Minggu, 20 Desember 2015

Buang Sine: Polisi, Penulis, Pelukis


 Saya melakukan proses menulis pada dini hari. Sekitar jam 4 pagi. Ketika suasana hening. Sehingga tidak mengganggu aktifitas saya sebagai seorang polisi. Menggambar karikatur dapat dilakukan kapan saja karena hanya memakan waktu sepuluh atau dua puluh menit. Dan itu bisa saya kerjakan di mana saja pada sore atau subuh. Sehingga tidak mengganggu aktifitas saya sebagai polisi merampung berbagai berkas kasus pembunuhan yang sedang saya tangani.

Demikian kisah Buang Sine kepada tim Loti Basastra beberapa waktu lalu, terkait bagaimana ia membagi waktu untuk menulis dan melukis di tengah tugasnya sebagai anggota polisi. Pria kelahiran Kupang, 30 Juni 1967 yang kini bertugas di Polda NTT ini memang dikenal juga sebagai penulis dan pelukis. Kemampuan menulis dan melukis yang ia tekuni menjadikan sosok yang murah senyum ini berbeda dengan anggota polisi umumnya.

Di kalangan akademisi, pemerhati sastra (dan seni), atau pembaca pada umumya, banyak yang mungkin tak menyangka bahwa penulis novel dan pelukis yang satu ini sebenarnya adalah anggota polisi. Sebaliknya barangkali tidak sedikit anggota polisi yang tak mengira bahwa di antara mereka (polisi) ternyata ada seorang penulis dan pelukis dengan talenta yang luar biasa. Namun itulah seorang Buang Sine. Pemilik nama lengkap Simon Junior Buang Sine ini benar-benar polisi, sekaligus sungguh-sungguh penulis dan pelukis yang tak diragukan lagi kompetensinya.

Dalam tugasnya sebagai polisi, Yohanes Sehandi dalam bukunya Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) mencatat sejumlah prestasi yang ditorehkan suami Louisa Afriany Nakmans ini, seperti membongkar kasus pembunuhan Maria Tuto Lewar di Larantuka, Flores Timur (1990), membongkar kasus pembunuhan Yohakim Atamaran di Larantuka (2007), dan membongkar kasus pembunuhan Paulus Usnaat di Kefamenanu, TTU (2008). Tidak hanya itu, Buang juga aktif dalam menuntaskan kasus lainnya seperti pembunuhan Romo Faustin Segar, Pr., di Bajawa, Ngada (2009), pembunuhan Yohakim Langoday di Lembata (2009), serta pembunuhan Deviyanto Nurdin bin Yusuf di Maumere, Sikka (2010).

Pencapaian yang luar biasa serta aneka pengalaman seorang Buang dalam kariernya sebagai polisi ternyata tidak luput dari sebuah proses kreatif. Ayah dari Doni Herman Sine dan Cornelia Sofia Sine ini menuangkan berbagai kisah serta pemikiran dalam bentuk tulisan yang bisa berbicara kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja. Hingga kini, Buang sudah menerbitkan tiga novel yang luar biasa yakni Dua Malam Bersama Lucifer (Yogyakarta: Andi, 2012), Petualangan Bersama Malaikat Jibrail (Yogyakarta: Andi, 2013), dan Polisi Sampah (Yogyakarta: Smart Writing, 2015) – selain sebuah buku biografi.

Menulis dan melukis; sebuah proses

Buang mengakui, kemampuan menulis tidak datang begitu saja. Proses awal ia mulai sejak di bangku kelas 2 SMA Kristen 1 Kupang. Ia terus belajar menulis, sambil tak henti-hentinya “berguru” pada tokoh-tokoh yang menginspirasinya seperti  Leo Tolstoy, Anton Chekov dan Ernest Hemingway. Tahun 2001 merupakan debutnya dalam publikasi tulisan di media massa.

“Saya menulis puisi pertama yang dimuat di Pos Kupang dan juga cerpen berjudul Hama Belalang tahun 2001,” kisahnya.

Selain menulis, polisi yang satu ini juga gemar melukis, khususnya melukis karikatur. Kemampuan melukis diakuinya sudah ada sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD GMIT Kuanino III Kupang. Namun, saat kelas 2 SMP barulah ia memenangi lomba melukis se kota Kupang dalam rangka hari Reformasi. Kemudian, tuturnya, kemampuan itu terus berkembang dan ia sempat menjuarai lomba pembuatan  poster hari HIV/AIDS sedunia tahun 2006. Buang juga yang menciptakan logo atau lambang Polda NTT.

Tahun 2002-2004 menjadi karikaturis di Harian Umum Pos Kupang. 2005-2009 menjadi karikaturis di Harian Umum Timor Ekspres. Dan saat ini aktif mengisi rubrik di harian Victory News bertajuk Wawancara Detektif Otak Miring dengan Bung Pena,” jelasnya.

Panggilan menulis dan melukis

Menurut Buang Sine, menulis dan melukis adalah pekerjaan mencipta. Kita mencipta yang tidak ada menjadi ada. Menciptakan puisi, menciptakan cerpen, menciptakan novel dan menciptakan gambar. Proses mencipta ini adalah hakekat yang harus dimiliki manusia. Seperti Tuhan juga adalah pencipta manusia, langit dan alam semesta. Jadi, betapa bahagianya kita bisa menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Itulah yang bisa dikerjakan dalam dunia menulis dan melukis. Dunia menulis dan melukis membawa banyak manfaat. Bahkan dapat mensejahterakan bagi sang penulis atau pelukis itu sendiri. Salah satu contoh penulis yang kini telah menjadi miliarder adalah J.K Rowling, penulis novel Harry Potter yang terkenal dan mendunia. Kini novel-novelnya diangkat ke layar lebar dan menjadi box office.

Pemikiran serta keyakinan seperti itulah yang terus menggelora dalam diri seorang Buang untuk menjadikan menulis dan melukis sebagai sebuah panggilan serentak sisi lain dari profesi sebagai polisi. Meski demikian, ada saja tantangan serta kesulitan yang dihadapai. Untuk dunia menulis, kata Buang, pernah ada naskah karyanya ditolak beberapa kali oleh penerbit. Hal ini membuatnya hampir putus asa. Tetapi dirinya menyadari bahwa penolakkan naskah itu ada alasannya, sehingga ia memperbaiki naskah itu dari penggunaan kata, tanda baca, kalimat dan ide cerita, sehingga pada tahun 2011 naskahnya berjudul Dua Malam Bersama Lucifer diterima penerbit Andi Yogyakarta dan diterbitkan.

Sedangkan hambatan dalam hal melukis adalah ketiadaan peralatan melukis di kota Kupang dan harus dipesan dari luar kota seperti di Jakarta atau Surabaya. Sebab, untuk melukis atau membuat karikatur harus menggunakan cat atau pensil khusus agar kualitasnya bagus. Inilah hambatannya,” tuturnya.

Sekalipun ada hambatan, Buang terus mengepakkan sayapnya dalam menulis dan melukis. Karena itu ia mengajak generasi muda untuk menjadi pemuda-pemudi yang kreatif. Sebab, katanya, hanya orang kreatif sajalah yang akan menjadi terdepan.

Tulis dan tulislah karena suatu saat kalian akan menjadi penulis besar. Ingat kata-kata orang bijak; orang yang tidak dapat menulis ibarat kera yang berbaju. Maukah kita dianggap kera yang berbaju? Jika tidak, mulailah menulis dan jadilah penulis besar. Kembangkanlah kemampuan melukismu sebab dunia melukis sangat dihargai di dunia. Picasso, Rembrandt, Leonardo da Vinci menjadi terkenal karena melukis. Berkaryalah selagi muda,” tutur alumnus SMPN Kupang ini.
 
Undang-undang wajib membaca

Buang Sine melihat dunia menulis sastra di NTT sudah semakin berkembang. Sudah banyak kemajuan. Hal ini ditandai dengan bermunculan penulis-penulis muda yang potensial dengan karya-karya puisi, cerpen dan novel yang berkualitas.

Namun, menurutnya perkambangan yang ada perlu didukung dengan budaya literasi (membaca dan menulis) yang kuat dalam masyarakat NTT yang note bene masih sangat kental dengan budaya tutur (lisan). Untuk menggalakkan kecintaan masyarakat NTT khususnya generasi muda dalam mencintai budaya menulis, kata buang, harus dibuatkan sebuah peraturan wajib membaca buku bagi seluruh pelajar SD, SMP dan SMP juga kepada kaum dewasa. Sebab dengan membaca maka akan memacu kita untuk menulis. Banyak orang menjadi penulis terkenal karena berawal dari membaca.

Jadi, budaya membaca harus digalakkan di NTT untuk menciptakan penulis-penulis berkualitas di masa yang akan datang. Wajib membaca minimal dua buku sehari harus diundangkan oleh pemerintah NTT,” pintanya.

Di tengah kesibukan sebagai anggota polisi dan pengembangan menulis dan melukisnya, Buang masih menyimpan sebuah harapan besar. Dalam dunia menulis, tidak tanggung-tanggung, polisi berpangkat AIPTU ini ingin mendapatkan hadiah Nobel Sastra.

Dan perjuangan ke arah sana sedang saya lakukan dengan menulis novel Cerita Sang Angin dan Percakapan Dengan Orang Gila. Dua novel ini saya fokuskan untuk dapat meraih nobel sastra dunia. Sedangkan untuk dunia melukis khususnya karikatur, saya akan mendirikan warung karikatur di kota Kupang dan sebagai karikaturis pertama di NTT,” ungkapnya.(Robert Fahik)

 

*) tulisan ini dimuat dalam Majalah Bahasa dan Sastra, "Loti Basastra" (diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ) edisi Desember 2015

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar