Oleh Robertus Fahik
Seorang gadis Suku Boti memintal benang dari kapas. Foto: Robertus Fahik |
Budaya tengah-tengah kita
Budaya daerah sebagai warga Suku Boti
Indonesia ekonomi daerah Boti
Tetap, tetap mantap dua puluh tahun
Hidup, hidup bermasyarakat, berbudaya
Dipimpin Mama Molo Benu – adik kandung Raja Suku
Boti, Usif Namah Benu, lagu singkat itu dinyanyikan oleh beberapa gadis
dan perempuan paruh baya, Rabu (2/12/2020). Pagi itu kami hendak pamit usai
menjalankan tugas pengambilan materi – foto, video, dan wawancara, selama tiga
hari untuk sebuah proyek dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Nusa Tenggara
Timur (NTT).
Saya sangat bersyukur dilibatkan dalam pengalaman
berharga itu. Keunikan Suku Boti yang tersiar di berbagai literatur khususnya dunia
maya akhirnya boleh saya rengkuh sendiri di tempat asalnya. Dua malam menginap
di Kampung Boti, bertemu warga Suku Boti, dan mewancarai langsung sang raja,
menjadi pengalaman tak terlupakan yang bakal terus mengingatkanku akan
uniknya kehidupan, akan indahnya keberagaman.
Kaum perempuan Suku Boti membersihkan beras dari hasil panen. Foto: Robertus Fahik |
Suku Boti merupakan suku penghuni Kampung Boti
yang terletak di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Hingga
akhir tahun 2020, Kampung Adat Boti dihuni 76 kepala keluarga (KK) dengan total
jumlah penduduk 319 jiwa. Mereka adalah keturunan dari suku asli pulau Timor
yakni, Atoin Meto yang hingga kini masih mempertahankan warisan tradisi leluhurnya.
Dipimpin seorang raja, masih memegang
teguh aliran kepercayaan leluhur yakni Halaika, menggantungkan hidup
pada bercocok tanam dan beternak serta menenun – menggunakan benang yang
dipintal dari kapas dengan tangan sendiri, dengan pewarna alamiah, memasak menggunakan
kayu api, hidup tanpa aliran listrik dan sarana telekomonunikasi seperti
televisi (TV) dan telepon genggam (HP), setia mengenakan kain tanpa alas kaki
dalam kesehariannya, rambut kaum lelaki yang dibiarkan panjang dan disanggul ke
atas, sistem penanggalan 9 hari dalam seminggu, keteguhan untuk menolak segala jenis
bantuan dari pihak luar termasuk bantuan pemerintah, menjadikan Suku Boti sebagai
salah satu suku terunik yang masih dimiliki NTT dan Indonesia.
Raja Suku Boti, Usif Namah Benu (duduk di tengah) pose bersama sejumlah warga Suku Boti. Foto: Robertus Fahik |
Tanpa menutup gerbang Sonaf – istana raja, terhadap kunjungan dari luar, Raja Suku Boti, Usif Namah Benu bersama warganya tetap memegang teguh warisan leluhurnya sebagai bagian dari kebinekaan di negeri ini. “Jika ada perbedaan semacam ini kan ada nilai tambahnya, tetapi jika semua sama maka tidak mungkin kita mau pergi untuk melihatnya, tetapi karena perbedaan itulah yang membuat orang lain datang untuk saling mempelajari. Maka itu ada yang keluar masuk ke sini,” ungkapnya dalam bahasa Dawan – bahasa daerah setempat.
Berkesempatan menghirup udara di Kampung Boti, merekam aneka kisah dan pandangan hidup mereka, menjadikanku semakin menyadari betapa indahnya negeriku Indonesia, negeri seribu warna, negeri sejuta rupa. Boti barangkali hanyalah sekeping keindahan negeriku, namun telah menorehkan pesan kebinekaan.
Bocah lelaki Suku Boti. Foto: Robertus Fahik |
Pesan itulah yang kubawa pulang. Di ujung jalan, suara Mama Molo Benu bersama sejumlah gadis dan perempuan paruh baya itu masih terngiang; Budaya tengah-tengah kita. Budaya daerah sebagai warga Suku Boti. Indonesia ekonomi daerah Boti. Tetap, tetap mantap dua puluh tahun. Hidup, hidup bermasyarakat, berbudaya. Dan tatapan bening bocah lelaki di bawah kibaran sang merah putih di tengah kampung itu seakan melengkapi pesan kebinekaan dari Suku Boti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar