Pendampingan Mading Kantor
Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (1)
“Tulis
Saja Apa yang Kalian Bisa”
Bulan Februari 2015, Kantor
Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengadakan Kelas Menulis Kreatif Anak
Perbatasan di Kabupaten Belu. Kegiatan ini melibatkan 40 siswa Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dari berbagai sekolah, dan 8 guru pendamping. Para peserta dibagi
menjadi 2 kelompok yakni Kelas Menulis Cerpen, yang didampingi Sastrawan asal
Jawa Timur, Bonari Nabonenar, dan Kelas Jurnalistik yang didampingi Sastrawan/Jurnalis
NTT, Robert Fahik, M.Si. Sebagai kelanjutan dari kegiatan tersebut, selama empat
hari (Selasa, 14/04 – Jumat, 17/04/2015), Kantor Bahasa Prov. NTT mengadakan
Pendampingan Majalah Dinding (mading) dengan mengunjungi 8 sekolah (SMP) di
daerah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) – Republik
Demokratik Timor Leste (RDTL), Kabupaten Belu. Tim yang terdiri dari Kepala
Kantor Bahasa Prov. NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., Staf Kantor Bahasa
Prov. NTT, Agustinus Dara Kura, dan Sastrawan/Jurnalis muda NTT, Robert Fahik,
menyusuri lorong-lorong daerah perbatasan, menjumpai para siswa dan para guru.
Bagaimana kisah perjalanan mereka?
Simak laporan Robert Fahik
berikut ini.
Terik mentari
terasa menyengat ketika kami tiba di SMPN Silawan, Selasa (14/04/2015), padahal
waktu belum genap pukul 11.00. Pak Yanuarius Wadan, S.Pd., koordinator
guru-guru pendamping Mading SMP Perbatasan yang menemani kami tak
henti-hentinya memberi semangat. Kami disambut ibu Retno Nur Halima, S.Pd., dan
pak Adi Amfotis, S.Pd., keduanya merupakan guru pendamping mading di sekolah
tersebut. Walau kami tidak sempat bertemu Kepala sekolah dan para guru lainnya,
kehadiran lima siswa pengurus mading sudah sangat berarti. Kepala Kantor Bahasa
Prov. NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., pun mengungkapkan rasa bangganya,
“Kantor Bahasa merasa bangga karena pelatihan menulis yang kami berikan
beberapa waktu lalu tidak sia-sia. Mudah-mudahan semangat ini tetap ada.
Adik-adik tetap menulis walau tidak ada pendampingan dari kami. Kemampuan
menulis ini terus dilatih, sehingga ketika jadi mahasiswa nanti adik-adik tidak
kesulitan dalam menulis.”
Pada
kesempatan itu, beberapa siswa tampil menceritakan tulisannya, termasuk Yoseph
Bau Dasi, salah seorang siswa yang dipercayakan sebagai pemimpin redaksi “Matriks”
(mading sekolah). Yoseph juga menyampaikan terima kasih kepada Kantor Bahasa
NTT yang sudah memberi kesempatan bagi mereka untuk belajar menulis. “Terima
kasih kepada Kantor Bahasa NTT karena kami sudah diberi ilmu dan pengalaman
untuk bisa menulis. Setelah ikut pelatihan menulis di Atambua, kami terus
belajar dan mencoba mengajak teman-teman lain,” kata Yoseph.
Saya yang
hadir sebagai narasumber hanya memberi beberapa catatan berdasarkan “Matriks”
edisi terbaru yang dipajang di sekolah. Beberapa kreatifitas yang sudah ada saya
apresiasi, seperti ditampilkannya artikel tamu dan berita foto. Saya juga
memberi motivasi bagi para guru dan siswa untuk mengasah keterampilan menulis
dengan terus menulis. “Diupayakan agar mading ini terus terbit secara berkala.
Para guru bisa tetap dampingi adik-adik, dan kalau ada tulisan siswa atau guru
yang dianggap bagus bisa kirim ke kami di Kupang untuk dipublikasikan di koran atau
majalah yang ada.”
Siang itu kami
meninggalkan SMPN Silawan dengan kepala tegak. Karena kunjungan pertama ini
boleh mendapat respon luar biasa dari guru dan siswa yang ada. Kami juga
terkesan dengan cerita ibu Retno tentang perjuangannya mendampingi siswa-siswa
dalam menerbitkan mading sekolah. Guru SM3T (Sarjana Megajar di daerah 3T:
Terdepan, Terluar, Tertinggal) ini mengisahkan bahwa di tengah keterbatasan
yang ada, dirinya terus memberi dorongan bagi para siswa untuk menulis. Ia
bahkan rela mengeluarkan uang pribadi, misalnya untuk membeli jajan bagi para
siswa yang mempersiapkan penerbitan mading. “Beberapa kendala yang masih ada,
seperti anak-anak sering telat dalam mengumpulkan tulisan. Kami juga kesulitan
dalam mencari literatur karena sekolah belum punya perpusatakaan. Tapi saya
coba terus memberi mereka semangat. Tulis saja apa yang kalian bisa,” kisahnya.
Dari Silawan
kami bertolak menuju SMPN Tulatudik, di Desa Derok Faturene, Kecamatan Tasifeto
Barat. Medan yang tidak begitu bersahabat. Jalanan berbatu. Kadang terdapat
endapan lumpur, sisa hujan beberapa hari sebelumnya. Namun matahari yang kian
merendah ke ufuk Timur turut meneduhkan hati kami. Kami pun tiba di sebuah
gedung sekolah dasar sekitar pukul 15.00 sore. Ternyata salah satu ruang kelas
dari gedung inilah yang digunakan para guru dan siswa untuk belajar, karena
mereka belum punya gedung sendiri. Para siswa yang menyambut kami pun ternyata
merupakan siswa angkatan pertama dari sekolah ini. Jumlah keseluruhan siswa 15
orang. Lima di antaranya yang menyambut kami sore itu bersama guru pendamping,
ibu Gradiana Abuk, S.Pd. Lima siswa ini merupakan siswa peserta Kelas Menulis
Kreatif. Seperti para guru dan siswa di Silawan, ibu Gradiana bersama 5 siswa
ini pun menyambut kami dengan wajah berseri walau hari sudah sore. Seragam
sekolah yang masih melekat di tubuh menjadi bukti keseriusan mereka dalam
mengejar ilmu. Sebuah pemandangan yang serentak mengingatkan kami akan kisah
Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi. “Ini laskar pelangi dari Tulatudik,” kata
pak Yanto.
“Sekolah ini
baru berdiri tahun 2014. Ada Sembilan guru terdiri dari 2 guru PNS dan 7 guru
honor. Tapi yang menetap di sini hanya 3 guru termasuk saya. Guru lainnya
tinggal di Atambua dan hanya datang kalau ada jam mengajar. Itu pun kadang ada
yang tidak datang. Mungkin karena kondisi jalan yang parah. Biaya ojek ke sini
juga sekitar 20 ribu. Tapi saya masih bertahan karena semangat anak-anak luar
biasa,” kata ibu Gradiana.
Ibu Gradiana
pun berkisah panjang lebar tentang suka-duka mendampingi anak-anak di sekolah
perintis ini. Diakuinya, mading terbitan mereka hanya bisa dipublikasikan dalam
bentuk tulisan tangan, karena memang belum ada aliran listrik di daerah ini.
Media yang digunakan pun seadanya yakni salah satu papan tulis. Namun ia tetap
membimbing dan memberi motivasi bagi para siswa. Terkait kendala lain yang
dihadapi, dirinya mengatakan bahwa anak-anak masih kesulitan dalam berbahasa
Indonesia secara baik dan benar. Karena itu, para siswa selalu didorong untuk
membaca berbagai referensi yang ada di sekolah, meski belum begitu lengkap.
Seperti
kunjungan di sekolah sebelumnya, saya dan pak Luthfi memberi motivasi dan
catatan-catatan penting tentang proses belajar menulis khususnya lewat media
mading di sekolah. Para siswa juga diberi kesempatan untuk bercerita tentang
tulisan mereka yang dimuat di mading sekolah. Walau terbata-bata, namun mereka
tetap menunjukkan semangat dan rasa ingin tahu yang besar. “Untuk bisa menulis
secara baik, seringlah menulis. Dilatih setiap hari. Dan jangan sampai mading
ini hanya terbit sampai satu atau dua bulan,” pesan pak Luthfi.
Ada yang
menarik sebelum kami meninggalkan ibu Gradiana dan 5 laskar pelangi dari
Tulatudik. Mereka masih sempat mengajak kami untuk mampir di gedung sekolah
mereka yang sementara dibangun, tidak begitu jauh dari gedung “sekolah
sementara” mereka. Dibangun atas kerja sama Kemitraan Pendidikan Australia –
Indonesia, gedung sekolah ini terdiri dari bangunan pernamen dengan 6 ruang
belajar, perpustakaan, kantor, kamar mandi/WC, ruang guru, dan lapangan basket
ditambah halaman yang cukup luas untuk dijadikan taman atau arena belajar luar
kelas bagi siswa. Pembangunan gedung ini sudah dimulai sejak tahun 2014 dan
direncanakan selesai tahun 2015. “Kami berharap tahun ajaran baru nanti gedung
ini sudah bisa digunakan sehingga kami tidak harus pinjam lagi gedung SD,”
pinta ibu Gradiana.(Robert
Fahik/bersambung)
Pendampingan Mading
Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (2)
“Satu-satunya Aset yang Kami Miliki Adalah Mading”
Hari masih
pagi ketika kami meninggalkan Hotel Nusantara Dua Atambua, Rabu (15/04/2015).
“Ini perjalanan hari kedua yang tentunya akan semakin menantang,” ungkap Gusty
yang belum mau menyerah di belakang kemudi Toyota Rush yang kami tumpangi.
Semangat Gusty terbayarkan dengan pemandangan indah perbukitan yang membentang
sepanjang perjalanan kami dari Atambua menuju Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen.
Bahkan kami dapat melihat dengan jelas puncak Lakaan, gunung tertinggi di Belu
yang dipercaya sebagai asal mula nenek moyang orang Belu. Di kaki gunung itulah
tujuan kami. Di sana sudah ada dua staf Kantor Bahasa Prov. NTT, ibu Christin
Weking dan mas Salimmuloh Sanubarianto, didampingi staf dari Dinas Pariwisata
Kabupaten Belu. Sesungguhnya mereka punya agenda tersendiri yakni perekaman
data kebahasaan yang terdapat dalam upacara adat. “Kebetulan kita searah jadi
sekalian saja kita singgah melihat upacara adat di sini,” kata pak Luthfi. Hari
itu masyarakat suku Ilba yang bermukin di Dusun Lo’okun mengadakan upacara adat
panen jagung yang disebut “Pa’ol Sera” dalam bahasa setempat.
Sekitar pukul
10.00 pagi itu, pak Luthfi memutuskan agar kami melanjutkan perjalanan menuju
SMPN Satu Atap (Satap) Ekin 2. Ketika itu upacara adat masih terus berlangsung.
Namun kami bersyukur karena sudah sedikit melihat dari dekat salah satu warisan
leluhur di kampung ini. Tidak terkecuali suguhan kopi dan teh yang menambah
hangat suasana.
Perjalanan
menuju SMPN Satap Ekin 2 masih seperti perjalanan dari Atambua menuju Dirun.
Pemandangan perbukutikan yang indah dengan udara alam yang segar. Lalu lalang
kendaraan bermotor yang hampir tidak terlihat. Namun kondisi jalan yang kami
hadapi tidak semulus jalan menuju Dirun. Belasan bahkan puluhan kilo meter
harus kami lewati tanpa aspal. Hanya bebatuan lepas yang kadang tak mampu
menutupi beberapa lubang cukup besar. Namun cuaca cerah sedikit meringankan
perjuangan Gusty dalam mengemudikan mobil. Bahkan raut lelah pun hampir tidak
terlihat di wajahnya ketika kami beristirahat menikmati alam sambil berfoto di
salah satu punggung bukit yang dipadati kacang hijau milik petani.
Lebih dari
satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di SMPN Satap Ekin 2, yang terletak di
Desa Lamaksenulu, Kecamatan Lamaknen. Kami disambut Wakil Kepala Sekolah, pak
Lambert Sira Lebau, S.Ag., guru pendamping mading, ibu Ina da Cunha, S.Pd.,
sejumlah guru, dan puluhan siswa. “Tujuan kunjungan kami ini adalah
pendampingan mading. Kami ingin melihat hasil pelatihan kelas menulis yang
sudah kami adakan beberapa waktu lalu. Dan kami bangga bahwa adik-adik terus
menulis dan menerbitkan mading. Terima kasih untuk guru-guru yang sudah
mendorong para siswa,” tutur pak Luthfi mengawali obrolan santai kami di salah
satu ruangan sekolah itu.
Mewakili pihak
sekolah, pak Lambert juga mengungkapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT
atas kunjungan ini dan atas undangan untuk mengikuti kelas menulis kreatif.
Pihak sekolah sangat mendukung langkah ini. “Mading adalah wadah pembelajaran
bagai para siswa. Ketika mereka menulis, mereka mengekspresikan diri. Jadi,
kita sangat mendukung program ini walau masih terdapat beberapa kendala seperti
belum adanya aliran listrik dan penggunaan bahasa daerah yang masih mendominasi
ketimbang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” kata pak Lambert.
Obrolan kami
terasa makin hangat ketika para siswa diberi kesempatan untuk tampil berbicara
di depan. Ada yang menceritakan tentang berita atau feature yang mereka tulis.
Ada juga yang membacakan puisinya. Namun yang paling mengaharukan ketika
Vebrianti Flaviana Mau, seorang siswa peserta kelas menulis kreatif
menceritakan cerpen yang ia tulis. Dengan cukup tenang dan lancar gadis
berambut ombak ini menceritakan perpisahannya dengan kedua orangtua kandungnya
sebagaimana yang ia tulis dalam cerpennya, “Perginya ayah dan ibu”. Awalnya
sang ibu memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dengan alasan mencari
kerja dan penghasilan yang layak. Lama tak terdengar kabar, ayahnya pun
memutuskan untuk pergi. Namun seperti ibunya, sang ayah pun tidak pernah
kembali. Hingga terdengar kabar bahwa keduanya sudah memiliki pasangan hidup
yang baru. Vebrianti kini hidup bersama sang nenek dan kedua diknya. “Waktu
berganti waktu, minggu berganti minggu. Aku, kedua adikku, dan nenek terus
bersabar menunggu ibuku yang katanya mau pulang. Tetapi penantian kami itu
hanyalah khayalan belaka. Ternyata Ibu ditangkap oleh polisi, karena passport
dikatakan telah habis masa atau waktu alias mati. Aku sangat bersedih mendengar
kabar bahwa ibu ditangkap. Akupun menangis,” kisah Vebrianti di tengah isak
tangisnya, membuat semua kami terdiam. Bahkan beberapa siswa dan guru
meneteskan air mata.
Matahari
semakin meninggi ketika kami melanjutkan perjalanan menuju SMPN Turiskain.
Jaraknya tidak lebih dari sepuluh kilo meter, namun dengan kondisi jalan yang
masih memprihatinkan. Bebatuan. Berluang. Tanjakan. Turunan. “Tapi pemandangan
yang indah membuat kita tetap bersemangat,” komentar pak Luthfi.
Di sekolah itu
pak Servasius Kali, S.Pd., sudah menunggu kami. Pak Servas yang mendampingi 5
siswa dari sekolah ini ketika mengikuti kelas menulis kreatif di Atambua. Hadir
juga Wakil Kepala Sekolah, pak Yunus Manek Lelo, S.Pd., dan beberapa guru,
serta 5 siswa peserta kelas menulis kreatif yang menjadi pengurus “Obor
Perbatasan” (mading sekolah). Dari pak Sevas dan pak Yunus kami mendapat cerita
yang sama seperti cerita ibu Gradiana di Tulatudik. SMPN Turiskain juga
merupakan sekolah perintis yang baru memiliki siswa angkatan pertama. Proses
belajar mengajar pun masih menggunakan gedung SD. Namun jumlah siswa di sini
lebih banyak dari SMPN Tulatudik, yakni lebih dari 70 siswa, dengan jumlah guru
sebanyak 18 orang. Karena itu pak Servas jujur mengakui bahwa masih banyak
kekurangan yang ada, termasuk penerbitan mading yang masih mengandalkan tulisan
tangan siswa. Dana untuk penerbitan mading pun masih menggunakan uang paribadi.
Ungkapan
menarik datang dari pak Yunus. Beliau mengatakan bahwa sebagai sekolah
baru, hingga kini sekolah belum memiliki
aset apa-apa. “Satu-satunya aset yang kami miliki adalah mading,” tuturnya
dengan nada canda. Karena itu beliau mengapresiasi program Kantor Bahasa NTT
dan mengharapkan kelanjutan dari program ini. Beliau juga berharap ada dukungan
dari pemerintah daerah, misalnya dengan memberikan dana atau fasilitas untuk
mading. Kendala-kendala seperti perbendaharaan bahasa dan minimnya literatur
bagi siswa, juga diakuinya.
Namun pak
Luthfi melihat sisi lain dari kekurangan yang ada. Pertama beliau mengapresiasi
semangat yang sudah ditunjukkan siswa dengan terus menulis. Kedua, beliau
menegaskan bahwa terbitan mading bisa berupa tulisan tangan, tidak harus dalam
bentuk ketikan. “Justru dari keterbatasan akan lahir tulisan yang berkualitas.
Cerita-cerita tentang kehidupan di perbatasan yang serba terbatas, terus
digali. Lima siswa yang sudah dilatih ini mohon memberi motivasi bagi
teman-teman. Kami juga meminta dukungan dari pihak sekolah,” kata pak Luthfi.
Pada
kesempatan itu, pak Luthfi juga menyinggung soal gerakan “Indonesia Mengajar”
yang dicanangkan Anies Baswedan, jauh sebelum beliau menjabat Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI. Intinya, sekolah perlu melibatkan orang lain
(pihak lain) dalam pendidikan. Konkretnya, sekolah bisa mengundang praktisi
dalam berbagai bidang seperti kesehatan, pemerintahan, bisnis, pertanian, dan bidang
lainnya. Mereka bisa membagi pengalamannya, memberi motivasi bagi siswa, dan
memicu imajinasi siswa. “Buatlah sekolah yang menyenangkan. Sekolah sebagai
taman yang indah bagi para siswa,” tutur pak Luthfi. Beliau juga memberi
motivasi bagi para siswa untuk terus belajar dan tidak berhenti bersekolah.
Apalagi sekarang tersedia banyak beasiswa, khususnya untuk Indonesia Timur.
“Syaratnya hanya satu, yakni belajar,” tegasnya. Dan menulis sejak sekarang,
katanya, merupakan bagian dari belajar itu. Bahkan menulis merupakan keterampilan
berbahasa yang paling tinggi. Para guru juga diminta untuk terus memberi
motivasi bagi siswa lewat penerbitan mading, dan hal-hal lain seperti membentuk
kelompok menulis.(Robert
Fahik/bersambung)
Pendampingan Mading
Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (3)
“Kita Belajar dari Hal-hal Sederhana”
Rabu
(15/04/2015) sore, setelah menempuh perjalanan panjang dari Atambua ke Dirun,
dari Dirun ke SMPN Satap Ekin 2, dan terakhir di SMPN Turiskain, kami pun
beristirahat sejenak di rumah pak Yanto, kurang dari sepuluh kilo meter arah
Utara SMPN Turiskain. Rumah pak Yanto yang berdiri di antara hamparan sawah
penduduk dan jauh dari kebisingan memberi nuansa tersendiri. Kami bisa
merebahkan tubuh sejenak, setelah menikmati makan siang. Namun semangat kami
belum pupus. Tidak lebih dari dua jam beristirahat, kami memutuskan untuk
melanjutkan pendampingan mading di sekolah berikut yakni SMPN 2 Tasifeto Timur
(Tastim), tempat pak Yanto mengajar.
Walau
sudah di luar jam sekolah, kami mendapat sambutan luar biasa dari sekolah ini.
Beberapa siswa mengenakan pakaian rapi, mengalungkan selendang kepada kami
tepat di pintu masuk ruang pertemuan itu. Kepala Sekolah, Yosep Klau, S.Pd.,
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Siprianus Nasur, S.Pd., guru Bahasa
Indonesia, ibu Maria Yudith Rebelo, S.Pd., dan beberapa siswa lainnya menyambut
kami. “Sebenarnya banyak siswa yang menunggu sejak siang. Namun karena jarak
rumah yang jauh, maka hanya beberapa siswa yang masih ada,” kata pak Yanto,
yang rupanya sudan mempersiapkan seremoni penyambutan sederhana ini.
Meski
terletak di daerah perbatasan, sebagai sekolah yang sudah berusia lebih dari 10
tahun, SMPN 2 Tastim memang berbeda dari sekolah lain yang pernah kami
kunjungi. Papan mading yang ditata begitu apik. Lengkap dengan pintu kaca.
Tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk ketikan bahkan ada yang di-print out dengan warna. Rubrikasi mading
pun terlihat lebih kaya dan bervariasi. Mereka memberi nama mading ini
“Cerdik”: Catatan Elegan Remaja Terdidik. Edisi terbitan mading ini sudah
memasuki edisi keempat, bahkan edisi kelima sudah disiapkan. “Tinggal di-print out,” kata pak Yanto. Bahkan
gagasan pak Luthfi terkait pembentukkan kelompok menulis, sudah dijalankan di
sini.
Benar saja,
karena sebenarnya gagasan membentuk mading sekolah sudah dimulai sejak tahun
2001. Namun baru kali ini ada guru tetap bahasa Indonesia, sehingga bisa
mendampingi para siswa. Demikian pengakuan pak Siprianus. Secara lebih serius,
kata pak Yosep, mading sekolah mulai diterbitkan di tahun 2012. Namun ketika
itu, edisinya per semester. Lalu menjadi per tiga bulan. Namun karena satu dan
lain hal, terbitan mading sempat macet.
“Kami ucapkan
terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT untuk program yang sangat baik ini.
Anak-anak kami bisa ikut kelas menulis. Dan kami bangga karena kegiatan yang
bagus ini melibatkan anak-anak. Mereka bisa menjadi lebih kreatif. Memang kita
harus belajar dari hal-hal sederhana. Ke depan, kita dukung anak-anak untuk
berkarya, termasuk rencana untuk penerbitkan buletin sekolah dan penyediaan
insentif bagi guru dan siswa yang menulis,” kata pak Yosep.
Pak Yanto yang
mendampingi para siswa ketika mengikuti kelas menulis kratif, menjelaskan,
pemilihan nama “Elegan” untuk mading sekolah juga mengacu pada arti kata itu
sendiri yakni baik. Jadi, mading merupakan wadah yang baik bagi siswa dan guru
untuk berekspresi lewat tulisan. Hal-hal yang ditampilkan adalah hal-hal yang
baik, dan membangun motivasi. Dukungan dari guru-guru, kata pak Yanto, sejauh
ini sudah ada yakni dengan menulis di mading. Namun dukungan dari sekolah,
termasuk dari Kantor Bahasa masih sangat diharapkan, terutama penyediaan
buku-buku yang bisa melengkapi koleksi buku di perpustakaan sekolah.
“Menulis itu
ibarat ibu yang melahirkan bayi. Ada rasa sakit, tapi akhirnya bangga, karena
memiliki seorang anak. Prinsip menulis kami, natural menuju ilmiah, dengan
menciptakan kemandirian. Mulanya biasa saja, akhirnya jadi luar biasa,” tandas
pak Yanto, yang juga merupakan Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan.
Pada
kesempatan tersebut, pak Luthfi menyampaikan terima kasih berlimpah kepada
pihak sekolah yang sudah memberi dukungan bagi penerbitan mading sekolah.
Beliau berharap, apa yang sudah dicapai SMPN 2 Tastim ini bisa menjadi contoh
bagi sekolah-sekolah lain, terutama tentang bagaimana membangun minat baca dan
tulis di kalangan siswa. Ke depan, katanya, Kantor Bahasa NTT akan terus
memberi dukungan termasuk bantuan buku-buku referensi untuk perpustakaan
sekolah.
Beliau pun
mendukung langkah maju yang sudah dibuat pak Yanto dan guru pendamping lainnya
dengan membentuk kelompok penulis. “Dengan adanya kelompok penulis maka siswa
akan merasa bertanggung jawab atas penerbitan mading. Dengan itu, mading akan
terus terbit sesuai jadwal yang ada, sekaligus ada pengkaderan dalam kelompok.
Jadi, yang akan naik kelas bisa menjadi contoh bagi siswa baru nanti,” jelas
pak Luthfi sebelum kami meninggalkan SMPN 2 Tastim. Hari itu kami bermalam di
rumah pak Yanto.(Robert
Fahik/bersambung)
Pendampingan Mading
Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (4)
“Selama Ini Tidak Ada Mading
di Sekolah”
Kamis
(16/04/2015) pagi, udara di Turiskain begitu segar. Setelah menikmati sarapan
pagi ditambah kopi ala perbatasan, kami masih sempat mengunjungi Pos Perbatasan
Turiskain. Dari tempat ini wilayah Timor Leste jelas terlihat. Hanya dibatasi
aliran sungai. Setelah berpose beberapa kali, kami pun bertolak menuju SMPN
Sadi, arah kota Atambua. Namun pagi itu pak Yanto masih mengajak kami menikmati
teduhnya pepohohan tua yang mengitari sumber air We Bot. Tidak begitu jauh dari
sekolah pak Yanto. Sumber air inilah yang mengaliri sawah penduduk. Terdapat
beberapa lopo, namun terlihat bahwa pengelolaannya belum begitu maksimal.
Rerumputan liar yang menghiasi jalanan, ditambah satu lopo yang miring akibat
tiang penyangga yang rapuh.
Sapaan
dan senyuman para pelajar baik SD maupun SMP yang kami jumpai di jalanan pagi
itu, rasanya menjadi kado terindah dari Haekesak. Perjalanan menuju SMPN Sadi
tiidak kalah jauhnya dengan perjalanan sebelumnya. Namun jalan yang kami lewati
tidak separah Tulatudik atau Ekin dan Turiskain. Hanya beberapa kali kami harus
memutar arah karena salah alamat, sebelum akhirnya kami tiba di sekolah tujuan.
Kami disambut ibu Maria Ermelinda Kolo, S.Pd., yang hari itu mewakili ibu Ani
Lau, S.Pd., sebagai pendamping mading yang sedang sakit. Beberapa guru bersama
sejumlah siswa juga tampak hadir sebelum akhirnya Kepala Sekolah, Gerardus
Berek, S.Pd., menghampiri kami.
Walau
sedikit terlambat datang, Pak Gerardus nampak begitu antusias menyambut kami.
Dengan begitu bersemangat beliau mengucapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa
NTT dan menyatakan tekad sekolah untuk terus mendukung para siswa dalam
menulis, termasuk penerbitan mading. “Sekolah dukung terbitnya mading ini.
Supaya ke depan anak-anak lebih kreatif. Sekarang ini minat baca kurang.
Kemajuan IPTEK membuat anak-anak lebih banyak nonton TV atau bermain HP. Ke
depan kita terus kerja sama supaya anak-anak menulis secara kreatif dan maju,
bukan saja mereka yang di redaksi tapi juga teman-teman lain,” kata pak
Gerardus.
Beliau juga
mengakui bahwa penerbitan mading merupakan pengalaman baru di sekolah. Karena
itu berkali-kali beliau mengungkapkan rasa bangga dan terima kasihnya kepada
Kantor Bahasa. “Selama ini tidak ada mading di sekolah. Ini hal yang luar
biasa. Dan pihak sekolah akan terus mendukung. Mading harus terus hidup,”
tegasnya.
Hal senada
diungkapkan Yogi, pemimpin redaksi “Bumi” (Berkarya Untuk Meraih Impian),
mading sekolah ini. Dikatakan Yogi, pengalaman mengikuti kelas menulis kreatif
memberi motivasi bagi mereka untuk belajar menulis. Dirinya dan teman-teman di
redaksi sudah mengajak teman-teman lain, namun masih ada yang belum begitu
antusias. “Walau kemampuan kami masih kurang, tapi kami akan terus berusaha.
