Minggu, 27 Desember 2015

Yohanes Sehandi bersama Robert Fahik di sela-sela Temu II Sastrawan NTT (Ende, Oktober 2015)


Memaknai Cinta Bersama Usman D. Ganggang


Judul buku         : Ketika Cinta Terbantai Sepi (Kompilasi Puisi)
Penulis                 : Usman D. Ganggang
Penerbit              : CV. Adnan Printing
Tahun terbit       : 2011
ISBN                     : 979-97913-0-4
Tebal buku         : xiii + 120 halaman

Salah satu tema yang tak pernah luput dalam karya sastra adalah cinta. Dalam buku Cara Mudah Menulis Fiksi (2007), Asep Sambodja menulis, cinta adalah persoalan yang tak pernah habis dibicarakan. Setiap zaman memiliki kisah cintanya sendiri-sendiri. Yang perlu diperhatikan tentang “keabadian” cerita-cerita itu karena ada konflik yang mengakibatkan sang tokoh harus memperjuangkan cintanya untuk mendapatkan kebahagiaan. Dengan demikian cinta di sini adalah cinta yang membutuhkan perjuangan, berkeringat, pengorbanan, karena hal-hal yang demikianlah yang membuat suatu cerita menjadi lebih memikat.
Lewat buku puisinya Ketika Cinta Terbantai Sepi, sastrawan Usman D. Ganggang, menawarkan sederet kisah yang memikat dan tentunya menarik untuk diselami lebih dalam. Buku puisi yang terbit pada tahun 2011 ini memuat 79 judul puisi yang ditulis Ganggang dalam rentang waktu tahun 1985 hingga tahun 2000-an. Puisi-puisi itu ditulisnya di beberapa tempat seperti Jakarta, Atambua, Labuan Bajo, Kupang, Waingapu, Malang, Denpasar, Surabaya, Larantuka, Ruteng, Mataram, dan tentunya Bima yang kini sebagai tempat berlabuhnya. Sebuah gambaran tentang sang penyair yang terus mengembara, berlimpah pengalaman, meski kadang “terbantai sepi”. Di sisi yang lain, pencapaian Ganggang lewat buku puisi ini menjadi bukti bahwa proses kreatif (dalam menulis) bisa terjadi kapan dan di mana saja.
Buku puisi ini merupakan karya kedua Ganggang yang sudah diterbitkan, setelah Bunga Pasir (2006). Dalam Buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015), Yohanes Sehandi mecatat, karya-karya lain milik Ganggang yang sudah dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah (telah dikumpulkan dan siap diterbitkan) adalah Surat-Surat Ine (puisi-2000), Apresiasi Puisi Putra Cendana (telaah sastra-2003), Sayap Bulan (puisi-2005), Senandung Rindu (puisi-2008), Apresiasi Puisi Putra Mbojo (telaah sastra-2009), Cerita Rakyat NTT (2002), Cermin Cinta (esai-2004), dan Masih Ada Waktu (cerpen-2010).

Komentar Beberapa Tokoh
Buku puisi Ketika Cita Terbantai Sepi mendapat apresiasi dari beberapa tokoh yang komentarnya dimuat juga di dalam buku ini. Pada bagian prolog (sambutan teman), hadir pengamat sastra dan pengawas pendidikan kota Kupang, Selamat Ans. Beberapa puisi Ganggang diulasnya secara singkat namun tetap mendalam. Seperti puisi berjudul “Pulang” yang baginya merupakan sebuah seruan; “pulang sejalan dengan jiwa reformasi yang tidak butuh bicara panjang lebar tapi butuh tindakan nyata dan segera. Mari kita re-orientasi.” Puisi lain berjudul “Rumahku” yang muaranya menurut Ans adalah introspeksi diri. Ada juga puisi lain yang disentil Ans, seperti “Di Persimpangan Jalan Ini”, “Surat Cinta dari Lakaan”, “Pertanyaan si Bocah”, dan “Ketika Meminangmu” (surat cinta buat Nurhayati).
Selain Selamat Ans yang memberi prolog, ada juga tokoh lain yang memberi endorsement seperti Tony- wartawan Kupang News, Maria Mathildis Banda- novelis, Willem Berube- guru SMA Giovani Kupang, dan Dyla Lalat- penyair kelahiran Bima. Beberapa catatan menarik bisa kita baca dari tokoh-tokoh ini. Ada tingkat kematangan penyair yang telah lama terbina dalam berkarya. Gaya pengungkapan kahs, sarat dengan bahasa perlambangan dan pengandaian (Tony). Ganggang cukup matang dalam penyajian tema, pilihan kata, dan makna. Yang menarik, konsentrasi penyair tetap terikat sehingga makna puisi-puisinya mengambil tempat (Banda). Ganggang ternyata tidak hanya bicara cinta seperti sebagian puisinya yang tersebar, tetapi juga bicara hukum seperti judul puisinya “Hukum Telah Lama Mati”, juga soal permenungan seperti “Di atas Sajadah Pasrah”, dan bernuansa sinisme seperti dalam “Ada-ada Saja”. Ganggang menyadari bahwa sepanjang menulis bertumpu pada konsep dasar yaitu sebuah proses berpikir, maka di sanalah aspek pendidikan intelektual itu terbentuk (Berybe). Ganggang juga menebar cintanya pada orang-orang kecil. Tanpa ada yang menyuruh, dia mencipta dan mengirim syair untuk wakil-wakil rakyat yang ada di gedung mewah dan kursi-kursi empuk (Lalat).

Kegelisahan yang tak berkesudahan     
Dalam buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004), Ignas Kleden menyebutkan tiga kegelisahan penyair (sastrawan) dalam menciptakan karya sastra. Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dan manusia lainnya dalam struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisik, yakni hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Kegelisahan seperti apa yang dimiliki seorang Ganggang? Rasa-rasanya dalam buku puisi ini, tiga kegelisahan itu nampak, walau kadang sangat jelas, kadang juga samar.
Kegelisahan politik sang penyair hadir dalam beberapa pusi seperti “Potret Negeriku”, “Hukum Telah Lama Mati”, dan “Tanah Airku”. Dalam puisi-puisi tersebut, Ganggang bersuara nyaring tentang realitas yang ada di depan matanya. Baginya negeri ini ibarat “sejumlah bopeng besar” (Potret Negeriku), di mana “kultur serta nilai-nilai kemanusiaan dijarah habis ke dalam dunia kebendaan (Hukum Telah Lama Mati). Namun yang menarik, Ganggang tetap menyerukan harapan lewat manifestonya untuk tanah air yang ia cintai, “Tanah airku yang kucintai, ke manapun pergi tak mudah kulupakan” (Tanah Airku). Kegelisahan politik di satu sisi. Sementara di sisi lainnya bendera harapan tetap berkibar; untuk negeri yang dicintai.
Kegelisahan metafisik seorang Ganggang tercermin dalam beberapa puisi yang meminjam nuansa alam sebagai pembawa pesan. Seperti dalam puisi “Di Batas Timor Leste”, sang penyair antara lain menulis: “Kusaksikan sosok seorang ibu memandang lepas, menyaksikan alam berkata melalui merekahnya bunga, gemericiknya air yang mengalir melintasi anak sungai, membawa keramahan alam dan senyumnya bulan purnama…. Kudengar gumamnya di antara pohon-pohon telanjang, kapankah puing-puing kepedihan ini segera hilang, di antara lambainya bunga ilalang tegar tapal batas, tak terpancing godaan angin terkadang kencang.” Ganggang menunjukkan bahwa alam bisa dijadikan jembatan imajinasi untuk mengungkapkan potret realitas tertentu. Pada saat yang sama, seruan kembali ke alam, dapat disuarakan secara lantang tanpa harus mengurus ijin demontrasi dari pihak berwajib. Masih ada puisi lain yang menggambarkan kepiawaian Ganggang dalam mengolah alam menjadi pesan moral dan kemanusiaan yang tak lekang ruang dan waktu, seperti puisi “Engkaulah Air Mangalir” (Kepada Taufiq Ismail), “Pagi Ini Masih Ada Cinta”, “Bulan Lagi Senyum” (Buat Saudara Yan Sehandi), dan “Surat Cinta dari Lakaan”.
Jika mengacu pada judul buku puisi ini, barangkali kegelisahan eksistensial-lah yang paling kental dalam keseluruhan pemikiran dan perasaaan seorang Ganggang yang tumpah dalam syair-syairnya yang dahsyat. Semuanya terangkum dalam satu kata: Cinta. Namun kiranya cinta dalam konteks ini bukanlah cinta dalam arti sempit, misalnya cinta antara dua insan. Cinta yang diusung sang penyair adalah cinta universal, cinta yang merangkum semua kalangan, tanpa batas suku, agama, ras, kepentingan. Karena itu, dari puluhan judul puisi dalam buku ini Ganggang tidak membatasi diri pada cinta pribadinya. Lewat caranya yang khas, sang penyair mengumandangkan nyanyian cinta yang merangkum. Ia berbicara tentang negeri yang dicintai, orang-orang kecil dengan seribu satu mimpi yang terbelenggu, alam yang luar biasa indahnya, teman-teman, sahabat, kenalan, dan saudara-saudara yang dicintainya (beberapa puisi dipersembahkan secara khusus untuk tokoh tertentu), hingga sampai pada pertanyaan reflektif, “Apa yang Terjadi?”. Dengan pertanyaan seperti ini, manusia sesungguhnya membuktikan keberadaannya. Dalam konteks seorang penyair (atau penulis umumnya), ini bisa kita sebut sebagai kegelisahan yang tak berkesudahan. Dan Ganggang mengajak kita untuk terus bertanya. Apa yang terjadi dengan negeri kita? Apa yang terjadi dengan alam? Apa yang terjadi dengan diri kita? Apa yang terjadi dengan cinta?
Pertanyaan terakhir di atas menjadi titik simpul seorang Ganggang. Maka dari segi judul, buku puisi ini sudah berhasil menyeret pembaca ke dalam sebuah permenungan tentang hakekat hidup; cinta. Sebuah tema yang mungkin usang namun dihadirkan Ganggang sebagai sesuatu yang baru; buah-buah pemikiran yang segar, yang siap untuk dipetik oleh siapa pun yang lapar akan cinta. Bagi Ganggang, cinta itu buah kebersamaan, dan membutuhkan kenyamanan. Cinta ibarat lagu dangdut, mengubah hati nan keras jadi mawar, mengubah kesedihan jadi sebuah bunga (Cinta). Cinta itu tidak pernah buta… Cinta memang sesuatu yang menyala… Cinta senantiasa menyala, meski di tanah gersang, akan tumbuh subur, dalam hati penuh cinta, pemilik cinta (Surat Cinta dari Lakaan). Lantas, apa yang masih bisa kita buat ketika cinta terbantai sepi? Tetaplah berpaling pada cinta- yang sesungguhnya. Dan jangan sungkan-sungkan untuk meminta pada Sang Cinta (Tuhan), seperti seruan kepada Ine (ibu); Ine, ajari aku cinta, hingga lahirkan benih-benih cinta, berbunga-bunga dalam singgasanaku (Ine, ajari cinta).    
Sambil mempertimbangkan beberapa hal teknis seperti tata letak dan pegorganisasian (pengelompokan) tema puisi yang lebih rapi untuk memudahkan pembaca dalam mencerna puisi, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan. Tidak hanya pembaca (penikmat) sastra, akademisi, kritikus sastra, mahasiswa jurusan sastra, tetapi juga pelajar/siswa dan masyarakat umum yang punya minat untuk membaca buku sastra khusunya puisi. Hadirnya buku ini menambah kasanah karya sastra yang lahir dari penulis NTT khususnya buku puisi. Apreasiasi masyarakat tentu menjadi sisi lain yang masih harus diperjuangkan, selain tentunya peran pemerintah selaku pemangku kebijakan, untuk memberi tempat bagi penulis-penulis yang lahir dari bumi Flobamora tercinta.(Robert Fahik)

Minggu, 20 Desember 2015

Gerson Poyk ketika diwawancarai Robert Fahik di Ende (Oktober 2015)


16 Juni Hari Sastra NTT



Gerson Poyk: Tokoh Sastra NTT 2015
 

Sambil tersenyum, sastrawan Gerson Poyk melambaikan tangannya kepada ratusan peserta Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT yang memadati aula utama Universitas Flores - Ende, Jumat (9/10/2015) pagi. Putra NTT kelahiran Ba’a, Rote Ndao, 16 Juni 1931 ini didaulat ke depan untuk menerima penghargaan dari Kantor Bahasa NTT sebagai Tokoh Sastra NTT tahun 2015. Penganugerahan Tokoh Sastra NTT tahun 2015 dilakukan secara langsung oleh Kepala Kantor Bahasa NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A.

“Jangan dilihat nominalnya. Angka sepuluh juta rupiah tentu tidak sebanding dengan apa yang sudah dipersembahkan pak Gerson untuk NTT. Sejauh ini Kantor Bahasa sangat mengapresiasi penulis-penulis NTT yang sudah turut membangun daerah ini lewat karya-karyanya. Dan pak Gerson sebagai perintis sastra NTT kami nilai sebagai sosok yang tepat untuk menerima penghargaan sebagai tokoh sastra. Harapan kami, sastra NTT terus berkembang dari waktu ke waktu,” kata Baihaqi sesaat sebelum menyerahkan plakat Tokoh Sastra NTT tahun 2015 kepada Gerson Poyk.     

Penobatan Gerson Poyk sebagai Tokoh Sastra NTT tahun 2015, terasa kian sempurna dengan ditetapkannya tanggal 16 Juni (tanggal kelahiran Gerson Poyk) sebagai Hari Sastra NTT (tertuang dalam Rekomendasi Temu II Satrawan NTT – ditandatangani oleh sejumlah tokoh). Ini tentunya sangat beralasan. Sudah lebih dari setengah abad yang lalu, pemilik nama lengkap Gerson Gubertus Poyk ini membawa nama NTT ke tingkat nasional bahkan internasional lewat sastra.

Mengacu pada hasil penelusuran Yohanes Sehandi (dituangkan dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT), tahun 1961 merupakan awal Gerson Poyk terjun ke dunia publikasi karya sastra. Hal ini terjadi ketika majalah Sastra Edisi Tahun I, Nomor 6, Oktober 1961, memuat cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah”. Bahkan di tahun yang sama, cerpen tersebut dianugerahi sebagai cerpen terbaik dan mendapat hadiah dari majalah Sastra. Atas alasan ini, Sehandi kemudian menyebut Gerson Poyk sebagai “Perintis Sastra NTT”, karena dialah orang NTT pertama yang menulis dan  mempublikasikan karya sastra di media massa.

Gerson ternyata tidak hanya menjadi orang pertama NTT yang menulis di media massa. Sejak tahu 1964 ketika buku (novel) pertamanya terbit, Gerson terus menghasilkan karya sastra yang berkualitas sambil tetap memberi warna yang khas di setiap karyanya. Tahun itu (1964) BPK Gunung Mulia Jakarta menerbitkan novel Hari-Hari Pertama sebagai karya pertama Gerson Poyk yang terbit dalam bentuk buku. Sejak saat itu pena Gerson terus menari. Dalam rentang waktu dari tahun 1964 sampai tahun 2014, tercatat 27 judul buku karya Gerson Poyk yang sudah diterbitkan. Dua puluh tujuh judul itu terdiri dari berbagai genre sastra seperti puisi, cerpen, novelet, dan novel serta liputan jurnalistik. Yohanes Sehandi bahkan mengakui bahwa angka 27 judul itu baru sekitar 2/3 karya Gerson Poyk, masih sekitar 1/3 karya beliau yang belum ditemukan dan perlu terus ditelusuri. Pada waktu ditanyakan, beliau sendiri tidk ingat lagi jumlah karya sastra yang telah diterbitkan (Sehandi, 2015). 

Gerson Poyk tidak saja luar biasa dari segi kuantitas karya tulis. Kualitas tulisan mantan guru (di Ternate dan Bima) dan jurnalis (wartawan Sinar Harapan) ini tak perlu diragukan lagi. Gerson Poyk pernah meraih hadiah hiburan dari majalah Sastra pada tahun 1962 dengan cerpen “Mutiara di Tengah Sawah”. Cerpennya “Oleng-Kemoleng” mendapat pujian majalah sastra Horison sebagai cerpen yang dinominasi untuk merih hadian majalah itu pada tahun 1968. Tahun 1985 dan 1986 ia berturut-turut memenangkan hadiah Adinegoro atas laporannya di majalah Sarinah, hadiah tertinggi dalam bidang jurnalistik. Tahun 1989 ia mendapat SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Kerajaan Thailand. Ia juga pernah mendapat penghargaan dari Haria Kompas untuk kesetiaannya selama puluhan tahun menulis karya sastra (Kaki Langit 133/Januari 2008, dalam majalah sastra Horison edisi Januari 2008). Tahun 2011 Gerson juga menerima Anugerah Kebudayaan dari Presiden SBY karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya. Kemudian tahun 2012 ia mendapat penghargaan NTT Academia Award untuk kategori Sastra dan Humaniora (Sehandi, 2015).     

Selain menerima berbagai penghargaan di bidang sastra dan jurnalistik, Gerson juga pernah terlibat dalam beberapa kegiatan bertaraf internasional. Akhir tahun 1982, ia menghadiri Seminar Sastra di India. Sebelumnya pada tahun 1970 – 1971 Gerson menjadi sastrawan pertama dari Indonesia yang mengikuti International Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa, Amerika Serikat (Sehandi, 2015).

Tentang pengalamannya di Amerika, dalam wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende (10/10/2015), beliau menceritakan ketika itu ada orang dari Amerika yang datang ke Jakarta. Mereka bertemu di redaksi majalah Horison. Waktu itu ada dua nama yang diminta yakni Gerson Poyk dan Taufiq Ismail. Namun Gerson-lah yang pertama berangkat. Peserta waktu itu 30 orang dari seluruh dunia, dan mayoritas adalah para doktor.

“Saya bermimpi ada anak NTT yang bisa ke sana lagi. Ikut program itu. Syaratnya ringan. Punya buku. Lalu menulis lamaran ke sana,” tutur Gerson yang mengaku selama di Amerika menulis novelnya Sang Guru.

Menulis: pengembaraan pikiran

Bagi Gerson Poyk, menulis itu merupakan pengembaraan pikiran. Pengembaran Jiwa. Kita (manusia) seperti masuk ke kota aneh dengan rasa terasing. Tetapi dengan demikian, kita berjuang melalui integrasi antara logika, perasaan, dan sebagainya.

“Harus dari dalam. Intuisi kreatif. Bandingkan dengan bacaan dari seluruh dunia. Kita punya sikap tersendiri. Macam-macam filosofi di otak. Otak itu kebun, penuh dengan tanaman-tanaman. Karena itu, di samping menulis, belajar banyak. Baca buku, supaya tulisan bermutu,” ungkap Gerson.  

Membaca bagi Gerson menjadi modal yang sangat penting bagi seorang penulis. Karena itu ia berpesan kepada generasi muda khususnya untuk mencintai buku dan memiliki gairah tinggi dalam membaca buku.

“Ketika melihat buku, yang berat sekalipun, harus katakan; ‘lu harus masuk ke otak gue.’ Harus serius itu,” tegasnya.

Penegasan Gerson mencerminkan pengalaman hidupnya sendiri. Sejak masa kecil ia sudah akrab dengan buku. Bahkan ketika bekerja di kebun, kisahnya, ia meluangkan waktu untuk membaca. Gerson masih ingat betul bacaannya waktu itu yakni sejarah Napoleon dan kisah tragis orang-orang Kristen yang dibuang ke kandang singa.

Di usianya yang sudah 84 tahun, Gerson masih terus berkarya lewat tulisan (kolumnis majalah Leader) dan berjuang mewujudkan mimpinya yang belum tercapai. Dirinya mengaku ingin mendirikan sanggar di Kupang, seperti yang pernah ia buat baik di Surabaya maupun di Jakarta. Saat ini ia juga tengah menyiapkan sebuah teater bertajuk “Maromak Oan, Kaisar Timor.”

Gerson juga sedang menggarap sebuah buku yang memuat esai-esai politik tentang terorisme (akan diterbitkan Kompas). Ada juga buku sastra, Seutas Benang Cinta. “Saya mau bikin stream of consciousness. Semacam esai tapi berayun-ayun dengan kalimat sastra. Banyak di otak saya. Arus kesadaran. Tidak ada tokoh tapi renungan. Semacam monolog,” jelasnya.

Ibu: inspirasi besar

Menurut Gerson Poyk, proses kreatif itu dilandasi momen-momen kunci (pengalamann tak terlupakan) yang mengiringi proses penciptaan. Proses kreatif itu selalu berjalan seiring dengan usia pengarang, sejak ia kanak-kanak hingga dewasa, dan saat ia menulis karya tertentu, momen kunci itulah yang bekerja secara kreatif dengan menggali pegalama masa lampau (Kaki Langit 133/Januari 2008).

Karya-karya Gerson Poyk memang tidak terlepas dari sejarah hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang ia alami. Pemikiran dan ide yang berkeliaran. Dan tentunya latar atau warna khas NTT yang tak pernah luput dari ruang imajinasi sang sastrawan. 

            Namun ternyata di balik semuanya itu ada satu sosok yang tidak banyak diketahui pembaca Gerson. Sosok itu adalah sang ibu. Baginya, ibu adalah inspirasi besar dalam hidup dan karyanya. Ibu adalah falsafah untu segala-galanya. Perempuan yang menderita tapi penuh dengan cinta kasih.
          “Waktu bapa nganggur, kita nebeng di rumah keluarga. Tapi mama kerja sama keluarga. Mama gendong bayi. Menyanyi. Nyanyi… Bau do… Lama-lama anak itu tidur, kita dikasi nasi, makan. Kadang-kadang saya nangis kalau ingat mama saya,” tuturnya lirih. (Robert Fahik)


 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
Kapan Pertama Kali Gerson Poyk Menulis di Media Massa?
 
Ada yang menarik dari wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende, Sabtu (10/10/2015). Beliau mengungkapkan bahwa tahun 1955 ketika bersekolah di SGA Kristen Surabaya, untuk pertama kalinya tulisan beliau terbit di media massa. Tulisan tersebut adalah sebuah puisi berjudul “Anak Karang” – kemudian baru menyusul puisi-puisi lain, dimuat di Mimbar Indonesia.
“Waktu itu saya menghebohkan orang-orang Surabaya. Karena waktu itu Mimbar Indonesia selalu memuat puisi satu halaman setiap hari. Dan itu nama-nama besar seperti Sitor Situmorang, Iwan Simatupang. Waktu tulisan saya masuk ke koran itu, teman-teman di Surabaya beri hormat sama saya. Kata mereka, kapan kita bisa kayak Gerson,” kisah Gerson Poyk sambil tertawa kecil. Pria 84 tahun ini bahkan masih hafal betul lirik puisi yang ditulisnya enam puluh tahun silam itu.
“Bea. Di tepi sini gubuk dan karang. Sekali pernah mama bilang. Cerita beta cerita kau. Bertulis di tanah berselang karang… Kira-kira begitu. Jadi angin muson itu kadang-kadang membikin kurang subur. Kita punya musin itu kadang muson. Tapi jangan takut. Kalau padi dan jagung tidak ada masih ada pohon lontar, gula. Kira-kira begitu maksud saya,” jelasnya.
Cerita Gerson Poyk ternyata sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, bahwa Gerson Poyk banyak menulis puisi di beberapa media massa yang terbit di Surabaya saat ia mengikuti pendidikannya di SGA Kristen di kota itu (1955 – 1956). Salah satu puisinya dijadikan judul buku Anak Karang, pertama kali dimuat H. B. Jasin di majalah Mimbar Indonesia (Kaki Langit 133/Januari 2008).   
Di sisi lain meski menyebut cerpen Mutiara di Tengah Sawah (1961) sebagai karya pertama Gerson yang terbit di media massa – sesuai data otentik yang diperolehnya, Sehandi (2015) juga mengakui bahwa dari sejumlah sumber, ia mendapatkan informasi bahwa Gerson Poyk sudah mulai menulis sastra di media massa sebelum tahun 1961. Disebutkan sejumlah media yang memuat karya Gerson, yakni Mimbar Indonesia, Tjerita, dan Sastra.
“Hanya sayangnya, saya hanya menemukan data otentik karya Gerson Poyk pada majalah Sastra (1961), sedangkan pada Mimbar Indonesia dan Tjerita tidak ditemukan data otentiknya berupa judul karya sastra, jenis karya sastra, dan nomor edisi bulan dan tahun terbit karya Gerson Poyk tersebut,” tulis Sehandi dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015).
Jadi, kapan pertama kali Gerson Poyk menulis di media massa? Tentunya butuh penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan kebenarannya. Data otentik tentang puisi “Anak Karang” yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia tahun 1955, misalnya, perlu ditemukan. Untuk mencapai hal ini butuh kerja sama serta kerja keras segenap pencinta Sastra NTT. (Robert Fahik)
 
*) tulisan ini dimuat dalam Majalah Bahasa dan Sastra, "Loti Basastra" (diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ) edisi Desember 2015


Yohanes Sehandi: Mempunyai Nilai Lebih Lewat menulis


Ketekunan dan kerja kerasnya dalam bidang menulis, menjadikan sosok yang satu ini dikenal luas di NTT khususnya di kalangan akademisi dan penggelut sastra. Kebiasaan membaca sejak kecil diakuinya sebagai modal untuk mengembangkan dan menekuni dunia menulis. Karena itu sejak di bangku kuliah, Pak Yan – demikian sapaan akrabnya, terus menulis dan mengoleksi buku-buku bacaan. Berbagai artikel sudah ditulis dan dipublikasikannya baik lewat media cetak maupun blog pribadinya. Bahkan dosen Universitas Flores ini juga sudah menulis beberapa buku. Salah satu buku yang melambungkan namanya berjudul “Mengenal Sastra da Sastrawan NTT”. Buku ini pula yang terpilih menjadi salah satu pemenang hadiah buku insentif untuk dosen diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI (2014). Untuk mengenal lebih jauh sepak terjangnya dalam dunia menulis, bagaimana pemikirannya tetang budaya menulis, berikut kami hadirkan petikan wawancara penyunting Loti Basastra, Robert Fahik dengan Yohanes Sehandi.

Sejak kapan Bpk. menekuni dunia menulis?

Saya menekuni dunia tulis-menulis sejak 33 tahun lalu, yakni tahun 1982, pada waktu kuliah semester 2 di IKIP Negeri Semarang, kini menjadi Universitas Negeri Semarang,  Unes. Tulisan pertama saya berjudulnya “Sajak Sebaiknya Komunikatif,” dimuat dalam surat kabar mingguan (SKM) Simponi terbitan Jakarta, edisi tanggal 14 Februari 1982. Sejak tahun 1982 itulah  saya menulis, terus menulis, meskipun ada juga pasang surutnya.

Bapak sudah menulis banyak artikel dan menerbitkan sejumlah buku. Apa yang mendorong Bpk. dalam menulis?

Saya menggeluti dunia tulis-menulis dengan penuh kesadaran. Pertama, saya ingin agar mempunyai nilai lebih, tidak sekadar jadi sarjana saja. Saya mengukur diri bahwa saya tidak mempunyai bakat lain, misalnya bakat olahraga, menyanyi, dan lain-lain. Saya punya bakat membaca sejak kecil, bakat itu menjadi modal dasar saya untuk menulis. Pada awal kuliah saya ambil keputusan untuk menggeluti secara serius dunia tulis-menulis. Kedua, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari waktu kuliah. Ini dorongan kedua. Setelah saya menulis di sejumlah koran, ternyata ada honorariumnya, dan lumayan untuk beli kebutuhan sehari-hari seorang mahasiswa. Uang honorarium itu juga akhirnya saya gunakan untuk membeli buku-buku baru, bahkan untuk biaya kuliah. Buku baru itu saya buat resensinya, kirim ke koran dan dimuat, maka dapat honorarium. Sampai kini saya memiliki koleksi buku yang lumayan banyak, sebagian besar hasil dari tulis-menulis. Buku-buku milik pribadi inilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi saya untuk menulis. Tentang bakat membaca ini memang tumbuh dari dalam diri secara alamiah, tidak ada yang mendorong. Sejak SMP di Rekas (Manggarai Barat) dan SPP/SPMA (Pertanian) di Boawae (Nagekeo) saya sudah terbiasa membaca Majalah Dian terbitan Ende dan Majalah Trubus (majalah pertanian) terbitan Jakarta. Nama-nama penulis NTT dari Flores, Timor, dan Sumba saya sudah kenal sejak SMP dan SPP/SPMA. Dari Flores, misalnya saya sudah kenal nama  Pater Alex Beding, Ben Oleona, Thom Wignyata, Marcel Beding, Valens Doy, Nico Ladjadjawa, Don Bosco Blikololong, Dami N. Toda, John Dami Mukese. Dari Timor sejak kecil saya sudah kenal nama Anton Bele dan Yohanes Lake, dari Sumba ada nama Frans W. Hebi, Yosef Pati Wenge, dan David Siwa Balla.

Apakah ada tokoh yang menjadi inspirasi Bpk dalam menulis?


Ya, ada. Ada dua penulis terkenal kelahiran NTT, yang harus saya akui sebagai sumber inspirasi, yakni Dami N. Toda dan Ignas Kleden. Waktu kuliah di Semarang tahun 1980-an saya banyak membaca artikel Dami N. Toda dan Ignas Kleden di harian Kompas dan majalah Tempo, dan di berbagai media cetak lain. Saya jujur mengakui, dua penulis NTT inilah yang membuat saya tidak nyaman tidur. Sekadar cerita, pada awal tahun 1982, di beberapa jalan utama di Kota Semarang terpasang sejumlah spanduk besar yang bunyinya kurang-lebih seperti ini: “Selamat Datang Dami N. Toda, Kritikus Sastra Indonesia, di Kampus Universitas Diponegoro.” Saya kaget membaca spanduk itu dan terharu, karena saya tahu Dami Toda orang saya dari Manggarai. Dia diundang di Undip untuk memberi ceramah tentang novelis Iwan Simatupang. Dalam hati saya bertanya, orang dari pelosok di Manggarai Flores bisa menjadi terkenal. Jawabannya, karena dia menulis.  Sejak saat itu saya menggandrungi tulisan Dami N. Toda, apakah lewat surat kabar, majalah, maupun buku yang diterbitkan. Sampai kini, hampir semua buku karya Dami N. Toda saya miliki, meskipun belum pernah bertemu langsung. Selanjutnya tentang Ignas Kleden. Saya mulai mengenal beliau lewat tulisan-tulisannya, sekitar tahun 1983. Pada suatu waktu saya membaca majalah Tempo di Perpustakaan IKIP Negeri Semarang. Saya terperangah melihat foto Ignas Kleden dengan esai pendeknya di majalah itu. Dia tulis esai itu dari Jerman, pada waktu dia masih kuliah di Jerman. Saya ingat betul judul esainya satu kata saja, yakni “Surat.” Sungguh saya bangga karena saya tahu dia orang Flores Timur. Esai pendek itu ditulis dalam gaya sastra dan filsafat. Seninya menulis tercermin betul dalam esai pendek itu. Pada bulan Oktober 2013, artinya 30 tahun kemudian, saya baru pertama kali bertemu Ignas Kleden, dia datang di Uniflor membawakan ceramah berkaitan dengan Hari Sumpah Pemuda. Saya ceritakan kesaksian saya tahun 1983 atas tulisannya di Tempo yang berjudul “Surat.” Dia kaget karena dia tidak ingat lagi tulisan itu, sementara saya masih merasakan nikmatnya membaca sebuah esai pendek karya Ignas Kleden yang ikut mendorong saya menggeluti dunia tulis-menulis.

Selama beberapa tahun terakhir Bpk. menaruh perhatian serius terhadap perkembangan dan keberadaan Sastra dan Sastrawan NTT. Hal ini terlihat dari beberapa artikel dan buku Bpk yang sudah terbit. Bagaimana Bpk melihat keberadaan dan perkembangan Sastra dan Sastrawan NTT sejauh ini?

Setelah saya tidak lagi di dunia politik karena sudah 10 tahun menjadi anggota DPRD Provinsi NTT dan 20 tahun menjadi pengurus partai di Kabupaten Ende dan di Provinsi NTT, saya kembali ke habitat saya ke dunia akademik. Tahun 2010 saya mengajar di Universitas Flores (Uniflor) di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI). Saya membaca lagi buku-buku sastra yang saya miliki kemudian melihat pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Provinsi NTT. Pada waktu itu saya melihat, karya sastra Indonesia di NTT berserakan, sastrawan-sastrawan NTT ada hanya sosok mereka tidak jelas, padahal sejumlah karya sastra yang mereka hasilkan mutunya tidak kalah dengan karya para sastrawan lain di Indonesia. Pertanyaan muncul, mengapa sastra dan sastrawan NTT tidak banyak dikenal? Jawabannya, karena hampir tidak ada pengamat dan kritikus sastra yang memberi perhatian khusus pada sastra NTT. Sejak saat itulah saya mulai mengumpulkan karya-karya sastra NTT, mengulasnya lewat sejumlah media cetak di NTT, seperti Pos Kupang, Flores Pos, dan Victory News, dan sejumlah media cetak lain. Tulisan-tulisan saya yang sudah dimuat di tiga media itu saya unggah ke Blog saya: www.yohanessehandi.blogspot.com. Dengan membaca tulisan-tulisan itulah rupanya orang mulai mengenal sastra dan sastrawan NTT, yang kebetulan pada waktu itu bermunculan pula sejumlah komunitas sastra di NTT. Tulisan-tulisan itu saya kumpul dan sempurnakan, maka lahirlah buku pertama tentang sastra berjudul Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Peredaran buku ini luas karena dipasarkan toko buku Gramedia. Di luar dugaan, buku ini mendapat sambutan, baik pro maupun kontra. Dan pada tahun 2014 buku ini menjadi salah satu pemenang hadiah buku insentif untuk dosen diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI. Tahun 2015 saya terbitkan lagi buku yang kedua berjudul Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) juga diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma. Buku kedua ini merupakan kelanjutan atau penyempurnaan buku pertama. Dalam kedua buku itu terlihat betul petumbuhan dan perkembangan sastra NTT sejak awal mula kelahirannya tahun 19961 sampai dengan saat ini 2015. Dalam usia 54 tahun sastra NTT pada tahun ini, saya telah mengidentifikasi 44 nama sastrawan NTT dan 135 karya sastra NTT yang diterbitkan dalam bentuk buku. Masih ada banyak karya sastra dan calon sastrawan NTT yang terus saya ditelusuri. Jadi, tentang pertumbuhan dan perkembangan sastra dan sastrawan NTT terdapat di dalam kedua buku tersebut.

Menurut Bpk apa yang perlu dilakukan agar Sastra dan Sastrawan NTT makin berkualitas dan bisa berbicara banyak di tingkat nasional bahkan internasional?

Menurut hemat saya, yang perlu dilakukan antara lain (1) Terjemahkan karya-karya sastra NTT ke dalam berbagai bahasa di dunia, terutama bahasa Inggris, (2) Pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat Provinsi NTT menjadikan karya para sastrawan NTT sebagai muatan lokal di semua sekolah di Provinsi NTT, (3) Sering dilakukan perlombaan sastra atau festival sastra, baik di tingkat SD, SMP, SMA/SMK maupun untuk mahasiswa dan masyarakat umum. Pemerintah daerah di NTT harus membuat terobosan memasyarakatkan sastra NTT. Tirulah terobosan yang dibuat Pemda Bangka Belitung yang menyiapkan anggaran mempromosikan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Karya-karya sastra Andrea Hirata akhirnya menjadi sarana pariwisata dan sarana diplomasi budaya Pemda Bangka Belitung. Saat ini, Bangka Belitung menjadi salah satu objek wisata unggulan Indonesia, pertumbuhannya bermula dari karya sastra.  

Selain sebagai dosen, saat ini Bpk dipercaya sebagai Kepala Lembaga Publikasi Universitas Flores. Apa yang sudah dicapai sejauh ini dan apa yang masih harus diperjuangkan ke depan, terutama terkait bagaimana membangun kultur literasi (membaca dan menulis) di kalangan mahasiswa?

Sejak tahun 2012 saya dipercayakan menjadi Kepala Lembaga Publikasi Uniflor (kini menjadi UPT Publikasi dan Humas). Ada dua hal konkret yang saya lakukan selama ini dalam membangun kultur literasi di Uniflor. Pertama, menerbitkan secara berkala Majalah Ilmiah Indikator, yang berisi artikel ilmiah para dosen dan peneliti di Uniflor. Ini sagat membantu para dosen dalam mengurus jabatan akademik (kenaikan pangkat) dan mengurus sertifikasi dosen (serdos). Sesuai dengan ketentuan, artikel ilmiah menjadi syarat mutlak dimiliki seorang dosen. Kedua, membangun kerja sama dengan harian umum Flores Pos yang terbit di Ende. Uniflor membeli satu halaman Flores Pos pada edisi hari Sabtu, halaman 11 berisi rubrik “Suara Uniflor.” Dalam rubrik ini diisi artikel opini karya para dosen dan mahasiswa Uniflor, juga diisi dengan berita teks dan berita gambar yang berkaitan dengan kegiatan sivitas akademika Uniflor selama seminggu. Rubrik “Suara Uniflor” mulai muncul pada 17 Maret 2012, terbit setiap setiap Sabtu, kini mau memasuki tahun ke-5. Artikel opini para dosen dan mahasiswa yang telah dimuat Rubrik “Suara Uniflor” saya kumpulkan dan terbitkan dalam bentuk buku antologi. Dengan demikian, para penulis mendapatkan keuntungan ganda. Itulah langkah konkret menumbuhkan budaya literasi yang saya lakukan selama di Uniflor.

Tahun 2015 ini Uniflor terpilih sebagai tempat Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT. Apa komentar Bpk tentang momen akbar ini? Hal apa yang masih segar dalam ingatan Bpk terkait kegiatan tersebut?

Ya, tahun 2015 ini Kantor Bahasa Provinsi NTT menggandeng kami di Uniflor untuk menyelenggarakan Festival Sastra dan Temu 2 Sastrawan NTT. Kesan banyak orang, ini kegiatan cukup besar. Kami merasa senang karena dipercayakan Kantor Bahasa NTT, Kantor Bahasa NTT yang menyiapkan dana penyelenggaraan. Kami di Uniflor hanya menyiapkan tenaga dan fasilitas. Terlepas ada kekurangan di sana-sini dalam pelaksanaannya, kami merasa puas. Yang saya kagumi, pertama, Kantor Bahasa NTT menunjukkan keseriusan dalam bekerja sama dengan Uniflor, meski pada awalnya saya sempat diliputi rasa cemas, kedua, para sastrawan NTT hadir cukup banyak dan menunjukkan antusiasme yang membanggakan.

Saat ini apakah ada naskah buku yang sedang Bpk garap untuk diterbitkan?

Ya, ada satu naskah buku yang sedang saya rampungkan, bukan tentang sastra tetapi tentang jurnalistik, judulnya “Mengenal Jurnalistik Praktis” semoga terbit tahun 2016.

Apa pesan Bpk untuk masyarakat NTT khususnya generasi muda terkait budaya literasi (membaca dan menulis), juga terkait keberadaan dan perkembangan Sastra dan Satrawan NTT? 

Saya termasuk orang yang percayai dan meyakini sungguh kekuatan budaya literasi, yakni budaya membaca dan menulis, untuk mengubah masyarakat menjadi masyarakat maju dan modern. Peradaban masyarakat dalam suatu wilayah atau daerah ditentukan oleh budaya literasi masyarakat bersangkutan. Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan masyarakat dalam suatu daerah berbanding lurus dengan lemahnya budaya literasi masyarakat tersebut. Dengan membaca dan menulis masyarakat akan banyak tahu tentang banyak hal. Dengan modal pengetahuan itu, masyarakat akan terinspirasi untuk kreatif dan berinisiatif untuk membuat banyak hal demi kemajuan hidup dan peradabannya. Ciri-ciri masyarakat maju dan yang mau maju adalah masyarakat yang tradisi literasinya kuat, tradisi bahasa tulisnya kuat. Sebaliknya, ciri-ciri masyarakat miskin dan terbelakang lebih banyak tradisi lisan. Perihal ini belum banyak disadari oleh masyarakat dan pemerintah daerah kita di NTT.
Jadi, kalau mau membangun masyarakat NTT ke arah yang lebih maju dan modern, bangunlah sumber daya manusia (SDM) masyarakat NTT dengan budaya literasi, budaya membaca dan menulis, kurangi budaya lisan (mendengar dan berbicara). Lihatlah masyarakat kita di Indonesia, semakin ke Barat Indonesia semakin maju, budaya literasinya cukup bagus. Sebaliknya, semakin ke Timur Indonesia semakin lemah budaya literasinya, semakin miskin. Tentu ada variable lain juga. Bandingkan masyarakat kita dengan masyarakat Eropa, Jepang, dan Korea Selatan yang kuat budaya literasinya, mereka maju dan modern. Saya sungguh percaya dan yakin, budaya literasi menentukan kemajuan perabadaban masyarakat. Apa kaitannnya dengan kemajuan sastra? Budaya sastra dibangun oleh budaya literasi. Budaya literasi berbanding lurus dengan budaya sastra.(Robert Fahik)
 
 
YOHANES SEHANDI
 
TTL : Labuan Bajo, 12 Juli 1960
HP : 081339004021
 
Pendidikan
 
S1 :Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Negeri Semarang (sekarang Universitas Negeri Semarang, 1985)
S2 : Sosiologi UMM Malang (2003)
 
Karya tulis:
 
Mengenal 25 Teori Sastra (Yogyakarta: Ombak, 2014)
Antologi Opini Suara Uniflor 2012-2013 (Yogyakarta: Ombak, 2014)
Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012)
Bahasa Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Salatiga: Widya Sari, 2013)
Pengantar Ilu Sosial dan Budaya Dasar (Salatiga: Widya Sari, 2013)
Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (Kupang: Gita Kasih, 2010)
 

*) tulisan ini dimuat dalam Majalah Bahasa dan Sastra, "Loti Basastra" (diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ) edisi Desember 2015

 

 

Buang Sine bersama Robert Fahik dan Gerson Poyk dalam Temu II Sastrawan NTT (Ende, Oktober 2015)


Buang Sine: Polisi, Penulis, Pelukis


 Saya melakukan proses menulis pada dini hari. Sekitar jam 4 pagi. Ketika suasana hening. Sehingga tidak mengganggu aktifitas saya sebagai seorang polisi. Menggambar karikatur dapat dilakukan kapan saja karena hanya memakan waktu sepuluh atau dua puluh menit. Dan itu bisa saya kerjakan di mana saja pada sore atau subuh. Sehingga tidak mengganggu aktifitas saya sebagai polisi merampung berbagai berkas kasus pembunuhan yang sedang saya tangani.

Demikian kisah Buang Sine kepada tim Loti Basastra beberapa waktu lalu, terkait bagaimana ia membagi waktu untuk menulis dan melukis di tengah tugasnya sebagai anggota polisi. Pria kelahiran Kupang, 30 Juni 1967 yang kini bertugas di Polda NTT ini memang dikenal juga sebagai penulis dan pelukis. Kemampuan menulis dan melukis yang ia tekuni menjadikan sosok yang murah senyum ini berbeda dengan anggota polisi umumnya.

Di kalangan akademisi, pemerhati sastra (dan seni), atau pembaca pada umumya, banyak yang mungkin tak menyangka bahwa penulis novel dan pelukis yang satu ini sebenarnya adalah anggota polisi. Sebaliknya barangkali tidak sedikit anggota polisi yang tak mengira bahwa di antara mereka (polisi) ternyata ada seorang penulis dan pelukis dengan talenta yang luar biasa. Namun itulah seorang Buang Sine. Pemilik nama lengkap Simon Junior Buang Sine ini benar-benar polisi, sekaligus sungguh-sungguh penulis dan pelukis yang tak diragukan lagi kompetensinya.

Dalam tugasnya sebagai polisi, Yohanes Sehandi dalam bukunya Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) mencatat sejumlah prestasi yang ditorehkan suami Louisa Afriany Nakmans ini, seperti membongkar kasus pembunuhan Maria Tuto Lewar di Larantuka, Flores Timur (1990), membongkar kasus pembunuhan Yohakim Atamaran di Larantuka (2007), dan membongkar kasus pembunuhan Paulus Usnaat di Kefamenanu, TTU (2008). Tidak hanya itu, Buang juga aktif dalam menuntaskan kasus lainnya seperti pembunuhan Romo Faustin Segar, Pr., di Bajawa, Ngada (2009), pembunuhan Yohakim Langoday di Lembata (2009), serta pembunuhan Deviyanto Nurdin bin Yusuf di Maumere, Sikka (2010).

Pencapaian yang luar biasa serta aneka pengalaman seorang Buang dalam kariernya sebagai polisi ternyata tidak luput dari sebuah proses kreatif. Ayah dari Doni Herman Sine dan Cornelia Sofia Sine ini menuangkan berbagai kisah serta pemikiran dalam bentuk tulisan yang bisa berbicara kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja. Hingga kini, Buang sudah menerbitkan tiga novel yang luar biasa yakni Dua Malam Bersama Lucifer (Yogyakarta: Andi, 2012), Petualangan Bersama Malaikat Jibrail (Yogyakarta: Andi, 2013), dan Polisi Sampah (Yogyakarta: Smart Writing, 2015) – selain sebuah buku biografi.

Menulis dan melukis; sebuah proses

Buang mengakui, kemampuan menulis tidak datang begitu saja. Proses awal ia mulai sejak di bangku kelas 2 SMA Kristen 1 Kupang. Ia terus belajar menulis, sambil tak henti-hentinya “berguru” pada tokoh-tokoh yang menginspirasinya seperti  Leo Tolstoy, Anton Chekov dan Ernest Hemingway. Tahun 2001 merupakan debutnya dalam publikasi tulisan di media massa.

“Saya menulis puisi pertama yang dimuat di Pos Kupang dan juga cerpen berjudul Hama Belalang tahun 2001,” kisahnya.

Selain menulis, polisi yang satu ini juga gemar melukis, khususnya melukis karikatur. Kemampuan melukis diakuinya sudah ada sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD GMIT Kuanino III Kupang. Namun, saat kelas 2 SMP barulah ia memenangi lomba melukis se kota Kupang dalam rangka hari Reformasi. Kemudian, tuturnya, kemampuan itu terus berkembang dan ia sempat menjuarai lomba pembuatan  poster hari HIV/AIDS sedunia tahun 2006. Buang juga yang menciptakan logo atau lambang Polda NTT.

Tahun 2002-2004 menjadi karikaturis di Harian Umum Pos Kupang. 2005-2009 menjadi karikaturis di Harian Umum Timor Ekspres. Dan saat ini aktif mengisi rubrik di harian Victory News bertajuk Wawancara Detektif Otak Miring dengan Bung Pena,” jelasnya.

Panggilan menulis dan melukis

Menurut Buang Sine, menulis dan melukis adalah pekerjaan mencipta. Kita mencipta yang tidak ada menjadi ada. Menciptakan puisi, menciptakan cerpen, menciptakan novel dan menciptakan gambar. Proses mencipta ini adalah hakekat yang harus dimiliki manusia. Seperti Tuhan juga adalah pencipta manusia, langit dan alam semesta. Jadi, betapa bahagianya kita bisa menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Itulah yang bisa dikerjakan dalam dunia menulis dan melukis. Dunia menulis dan melukis membawa banyak manfaat. Bahkan dapat mensejahterakan bagi sang penulis atau pelukis itu sendiri. Salah satu contoh penulis yang kini telah menjadi miliarder adalah J.K Rowling, penulis novel Harry Potter yang terkenal dan mendunia. Kini novel-novelnya diangkat ke layar lebar dan menjadi box office.

Pemikiran serta keyakinan seperti itulah yang terus menggelora dalam diri seorang Buang untuk menjadikan menulis dan melukis sebagai sebuah panggilan serentak sisi lain dari profesi sebagai polisi. Meski demikian, ada saja tantangan serta kesulitan yang dihadapai. Untuk dunia menulis, kata Buang, pernah ada naskah karyanya ditolak beberapa kali oleh penerbit. Hal ini membuatnya hampir putus asa. Tetapi dirinya menyadari bahwa penolakkan naskah itu ada alasannya, sehingga ia memperbaiki naskah itu dari penggunaan kata, tanda baca, kalimat dan ide cerita, sehingga pada tahun 2011 naskahnya berjudul Dua Malam Bersama Lucifer diterima penerbit Andi Yogyakarta dan diterbitkan.

Sedangkan hambatan dalam hal melukis adalah ketiadaan peralatan melukis di kota Kupang dan harus dipesan dari luar kota seperti di Jakarta atau Surabaya. Sebab, untuk melukis atau membuat karikatur harus menggunakan cat atau pensil khusus agar kualitasnya bagus. Inilah hambatannya,” tuturnya.

Sekalipun ada hambatan, Buang terus mengepakkan sayapnya dalam menulis dan melukis. Karena itu ia mengajak generasi muda untuk menjadi pemuda-pemudi yang kreatif. Sebab, katanya, hanya orang kreatif sajalah yang akan menjadi terdepan.

Tulis dan tulislah karena suatu saat kalian akan menjadi penulis besar. Ingat kata-kata orang bijak; orang yang tidak dapat menulis ibarat kera yang berbaju. Maukah kita dianggap kera yang berbaju? Jika tidak, mulailah menulis dan jadilah penulis besar. Kembangkanlah kemampuan melukismu sebab dunia melukis sangat dihargai di dunia. Picasso, Rembrandt, Leonardo da Vinci menjadi terkenal karena melukis. Berkaryalah selagi muda,” tutur alumnus SMPN Kupang ini.
 
Undang-undang wajib membaca

Buang Sine melihat dunia menulis sastra di NTT sudah semakin berkembang. Sudah banyak kemajuan. Hal ini ditandai dengan bermunculan penulis-penulis muda yang potensial dengan karya-karya puisi, cerpen dan novel yang berkualitas.

Namun, menurutnya perkambangan yang ada perlu didukung dengan budaya literasi (membaca dan menulis) yang kuat dalam masyarakat NTT yang note bene masih sangat kental dengan budaya tutur (lisan). Untuk menggalakkan kecintaan masyarakat NTT khususnya generasi muda dalam mencintai budaya menulis, kata buang, harus dibuatkan sebuah peraturan wajib membaca buku bagi seluruh pelajar SD, SMP dan SMP juga kepada kaum dewasa. Sebab dengan membaca maka akan memacu kita untuk menulis. Banyak orang menjadi penulis terkenal karena berawal dari membaca.

Jadi, budaya membaca harus digalakkan di NTT untuk menciptakan penulis-penulis berkualitas di masa yang akan datang. Wajib membaca minimal dua buku sehari harus diundangkan oleh pemerintah NTT,” pintanya.

Di tengah kesibukan sebagai anggota polisi dan pengembangan menulis dan melukisnya, Buang masih menyimpan sebuah harapan besar. Dalam dunia menulis, tidak tanggung-tanggung, polisi berpangkat AIPTU ini ingin mendapatkan hadiah Nobel Sastra.

Dan perjuangan ke arah sana sedang saya lakukan dengan menulis novel Cerita Sang Angin dan Percakapan Dengan Orang Gila. Dua novel ini saya fokuskan untuk dapat meraih nobel sastra dunia. Sedangkan untuk dunia melukis khususnya karikatur, saya akan mendirikan warung karikatur di kota Kupang dan sebagai karikaturis pertama di NTT,” ungkapnya.(Robert Fahik)

 

*) tulisan ini dimuat dalam Majalah Bahasa dan Sastra, "Loti Basastra" (diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ) edisi Desember 2015

 

Kamis, 20 Agustus 2015

Puis R. Fahik, Air Mataku Jatuh di Lewa


(untuk adik-adikku di SMAN 1 Lewa, Sumba Timur)

Air mata ini bukan untuk menghanyutkan kenangan kita dalam aliran waktu yang terus berpacu itu. Air mata ini kutitipkan untukmu sebagai bagian dari driku, yang akan menumbuhkan mimpi-mimpimu. Juga mimpi-mimpiku. Mimpi-mimpi kita. Aku ingin datang lagi suatu hari nanti. Aku yakin, ketika itu air mataku telah menjelma dalam buah-buah keindahan yang abadi di ujung penamu.

Lewa, 11 Agustus 2015

R. Fahik bacakan puisi "Air Mataku Jatuh di Lewa"


Puisi R. Fahik, RAMBU


Puisi R. Fahik

 

RAMBU

Untuk Clarita

 

Hamparan padang sabana yang maha luas ini, akan selalu mengingatkanku pada senyuman indahmu yang belum mampu kususuri. Lembah dan ngarai yang terpahat pada hamparan sabana itu, serupa lesung pipimu yang menghantui malam-malamku.

Rambu... Rambu... Rambu... Kupanggil namamu dari lembah kerinduan ini. Pernahkah kau dengar seribu langkah sandelwood bergemuruh di padang-padang sabana? Detak jantungku lebih bergemuruh lagi. Gemuruh kerinduan untuk menyusuri indahnya padang sabana bersamamu. Siapa tahu di saat itu aku bisa memahami senyum indahmu. Atau setidaknya seumur hidupku aku pernah mengalami bagaimana seorang gadis Sumba tersenyum indah padaku.

Rambu... Rambu... Rambu... aku akan merindumu seperti Watuparunu merindukan sungai-sungai yang datang kepadanya siang dan malam. Aku akan mencintaimu dalam diam seperti Londa Lima yang bisu menatap cakrawala yang ia kagumi. Rambu... Rambu... Rambu... Bolehkah aku berbisik sejenak? “Nyungga mbuhanggau nyumu...”

 

Waingapu, 8 Agustus 2015

Catatan:

Rambu                                                : Sapaan untuk perempuan Sumba

Watuparunu, Londa Lima                  : Nama pantai di Sumba Timur
Nyungga mbuhanggau nyumu           : Aku cinta padamu

Selasa, 23 Juni 2015

Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL



Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (1)
“Tulis Saja Apa yang Kalian Bisa”

Bulan Februari 2015, Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengadakan Kelas Menulis Kreatif Anak Perbatasan di Kabupaten Belu. Kegiatan ini melibatkan 40 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari berbagai sekolah, dan 8 guru pendamping. Para peserta dibagi menjadi 2 kelompok yakni Kelas Menulis Cerpen, yang didampingi Sastrawan asal Jawa Timur, Bonari Nabonenar, dan Kelas Jurnalistik yang didampingi Sastrawan/Jurnalis NTT, Robert Fahik, M.Si. Sebagai kelanjutan dari kegiatan tersebut, selama empat hari (Selasa, 14/04 – Jumat, 17/04/2015), Kantor Bahasa Prov. NTT mengadakan Pendampingan Majalah Dinding (mading) dengan mengunjungi 8 sekolah (SMP) di daerah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) – Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), Kabupaten Belu. Tim yang terdiri dari Kepala Kantor Bahasa Prov. NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., Staf Kantor Bahasa Prov. NTT, Agustinus Dara Kura, dan Sastrawan/Jurnalis muda NTT, Robert Fahik, menyusuri lorong-lorong daerah perbatasan, menjumpai para siswa dan para guru. Bagaimana kisah perjalanan mereka?
Simak laporan Robert Fahik berikut ini.

Terik mentari terasa menyengat ketika kami tiba di SMPN Silawan, Selasa (14/04/2015), padahal waktu belum genap pukul 11.00. Pak Yanuarius Wadan, S.Pd., koordinator guru-guru pendamping Mading SMP Perbatasan yang menemani kami tak henti-hentinya memberi semangat. Kami disambut ibu Retno Nur Halima, S.Pd., dan pak Adi Amfotis, S.Pd., keduanya merupakan guru pendamping mading di sekolah tersebut. Walau kami tidak sempat bertemu Kepala sekolah dan para guru lainnya, kehadiran lima siswa pengurus mading sudah sangat berarti. Kepala Kantor Bahasa Prov. NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., pun mengungkapkan rasa bangganya, “Kantor Bahasa merasa bangga karena pelatihan menulis yang kami berikan beberapa waktu lalu tidak sia-sia. Mudah-mudahan semangat ini tetap ada. Adik-adik tetap menulis walau tidak ada pendampingan dari kami. Kemampuan menulis ini terus dilatih, sehingga ketika jadi mahasiswa nanti adik-adik tidak kesulitan dalam menulis.”
Pada kesempatan itu, beberapa siswa tampil menceritakan tulisannya, termasuk Yoseph Bau Dasi, salah seorang siswa yang dipercayakan sebagai pemimpin redaksi “Matriks” (mading sekolah). Yoseph juga menyampaikan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT yang sudah memberi kesempatan bagi mereka untuk belajar menulis. “Terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT karena kami sudah diberi ilmu dan pengalaman untuk bisa menulis. Setelah ikut pelatihan menulis di Atambua, kami terus belajar dan mencoba mengajak teman-teman lain,” kata Yoseph.
Saya yang hadir sebagai narasumber hanya memberi beberapa catatan berdasarkan “Matriks” edisi terbaru yang dipajang di sekolah. Beberapa kreatifitas yang sudah ada saya apresiasi, seperti ditampilkannya artikel tamu dan berita foto. Saya juga memberi motivasi bagi para guru dan siswa untuk mengasah keterampilan menulis dengan terus menulis. “Diupayakan agar mading ini terus terbit secara berkala. Para guru bisa tetap dampingi adik-adik, dan kalau ada tulisan siswa atau guru yang dianggap bagus bisa kirim ke kami di Kupang untuk dipublikasikan di koran atau majalah yang ada.” 
Siang itu kami meninggalkan SMPN Silawan dengan kepala tegak. Karena kunjungan pertama ini boleh mendapat respon luar biasa dari guru dan siswa yang ada. Kami juga terkesan dengan cerita ibu Retno tentang perjuangannya mendampingi siswa-siswa dalam menerbitkan mading sekolah. Guru SM3T (Sarjana Megajar di daerah 3T: Terdepan, Terluar, Tertinggal) ini mengisahkan bahwa di tengah keterbatasan yang ada, dirinya terus memberi dorongan bagi para siswa untuk menulis. Ia bahkan rela mengeluarkan uang pribadi, misalnya untuk membeli jajan bagi para siswa yang mempersiapkan penerbitan mading. “Beberapa kendala yang masih ada, seperti anak-anak sering telat dalam mengumpulkan tulisan. Kami juga kesulitan dalam mencari literatur karena sekolah belum punya perpusatakaan. Tapi saya coba terus memberi mereka semangat. Tulis saja apa yang kalian bisa,” kisahnya.
Dari Silawan kami bertolak menuju SMPN Tulatudik, di Desa Derok Faturene, Kecamatan Tasifeto Barat. Medan yang tidak begitu bersahabat. Jalanan berbatu. Kadang terdapat endapan lumpur, sisa hujan beberapa hari sebelumnya. Namun matahari yang kian merendah ke ufuk Timur turut meneduhkan hati kami. Kami pun tiba di sebuah gedung sekolah dasar sekitar pukul 15.00 sore. Ternyata salah satu ruang kelas dari gedung inilah yang digunakan para guru dan siswa untuk belajar, karena mereka belum punya gedung sendiri. Para siswa yang menyambut kami pun ternyata merupakan siswa angkatan pertama dari sekolah ini. Jumlah keseluruhan siswa 15 orang. Lima di antaranya yang menyambut kami sore itu bersama guru pendamping, ibu Gradiana Abuk, S.Pd. Lima siswa ini merupakan siswa peserta Kelas Menulis Kreatif. Seperti para guru dan siswa di Silawan, ibu Gradiana bersama 5 siswa ini pun menyambut kami dengan wajah berseri walau hari sudah sore. Seragam sekolah yang masih melekat di tubuh menjadi bukti keseriusan mereka dalam mengejar ilmu. Sebuah pemandangan yang serentak mengingatkan kami akan kisah Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi. “Ini laskar pelangi dari Tulatudik,” kata pak Yanto.  
“Sekolah ini baru berdiri tahun 2014. Ada Sembilan guru terdiri dari 2 guru PNS dan 7 guru honor. Tapi yang menetap di sini hanya 3 guru termasuk saya. Guru lainnya tinggal di Atambua dan hanya datang kalau ada jam mengajar. Itu pun kadang ada yang tidak datang. Mungkin karena kondisi jalan yang parah. Biaya ojek ke sini juga sekitar 20 ribu. Tapi saya masih bertahan karena semangat anak-anak luar biasa,” kata ibu Gradiana.
Ibu Gradiana pun berkisah panjang lebar tentang suka-duka mendampingi anak-anak di sekolah perintis ini. Diakuinya, mading terbitan mereka hanya bisa dipublikasikan dalam bentuk tulisan tangan, karena memang belum ada aliran listrik di daerah ini. Media yang digunakan pun seadanya yakni salah satu papan tulis. Namun ia tetap membimbing dan memberi motivasi bagi para siswa. Terkait kendala lain yang dihadapi, dirinya mengatakan bahwa anak-anak masih kesulitan dalam berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Karena itu, para siswa selalu didorong untuk membaca berbagai referensi yang ada di sekolah, meski belum begitu lengkap.     
Seperti kunjungan di sekolah sebelumnya, saya dan pak Luthfi memberi motivasi dan catatan-catatan penting tentang proses belajar menulis khususnya lewat media mading di sekolah. Para siswa juga diberi kesempatan untuk bercerita tentang tulisan mereka yang dimuat di mading sekolah. Walau terbata-bata, namun mereka tetap menunjukkan semangat dan rasa ingin tahu yang besar. “Untuk bisa menulis secara baik, seringlah menulis. Dilatih setiap hari. Dan jangan sampai mading ini hanya terbit sampai satu atau dua bulan,” pesan pak Luthfi.
Ada yang menarik sebelum kami meninggalkan ibu Gradiana dan 5 laskar pelangi dari Tulatudik. Mereka masih sempat mengajak kami untuk mampir di gedung sekolah mereka yang sementara dibangun, tidak begitu jauh dari gedung “sekolah sementara” mereka. Dibangun atas kerja sama Kemitraan Pendidikan Australia – Indonesia, gedung sekolah ini terdiri dari bangunan pernamen dengan 6 ruang belajar, perpustakaan, kantor, kamar mandi/WC, ruang guru, dan lapangan basket ditambah halaman yang cukup luas untuk dijadikan taman atau arena belajar luar kelas bagi siswa. Pembangunan gedung ini sudah dimulai sejak tahun 2014 dan direncanakan selesai tahun 2015. “Kami berharap tahun ajaran baru nanti gedung ini sudah bisa digunakan sehingga kami tidak harus pinjam lagi gedung SD,” pinta ibu Gradiana.(Robert Fahik/bersambung)


Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (2)
“Satu-satunya Aset yang Kami Miliki Adalah Mading”

Hari masih pagi ketika kami meninggalkan Hotel Nusantara Dua Atambua, Rabu (15/04/2015). “Ini perjalanan hari kedua yang tentunya akan semakin menantang,” ungkap Gusty yang belum mau menyerah di belakang kemudi Toyota Rush yang kami tumpangi. Semangat Gusty terbayarkan dengan pemandangan indah perbukitan yang membentang sepanjang perjalanan kami dari Atambua menuju Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen. Bahkan kami dapat melihat dengan jelas puncak Lakaan, gunung tertinggi di Belu yang dipercaya sebagai asal mula nenek moyang orang Belu. Di kaki gunung itulah tujuan kami. Di sana sudah ada dua staf Kantor Bahasa Prov. NTT, ibu Christin Weking dan mas Salimmuloh Sanubarianto, didampingi staf dari Dinas Pariwisata Kabupaten Belu. Sesungguhnya mereka punya agenda tersendiri yakni perekaman data kebahasaan yang terdapat dalam upacara adat. “Kebetulan kita searah jadi sekalian saja kita singgah melihat upacara adat di sini,” kata pak Luthfi. Hari itu masyarakat suku Ilba yang bermukin di Dusun Lo’okun mengadakan upacara adat panen jagung yang disebut “Pa’ol Sera” dalam bahasa setempat.
Sekitar pukul 10.00 pagi itu, pak Luthfi memutuskan agar kami melanjutkan perjalanan menuju SMPN Satu Atap (Satap) Ekin 2. Ketika itu upacara adat masih terus berlangsung. Namun kami bersyukur karena sudah sedikit melihat dari dekat salah satu warisan leluhur di kampung ini. Tidak terkecuali suguhan kopi dan teh yang menambah hangat suasana.
Perjalanan menuju SMPN Satap Ekin 2 masih seperti perjalanan dari Atambua menuju Dirun. Pemandangan perbukutikan yang indah dengan udara alam yang segar. Lalu lalang kendaraan bermotor yang hampir tidak terlihat. Namun kondisi jalan yang kami hadapi tidak semulus jalan menuju Dirun. Belasan bahkan puluhan kilo meter harus kami lewati tanpa aspal. Hanya bebatuan lepas yang kadang tak mampu menutupi beberapa lubang cukup besar. Namun cuaca cerah sedikit meringankan perjuangan Gusty dalam mengemudikan mobil. Bahkan raut lelah pun hampir tidak terlihat di wajahnya ketika kami beristirahat menikmati alam sambil berfoto di salah satu punggung bukit yang dipadati kacang hijau milik petani.
Lebih dari satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di SMPN Satap Ekin 2, yang terletak di Desa Lamaksenulu, Kecamatan Lamaknen. Kami disambut Wakil Kepala Sekolah, pak Lambert Sira Lebau, S.Ag., guru pendamping mading, ibu Ina da Cunha, S.Pd., sejumlah guru, dan puluhan siswa. “Tujuan kunjungan kami ini adalah pendampingan mading. Kami ingin melihat hasil pelatihan kelas menulis yang sudah kami adakan beberapa waktu lalu. Dan kami bangga bahwa adik-adik terus menulis dan menerbitkan mading. Terima kasih untuk guru-guru yang sudah mendorong para siswa,” tutur pak Luthfi mengawali obrolan santai kami di salah satu ruangan sekolah itu.
Mewakili pihak sekolah, pak Lambert juga mengungkapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT atas kunjungan ini dan atas undangan untuk mengikuti kelas menulis kreatif. Pihak sekolah sangat mendukung langkah ini. “Mading adalah wadah pembelajaran bagai para siswa. Ketika mereka menulis, mereka mengekspresikan diri. Jadi, kita sangat mendukung program ini walau masih terdapat beberapa kendala seperti belum adanya aliran listrik dan penggunaan bahasa daerah yang masih mendominasi ketimbang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” kata pak Lambert.
Obrolan kami terasa makin hangat ketika para siswa diberi kesempatan untuk tampil berbicara di depan. Ada yang menceritakan tentang berita atau feature yang mereka tulis. Ada juga yang membacakan puisinya. Namun yang paling mengaharukan ketika Vebrianti Flaviana Mau, seorang siswa peserta kelas menulis kreatif menceritakan cerpen yang ia tulis. Dengan cukup tenang dan lancar gadis berambut ombak ini menceritakan perpisahannya dengan kedua orangtua kandungnya sebagaimana yang ia tulis dalam cerpennya, “Perginya ayah dan ibu”. Awalnya sang ibu memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dengan alasan mencari kerja dan penghasilan yang layak. Lama tak terdengar kabar, ayahnya pun memutuskan untuk pergi. Namun seperti ibunya, sang ayah pun tidak pernah kembali. Hingga terdengar kabar bahwa keduanya sudah memiliki pasangan hidup yang baru. Vebrianti kini hidup bersama sang nenek dan kedua diknya. “Waktu berganti waktu, minggu berganti minggu. Aku, kedua adikku, dan nenek terus bersabar menunggu ibuku yang katanya mau pulang. Tetapi penantian kami itu hanyalah khayalan belaka. Ternyata Ibu ditangkap oleh polisi, karena passport dikatakan telah habis masa atau waktu alias mati. Aku sangat bersedih mendengar kabar bahwa ibu ditangkap. Akupun menangis,” kisah Vebrianti di tengah isak tangisnya, membuat semua kami terdiam. Bahkan beberapa siswa dan guru meneteskan air mata.
Matahari semakin meninggi ketika kami melanjutkan perjalanan menuju SMPN Turiskain. Jaraknya tidak lebih dari sepuluh kilo meter, namun dengan kondisi jalan yang masih memprihatinkan. Bebatuan. Berluang. Tanjakan. Turunan. “Tapi pemandangan yang indah membuat kita tetap bersemangat,” komentar pak Luthfi.
Di sekolah itu pak Servasius Kali, S.Pd., sudah menunggu kami. Pak Servas yang mendampingi 5 siswa dari sekolah ini ketika mengikuti kelas menulis kreatif di Atambua. Hadir juga Wakil Kepala Sekolah, pak Yunus Manek Lelo, S.Pd., dan beberapa guru, serta 5 siswa peserta kelas menulis kreatif yang menjadi pengurus “Obor Perbatasan” (mading sekolah). Dari pak Sevas dan pak Yunus kami mendapat cerita yang sama seperti cerita ibu Gradiana di Tulatudik. SMPN Turiskain juga merupakan sekolah perintis yang baru memiliki siswa angkatan pertama. Proses belajar mengajar pun masih menggunakan gedung SD. Namun jumlah siswa di sini lebih banyak dari SMPN Tulatudik, yakni lebih dari 70 siswa, dengan jumlah guru sebanyak 18 orang. Karena itu pak Servas jujur mengakui bahwa masih banyak kekurangan yang ada, termasuk penerbitan mading yang masih mengandalkan tulisan tangan siswa. Dana untuk penerbitan mading pun masih menggunakan uang paribadi.
Ungkapan menarik datang dari pak Yunus. Beliau mengatakan bahwa sebagai sekolah baru,  hingga kini sekolah belum memiliki aset apa-apa. “Satu-satunya aset yang kami miliki adalah mading,” tuturnya dengan nada canda. Karena itu beliau mengapresiasi program Kantor Bahasa NTT dan mengharapkan kelanjutan dari program ini. Beliau juga berharap ada dukungan dari pemerintah daerah, misalnya dengan memberikan dana atau fasilitas untuk mading. Kendala-kendala seperti perbendaharaan bahasa dan minimnya literatur bagi siswa, juga diakuinya.
Namun pak Luthfi melihat sisi lain dari kekurangan yang ada. Pertama beliau mengapresiasi semangat yang sudah ditunjukkan siswa dengan terus menulis. Kedua, beliau menegaskan bahwa terbitan mading bisa berupa tulisan tangan, tidak harus dalam bentuk ketikan. “Justru dari keterbatasan akan lahir tulisan yang berkualitas. Cerita-cerita tentang kehidupan di perbatasan yang serba terbatas, terus digali. Lima siswa yang sudah dilatih ini mohon memberi motivasi bagi teman-teman. Kami juga meminta dukungan dari pihak sekolah,” kata pak Luthfi.
Pada kesempatan itu, pak Luthfi juga menyinggung soal gerakan “Indonesia Mengajar” yang dicanangkan Anies Baswedan, jauh sebelum beliau menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Intinya, sekolah perlu melibatkan orang lain (pihak lain) dalam pendidikan. Konkretnya, sekolah bisa mengundang praktisi dalam berbagai bidang seperti kesehatan, pemerintahan, bisnis, pertanian, dan bidang lainnya. Mereka bisa membagi pengalamannya, memberi motivasi bagi siswa, dan memicu imajinasi siswa. “Buatlah sekolah yang menyenangkan. Sekolah sebagai taman yang indah bagi para siswa,” tutur pak Luthfi. Beliau juga memberi motivasi bagi para siswa untuk terus belajar dan tidak berhenti bersekolah. Apalagi sekarang tersedia banyak beasiswa, khususnya untuk Indonesia Timur. “Syaratnya hanya satu, yakni belajar,” tegasnya. Dan menulis sejak sekarang, katanya, merupakan bagian dari belajar itu. Bahkan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling tinggi. Para guru juga diminta untuk terus memberi motivasi bagi siswa lewat penerbitan mading, dan hal-hal lain seperti membentuk kelompok menulis.(Robert Fahik/bersambung)


 
Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (3)
“Kita Belajar dari Hal-hal Sederhana”

Rabu (15/04/2015) sore, setelah menempuh perjalanan panjang dari Atambua ke Dirun, dari Dirun ke SMPN Satap Ekin 2, dan terakhir di SMPN Turiskain, kami pun beristirahat sejenak di rumah pak Yanto, kurang dari sepuluh kilo meter arah Utara SMPN Turiskain. Rumah pak Yanto yang berdiri di antara hamparan sawah penduduk dan jauh dari kebisingan memberi nuansa tersendiri. Kami bisa merebahkan tubuh sejenak, setelah menikmati makan siang. Namun semangat kami belum pupus. Tidak lebih dari dua jam beristirahat, kami memutuskan untuk melanjutkan pendampingan mading di sekolah berikut yakni SMPN 2 Tasifeto Timur (Tastim), tempat pak Yanto mengajar.
Walau sudah di luar jam sekolah, kami mendapat sambutan luar biasa dari sekolah ini. Beberapa siswa mengenakan pakaian rapi, mengalungkan selendang kepada kami tepat di pintu masuk ruang pertemuan itu. Kepala Sekolah, Yosep Klau, S.Pd., Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Siprianus Nasur, S.Pd., guru Bahasa Indonesia, ibu Maria Yudith Rebelo, S.Pd., dan beberapa siswa lainnya menyambut kami. “Sebenarnya banyak siswa yang menunggu sejak siang. Namun karena jarak rumah yang jauh, maka hanya beberapa siswa yang masih ada,” kata pak Yanto, yang rupanya sudan mempersiapkan seremoni penyambutan sederhana ini.
Meski terletak di daerah perbatasan, sebagai sekolah yang sudah berusia lebih dari 10 tahun, SMPN 2 Tastim memang berbeda dari sekolah lain yang pernah kami kunjungi. Papan mading yang ditata begitu apik. Lengkap dengan pintu kaca. Tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk ketikan bahkan ada yang di-print out dengan warna. Rubrikasi mading pun terlihat lebih kaya dan bervariasi. Mereka memberi nama mading ini “Cerdik”: Catatan Elegan Remaja Terdidik. Edisi terbitan mading ini sudah memasuki edisi keempat, bahkan edisi kelima sudah disiapkan. “Tinggal di-print out,” kata pak Yanto. Bahkan gagasan pak Luthfi terkait pembentukkan kelompok menulis, sudah dijalankan di sini.
Benar saja, karena sebenarnya gagasan membentuk mading sekolah sudah dimulai sejak tahun 2001. Namun baru kali ini ada guru tetap bahasa Indonesia, sehingga bisa mendampingi para siswa. Demikian pengakuan pak Siprianus. Secara lebih serius, kata pak Yosep, mading sekolah mulai diterbitkan di tahun 2012. Namun ketika itu, edisinya per semester. Lalu menjadi per tiga bulan. Namun karena satu dan lain hal, terbitan mading sempat macet.
“Kami ucapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT untuk program yang sangat baik ini. Anak-anak kami bisa ikut kelas menulis. Dan kami bangga karena kegiatan yang bagus ini melibatkan anak-anak. Mereka bisa menjadi lebih kreatif. Memang kita harus belajar dari hal-hal sederhana. Ke depan, kita dukung anak-anak untuk berkarya, termasuk rencana untuk penerbitkan buletin sekolah dan penyediaan insentif bagi guru dan siswa yang menulis,” kata pak Yosep.
Pak Yanto yang mendampingi para siswa ketika mengikuti kelas menulis kratif, menjelaskan, pemilihan nama “Elegan” untuk mading sekolah juga mengacu pada arti kata itu sendiri yakni baik. Jadi, mading merupakan wadah yang baik bagi siswa dan guru untuk berekspresi lewat tulisan. Hal-hal yang ditampilkan adalah hal-hal yang baik, dan membangun motivasi. Dukungan dari guru-guru, kata pak Yanto, sejauh ini sudah ada yakni dengan menulis di mading. Namun dukungan dari sekolah, termasuk dari Kantor Bahasa masih sangat diharapkan, terutama penyediaan buku-buku yang bisa melengkapi koleksi buku di perpustakaan sekolah.
“Menulis itu ibarat ibu yang melahirkan bayi. Ada rasa sakit, tapi akhirnya bangga, karena memiliki seorang anak. Prinsip menulis kami, natural menuju ilmiah, dengan menciptakan kemandirian. Mulanya biasa saja, akhirnya jadi luar biasa,” tandas pak Yanto, yang juga merupakan Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan.
Pada kesempatan tersebut, pak Luthfi menyampaikan terima kasih berlimpah kepada pihak sekolah yang sudah memberi dukungan bagi penerbitan mading sekolah. Beliau berharap, apa yang sudah dicapai SMPN 2 Tastim ini bisa menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain, terutama tentang bagaimana membangun minat baca dan tulis di kalangan siswa. Ke depan, katanya, Kantor Bahasa NTT akan terus memberi dukungan termasuk bantuan buku-buku referensi untuk perpustakaan sekolah.
Beliau pun mendukung langkah maju yang sudah dibuat pak Yanto dan guru pendamping lainnya dengan membentuk kelompok penulis. “Dengan adanya kelompok penulis maka siswa akan merasa bertanggung jawab atas penerbitan mading. Dengan itu, mading akan terus terbit sesuai jadwal yang ada, sekaligus ada pengkaderan dalam kelompok. Jadi, yang akan naik kelas bisa menjadi contoh bagi siswa baru nanti,” jelas pak Luthfi sebelum kami meninggalkan SMPN 2 Tastim. Hari itu kami bermalam di rumah pak Yanto.(Robert Fahik/bersambung)


 Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (4)
“Selama Ini Tidak Ada Mading
di Sekolah”

            Kamis (16/04/2015) pagi, udara di Turiskain begitu segar. Setelah menikmati sarapan pagi ditambah kopi ala perbatasan, kami masih sempat mengunjungi Pos Perbatasan Turiskain. Dari tempat ini wilayah Timor Leste jelas terlihat. Hanya dibatasi aliran sungai. Setelah berpose beberapa kali, kami pun bertolak menuju SMPN Sadi, arah kota Atambua. Namun pagi itu pak Yanto masih mengajak kami menikmati teduhnya pepohohan tua yang mengitari sumber air We Bot. Tidak begitu jauh dari sekolah pak Yanto. Sumber air inilah yang mengaliri sawah penduduk. Terdapat beberapa lopo, namun terlihat bahwa pengelolaannya belum begitu maksimal. Rerumputan liar yang menghiasi jalanan, ditambah satu lopo yang miring akibat tiang penyangga yang rapuh.
            Sapaan dan senyuman para pelajar baik SD maupun SMP yang kami jumpai di jalanan pagi itu, rasanya menjadi kado terindah dari Haekesak. Perjalanan menuju SMPN Sadi tiidak kalah jauhnya dengan perjalanan sebelumnya. Namun jalan yang kami lewati tidak separah Tulatudik atau Ekin dan Turiskain. Hanya beberapa kali kami harus memutar arah karena salah alamat, sebelum akhirnya kami tiba di sekolah tujuan. Kami disambut ibu Maria Ermelinda Kolo, S.Pd., yang hari itu mewakili ibu Ani Lau, S.Pd., sebagai pendamping mading yang sedang sakit. Beberapa guru bersama sejumlah siswa juga tampak hadir sebelum akhirnya Kepala Sekolah, Gerardus Berek, S.Pd., menghampiri kami.
            Walau sedikit terlambat datang, Pak Gerardus nampak begitu antusias menyambut kami. Dengan begitu bersemangat beliau mengucapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT dan menyatakan tekad sekolah untuk terus mendukung para siswa dalam menulis, termasuk penerbitan mading. “Sekolah dukung terbitnya mading ini. Supaya ke depan anak-anak lebih kreatif. Sekarang ini minat baca kurang. Kemajuan IPTEK membuat anak-anak lebih banyak nonton TV atau bermain HP. Ke depan kita terus kerja sama supaya anak-anak menulis secara kreatif dan maju, bukan saja mereka yang di redaksi tapi juga teman-teman lain,” kata pak Gerardus.
Beliau juga mengakui bahwa penerbitan mading merupakan pengalaman baru di sekolah. Karena itu berkali-kali beliau mengungkapkan rasa bangga dan terima kasihnya kepada Kantor Bahasa. “Selama ini tidak ada mading di sekolah. Ini hal yang luar biasa. Dan pihak sekolah akan terus mendukung. Mading harus terus hidup,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Yogi, pemimpin redaksi “Bumi” (Berkarya Untuk Meraih Impian), mading sekolah ini. Dikatakan Yogi, pengalaman mengikuti kelas menulis kreatif memberi motivasi bagi mereka untuk belajar menulis. Dirinya dan teman-teman di redaksi sudah mengajak teman-teman lain, namun masih ada yang belum begitu antusias. “Walau kemampuan kami masih kurang, tapi kami akan terus berusaha. Apalagi dengan kunjungan hari ini, kami sangat bangga dan termotivasi,” kata siswa dengan nama lengkap Yogi Bere Tallo ini.
Ungkapan hati Yogi diikuti dengan tampilnya beberapa siswa yang membacakan puisi, cerpen, maupun hasil tulisan lainnya. Seperti di sekolah lainnya, pak Luthfi mengutarakan tujuan kunjungan ini yakni sebagai kesempatan Kantor Bahasa untuk melihat perkembangan menulis anak-anak setelah mengikuti kelas menulis kreatif, sekaligus pendampingan mading. Beliau juga kembali menegaskan komitmen Kantor Bahasa NTT untuk terus mendukung tumbuhnya budaya menulis di kalangan siswa. Hal yang menarik adalah hasil diskusi ringan saya bersama pak Luthfi yakni rencana gerakan menulis buku harian, yang juga diungkapkan beliau. “Buku Harian merupakan sarana berlatih menulis yang paling sederhana. Siswa bisa menuliskan apa saja yang mereka alami. Kalau menulis tiap hari, maka dengan sendirinya kemampuan menulis akan berkembang. Ke depan kami akan agendakan gerakan ini dengan mencetak buku harian bagi para siswa,” jelas pak Luthfi.
Pada kesempatan itu beliau juga kembali meminta dukungan para guru sebagai penggerak bagi siswa dalam menulis. Para guru, tegasnya, bisa menulis di madding bahkan bisa mengirimkan tulisan utuk dimuat di majalah Kantor Bahasa NTT, Loti Basastra, Jurnal Kantor Bahasa NTT, laman Kantor Bahasa NTT, maupun berbagai media massa yang menjadi mitra Kantor Bahasa NTT. “Tulisan para siswa dan guru peserta kelas menulis kreatif akan kita terbitkan dalam bentuk antologi, dan kita kirim ke sekolah,” katanya.
Setelah berbincang beberapa lama dan manikmati suguhan air dan kue, kami pun beranjak dari sekolah itu. Untuk memangkas jarak menuju kota Atambua, kami mencoba tantangan baru dengan menyeberangi sungai Talau. Jalur ini menjadi pilihan masyarakat karena hanya memakan waktu belasan menit menuju Atambua, ketimbang harus menempuh perjalanan berjam-jam melewati jalur lainnya. Namun belum dibagunnya jembatan, mengharuskan masyarakat menyeberangi sungai dengan arusnya yang cukup deras dan kedalaman yang juga menantang. Beberapa masyarakat yang melintasi sungai mengungkapkan bahwa selama ini mereka lebih memilih jalur alternatif ini karena jaraknya yang dekat. Harapan mereka, pemerintah bisa membangun jembatan untuk memudahkan akses masyarakat.(Robert Fahik/bersambung)


Pendampingan Mading Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (5-habis)
“Mereka Juga Pasti Bisa”

Tiga hari perjalanan kami di Belu, sudah enam sekolah kami datangi dengan kisahnya yang unik. Jalanan yang menantang. Pemandangan indah. Aliran listrik yang belum ada. Tapi juga semangat anak-anak perbatasan yang tidak terbatas dalam belajar. Tersisa dua sekolah yang harus kami datangi, yakni SMPN Kinbana dan SMPN Raimanuk. Karena arah lokasi sekolah yang searah dengan perjalanan menuju Kupang, hari itu, Jumat (17/04/2015) pak Yanto tidak lagi menemani kami. Namun kami memutuskan untuk berangkat lebih awal karena kata pak Yanto, jarak ke Raimanuk cukup jauh dan akan lebih menantang.
Maka hari masih pagi ketika kami tiba di SMPN Kinbana, sekitar setengah jam perjalanan dari Atambua. Sekolah ini awalnya tidak disertakan dalam kegiatan, namun dipilih oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Belu untuk menggantikan salah satu sekolah perbatasan yang batal hadir. Ceritanya, peserta dari sekolah tersebut harus menyeberangi sungai untuk bisa ke Atambua. Nah, waktu kelas menulis kreatif diadakan (Februari 2015), sungai itu tidak bisa diseberangi karena arusnya yang deras akibat turun hujan.
Meski sebagai sekolah pengganti, Kepala SMPN Kinbana, ibu Sefrinda Fince, S.Pd., mengaku sangat bangga para siswanya bisa dipercayakan untuk mengikuti kegiatan Kantor Bahasa NTT. Jarak sekolah yang tidak begitu jauh dari jalan umum dan tidak tergolong sekolah daerah perbatasan, tidak membuat ibu Sefrinda untuk mengakui bahwa program Kantor Bahasa NTT sangat memberi warna baru, terutama dalam hal menumbuhkan minat menulis bagi siswa. “Sekolah sangat mendukung dengan menyediakan papan mading. Kami terus mengharapkan dukungan misalnya dilibatkan dalam lomba-lomba terkait menulis. Hal ini bisa menjadi motivasi bagi siswa dan guru,” ungkap ibu Sefrinda.
Sebagai sekolah yang letaknya tidak begitu jauh dari pusat kota, siswa-siswa SMPN Kinbana memang menujukkan kemampuan yang sedikit lebih dibanding siswa di sekolah lain, terutama kemampuan berbicara. Hal ini terlihat ketika saya mengajak para siswa untuk mencoba menulis buku harian, setelah saya menjelaskan beberapa konsep penting. Beberapa siswa bisa menulis secara baik, dan membacakan dengan lantang di depan. Suasana bertambah seru ketika beberapa siswa tampil membawakan puisi dan pantun jenaka.    
Kehangatan suasana di SMPN Kinbana rupanya menjadi bekal tersendiri bagi kami sebelum menghadapi ujian sesungguhnya, yakni perjalanan menuju SMPN Raimanuk, di paunggung gunung Mandeu, salah satu gunung tinggi di Belu selain Lakaan. Benar kata pak Yanto, “Perjalanan ke Raimanuk akan lebih menantang.” Sebenarnya jalan menuju Raimanuk sudah beraspal. Namun pada beberapa ruas, aspalnya rusak. Bahkan Gusty harus berjuang mengendalikan mobil ketika kami melewati tanjakan dan turunan dengan jalan berlubang, ditambah tepi jurang yang menganga. Namun keindahan alam yang terbentang tetap menjadi obat penyejuk hati di tengah terik matahari yang mulai menyalami kami.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dari Kinbana, tibalah kami di SMPN Raimanuk, di Desa Raimanus, Kecamatan Raimanuk. Walau matahari menyengat, namun semangat para siswa tetap terlihat. Dari kunjungan kami di Belu, di sekolah inilah kami berjumpa dengan siswa dalam jumlah besar, selain Wakil Kepala Sekolah, ibu Magdalena Balok, A.Md., guru pendamping mading, pak Romanus Fahik, S.Pd., serta beberapa guru lainnya.
“Kami tidak sangka-sangka hari ini dikunjungi tim dari Kantor Bahasa NTT. Ini membawa harapan bagi kami untuk membuka cakrawala dan mengembangkan diri. Kami bangga. Anak-anak punya potensi tapi belum dikembangkan. Kami yakin, dengan adanya program Kantor Bahasa seperti mading ini, anak-anak dipacu untuk berkembang. Mereka juga pasti bisa,” ungkap ibu Magdalena.
Suasana siang itu terasa lebih cair dengan adanya permainan kecil yang dibuat pak Luthfi. Siswa-siswa diminta untuk membuat gerakan tubuh sesuai arahan. Bagi mereka yang gerakannya tidak tepat, tampil ke depan. Beberapa siswa pun tampil ke depan dan harus menerima hukuman. Tanpa diduga, saya diminta pak Luthfi untuk memberi hukuman. Spontan, saya meraih recorder yang saya bawa dan meminta mereka untuk menyanyikan sebuah lagu, diiringi recorder yang saya mainkan. Ternyata mereka memilih untuk menyanyikan lagu “Oras Loro Malirin”, salah satu lagu daerah Belu. Serentak siswa lain pun ikut bernyanyi. “Ini menandakan bahwa anak-anak di sini masih mengenal budayanya dan kita patut berbangga,” komentar pak Marselinus Hale Asa, S.Pd., salah seorang guru yang juga hadir siang itu. Kisah dua guru SM3T asal Riau yakni Sri Harya Ningsih, S.Pd., dan Ferry Adriansyah, S.Pd., juga menjadi warna lain dalam kunjungan kami.
Kami meninggalkan SMPN Raimanuk sebagai sekolah terakhir yang kami kunjungi dengan hati teduh walau hari masih siang. Di punggung sebuah bukit, kami sempat beristirahat dan menikmati kue pisang yang kami beli dari seorang siswa SD yang melintas di jalan pulang sekolah. Gusty juga menyalakan kompor gas mini yang kami bawa. Tiga mie gelas pun kami habiskan sebagai pengganti makan siang. Pak Luthfi masih sempat menunaikan sholat di alam terbuka, diiringi sepoi-sepoi angin pengunungan sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju Kupang.(Robert Fahik/habis)