan hidup yang tidak mudah.Sebagai seorang remaja yang sedang tumbuh,
siswa seminari mengalami berbagai perasalahan dalam kesehariannya di
seminari.Berbagai permasalahan yang dialami siswa seminari, mendorong siswa
seminari untuk melakukan strategi coping tertentu
untuk menghadapinya.
Jika dianalisa menurut pendapat Lazarus dan Folkman (dalam Bowman dan
Sternn, 1995), dan pendapat Carver et al., (1989) tentang aspek-aspek strategi coping, maka ditemukan dua pola coping yang diterapkan siswa seminari dalam menyikapi
berbaai permasalahannya yakni Problem
Focused Coping dan Emotion Focused
Coping. Jika Problem Focused Coping merupakan
bentuk coping yang lebih berorientasi pada pemecahan
masalah, maka Emotion Focused Coping merupakan
usaha-usaha untuk mengurangi atau mengatur emosi dengan cara menghindari untuk
berhadapan langsung dengan stressor.
Dua bentuk coping di atas
diterapkan siswa seminari pada tiap masalah yang berbeda, bergantung pada jenis
masalah, dan juga kepribadian. Jika dirunut secara jelas, pola Problem Focused Coping diterapkan siswa
seminari dalam menyikapi persoalan umum seperti kesulitan beradaptasi dengan
rutinitas baru di seminari, misalnya bangun pagi, doa, misa, dan berbagai
kegiatan lainnya yang sudah terjadwal. Pola yang sama juga diterapkan siswa
seminari dalam menyikapi tuntutan akademik dalam arti nilai ujian yang harus
mencapai standar seminari. Umumnya semua subjek memilih tekun belajar agar
mendapat nilai yang memenuhi standar seminari. Dalam belajar itu, umumnya
mereka belajar secara pribadi, belajar bersama teman, dan ada juga subjek yang
mengaku berkonsultasi dengan pembina. Pola Problem
Focused Coping juga diterapkan subjek dalam menyikapi pengalaman jatuh
cinta. Umumnya subjek memilih langsung menghadapi sumber stressor yakni dengan
menjalin hubungan khusus (pacar) dengan wanita yang ia cintai. Dalam menyikapi
motivasi yang kadang menurun, umumnya subjek juga menerapkan pola Problem Focused Coping yakni dengan
tetap berusaha menjalani rutinitas di seminari.
Pola Emotion Focused Coping diterapkan
subjek dalam menyikapi masalah seperti subjek jarang bahkan tidak pernah
berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina. Subjek umumnya mengaku hanya
menerima keadaan dan tidak memiliki usaha untuk menghadapi stressor. Dalam hal
ini, mereka mengakui bahwa sejauh ini mereka belum memiliki usaha untuk berkonsultasi
secara pribadi dengan bapa rohani dan pembina. Kebanyakan masalah dihadapi
subjek dengan mensyeringkannya kepada teman, bahkan ada subjek yang mengakui
bahwa ia lebih memilih menyelesaikan persoalannnya sendiri ketimbang
berkonsultasi dengan pembina maupun teman. Dalam hal ini subjek menerapkan self acceptance yakni menerima keadaan
begitu saja tanpa usaha apapun. Pola yang sama diterapkan subjek dalam
menyikapi relasi khusus (pacar) dengan lawan jenis. Subjek mengakui bahwa di
satu sisi ia adalah calon imam, namun di sisi lain, ia masih tetap menjalin
hubungan khusus (pacar) dengan seorang wanita. Hal ini kadang disadari namun
tetap dibiarkan berjalan begitu saja seiring waktu.
Dari
uraian di atas didapatkan gambaran bahwa strategi coping siswa seminari bukanlah merupakan suatu pola yang baku,
dalam arti tidak ada bentuk coping yang
khusus untuk masalah tertentu. Namun, masing-masing subjek menerapkan bentuk coping sesuai jenis masalah dan
kepribadiannya. Walaupun demikian, ada pola coping
umum yang nampak dalam kehidupan siswa seminari, seperti pola Problem
Focused Coping yang
umumnya diterapkan siswa seminari dalam hampir seluruh kesehariannya yakni
tetap berusaha mengikuti berbagai aturan dan tuntutan hidup (rutinitas/kegiatan
harian), walaupun terkadang muncul rasa bosan dan malas, serta motivasi yang
rendah. Sedangkan pola Emotion Focused
Coping umumnya diterapkan subjek dalam menyikapi persoalan internalnya,
seperti pacar (kerinduan akan pacar yang dituangkan dalam bentuk tulisan), dan
kurang dekatnya siswa dengan pembina yang terungkap dalam pengalaman subjek
yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi dengan bapa rohani dan pembina.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, ada
beberapa saran yang diajukan peneliti kepada beberapa pihak, antara lain:
1.
Keuskupan Atambua
Kepada Keuskupan Atambua sebagai pemilik Seminari Menengah
Lalian, berdasarkan hasil penelitian ini kiranya Keuskupan Atambua menyadari
pentingnya pendampingan psikologi bagi para siswa seminari.Selanjutnya dengan
pemikiran ini, kiranya Keuskupan Atambua dapat menyediakan tenaga psikologi di
Seminari Menengah Lalian, baik dari kalangan imam maupun awam.
2.
Seminari Menengah Lalian
Kepada Seminari Menengah Lalian sebagai lembaga pendidikan
calon imam, perbedaan pola coping yang
ditunjukkan siswa kiranya menjadi bahan pertimbangan dalam proses pembinaan.
Pola yang dinilai sudah tepat kiranya dikembangkan, sebaliknya pola yang
dinilai belum begitu tepat, dapat diarahkan dengan langkah tertentu. Contohnya,
menyikapi kecenderungan siswa yang jarang bahkan tidak pernah berkonsultasi
dengan bapa rohani dan Pembina, pihak seminari kiranya dapat mengembangkan
proses pendekatan seperti jadwal bimbingan pribadi yang sebenarnya sudah ada
selama ini. Contoh lain, menyikapi rasa bosan dan malas yang dialami siswa
karena rutinitas, pihak seminari hendaknya menyediakan ruang dan waktu yang
cukup bagi siswa dalam mengembangkan diri secara utuh dan menyalurkan ekspresi
dirinya secara sehat, misalnya waktu untuk piknik bersama atau rekreasi
bersama.
3. Subjek Penelitian
Kepada subjek penelitian, kiranya perbedaan pola coping yang terungkap dalam hasil penelitian menjadi
acuan berarti bagi subjek dalam proses pematangan dirinya di seminari. Subjek
yang satu bisa belajar dari subjek yang lain tentang pola coping tertentu dalam menyikapi masalah tertentu. Masing-masing
subjek kiranya dapat menilai kelebihan dan kekurangan pola coping-nya dan bisa saling belajar satu sama lainnya.
4.
Peneliti lain
Bagi peneliti lain yang juga menaruh perhatian pada masalah
strategi coping siswa seminari, hasil
penelitian ini kiranya menjadi acuan untuk dapat mengembangkan penelitian
mengenai strategi coping siswa
seminari di seminari-seminari lainnya. Dengan demikian diharapkan akan
diperoleh hasil penelitian lain yang lebih menarik dan bervariasi untuk
dijadikan bahan diskusi dan lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
khususnya psikologi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S.M. (2010). Modul
psikologi perkembangan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Mercu Buana.
Ai, L. (2011).Seminari.
Diunduh dari www.seminarikwi.org, 23 Desember 2011.
Aldwin, C.M. & Revenson, T.A. (1997). Does coping help? A reexamination of the relation between coping and mental health.Journal
of Personality and Social Psychology.Vol. 53. 2, 337-348.
Benediktus XVI, Sri Paus (2010). Surat kepada seminaris. Diunduh dari www.seminarikwi.org,
18 Desember 2011.
Betu, K. (2000). Persepsi siswa seminari menengah atas
terhadap pembinaan diri calon imam; Studi deskripsi tentang persepsi siswa
Seminari Menengah Atas Santo Yohanes Berkhmans Todabelu – Mataloko – Flores
tahun ajaran 1999/2000 (Skripsi tidak diterbitkan), Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, Indonesia.
Bowman, G.D., & Stern, M. (1994). Adjustment to occupational
stress: The relationship of perceived control to effectiveness of coping strategies. Journal of
Counseling Psychology. 60. 294-303.
Carver, C.S., Scheier, M.F. & Meintraub, J.K. (1989). Assessing
copingstrategies: Theorically based approach. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 56, 2, 267-283.
Chaplin, J. (2009). Kamus
lengkap psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Chorneawati, T.F. (2010). Perbedaan coping stress ditinjau dari
kematangan emosi pada remaja yang tinggal di panti asuhan.Diunduh dari http://library.um.ac.id, 2 Desember 2011.
Dekrit tentang pembinaan imam,
Roma, 28 Oktober 1965 (Paulus Uskup).
Denzim, N.K., & Lincoln Y.S.
(2009).Hand book of qualitative research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus besar bahasa
indonesia edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Dewan Pembina Seminari Lalian.(2010). Pedoman pembinaan dan
penyelenggaraan pendidikan calon imam di Seminari Lalian.Lalian: Seminari
SMU Lalian.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi
penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Kertamuda, F. & Herdiansyah, H. (2009).Pengaruh strategi coping
terhadap penyesuaian diri mahasiswa baru.Jurnal
Universitas Paramadina Vol. 6 No.1, April 2009: 11-23.
Kongregasi Pendidikan Katolik. (2009). Psikologi dan pendidikan
calon imam.Yogyakarta: Kanisius.
Kusuma, W.R. (2005). Hubungan
antara kecerdasan sosial dengan gaya penyelesaian konflik siswa Seminari
Menengah St. Vincentius A Paulo Garum Blitar. Diunduh dari www.libraryunair.com, 27
Desember 2011.
Kusumawanta, G.B. (2009). Tahapan
pembentukan imamat. Jakarta: Komisi Seminari KWI.
Kusumawanta, G.B. (2011). Panggilan menjadi formator seminari.
Yogyakarta: Kanisius.
Moleong,
J.L. (2005). Metodologi penelitian kualitatif, edisi revisi. Bandung:
Rosda Karya.
Monks, F.J., Knoers,
A.M.P., & Haditono, S.R. (2006). Psikologi perkembangan-pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muhibbinsyah. (2010). Psikologi
pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung: Rosda Karya.
Nazir, M. (2001).Metode
penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Parker, K.R. (1986).Coping in stressful episodes: The role of
individual differences, enviorment factor, and situational characteristic.Journal
of Personality dan Social Psychology.Vol. 51. 6: 1277-1292.
Parker, I. (2008).Psikologi kualitatif.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Paulus II, Y. (2009). Redemptoris
missio. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.
Poerwandari,
E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia: LPSP3.
Purnamasari, S.E. (2011). Panduan
wawancara. Yogyakarta: Universitas Mercu Buana.
Salam,
A. (2006). Teori dan paradigma penelitian sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Sarwono, S. (2011). Psikologi
remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Smeth, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia.
Smith,
J.A. (2009). Psikologi kualitatif-panduan praktis metode riset. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Santrock, J.W. (1996). Life
span development: Perkembangan masa hidup edisi 5, Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Stone, A.A., & Neale, J.M. (1994). New measure of daily coping: Development and preliminary
results. Journal of Applied Psychology.Vol. 46. 4. 892-906.
Sugiyono.(2012). Memahami
penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Tierney, T. (2002).Should
you become a priest? Yogyakarta: Kanisius.
Utaminingsih, D. (2009). Pengaruh dukungan sosial dan optimisme
dengan kecenderungan penggunaan emotional focused coping pada remaja awal.
Diunduh darihttp://emotionalfocusedcopingunila.wordpress.com,
4 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar