Demikian kisah Buang Sine kepada tim Loti Basastra beberapa waktu lalu, terkait bagaimana ia membagi
waktu untuk menulis dan melukis di tengah tugasnya sebagai anggota polisi. Pria
kelahiran Kupang, 30 Juni 1967 yang kini bertugas di Polda NTT ini memang
dikenal juga sebagai penulis dan pelukis. Kemampuan menulis dan melukis yang ia
tekuni menjadikan sosok yang murah senyum ini berbeda dengan anggota polisi
umumnya.
Di kalangan akademisi, pemerhati sastra (dan seni), atau
pembaca pada umumya, banyak yang mungkin tak menyangka bahwa penulis novel dan
pelukis yang satu ini sebenarnya adalah anggota polisi. Sebaliknya barangkali
tidak sedikit anggota polisi yang tak mengira bahwa di antara mereka (polisi)
ternyata ada seorang penulis dan pelukis dengan talenta yang luar biasa. Namun
itulah seorang Buang Sine. Pemilik nama lengkap Simon Junior Buang Sine ini
benar-benar polisi, sekaligus sungguh-sungguh penulis dan pelukis yang tak
diragukan lagi kompetensinya.
Dalam tugasnya sebagai polisi, Yohanes Sehandi dalam bukunya Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015)
mencatat sejumlah prestasi yang ditorehkan suami Louisa Afriany Nakmans ini,
seperti membongkar kasus pembunuhan Maria Tuto Lewar di Larantuka, Flores Timur
(1990), membongkar kasus pembunuhan Yohakim Atamaran di Larantuka (2007), dan
membongkar kasus pembunuhan Paulus Usnaat di Kefamenanu, TTU (2008). Tidak
hanya itu, Buang juga aktif dalam menuntaskan kasus lainnya seperti pembunuhan
Romo Faustin Segar, Pr., di Bajawa, Ngada (2009), pembunuhan Yohakim Langoday
di Lembata (2009), serta pembunuhan Deviyanto Nurdin bin Yusuf di Maumere,
Sikka (2010).
Pencapaian yang luar biasa serta aneka pengalaman seorang
Buang dalam kariernya sebagai polisi ternyata tidak luput dari sebuah proses
kreatif. Ayah dari Doni Herman Sine dan Cornelia Sofia Sine ini menuangkan
berbagai kisah serta pemikiran dalam bentuk tulisan yang bisa berbicara kepada
siapa saja, kapan saja, di mana saja. Hingga kini, Buang sudah menerbitkan tiga
novel yang luar biasa yakni Dua Malam
Bersama Lucifer (Yogyakarta: Andi, 2012), Petualangan Bersama Malaikat Jibrail (Yogyakarta: Andi, 2013), dan Polisi Sampah (Yogyakarta: Smart
Writing, 2015) – selain sebuah buku biografi.
Menulis dan melukis; sebuah proses
Buang mengakui, kemampuan menulis tidak datang begitu saja.
Proses awal ia mulai sejak di bangku kelas 2 SMA Kristen 1 Kupang. Ia terus
belajar menulis, sambil tak henti-hentinya “berguru” pada tokoh-tokoh yang
menginspirasinya seperti
Leo Tolstoy, Anton Chekov dan Ernest Hemingway. Tahun 2001 merupakan debutnya
dalam publikasi tulisan di media massa.
“Saya menulis puisi
pertama yang dimuat di Pos Kupang dan juga cerpen berjudul Hama Belalang tahun
2001,” kisahnya.
Selain menulis,
polisi yang satu ini juga gemar
melukis, khususnya melukis
karikatur. Kemampuan melukis
diakuinya sudah ada sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD GMIT Kuanino III
Kupang. Namun, saat kelas 2 SMP barulah ia memenangi lomba melukis se kota Kupang dalam
rangka hari Reformasi. Kemudian, tuturnya, kemampuan itu terus berkembang dan ia sempat menjuarai lomba pembuatan poster hari HIV/AIDS sedunia tahun 2006.
Buang juga yang menciptakan logo atau lambang Polda NTT.
“Tahun 2002-2004
menjadi karikaturis di Harian
Umum Pos Kupang. 2005-2009 menjadi karikaturis di Harian Umum Timor Ekspres. Dan saat ini aktif mengisi rubrik di harian
Victory News bertajuk Wawancara Detektif Otak Miring dengan Bung Pena,”
jelasnya.
Panggilan menulis dan melukis
Menurut Buang Sine, menulis dan melukis adalah pekerjaan mencipta. Kita mencipta yang tidak ada menjadi ada. Menciptakan puisi, menciptakan cerpen, menciptakan novel
dan menciptakan gambar. Proses mencipta ini adalah hakekat yang harus
dimiliki manusia. Seperti Tuhan juga adalah pencipta manusia, langit dan alam semesta. Jadi, betapa bahagianya
kita bisa menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Itulah yang bisa dikerjakan dalam dunia
menulis dan melukis. Dunia menulis dan melukis membawa banyak manfaat. Bahkan dapat
mensejahterakan bagi sang penulis atau pelukis itu sendiri. Salah satu contoh penulis yang kini telah
menjadi miliarder adalah J.K Rowling, penulis novel Harry Potter yang terkenal dan mendunia. Kini novel-novelnya
diangkat ke layar lebar dan menjadi box office.
Pemikiran serta keyakinan seperti itulah yang terus menggelora
dalam diri seorang Buang untuk menjadikan menulis dan melukis sebagai sebuah
panggilan serentak sisi lain dari profesi sebagai polisi. Meski demikian, ada
saja tantangan serta kesulitan yang dihadapai. Untuk dunia menulis,
kata Buang, pernah ada naskah karyanya ditolak beberapa kali oleh penerbit. Hal ini membuatnya hampir putus asa. Tetapi dirinya menyadari bahwa penolakkan naskah itu ada
alasannya, sehingga ia memperbaiki
naskah itu dari penggunaan kata, tanda baca, kalimat dan ide cerita, sehingga pada tahun
2011 naskahnya berjudul Dua
Malam Bersama Lucifer diterima penerbit Andi Yogyakarta dan diterbitkan.
“Sedangkan
hambatan dalam hal melukis adalah ketiadaan peralatan melukis di kota Kupang
dan harus dipesan dari luar kota seperti di Jakarta atau Surabaya. Sebab, untuk melukis atau
membuat karikatur harus menggunakan cat atau pensil khusus agar kualitasnya
bagus. Inilah
hambatannya,” tuturnya.
Sekalipun ada hambatan, Buang terus mengepakkan sayapnya
dalam menulis dan melukis. Karena itu ia mengajak generasi muda untuk menjadi
pemuda-pemudi yang kreatif. Sebab,
katanya, hanya orang kreatif sajalah
yang akan menjadi terdepan.
“Tulis dan
tulislah karena suatu saat kalian akan menjadi penulis besar. Ingat kata-kata
orang bijak; orang yang tidak
dapat menulis ibarat kera yang berbaju. Maukah kita dianggap kera yang berbaju? Jika tidak, mulailah menulis dan jadilah penulis
besar. Kembangkanlah
kemampuan melukismu sebab dunia melukis sangat dihargai di
dunia. Picasso, Rembrandt, Leonardo da Vinci menjadi terkenal karena
melukis. Berkaryalah selagi muda,” tutur alumnus SMPN Kupang ini.
Buang Sine melihat
dunia menulis sastra di NTT sudah semakin berkembang. Sudah banyak kemajuan. Hal ini ditandai
dengan bermunculan penulis-penulis muda yang potensial dengan karya-karya
puisi, cerpen
dan novel yang berkualitas.
Namun, menurutnya perkambangan yang ada perlu didukung dengan
budaya literasi (membaca dan menulis) yang kuat dalam masyarakat NTT yang note
bene masih sangat kental dengan budaya tutur (lisan). Untuk menggalakkan kecintaan masyarakat NTT khususnya generasi muda dalam mencintai budaya menulis, kata
buang, harus dibuatkan sebuah
peraturan wajib membaca buku bagi seluruh pelajar SD, SMP dan SMP juga kepada kaum dewasa. Sebab dengan membaca
maka akan memacu kita untuk menulis. Banyak orang menjadi penulis terkenal karena
berawal dari membaca.
“Jadi, budaya membaca harus
digalakkan di NTT untuk menciptakan penulis-penulis berkualitas di masa yang
akan datang. Wajib membaca minimal dua buku sehari harus diundangkan oleh pemerintah NTT,” pintanya.
Di tengah kesibukan sebagai anggota polisi dan pengembangan
menulis dan melukisnya, Buang masih menyimpan sebuah harapan besar. Dalam dunia menulis, tidak tanggung-tanggung, polisi berpangkat AIPTU ini ingin mendapatkan hadiah Nobel Sastra.
“Dan perjuangan ke
arah sana sedang saya lakukan dengan menulis novel Cerita
Sang Angin dan Percakapan Dengan Orang Gila. Dua novel ini saya
fokuskan untuk dapat meraih nobel sastra dunia. Sedangkan untuk dunia melukis khususnya karikatur, saya akan mendirikan warung karikatur di kota Kupang dan sebagai
karikaturis pertama di NTT,” ungkapnya.(Robert Fahik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar