Sabtu, 07 Agustus 2021

Pesan Kebinekaan dari Suku Boti

Oleh Robertus Fahik

Seorang gadis Suku Boti memintal benang dari kapas. Foto: Robertus Fahik

 

Budaya tengah-tengah kita

Budaya daerah sebagai warga Suku Boti

Indonesia ekonomi daerah Boti

Tetap, tetap mantap dua puluh tahun

Hidup, hidup bermasyarakat, berbudaya

 

Dipimpin Mama Molo Benu – adik kandung Raja Suku Boti, Usif Namah Benu, lagu singkat itu dinyanyikan oleh beberapa gadis dan perempuan paruh baya, Rabu (2/12/2020). Pagi itu kami hendak pamit usai menjalankan tugas pengambilan materi – foto, video, dan wawancara, selama tiga hari untuk sebuah proyek dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Nusa Tenggara Timur (NTT).

 

Saya sangat bersyukur dilibatkan dalam pengalaman berharga itu. Keunikan Suku Boti yang tersiar di berbagai literatur khususnya dunia maya akhirnya boleh saya rengkuh sendiri di tempat asalnya. Dua malam menginap di Kampung Boti, bertemu warga Suku Boti, dan mewancarai langsung sang raja, menjadi pengalaman tak terlupakan yang bakal terus mengingatkanku akan uniknya kehidupan, akan indahnya keberagaman.

Kaum perempuan Suku Boti membersihkan beras dari hasil panen. Foto: Robertus Fahik

 

Suku Boti merupakan suku penghuni Kampung Boti yang terletak di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Hingga akhir tahun 2020, Kampung Adat Boti dihuni 76 kepala keluarga (KK) dengan total jumlah penduduk 319 jiwa. Mereka adalah keturunan dari suku asli pulau Timor yakni, Atoin Meto yang hingga kini masih mempertahankan warisan tradisi leluhurnya.

 

Dipimpin seorang raja, masih memegang teguh aliran kepercayaan leluhur yakni Halaika, menggantungkan hidup pada bercocok tanam dan beternak serta menenun – menggunakan benang yang dipintal dari kapas dengan tangan sendiri, dengan pewarna alamiah, memasak menggunakan kayu api, hidup tanpa aliran listrik dan sarana telekomonunikasi seperti televisi (TV) dan telepon genggam (HP), setia mengenakan kain tanpa alas kaki dalam kesehariannya, rambut kaum lelaki yang dibiarkan panjang dan disanggul ke atas, sistem penanggalan 9 hari dalam seminggu, keteguhan untuk menolak segala jenis bantuan dari pihak luar termasuk bantuan pemerintah, menjadikan Suku Boti sebagai salah satu suku terunik yang masih dimiliki NTT dan Indonesia.

Raja Suku Boti, Usif Namah Benu (duduk di tengah) pose bersama sejumlah warga Suku Boti. Foto: Robertus Fahik


Tanpa menutup gerbang Sonaf – istana raja, terhadap kunjungan dari luar, Raja Suku Boti, Usif Namah Benu bersama warganya tetap memegang teguh warisan leluhurnya sebagai bagian dari kebinekaan di negeri ini. “Jika ada perbedaan semacam ini kan ada nilai tambahnya, tetapi jika semua sama maka tidak mungkin kita mau pergi untuk melihatnya, tetapi karena perbedaan itulah yang membuat orang lain datang untuk saling mempelajari. Maka itu ada yang keluar masuk ke sini,” ungkapnya dalam bahasa Dawan – bahasa daerah setempat.

 

Berkesempatan menghirup udara di Kampung Boti, merekam aneka kisah dan pandangan hidup mereka, menjadikanku semakin menyadari betapa indahnya negeriku Indonesia, negeri seribu warna, negeri sejuta rupa. Boti barangkali hanyalah sekeping keindahan negeriku, namun telah menorehkan pesan kebinekaan. 

Bocah lelaki Suku Boti. Foto: Robertus Fahik


Pesan itulah yang kubawa pulang. Di ujung jalan, suara Mama Molo Benu bersama sejumlah gadis dan perempuan paruh baya itu masih terngiang; Budaya tengah-tengah kita. Budaya daerah sebagai warga Suku Boti. Indonesia ekonomi daerah Boti. Tetap, tetap mantap dua puluh tahun. Hidup, hidup bermasyarakat, berbudaya. Dan tatapan bening bocah lelaki di bawah kibaran sang merah putih di tengah kampung itu seakan melengkapi pesan kebinekaan dari Suku Boti.




Selasa, 20 April 2021

DUA KALI AHMAD YANI BERSAMA AYAHKU

 


R. Fahik

 

I

“Hidup pak Yani!”. Masih ingatkah kau ayah, pekikan singkat itu? Seperti yang pernah kau ceritakan. Iya, “Hidup pak Yani!”.

Kata-kata itu menggema di pelataran Seminari Tinggi Ledalero. Pimpinan biara, Pastor Jozef Bouman SVD bersama ratusan frater menyambut kehadiran Letjen TNI Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi, 25 September 1965 sekitar pukul 11.30 Wita. Ketika itu sang jendral hadir bersama Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan yang menjabat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik, bersama rombongan berjumlah sekitar 20 orang.

Itu merupakan rangkaian dari kunjungan Jendral Yani ke wilayah Timur Indonesia dalam upaya memperkuat pancasila dan keutuhan bangsa. Memang ketika itu mulai muncul ancaman serius terutama dari PKI. Sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, Jendral Yani membangkitkan semangat warga bangsa dan meyakinkan semuanya bahwa Negara tidak tinggal diam.

“PKI tidak akan berkuasa di Indonesia sebelum melewati mayat Yani!”

Salah satu petikan kalimat yang masih segar dalam ingatanmu. Dengan lantang, suara yang tegas – menggelar, Jendral Yani menyampaikan itu dalam pidatonya (kuliah umum) sekitar 45 menit. Dan gemuruh tepukan tangan segera terdengar di ujung kalimat itu. Tentu dengan pekikan yang sama, “Hidup pak Yani!”.

Kau ceritakan juga, ayah. Selain jamuan makan siang, ketika itu sang jendral juga disuguhi beberapa lagu yang memang sudah dipersiapkan secara khusus. Salah satunya adalah “Halleluya” ciptaan George Frideric Handel yang menyita perhatian Jendral Yani hingga dirinya meminta untuk dinyanyikan sekali lagi. Lagu lainnya adalah “Rayuan Pulau Kelapa” yang ditulis oleh salah satu komposer terbaik bangsa, Ismail Marzuki yang mengiris hati sang jendral hingga ia menitikkan air mata. Bahkan hampir semua yang hadir saat itu. Entahlah. Air mata itu lambang kecintaan yang utuh akan bangsa ini? Isyarat kematian sang jendral? Ataukah kedua-duanya.

Dan benarlah. Sang jendral begitu mecintai bangsa ini. Lima hari usai kunjungan ke Ledalero, tepatnya tanggal 30 September 1965, Jendral Yani meregang nyawa di ujung peluru pasukan pimpinan Letkol Untung yang saat itu menjadi Komandan Batalyon I Tjakrabirawa dalam gerakan yang hingga kini dikenal dengan “G-30S PKI”. Malam itu Ahmad Yani pergi untuk selamanya bersama sejumlah perwira militer yang kemudian digelari Pahlawan Revolusi.

Padahal masih terekam jelas dalam ingatanmu kata-kata terakhir sebelum sang jendral meninggalkan Ledalero, “Nanti saya akan datang kembali pastor rektor”. Rupanya ia kembali dalam bentuk berita kematiannya dan menghimpunmu bersama ratusan frater di kapela itu. Berdoa bersama. Lalu, menaikan bendera setengah tiang.

“Hidup pak Yani!”. Masih ingatkah kau ayah, pekikan singkat itu? Pak Yani masih hidup, ayah. Setidaknya di dalam jiwa putramu ini. Cintanya mengalir, menyatu dalam air mata yang menetes ini, ketika kutuliskan kembali kisah ini.

 

II       

Pemilihan umum tahun 1977 menyimpan cerita tersendiri tentang ayahku. Ketika itu sebagai seorang guru muda – beberapa tahun usai meninggalkan biara, semangat cinta tanah air begitu menggeora di dadanya. Rupanya itu buah pertemuan dengan Jendral Yani di Ledalero. Bukan begitu ayah?

Namun pilihan ayah barangkali tidak begitu tepat. Ia terlibat aktif di Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai yang ada saat itu selain PPP dan tentunya Golkar dengan kekuatannya yang begitu besar di bawah komando Soeharto. Orang-orang yang bergerak di luarnya, menjadi perhatian utama. Tentu termasuk ayahku.

Dan terjadilah. Hari itu ia dijemput oleh sejumlah tentara dan dibawa ke pusat kabupaten. Diintegorasi dengan berbagai pertanyaan terkait keterlibatannya di PDI. Arahnya jelas, “Saya diminta untuk harus henggkang dari PDI,” kisah ayah. Namun ceritanya tentu tidak sesederhana itu. Untuk bisa “bebas” – pulang ke rumah, ayahku harus berjuang semampunya untuk merangkai kata-kata yang bisa menyelamatkannya dalam situasi itu.

Hingga akhirnya ketika kata-kata dirasanya tak mampu mem-“bebas”-kannya” saat itu, ayah teringat akan sosok yang dikaguminya. Jendral Ahmad Yani. Segera ayah mengeluarkan foto bersama sang jendral dalam kunjungannya ke Ledalero.

Sejumlah tentara yang “mewawancarai” ayah terhentak. Sang jendral kini hadir di mata mereka. Dan seolah mengatakan, “Ini perintah. Bebaskan orang ini. Pulangkan dia ke rumahnya!”. Jendral Ahmad Yani menyelamatkan ayahku hari itu.

Foto hitam-putih itu melengkapi kisah pertemuan ayahku bersama Jendral Ahmad Yani tahun 1965 di Ledalero. Bagiku, keduanya – kisah pertemuan dan foto itu, menjadi salah satu warisan berharga yang ditinggalkan ayah usai kepergiannya 4 Mei 2019 lalu.

Ayah, sampaikan salam hormatku pada Pak Yani bersama rekan-rekannya yang gugur malam itu. Pak Yani tidak harus kembali lagi ke Ledalero. Ia tetap hidup setidaknya di dadaku. Ayah pun tak harus kembali ke rumah ini. Ayah tetap hidup. Setidaknya dalam kisah ini.    

 

-----------------------------

Robertus Fahik, lahir di Betun (Malaka, NTT), 5 Juni 1985. Menyelesaikan pendidikan terakhir pada program Magister Sains Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (2012). Menulis sejumlah karya sastra antara lain novel Badut Malaka (2011) dan buku puisi Senja Hitam dan Ayahku (2019). Terlibat dalam berbagai kegiatan sastra dan kepenulisan antara lain Temu Sastrawan NTT (2013, 2015) dan MUNSI III (2020). Saat ini bekerja sebagai wartawan (pemimpin redaksi) Cakrawala NTT. Kontak pribadi 0852-5336-8008 (WA).


*Dipublikasikan dalam buku "Ayahku Jagoanku" (Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta, 2021)