Likurai dan Pendidikan Cinta Tanah Air
Oleh:
Ignasius
S. Roy Tei Seran, S.Fil. & Fransiskus X. Taolin, S.Fil. –
Komunitas
Rumah Segitiga
Judul Buku : Likurai Untuk Sang Mempelai (Sebuah
Novel)
Penulis : Robert Fahik
Pengantar : Yohanes Sehandi
Epilog : Mezra E. Pellandou
Penerbit : Cipta Media Yogyakarta
Cetakan I : Desember 2013
Tebal Buku :
xx + 124 halaman
LIKURAI
merupakan salah satu tarian daerah di Timor. Pada jaman dahulu, Likurai adalah
tarian yang ditampilkan pada upacara-upacara adat dan untuk menyambut pahlawan
suku yang disebut “meo”, bersama anak
buahnya yang pulang dengan kemenangan dari medan perang. Tarian ini juga
biasanya diperagakan untuk mengiringi antaran upeti ke istana atau untuk
menyambut tamu agung yang berkunjung ke kerajaan.
Kini
tarian Likurai sudah dapat dimodofikasi sesuai dengan kemampuan koreografer dan
menitikberatkan pada tema tertentu yang hendak ditampilkan, misalnya untuk
menyambut pejabat pemerintah atau tamu agung lainnya. Likurai pada dewasa ini
lebih banyak ditampilkan untuk mengisi acara-acara kesenian atau untuk bersuka
ria pada pesta-pesta adat atau keramaian-keramaian lain. Dalam rangka
inkulturasi budaya-budaya lokal ke dalam Liturgi Gereja sesuai dengan amanat
hasil Konsili Vantikan II di Roma tahun 1963-1965, maka tarian Likurai sudah
ditampilkan juga dalam upacara Misa dimana Likurai ditampilkan untuk
mengantarkan para imam ke dalam gereja, dan juga untuk menghantarkan
persembahan ke altar.
Kekayaan budaya Timor (Likurai) dilihat
secara mendalam oleh sang penulis yang kemudian “mengabadikannya” dalam bentuk
novel. Sastrawan muda NTT, Romo Amanche Franck Oeninu, mengungapkan, “Robby
telah pulang demi cinta dan pencerahan untuk Malaka tercinta. Dengan inspirasi
dari ‘Badut Malaka’, Robby hadir menabuh ‘Likurai’ kemenangan demi kebahagiaan mempelai-mempelai
Malaka di pesisir pantai Timor.” Romo Amanche benar, karena novel ini
sesugguhnya merupakan “kelanjutan” dari novel pertama sang penulis yakni “Badut
Malaka”. Dalam kedua novel ini, sang penulis benar-benar “kembali” ke tanah
kelahirannya, dan mengangkat kekayaan budaya yang ada.
Terbitnya
novel ini menegaskan komitmen penulisnya dalam mengangkat sastra daerah
serentak kesetiaan dan kebanggaannya akan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu antarbudaya, sebagaimana ditegaskan Kepala Kantor Bahasa Provinsi
NTT, Muhammad Luthfi Baihaqi, S.S., M.A.
Sastrawan Indonesia asal NTT, Gerson
Poyk juga memberi apresiasi terhadap novel ini dengan menulis: “Likurai
Untuk Sang Mempelai” adalah sebuah novel faction
(fact and fiction), campuran antara
fakta jurnalistik dan karya fiktif. Fakta-fakta dicangkokkan ke alur fiktif.
Alur fiktif murni bagaikan pohon cendana wangi yang tumbuh di tengah keindahan
sabana Timor tetapi kini ia menjadi “Likurai Untuk Sang Mempelai” ketika
dikerubungi oleh anggrek dan bunga fakta-fakta pada seluruh cabang dan ranting
pohon fiktif. Fakta, mitos, legenda, sejarah, ritual-ritual, seni tarian dan
nyanyian, keindahan alam dan tamasya gagasan pendidikan modern luar sekolah,
kebudayaan yang sudah dikristenkan, catatan kaki, semuanya bagaikan anggrek
sabana yang tumbuh melengket pohon cendana fiktif alur cerita. Membaca novel
ini, kita seolah memasuki sebuah taman cendana Timor berhiaskan anggrek dan
bunga-bunga sabana.” Novel ini juga mendapat apresiasi dari sejumlah tokoh dari
berbagai kalangan yakni Dr. Norbertus
Jegalus, M.A., dosen Filsafat Unwira Kupang, Bara Pattyradja, penyair muda Indonesia asal NTT, Petrus Seran Tahuk, tokoh muda Malaka-
peminat sastra, Nelsensius Klau
Fauk, putra
Malaka, tinggal di Adelaide, Australia – penulis dan pemerhati masalah-masalah
sosial, dan Kornelius
Wandelinus Subang, putra Malaka,
Mahasiswa Pascasarjana UTY, anggota Liga Mahasiswa Pascasarjana/LMP NTT
Yogyakarta.
Singkat cerita, novel ini berkisah
tentang perjalanan hidup tokoh utama, sang penyair Malaka, dengan segala niat,
perjuangan, dan sepak terjangnya untuk membangun masyarakat, membangun daerah
baru Kabupaten Malaka sebagai tanah terjanji yang berbudaya dan bermartabat.
Tokoh utama
novel adalah anak tanah Malaka, Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), terlahir dari
keluarga sederhana. Ayahnya merantau menjadi TKI di Malaysia pada saat si aku
masih dalam kandungan ibu. Terdengar khabar, sang ayah sakit keras dan hanya
bisa diselamatkan apabila didampingi sang istri. Sang istri akhirnya berangkat
ke Malaysia pada saat si aku masih bayi. Sesampai di Malaysia, ternyata sang
suami sudah meninggal dunia. Dia sendiri akhirnya meninggal dunia karena stres
dan galau tinggal di tanah orang.
Si aku sejak
kecil dipelihara tantenya bernama Ina yang kebetulan keluarga itu tidak
mempunyai anak. Pada usia remaja dan menjelang dewasa si aku mengembara lama di
tanah rantau menuntut ilmu dan mencari pengalaman. Setelah bekal ilmu dan
pengalaman memadai, pulanglah si anak rantau ke tanah kelahirannya Malaka,
tanah yang menopang hidupnya. Panggilan tanah kelahiran ini semakin membuncah
tatkala sang kekasih hati, si Noy, yang telah mengisi relung-relung hatinya sebelum
mengembara, terus menunggunya dengan setia di Betun, Malaka, kapan saja sang
penyair Malaka kembali.
Rencana
pernikahan sang penyair Malaka dengan Noy menjadi terhambat karena tidak
direstui oleh orang tua Noy yang materialistis, dengan berdalih, pernikahan
baru direstui apabila si calon pengantin pria memperjelas status kedua orang
tuanya yang selama ini diperguncingkan masyarakat sebagai anak yang tidak
punyai orang tua.
Untuk memenuhi
tuntutan itu, demi cintanya kepada si Noy, si aku berangkat ke Malaysia untuk
jemput pulang kedua orang tuanya. Namun sayang, ternyata kedua orang tuanya
sudah meninggal dunia. Pulanglah ia ke tanah Malaka. Kenyataan pahit yang
menjemputnya, si Noy kekasih hati yang mengiringinya, sudah meninggal dunia
karena stres dan sakit hati atas sikap orang tuanya.
Meskipun kekasih
hatinya Noy telah tiada, niat luhur dan komitmen perjuangan sang penyair Malaka
untuk membangun tanah Malaka tidak pernah surut. Dengan segala kemampuan yang
dimilikinya, dia membangun Malaka, yang segera menjadi kabupaten baru, yakni
Kabupaten Malaka, dengan runtutan sejumlah peristiwa bersejarah, yakni pada 14
Desember 2012 DPR RI mengesahkan UU tentang Pembentukan Kabupaten Malaka, pada
22 April 2013 Mendagri RI Gamawan Fauzi meresmikan Kabupaten Malaka sekaligus
melantik Penjabat Bupati Malaka, Herman Nai Ulu, dan pada hari Minggu, 5 Mei
2013 digelar pesta rakyat meriah masyarakat Malaka sebagai syukuran
terbentuknya Kabupaten Malaka (Yohanes
Sehandi - pengantar novel).
Lantas
mengapa Likurai? Dalam epilog novel, Mezra
E. Pellondou menulis, Robert
ingin membangkitkan kembali spirit Likurai mula-mula sebagai sebuah keberanian
generasi muda Malaka sekarang untuk terus memperjuangan dan mencintai tanah air
(Malaka) agar senantiasa merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Likurai yang
ditarikan Robert dalam novelnya, tidak membutuhkan kepala musuh untuk dipenggal
dan kemudian diinjak-injak sebagai bentuk penghinaan. Walau tanpa penggalan kepala musuh namun tarian
Likurai Robert tetap bermuatan semangat cinta tanah air Malaka dengan ketotalan
jiwa. Likurai untuk Sang Mempelai
bermakna setiap orang di tanah Malaka
berjalan bersama, belajar bersama, berdialog bersama, bekerjasama dalam cinta
dan persatuan yang kokoh untuk mendandani Malaka sebagai tanah air, sekaligus
sebagai kabupaten yang baru diresmikan.
Walau tanpa penggalan kepala musuh,
namun Novel Likurai untuk Sang Mempelai karya Robet ini ingin mengatakan kepada
kita semua bahwa musuh sesungguhnya dari manusia adalah mendidik diri sendiri.
Hal yang paling sulit bagi masyarakat Malaka juga masyarakat lain
yang sedang memperjuangkan kemerdekaan diri atau yang baru saja memerdekakan
diri adalah, mendidik diri sendiri untuk terus mencintai tanah dan kebudayaaan
yang membungkusnya.
Dengan segala
kekurangannya, novel ini telah berada di tangan pembaca, namun kelebihan yang
dapat kita petik adalah kita semua akan setuju bahwa ternyata pendidikan yang paling sulit adalah mendidik diri sendiri,
dan untuk hal itu sekolah kehidupan bernama Likurai (cinta tanah air) harus
dimulai dari mendidik diri kita sendiri untuk belajar dan terus belajar
mencintai kehidupan, mencintai ibu atau tanah kelahiran sebagai panggilan agung
bagi setiap orang. Bahkan untuk hal itu sebagian orang siap dicintai sekaligus
dibenci.
Dalam catatan Yohanes Sehandi, terbitnya novel Likurai untuk Sang Mempelai ini menambah
deretan karya sastra NTT berbentuk novel yang berlatar (setting) tanah Timor menjadi 6 judul. Novel lain yang berlatar
tanah Timor dalam koleksi Yohanes Sehandi adalah (1) Cumbuan Sabana (Gerson Poyk, Penerbit Nusa Indah, Ende, 1979), (2) Petra Southern Meteor (Yoss Gerard Lema,
Penerbit Gita Kasih, Kupang, 2006), (3) Surga
Retak (Mezra E. Pellondou, Penerbit Kairos, Kupang, 2007), (4) Badut Malaka (R. Fahik, Penerbit Cipta
Media, Yogyakarta, 2011), dan (5) Perempuan
dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou, Penerbit Framepublishing,
Yogyakarta, 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar