Rabu, 25 Februari 2015

Cerpen Surat Yohanes



“Surat Yohanes”
Cerpen R. Fahik

“ADA berita hangat. Daerah kita menempati urutan pertama dari bawah dalam prosentase jumlah ketidaklulusan Ujian Nasional tahun ini. Di atas lima puluh persen lah. Sementara, Bali merupakan daerah dengan tingkat kelulusan tertinggi. Padahal kita sama-sama provinsi kepulauan kan? Yah, memang tak ada hubungan langsung antara tingkat kelulusan dengan provinsi kepulauan. Tapi paling tidak, kita mesti kompak. Masa, perbedaannya begitu mencolok seperti itu?”
Seperti biasa, Ama Yohanes akan selalu membacakan surat yang berisi komentarnya setiap ada isu baru, entah politik, pendidikan, budaya, agama; bahkan isu seksualitas yang katanya sangat tabu itu pun ia komentari. Maklum, ia seorang pencinta koran, majalah, tabloid, buku dan tak pernah absen menonton berita di TV, kecuali listriknya padam. Karena kesetaiaannya menulis dan membacakan surat yang berisi komentarnya itu, orang-orang menjulukinya sebagai ”Surat Yohanes”. Kalau mau tahu berita terbaru, carilah ama Yohanes. Kalau mau mendengar komentar terkait isu aktual, carilah juga ama Yohanes. Sekalipun mendapat julukan itu, duda beranak tiga ini sering merasa sedih karena setiap kali ia belum selesai membacakan suratnya, semua orang pasti sudah pergi.
”Entah apa penyebabnya, memang kenyataan  yang ada seperti itu. Untuk kesekian kali, kita mesti menelan pil pahit. Setelah gizi buruk, kemiskinan, korupsi, kini ada lagi tingkat ketidaklulusan. Syukurlah, kalau kesalahan terletak pada mesin yang memeriksa soal-soal ujian atau pada cara mengisi lembar jawaban. Kalau demikian, bersyukurlah sebab sesungguhnya kita tahu jawaban yang benar, hanya memang belum matang dalam teknologi yang canggih. Tapi kalau memang benar-benar kita tidak tahu apa pun, sia-sialah perjuangan, kita mesti belajar yang tekun lagi.”
Ama Yohanes melanjutkan pembacaan suratnya sambil sesekali melirik kalau-kalau ada pembeli yang datang. Sehari-hari ia menjual bensin dan sedikit sembako di kios kecil itu.
Para pemuda yang ”nongkrong” di situ nampaknya tidak begitu tertarik dengan topik yang satu ini. Tapi hari itu ama Yohanes bersyukur, ada seorang pensiunan guru yang kebetulan lewat dan menanggapi ”surat”-nya.
”Itulah negri ini, ama. Ada yang namanya standarisasi tapi belum tentu kita yang di pedalaman ini sama dengan mereka yang di pusat’ kan? Apakah ini keadilan?” kata sang pensiunan guru.
”Saya juga berpikir seperti itu, pak. Sebaiknya standarisasi itu diserahkan ke daerah masing-masing. Bukankah orang-orang di daerah lebih tahu kondisi di daerahnya? Kadang saya heran, ada anak yang begitu pintar tapi ternyata tidak lulus dalam ujian akhir. Sementara mereka yang sangat diragukan malah lulus. Ini keajaiban dalam dunia pendidikan, pak. Hal ini yang kadang dikeluhkan, banyak soal yang muncul dalam ujian ternyata merupakan hal baru. Ini soal pemerataan pendidikan. Saya kira, pendidikan itu harus merata dulu baru dibuat standarisasi. Itu baru namanya adil,” sambung ama Yohanes.
Ama Yohanes tidak berhenti di situ. Sambil membersihkan debu di laci barang dagangannya, lelaki angkatan 45 ini terus bicara. Dari bibirnya yang agak hitam itu segera mengalir cerita. Yah, tak bosan-bosannya ia selalu bercerita tentang istrinya yang meninggal tujuh tahun silam akibat tumor ganas yang dideritanya. Andaikata ia punya uang yang cukup, tentu nyawa istrinya masih bisa diselamatkan. Pihak rumah sakit tak sudi menerima pasien yang tak punya kantong tebal.
 Cerita lain ialah tentang putra bungsunya yang meninggal dua tahun silam akibat meneguk minuman keras dalam jumlah yang banyak bersama teman-temannya. Yah, anak itu tak kuasa menerima kenyataan tidak lulus dalam ujian akhir. Padahal tiap semester, ia pasti meraih juara pertama. Hal yang tentu sangat membanggakan ama Yohanes waktu itu.
Dan yang tak kalah mengesankan ialah kisah kematian putra sulungnya di negri Jiran. Dia berangkat bersama sekelompok temannya ke Malaysia. Mereka bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit dengan gaji yang menjanjikan. Bertahun-tahun ia kumpulkan uang namun tahun lalu hanya jasadnya yang datang. Dia meninggal akibat penyakit asma yang dideritanya.
Tapi ama Yohanses bersyukur, ia masih punya seorang putri walaupun pendidikannya hanya tamat SMA. Ama Yohanes juga bersyukur, ia punya seorang menantu yang baik, seorang pegawai golongan rendah di kota ini. Dengan putri dan menantunya itulah sekarang ama Yohanes menjalani sisa hidupnya.
”Yah, begitulah hidup. Ada pasang-surutnya. Ada saat di mana kita gagal dan merasa kehilangan segalanya. Tapi ada pula saat ketika kita merasa damai, punya harapan hidup, punya masa depan. Maka yang terpenting bukanlah berapa banyak kegagalan yang kita hadapi tapi bagaimana keteguhan kita dalam menghadapi setiap kegagalan. Saya selalu ingat kata-kata Pak Gubernur, kita memang sudah miskin harta. Tapi kita tidak miskin persaudaraan. Ini kata-kata bijak. Yah, semoga apa yang terjadi kini benar-benar menjadi catatan berarti untuk masa depan. Bila perlu suatu saat nanti daerah kita menempati urutan pertama tingkat kelulusan ujian akhir. Tapi ujian akhirnya nanti dulu. Pemerataan pendidikan harus jadi nomor satu, baru standarisasi,” suara ama Yohanes terdengar lirih melanjutkan pembacaan suratnya.
Ama Yohanes menarik nafas panjang. Segelas air diteguknya tapi semua orang sudah pergi, termasuk sang pensiunan guru, kecuali putrinya yang selalu setia menjaganya. Kepada putrinya, ama Yohanes bicara pelan, “Bapa tidak yakin, anak-anak di daerah ini sebodoh itu. Mereka anak-anak yang hebat, pintar, dan kuat.”
Air matanya menetes, tanda bahwa ia sungguh mengingat istri, si sulung dan si bungsu yang sudah jauh itu. “Tolong diperjuangkan pak!!...” teriaknya ketika rombongan mobil “plat merah” lewat, entah dari mana, entah ke mana. (Yogyakarta, 27-04-2010)