Kamis, 09 Februari 2017

Resensi Buku

“MEMBACA” BUKU KARYA PENULIS NTT



DATA BUKU


Judul                     : DARI AVONTUR KE WASIAT KEMUHAR
                                (Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT)
Penulis                 : Afrizal Malna, dkk
Editor                   : A. Nabil Wibisana & Christian Senda
Lay Out                : Irwan A. Pellondou
Penerbit              : Kantor Bahasa Provinsi NTT
Cetakan I             : September 2015
Tebal buku         : ix + 148 halaman
ISBN                     : 978-602-73153-5-8

Pada waktu tiga sastrawan/budayawan Indonesia, yakni Putu Wijaya, Radhar Panca Dahana, dan Gerson Poyk tampil dalam “Seminar Nasional Seni Budaya dan Pembangunan” yang diselenggarakan Komunitas Sastra Rumah Poetica di Taman Budaya NTT, Kupang pada 11 April 2012, dinyatakan secara jelas bahwa NTT butuh kritikus sastra dan budaya.  “Di NTT banyak potensi seni dan budaya, tetapi kurang kritikus. NTT butuh kritikus sastra,” tandas  Radhar Panca Dahana diamini Putu Wijaya dan Gerson Poyk (Victory News, 12, 13 April 2012 – dikutip Yohanes Sehandi dalam bukunya Sastra Indonesia Warna Daerah NTT – Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2015).
Harapan serentak ‘kegelisahan’ yang sama kembali diutarakan dalam Temu I Sastrawan NTT yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi NTT pada Agustus 2013 di Kupang. Seakan belum menemukan jawabannya, “kritik/kritikus sastra di NTT” kembali menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan dalam Temu II Sastrawan NTT di Ende, Oktober 2015. Namun angin segar serasa hadir pada kegiatan yang digelar di Universitas Flores tersebut. Selain buku antologi puisi “Nyanyian Sasando” dan antologi cerpen “Cerita dari Selat Gonzallu” yang berisi karya pada penulis NTT (sebagaimana dihasilkan dalam Temu I Sastrawan NTT), diluncurkan juga buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT.
Buku yang diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ini seakan menjadi gerbang menuju pemenuhan atas harapan serta kegelisahan dalam dunia sastra NTT akan hadirnya kritik/krikikus sastra di NTT. Sebagaimana diakui oleh editor buku ini dalam catatan editor; Antologi ulasan buku karya penulis NTT ini adalah rintisan awal yang merangkum, mendokumentasikan, dan memaparkan ruang diskusi antara buku dan pembacanya… Tugas antologi ini pertama-tama adalah sebagai kumpulan ulasan buku, bukan semacam pemilihan buku-buku “terbaik” yang terbit dalam periode waktu tertentu. Tugas kedua antologi ini membentangkan jembatan dialog , menggambarkan peta antarwacana tentang kecenderungan-kecenderungan tematik maupun stilistik dalam buku-buku sastra karya penulis NTT yang terbit dalam periode lim tahun terakhir (2011 – 2015).          
Buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” berisi 13 artikel berupa ulasan karya buku penulis NTT baik antologi puisi, antologi cerpen, maupun novel. Artikel pertama merupakan ulasan Moh. Fathoni terhadap antologi puisi Ragil Supriyatno Samid berjudul Avontur. Ulasan yang diberi judul “Kesaksian dan Pernyataan dalam Peristiwa” tersebut pernah disampaikan sebagai makalah dalam acara bedah buku Avontur di Yogyakarta, 18 Maret 2012. Artikel kedua berjudul “Badut Malaka: Panggilan Kenabian, Panggilan Kemanusiaan.” Ulasan terhadap novel Badut Malaka karya Robert Fahik ini ditulis Juwandi Ahmad, pernah disampaikan sebagai makalah dalam bedah novel Badut Malaka di Program Magister Sains Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Mei 2011. Artikel ketiga datang dari Yosef Serano Korbaffo. Tulisannya “Filsafat dan Novel Benang Merah: Sebuah Benang Merah” merupakan ulasan terhadap novel Benang Merah karya Unu Ruben Paineon, pernah dipsampaikan sebagai makalah dalam Parade Buku Sastra NTT (Festival Sastra Santarang, Kupang, Juni 2015) dan dipublikasikan di Pos Kupang edisi 18 Maret 2015.
Sastrawan muda NTT Mario F. Lawi juga turut menyumbangkan tulisannya dalam buku ini. Mario mengulas buku puisi Catatan Sunyi karya Monika N. Arundhati dalam artikelnya “Sunyi, Gembala, dan Kelahiran” – pernah dipublikasikan di Jurnal Sastra Santarang edisi Maret 2015. Tulisan Mario disusul ulasan terhadap buku puisinya berjudul “Ekaristi”, yang disumbangkan oleh Yohanes Seo. Tulisan Yohanes Seo yang pernah dipublikasikan di Koran Tempo edisi 4 Januari 2015 tersebut diberi judul “Antara Alkitab, Sawu, dan Puisi.” Tulisan berikut datang dari Patris Allegro berjudul “Kanuku Leon: Sebuah ‘Katekese’ Ekologis.” Tulisan yang pernah dipublikasikan di Jurnal Sastra Santarang edisi Desember 2013 ini merupakan ulasan terhadap antologi cerpen Kanuku Leon karya Christian Senda. Sastrawan kenamaan Indonesia Afrizal Malna juga menyumbangkan salah satu ulasan sastranya dalam buku ini. Afrizal Malna mengulas buku puisi Kuyup Basahmu karya Ishack Sonlay dalam tulisannya berjudul “Ishack Sonlay. Lensa Makna dalam 5 kali Pembesaran.” Tulisan yang merupakan prolog dalam buku Ishack ini juga dipublikasikan di Blog Indonesian Literary Collective, Desember 2014.
Karya sastra penulis NTT berikut yang diulas dalam buku ini datang dari tanah Sumba melalui Christo Ngasi lewat novelnya Matta Liku. Novel Christo diluas oleh Herman P. Panda dalam tulisan berjudul “Antara Harga Diri Lelaki, Kehormatan Suku, dan Tangisan Putri.” – merupakan prolog dalam novel ini. Tulisan Herman P. Panda disusul ulasan Sintus Runesi terhadap buku puisi Parinseja karya Steve Elu. Tulisan Sintus Runesi berjudul “Dan Kita Pun Diundang ke Timor: Steve Elu, Parinseja, dan Anamnetik Jiwa” pernah dipublikasikan di Jurnal Sastra Santarang edisi Mei 2015.
Ulasan sastra berjudul “Sastra dan Kampung” karya Paul Budi Kleden turut mewarnai  buku ini. Ulasan terhadap buku puisi Pukeng Moe, Lamalera karya Bruno Dasion ini pernah dipublikasikan di Pos Kupang edisi  10 Maret 2012. Tulisan Paul Budi Kleden diikuti ulasan Eka Putra Nggalu “Ketika Sastrawan ‘Asyik’ dengan Dunianya”. Tulisan yang belum pernah dipublikasikan ini merupakan ulasan terhadap buku kumpulan cerpen Sabtu Kelabu karya penulis muda NTT, Erlyn Lasar. Hengky Ola Sura hadir dengan “Imajinasi Penyair dan Keadaban Budaya.” Tulisan yang pernah dipublikasikan di Pos Kupang edisi 24 November 2013 ini merupakan ulasan terhadap buku puisi karya penyair Bara Pattyradja. Ulasan buku karya penulis NTT dalam buku ini ditutup dengan sebuah ulasan ilmiah-sistematik karya dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta asal NTT, Yoseph Yapi Taum. Tulisan berjudul “Wasiat Kemuhar Pion Ratulolly: Cerita dari NTT untuk Indonesia” ini merupakan Prolog yang dimuat dalam buku kumpulan cerpen Wasiat Kemuhar karya Pion Ratulolly.  
Hadirnya buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” memberi warna tersendiri dalam dunia publikasi NTT yang sejauh ini memang masih sepi dari buku ulasan sastra. Buku ini seakan menjadi titik api pertama yang akan membawa cahaya besar dalam apresiasi karya sastra di NTT. Beberapa hal menarik dapat dicatat dari buku ini. Pertama, seluruh buku yang diulas dalam buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” merupakan buku karya penulis NTT. Sekalipun sebagaimana ditulis oleh editor buku ini bahwa antologi ini bukan semacam pemilihan buku “terbaik”, namun sebagai masyarakat NTT tidak berlebihan jika kita boleh berbangga bahwa di tanah Flobamora telah lahir penulis-penulis sastra yang punya potensi besar.
Kedua, karya sastra yang diulas dalam buku ini tidak sedikit yang mencerminkan warna lokal NTT. Saya mengutip catatan editor buku ini; Dengan segala keterbatasannya, antologi ini berupaya untuk memberikan gambaran tentang keragaman tematik dan stilistik yang coba ditawarkan oleh para penulis NTT melalui karya-karya mereka (dari segi setting saja, misalnya, ada prosa dengan latar Malaka, Sumba, Adonara, dan sebagainya, atau eksplorasi tematik puisi-puisi yang mengangkat lokalitas Sabu, Lembata atau Lamalera). Dengan ini sebuah kesadaran bisa lahir bahwa sastra pada konteks tertentu dapat menjadi wadah komunikasi antarbudaya, selain merupakan ekspresi jiwa penulisnya.    
Ketiga, ada perpaduan indah sekaligus bernas. Perpaduan pertama, adalah para penulis dalam buku ini (boleh saya sebut sebagai krikikus sastra – dalam konteks buku ini) tidak hanya berasal dari (orang) NTT tetapi juga dari luar NTT, seperti Afrizal Malna dan Juwandi Ahmad. Masih dalam point ini, para penulis ulasan buku sastra dalam buku ini tidak hanya berasal dari kalangan “senior” yang sudah tidak asing di dunia publikasi seperti Paul Budi Kleden dan Yoseph Yapi Taum, tetapi juga muncul penulis-penulis muda potensial dengan ulasannya yang tidak kalah menarik serta ber-isi. Perpaduan kedua, adalah warna ulasan yang ditampilkan dalam buku ini, sebagaimana dipaparkan dalam catatan editor; ulasan-ulasan terpilih dalam antologi ini disajikan dalam bentuk dan tone yang beragam, mulai dari ulasan yang sitematik model telaah akademik… sampai ulasan yang “lebih cair”… yang mencoba menangkap dan menjabarkan segi paling menonjol dari buku yang dibahas. Beberapa ulasan disajikan secara impresif, dalam arti mampu menguak sudut-sudut tersembunyi dari buku yang dikupasnya, berhasil menggali dan memaparkan wacana-wacana yang mungkin luput dalam modus pembacaan ala kadarnya.  
Keempat, hadirnya buku ini (ulasan-ulasan di dalamnya) dapat menjadi “contoh” bagi masyarakat pembaca di NTT tentang bagaimana “membaca” sebuah karya sastra termasuk karya sastra penulis NTT. Dengan ini kita pun sesungguhnya disadarkan tentang kekayaan sastra yang dimiliki bumi Flobamora. Di sisi lain hadirnya buku ini perlahan memberi jawaban atas pertanyaan sekaligus tantangan yang pernah dilontarkan Yohanes Sehandi dalam tulisannya di Pos Kupang (11 Juni 2013); kritikus sastra NTT, di manakah kau?
              Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada Kantor Bahasa NTT beserta tim editor yang telah berupaya menghadirkan buku ini – sebuah buku yang memberi warna baru dalam publikasi di NTT. Kiranya (untuk dipertimbangkan) buku ini dapat diperbanyak oleh Kantor Bahasa NTT sehingga bisa menjangkau masyarakat luas (setidaknya sekolah dan kampus; karena buku ini tidak diperjualbelikan). Akhirnya, buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” sesungguhnya mengajak kita untuk mulai “membaca” buku karya penulis NTT dengan penuh kebanggaan tanpa harus mengabaikan sikap kritis dalam sebuah pembacaan karya sastra. Dengan ini kita juga berharap ke depan dapat lahir (terbit) lagi buku-buku ulasan karya sastra penulis NTT, atau setidaknya makin banyak ulasan sastra yang mewarnai media-media di NTT sebagaimana publikasi karya sastra yang tidak lagi sepi. (robert fahik)