Apalagi dengan kunjungan hari ini, kami sangat bangga dan termotivasi,” kata
siswa dengan nama lengkap Yogi Bere Tallo ini.
Ungkapan hati
Yogi diikuti dengan tampilnya beberapa siswa yang membacakan puisi, cerpen,
maupun hasil tulisan lainnya. Seperti di sekolah lainnya, pak Luthfi
mengutarakan tujuan kunjungan ini yakni sebagai kesempatan Kantor Bahasa untuk
melihat perkembangan menulis anak-anak setelah mengikuti kelas menulis kreatif,
sekaligus pendampingan mading. Beliau juga kembali menegaskan komitmen Kantor
Bahasa NTT untuk terus mendukung tumbuhnya budaya menulis di kalangan siswa.
Hal yang menarik adalah hasil diskusi ringan saya bersama pak Luthfi yakni
rencana gerakan menulis buku harian, yang juga diungkapkan beliau. “Buku Harian
merupakan sarana berlatih menulis yang paling sederhana. Siswa bisa menuliskan
apa saja yang mereka alami. Kalau menulis tiap hari, maka dengan sendirinya
kemampuan menulis akan berkembang. Ke depan kami akan agendakan gerakan ini
dengan mencetak buku harian bagi para siswa,” jelas pak Luthfi.
Pada
kesempatan itu beliau juga kembali meminta dukungan para guru sebagai penggerak
bagi siswa dalam menulis. Para guru, tegasnya, bisa menulis di madding bahkan
bisa mengirimkan tulisan utuk dimuat di majalah Kantor Bahasa NTT, Loti
Basastra, Jurnal Kantor Bahasa NTT, laman Kantor Bahasa NTT, maupun berbagai
media massa yang menjadi mitra Kantor Bahasa NTT. “Tulisan para siswa dan guru
peserta kelas menulis kreatif akan kita terbitkan dalam bentuk antologi, dan
kita kirim ke sekolah,” katanya.
Setelah
berbincang beberapa lama dan manikmati suguhan air dan kue, kami pun beranjak
dari sekolah itu. Untuk memangkas jarak menuju kota Atambua, kami mencoba
tantangan baru dengan menyeberangi sungai Talau. Jalur ini menjadi pilihan
masyarakat karena hanya memakan waktu belasan menit menuju Atambua, ketimbang
harus menempuh perjalanan berjam-jam melewati jalur lainnya. Namun belum
dibagunnya jembatan, mengharuskan masyarakat menyeberangi sungai dengan arusnya
yang cukup deras dan kedalaman yang juga menantang. Beberapa masyarakat yang
melintasi sungai mengungkapkan bahwa selama ini mereka lebih memilih jalur
alternatif ini karena jaraknya yang dekat. Harapan mereka, pemerintah bisa
membangun jembatan untuk memudahkan akses masyarakat.(Robert Fahik/bersambung)
Pendampingan Mading
Kantor Bahasa Prov. NTT di Sekolah Perbatasan NKRI – RDTL (5-habis)
“Mereka Juga Pasti Bisa”
Tiga hari
perjalanan kami di Belu, sudah enam sekolah kami datangi dengan kisahnya yang
unik. Jalanan yang menantang. Pemandangan indah. Aliran listrik yang belum ada.
Tapi juga semangat anak-anak perbatasan yang tidak terbatas dalam belajar. Tersisa
dua sekolah yang harus kami datangi, yakni SMPN Kinbana dan SMPN Raimanuk.
Karena arah lokasi sekolah yang searah dengan perjalanan menuju Kupang, hari
itu, Jumat (17/04/2015) pak Yanto tidak lagi menemani kami. Namun kami
memutuskan untuk berangkat lebih awal karena kata pak Yanto, jarak ke Raimanuk
cukup jauh dan akan lebih menantang.
Maka hari
masih pagi ketika kami tiba di SMPN Kinbana, sekitar setengah jam perjalanan
dari Atambua. Sekolah ini awalnya tidak disertakan dalam kegiatan, namun
dipilih oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Belu untuk menggantikan salah satu
sekolah perbatasan yang batal hadir. Ceritanya, peserta dari sekolah tersebut
harus menyeberangi sungai untuk bisa ke Atambua. Nah, waktu kelas menulis
kreatif diadakan (Februari 2015), sungai itu tidak bisa diseberangi karena
arusnya yang deras akibat turun hujan.
Meski sebagai
sekolah pengganti, Kepala SMPN Kinbana, ibu Sefrinda Fince, S.Pd., mengaku
sangat bangga para siswanya bisa dipercayakan untuk mengikuti kegiatan Kantor
Bahasa NTT. Jarak sekolah yang tidak begitu jauh dari jalan umum dan tidak
tergolong sekolah daerah perbatasan, tidak membuat ibu Sefrinda untuk mengakui
bahwa program Kantor Bahasa NTT sangat memberi warna baru, terutama dalam hal
menumbuhkan minat menulis bagi siswa. “Sekolah sangat mendukung dengan
menyediakan papan mading. Kami terus mengharapkan dukungan misalnya dilibatkan
dalam lomba-lomba terkait menulis. Hal ini bisa menjadi motivasi bagi siswa dan
guru,” ungkap ibu Sefrinda.
Sebagai
sekolah yang letaknya tidak begitu jauh dari pusat kota, siswa-siswa SMPN
Kinbana memang menujukkan kemampuan yang sedikit lebih dibanding siswa di
sekolah lain, terutama kemampuan berbicara. Hal ini terlihat ketika saya
mengajak para siswa untuk mencoba menulis buku harian, setelah saya menjelaskan
beberapa konsep penting. Beberapa siswa bisa menulis secara baik, dan
membacakan dengan lantang di depan. Suasana bertambah seru ketika beberapa
siswa tampil membawakan puisi dan pantun jenaka.
Kehangatan
suasana di SMPN Kinbana rupanya menjadi bekal tersendiri bagi kami sebelum
menghadapi ujian sesungguhnya, yakni perjalanan menuju SMPN Raimanuk, di
paunggung gunung Mandeu, salah satu gunung tinggi di Belu selain Lakaan. Benar
kata pak Yanto, “Perjalanan ke Raimanuk akan lebih menantang.” Sebenarnya jalan
menuju Raimanuk sudah beraspal. Namun pada beberapa ruas, aspalnya rusak.
Bahkan Gusty harus berjuang mengendalikan mobil ketika kami melewati tanjakan
dan turunan dengan jalan berlubang, ditambah tepi jurang yang menganga. Namun
keindahan alam yang terbentang tetap menjadi obat penyejuk hati di tengah terik
matahari yang mulai menyalami kami.
Setelah
menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dari Kinbana, tibalah kami di SMPN
Raimanuk, di Desa Raimanus, Kecamatan Raimanuk. Walau matahari menyengat, namun
semangat para siswa tetap terlihat. Dari kunjungan kami di Belu, di sekolah
inilah kami berjumpa dengan siswa dalam jumlah besar, selain Wakil Kepala
Sekolah, ibu Magdalena Balok, A.Md., guru pendamping mading, pak Romanus Fahik,
S.Pd., serta beberapa guru lainnya.
“Kami tidak
sangka-sangka hari ini dikunjungi tim dari Kantor Bahasa NTT. Ini membawa
harapan bagi kami untuk membuka cakrawala dan mengembangkan diri. Kami bangga.
Anak-anak punya potensi tapi belum dikembangkan. Kami yakin, dengan adanya
program Kantor Bahasa seperti mading ini, anak-anak dipacu untuk berkembang.
Mereka juga pasti bisa,” ungkap ibu Magdalena.
Suasana siang
itu terasa lebih cair dengan adanya permainan kecil yang dibuat pak Luthfi.
Siswa-siswa diminta untuk membuat gerakan tubuh sesuai arahan. Bagi mereka yang
gerakannya tidak tepat, tampil ke depan. Beberapa siswa pun tampil ke depan dan
harus menerima hukuman. Tanpa diduga, saya diminta pak Luthfi untuk memberi
hukuman. Spontan, saya meraih recorder yang saya bawa dan meminta mereka untuk
menyanyikan sebuah lagu, diiringi recorder yang saya mainkan. Ternyata mereka
memilih untuk menyanyikan lagu “Oras Loro Malirin”, salah satu lagu daerah
Belu. Serentak siswa lain pun ikut bernyanyi. “Ini menandakan bahwa anak-anak
di sini masih mengenal budayanya dan kita patut berbangga,” komentar pak
Marselinus Hale Asa, S.Pd., salah seorang guru yang juga hadir siang itu. Kisah
dua guru SM3T asal Riau yakni Sri Harya Ningsih, S.Pd., dan Ferry Adriansyah,
S.Pd., juga menjadi warna lain dalam kunjungan kami.
Kami
meninggalkan SMPN Raimanuk sebagai sekolah terakhir yang kami kunjungi dengan
hati teduh walau hari masih siang. Di punggung sebuah bukit, kami sempat
beristirahat dan menikmati kue pisang yang kami beli dari seorang siswa SD yang
melintas di jalan pulang sekolah. Gusty juga menyalakan kompor gas mini yang
kami bawa. Tiga mie gelas pun kami habiskan sebagai pengganti makan siang. Pak
Luthfi masih sempat menunaikan sholat di alam terbuka, diiringi sepoi-sepoi
angin pengunungan sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju Kupang.(Robert Fahik/habis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar