Rabu, 11 Desember 2013

Resensi Novel Likurai Untuk Sang mempelai



Likurai dan Pendidikan Cinta Tanah Air
(Resensi novel “Likurai Untuk Sang Mempelai” karya R. Fahik)
Oleh:
Ignasius S. Roy Tei Seran, S.Fil. & Fransiskus X. Taolin, S.Fil. –
Komunitas Rumah Segitiga
Judul Buku      : Likurai Untuk Sang Mempelai (Sebuah Novel)
Penulis             : Robert Fahik
Pengantar        : Yohanes Sehandi
Epilog              : Mezra E. Pellandou
Penerbit           : Cipta Media Yogyakarta
Cetakan I        : Desember 2013
Tebal   Buku   : xx + 124 halaman

LIKURAI merupakan salah satu tarian daerah di Timor. Pada jaman dahulu, Likurai adalah tarian yang ditampilkan pada upacara-upacara adat dan untuk menyambut pahlawan suku yang disebut “meo”, bersama anak buahnya yang pulang dengan kemenangan dari medan perang. Tarian ini juga biasanya diperagakan untuk mengiringi antaran upeti ke istana atau untuk menyambut tamu agung yang berkunjung ke kerajaan.
Kini tarian Likurai sudah dapat dimodofikasi sesuai dengan kemampuan koreografer dan menitikberatkan pada tema tertentu yang hendak ditampilkan, misalnya untuk menyambut pejabat pemerintah atau tamu agung lainnya. Likurai pada dewasa ini lebih banyak ditampilkan untuk mengisi acara-acara kesenian atau untuk bersuka ria pada pesta-pesta adat atau keramaian-keramaian lain. Dalam rangka inkulturasi budaya-budaya lokal ke dalam Liturgi Gereja sesuai dengan amanat hasil Konsili Vantikan II di Roma tahun 1963-1965, maka tarian Likurai sudah ditampilkan juga dalam upacara Misa dimana Likurai ditampilkan untuk mengantarkan para imam ke dalam gereja, dan juga untuk menghantarkan persembahan ke altar.
Kekayaan budaya Timor (Likurai) dilihat secara mendalam oleh sang penulis yang kemudian “mengabadikannya” dalam bentuk novel. Sastrawan muda NTT, Romo Amanche Franck Oeninu, mengungapkan, “Robby telah pulang demi cinta dan pencerahan untuk Malaka tercinta. Dengan inspirasi dari ‘Badut Malaka’, Robby hadir menabuh ‘Likurai’ kemenangan demi kebahagiaan mempelai-mempelai Malaka di pesisir pantai Timor.” Romo Amanche benar, karena novel ini sesugguhnya merupakan “kelanjutan” dari novel pertama sang penulis yakni “Badut Malaka”. Dalam kedua novel ini, sang penulis benar-benar “kembali” ke tanah kelahirannya, dan mengangkat kekayaan budaya yang ada.
Terbitnya novel ini menegaskan komitmen penulisnya dalam mengangkat sastra daerah serentak kesetiaan dan kebanggaannya akan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu antarbudaya, sebagaimana ditegaskan Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Muhammad Luthfi Baihaqi, S.S., M.A. Sastrawan Indonesia asal NTT, Gerson Poyk juga memberi apresiasi terhadap novel ini dengan menulis: “Likurai Untuk Sang Mempelai” adalah sebuah novel faction (fact and fiction), campuran antara fakta jurnalistik dan karya fiktif. Fakta-fakta dicangkokkan ke alur fiktif. Alur fiktif murni bagaikan pohon cendana wangi yang tumbuh di tengah keindahan sabana Timor tetapi kini ia menjadi “Likurai Untuk Sang Mempelai” ketika dikerubungi oleh anggrek dan bunga fakta-fakta pada seluruh cabang dan ranting pohon fiktif. Fakta, mitos, legenda, sejarah, ritual-ritual, seni tarian dan nyanyian, keindahan alam dan tamasya gagasan pendidikan modern luar sekolah, kebudayaan yang sudah dikristenkan, catatan kaki, semuanya bagaikan anggrek sabana yang tumbuh melengket pohon cendana fiktif alur cerita. Membaca novel ini, kita seolah memasuki sebuah taman cendana Timor berhiaskan anggrek dan bunga-bunga sabana.” Novel ini juga mendapat apresiasi dari sejumlah tokoh dari berbagai kalangan yakni Dr. Norbertus Jegalus, M.A., dosen Filsafat Unwira Kupang, Bara Pattyradja, penyair muda Indonesia asal NTT, Petrus Seran Tahuk, tokoh muda Malaka- peminat sastra, Nelsensius Klau Fauk, putra Malaka, tinggal di Adelaide, Australia – penulis dan pemerhati masalah-masalah sosial, dan Kornelius Wandelinus Subang, putra Malaka, Mahasiswa Pascasarjana UTY, anggota Liga Mahasiswa Pascasarjana/LMP NTT Yogyakarta.  
  Singkat cerita, novel ini berkisah tentang perjalanan hidup tokoh utama, sang penyair Malaka, dengan segala niat, perjuangan, dan sepak terjangnya untuk membangun masyarakat, membangun daerah baru Kabupaten Malaka sebagai tanah terjanji yang berbudaya dan bermartabat.
Tokoh utama novel adalah anak tanah Malaka, Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya merantau menjadi TKI di Malaysia pada saat si aku masih dalam kandungan ibu. Terdengar khabar, sang ayah sakit keras dan hanya bisa diselamatkan apabila didampingi sang istri. Sang istri akhirnya berangkat ke Malaysia pada saat si aku masih bayi. Sesampai di Malaysia, ternyata sang suami sudah meninggal dunia. Dia sendiri akhirnya meninggal dunia karena stres dan galau tinggal di tanah orang.
Si aku sejak kecil dipelihara tantenya bernama Ina yang kebetulan keluarga itu tidak mempunyai anak. Pada usia remaja dan menjelang dewasa si aku mengembara lama di tanah rantau menuntut ilmu dan mencari pengalaman. Setelah bekal ilmu dan pengalaman memadai, pulanglah si anak rantau ke tanah kelahirannya Malaka, tanah yang menopang hidupnya. Panggilan tanah kelahiran ini semakin membuncah tatkala sang kekasih hati, si Noy, yang telah mengisi relung-relung hatinya sebelum mengembara, terus menunggunya dengan setia di Betun, Malaka, kapan saja sang penyair Malaka kembali.
Rencana pernikahan sang penyair Malaka dengan Noy menjadi terhambat karena tidak direstui oleh orang tua Noy yang materialistis, dengan berdalih, pernikahan baru direstui apabila si calon pengantin pria memperjelas status kedua orang tuanya yang selama ini diperguncingkan masyarakat sebagai anak yang tidak punyai orang tua.
Untuk memenuhi tuntutan itu, demi cintanya kepada si Noy, si aku berangkat ke Malaysia untuk jemput pulang kedua orang tuanya. Namun sayang, ternyata kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Pulanglah ia ke tanah Malaka. Kenyataan pahit yang menjemputnya, si Noy kekasih hati yang mengiringinya, sudah meninggal dunia karena stres dan sakit hati atas sikap orang tuanya.
Meskipun kekasih hatinya Noy telah tiada, niat luhur dan komitmen perjuangan sang penyair Malaka untuk membangun tanah Malaka tidak pernah surut. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, dia membangun Malaka, yang segera menjadi kabupaten baru, yakni Kabupaten Malaka, dengan runtutan sejumlah peristiwa bersejarah, yakni pada 14 Desember 2012 DPR RI mengesahkan UU tentang Pembentukan Kabupaten Malaka, pada 22 April 2013 Mendagri RI Gamawan Fauzi meresmikan Kabupaten Malaka sekaligus melantik Penjabat Bupati Malaka, Herman Nai Ulu, dan pada hari Minggu, 5 Mei 2013 digelar pesta rakyat meriah masyarakat Malaka sebagai syukuran terbentuknya Kabupaten Malaka (Yohanes Sehandi - pengantar novel).
Lantas mengapa Likurai? Dalam epilog novel, Mezra E. Pellondou menulis, Robert ingin membangkitkan kembali spirit Likurai mula-mula sebagai sebuah keberanian generasi muda Malaka sekarang untuk terus memperjuangan dan mencintai tanah air (Malaka) agar senantiasa merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Likurai yang ditarikan Robert dalam novelnya, tidak membutuhkan kepala musuh untuk dipenggal dan kemudian diinjak-injak sebagai bentuk penghinaan. Walau  tanpa penggalan kepala musuh namun tarian Likurai Robert tetap bermuatan semangat cinta tanah air Malaka dengan ketotalan jiwa. Likurai untuk Sang Mempelai bermakna  setiap orang di tanah Malaka berjalan bersama, belajar bersama, berdialog bersama, bekerjasama dalam cinta dan persatuan yang kokoh untuk mendandani Malaka sebagai tanah air, sekaligus sebagai kabupaten yang baru diresmikan. 
            Walau tanpa penggalan kepala musuh, namun  Novel Likurai untuk Sang Mempelai karya Robet ini ingin mengatakan kepada kita semua bahwa musuh sesungguhnya dari manusia adalah mendidik diri sendiri. Hal yang  paling sulit  bagi masyarakat Malaka juga masyarakat lain yang sedang memperjuangkan kemerdekaan diri atau yang baru saja memerdekakan diri  adalah, mendidik diri sendiri untuk terus mencintai tanah dan kebudayaaan yang membungkusnya.
Dengan segala kekurangannya, novel ini telah berada di tangan pembaca, namun kelebihan yang dapat kita petik adalah kita semua akan setuju bahwa ternyata pendidikan yang paling sulit adalah mendidik diri sendiri, dan untuk hal itu sekolah kehidupan bernama Likurai (cinta tanah air) harus dimulai dari mendidik diri kita sendiri untuk belajar dan terus belajar mencintai kehidupan, mencintai ibu atau tanah kelahiran sebagai panggilan agung bagi setiap orang. Bahkan untuk hal itu sebagian orang siap dicintai sekaligus dibenci.
Dalam catatan Yohanes Sehandi, terbitnya novel Likurai untuk Sang Mempelai ini menambah deretan karya sastra NTT berbentuk novel yang berlatar (setting) tanah Timor menjadi 6 judul. Novel lain yang berlatar tanah Timor dalam koleksi Yohanes Sehandi adalah (1) Cumbuan Sabana (Gerson Poyk, Penerbit Nusa Indah, Ende, 1979), (2) Petra Southern Meteor (Yoss Gerard Lema, Penerbit Gita Kasih, Kupang, 2006), (3) Surga Retak (Mezra E. Pellondou, Penerbit Kairos, Kupang, 2007), (4) Badut Malaka (R. Fahik, Penerbit Cipta Media, Yogyakarta, 2011), dan (5) Perempuan dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou, Penerbit Framepublishing, Yogyakarta, 2012).
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar