Minggu, 27 Desember 2015

Memaknai Cinta Bersama Usman D. Ganggang


Judul buku         : Ketika Cinta Terbantai Sepi (Kompilasi Puisi)
Penulis                 : Usman D. Ganggang
Penerbit              : CV. Adnan Printing
Tahun terbit       : 2011
ISBN                     : 979-97913-0-4
Tebal buku         : xiii + 120 halaman

Salah satu tema yang tak pernah luput dalam karya sastra adalah cinta. Dalam buku Cara Mudah Menulis Fiksi (2007), Asep Sambodja menulis, cinta adalah persoalan yang tak pernah habis dibicarakan. Setiap zaman memiliki kisah cintanya sendiri-sendiri. Yang perlu diperhatikan tentang “keabadian” cerita-cerita itu karena ada konflik yang mengakibatkan sang tokoh harus memperjuangkan cintanya untuk mendapatkan kebahagiaan. Dengan demikian cinta di sini adalah cinta yang membutuhkan perjuangan, berkeringat, pengorbanan, karena hal-hal yang demikianlah yang membuat suatu cerita menjadi lebih memikat.
Lewat buku puisinya Ketika Cinta Terbantai Sepi, sastrawan Usman D. Ganggang, menawarkan sederet kisah yang memikat dan tentunya menarik untuk diselami lebih dalam. Buku puisi yang terbit pada tahun 2011 ini memuat 79 judul puisi yang ditulis Ganggang dalam rentang waktu tahun 1985 hingga tahun 2000-an. Puisi-puisi itu ditulisnya di beberapa tempat seperti Jakarta, Atambua, Labuan Bajo, Kupang, Waingapu, Malang, Denpasar, Surabaya, Larantuka, Ruteng, Mataram, dan tentunya Bima yang kini sebagai tempat berlabuhnya. Sebuah gambaran tentang sang penyair yang terus mengembara, berlimpah pengalaman, meski kadang “terbantai sepi”. Di sisi yang lain, pencapaian Ganggang lewat buku puisi ini menjadi bukti bahwa proses kreatif (dalam menulis) bisa terjadi kapan dan di mana saja.
Buku puisi ini merupakan karya kedua Ganggang yang sudah diterbitkan, setelah Bunga Pasir (2006). Dalam Buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015), Yohanes Sehandi mecatat, karya-karya lain milik Ganggang yang sudah dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah (telah dikumpulkan dan siap diterbitkan) adalah Surat-Surat Ine (puisi-2000), Apresiasi Puisi Putra Cendana (telaah sastra-2003), Sayap Bulan (puisi-2005), Senandung Rindu (puisi-2008), Apresiasi Puisi Putra Mbojo (telaah sastra-2009), Cerita Rakyat NTT (2002), Cermin Cinta (esai-2004), dan Masih Ada Waktu (cerpen-2010).

Komentar Beberapa Tokoh
Buku puisi Ketika Cita Terbantai Sepi mendapat apresiasi dari beberapa tokoh yang komentarnya dimuat juga di dalam buku ini. Pada bagian prolog (sambutan teman), hadir pengamat sastra dan pengawas pendidikan kota Kupang, Selamat Ans. Beberapa puisi Ganggang diulasnya secara singkat namun tetap mendalam. Seperti puisi berjudul “Pulang” yang baginya merupakan sebuah seruan; “pulang sejalan dengan jiwa reformasi yang tidak butuh bicara panjang lebar tapi butuh tindakan nyata dan segera. Mari kita re-orientasi.” Puisi lain berjudul “Rumahku” yang muaranya menurut Ans adalah introspeksi diri. Ada juga puisi lain yang disentil Ans, seperti “Di Persimpangan Jalan Ini”, “Surat Cinta dari Lakaan”, “Pertanyaan si Bocah”, dan “Ketika Meminangmu” (surat cinta buat Nurhayati).
Selain Selamat Ans yang memberi prolog, ada juga tokoh lain yang memberi endorsement seperti Tony- wartawan Kupang News, Maria Mathildis Banda- novelis, Willem Berube- guru SMA Giovani Kupang, dan Dyla Lalat- penyair kelahiran Bima. Beberapa catatan menarik bisa kita baca dari tokoh-tokoh ini. Ada tingkat kematangan penyair yang telah lama terbina dalam berkarya. Gaya pengungkapan kahs, sarat dengan bahasa perlambangan dan pengandaian (Tony). Ganggang cukup matang dalam penyajian tema, pilihan kata, dan makna. Yang menarik, konsentrasi penyair tetap terikat sehingga makna puisi-puisinya mengambil tempat (Banda). Ganggang ternyata tidak hanya bicara cinta seperti sebagian puisinya yang tersebar, tetapi juga bicara hukum seperti judul puisinya “Hukum Telah Lama Mati”, juga soal permenungan seperti “Di atas Sajadah Pasrah”, dan bernuansa sinisme seperti dalam “Ada-ada Saja”. Ganggang menyadari bahwa sepanjang menulis bertumpu pada konsep dasar yaitu sebuah proses berpikir, maka di sanalah aspek pendidikan intelektual itu terbentuk (Berybe). Ganggang juga menebar cintanya pada orang-orang kecil. Tanpa ada yang menyuruh, dia mencipta dan mengirim syair untuk wakil-wakil rakyat yang ada di gedung mewah dan kursi-kursi empuk (Lalat).

Kegelisahan yang tak berkesudahan     
Dalam buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004), Ignas Kleden menyebutkan tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan karya sastra. Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dan manusia lainnya dalam struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisik, yakni hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Kegelisahan seperti apa yang dimiliki seorang Ganggang? Rasa-rasanya dalam buku puisi ini, tiga kegelisahan itu nampak, walau kadang sangat jelas, kadang juga samar.
Kegelisahan politik sang penyair hadir dalam beberapa pusi seperti “Potret Negeriku”, “Hukum Telah Lama Mati”, dan “Tanah Airku”. Dalam puisi-puisi tersebut, Ganggang bersuara nyaring tentang realitas yang ada di depan matanya. Baginya negeri ini ibarat “sejumlah bopeng besar” (Potret Negeriku), di mana “kultur serta nilai-nilai kemanusiaan dijarah habis ke dalam dunia kebendaan (Hukum Telah Lama Mati). Namun yang menarik, Ganggang tetap menyerukan harapan lewat manifestonya untuk tanah air yang ia cintai, “Tanah airku yang kucintai, ke manapun pergi tak mudah kulupakan” (Tanah Airku). Kegelisahan politik di satu sisi. Sementara di sisi lainnya bendera harapan tetap berkibar; untuk negeri yang dicintai.
Kegelisahan metafisik seorang Ganggang tercermin dalam beberapa puisi yang meminjam nuansa alam sebagai pembawa pesan. Seperti dalam puisi “Di Batas Timor Leste”, sang penyair antara lain menulis: “Kusaksikan sosok seorang ibu memandang lepas, menyaksikan alam berkata melalui merekahnya bunga, gemericiknya air yang mengalir melintasi anak sungai, membawa keramahan alam dan senyumnya bulan purnama…. Kudengar gumamnya di antara pohon-pohon telanjang, kapankah puing-puing kepedihan ini segera hilang, di antara lambainya bunga ilalang tegar tapal batas, tak terpancing godaan angin terkadang kencang.” Ganggang menunjukkan bahwa alam bisa dijadikan jembatan imajinasi untuk mengungkapkan potret realitas tertentu. Pada saat yang sama, seruan kembali ke alam, dapat disuarakan secara lantang tanpa harus mengurus ijin demontrasi dari pihak berwajib. Masih ada puisi lain yang menggambarkan kepiawaian Ganggang dalam mengolah alam menjadi pesan moral dan kemanusiaan yang tak lekang ruang dan waktu, seperti puisi “Engkaulah Air Mangalir” (Kepada Taufiq Ismail), “Pagi Ini Masih Ada Cinta”, “Bulan Lagi Senyum” (Buat Saudara Yan Sehandi), dan “Surat Cinta dari Lakaan”.
Jika mengacu pada judul buku puisi ini, barangkali kegelisahan eksistensial-lah yang paling kental dalam keseluruhan pemikiran dan perasaaan seorang Ganggang yang tumpah dalam syair-syairnya yang dahsyat. Semuanya terangkum dalam satu kata: Cinta. Namun kiranya cinta dalam konteks ini bukanlah cinta dalam arti sempit, misalnya cinta antara dua insan. Cinta yang diusung sang penyair adalah cinta universal, cinta yang merangkum semua kalangan, tanpa batas suku, agama, ras, kepentingan. Karena itu, dari puluhan judul puisi dalam buku ini Ganggang tidak membatasi diri pada cinta pribadinya. Lewat caranya yang khas, sang penyair mengumandangkan nyanyian cinta yang merangkum. Ia berbicara tentang negeri yang dicintai, orang-orang kecil dengan seribu satu mimpi yang terbelenggu, alam yang luar biasa indahnya, teman-teman, sahabat, kenalan, dan saudara-saudara yang dicintainya (beberapa puisi dipersembahkan secara khusus untuk tokoh tertentu), hingga sampai pada pertanyaan reflektif, “Apa yang Terjadi?”. Dengan pertanyaan seperti ini, manusia sesungguhnya membuktikan keberadaannya. Dalam konteks seorang penyair (atau penulis umumnya), ini bisa kita sebut sebagai kegelisahan yang tak berkesudahan. Dan Ganggang mengajak kita untuk terus bertanya. Apa yang terjadi dengan negeri kita? Apa yang terjadi dengan alam? Apa yang terjadi dengan diri kita? Apa yang terjadi dengan cinta?
Pertanyaan terakhir di atas menjadi titik simpul seorang Ganggang. Maka dari segi judul, buku puisi ini sudah berhasil menyeret pembaca ke dalam sebuah permenungan tentang hakekat hidup; cinta. Sebuah tema yang mungkin usang namun dihadirkan Ganggang sebagai sesuatu yang baru; buah-buah pemikiran yang segar, yang siap untuk dipetik oleh siapa pun yang lapar akan cinta. Bagi Ganggang, cinta itu buah kebersamaan, dan membutuhkan kenyamanan. Cinta ibarat lagu dangdut, mengubah hati nan keras jadi mawar, mengubah kesedihan jadi sebuah bunga (Cinta). Cinta itu tidak pernah buta… Cinta memang sesuatu yang menyala… Cinta senantiasa menyala, meski di tanah gersang, akan tumbuh subur, dalam hati penuh cinta, pemilik cinta (Surat Cinta dari Lakaan). Lantas, apa yang masih bisa kita buat ketika cinta terbantai sepi? Tetaplah berpaling pada cinta- yang sesungguhnya. Dan jangan sungkan-sungkan untuk meminta pada Sang Cinta (Tuhan), seperti seruan kepada Ine (ibu); Ine, ajari aku cinta, hingga lahirkan benih-benih cinta, berbunga-bunga dalam singgasanaku (Ine, ajari cinta).    
Sambil mempertimbangkan beberapa hal teknis seperti tata letak dan pegorganisasian (pengelompokan) tema puisi yang lebih rapi untuk memudahkan pembaca dalam mencerna puisi, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan. Tidak hanya pembaca (penikmat) sastra, akademisi, kritikus sastra, mahasiswa jurusan sastra, tetapi juga pelajar/siswa dan masyarakat umum yang punya minat untuk membaca buku sastra khusunya puisi. Hadirnya buku ini menambah kasanah karya sastra yang lahir dari penulis NTT khususnya buku puisi. Apreasiasi masyarakat tentu menjadi sisi lain yang masih harus diperjuangkan, selain tentunya peran pemerintah selaku pemangku kebijakan, untuk memberi tempat bagi penulis-penulis yang lahir dari bumi Flobamora tercinta.(Robert Fahik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar