Minggu, 20 Desember 2015

16 Juni Hari Sastra NTT



Gerson Poyk: Tokoh Sastra NTT 2015
 

Sambil tersenyum, sastrawan Gerson Poyk melambaikan tangannya kepada ratusan peserta Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT yang memadati aula utama Universitas Flores - Ende, Jumat (9/10/2015) pagi. Putra NTT kelahiran Ba’a, Rote Ndao, 16 Juni 1931 ini didaulat ke depan untuk menerima penghargaan dari Kantor Bahasa NTT sebagai Tokoh Sastra NTT tahun 2015. Penganugerahan Tokoh Sastra NTT tahun 2015 dilakukan secara langsung oleh Kepala Kantor Bahasa NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A.

“Jangan dilihat nominalnya. Angka sepuluh juta rupiah tentu tidak sebanding dengan apa yang sudah dipersembahkan pak Gerson untuk NTT. Sejauh ini Kantor Bahasa sangat mengapresiasi penulis-penulis NTT yang sudah turut membangun daerah ini lewat karya-karyanya. Dan pak Gerson sebagai perintis sastra NTT kami nilai sebagai sosok yang tepat untuk menerima penghargaan sebagai tokoh sastra. Harapan kami, sastra NTT terus berkembang dari waktu ke waktu,” kata Baihaqi sesaat sebelum menyerahkan plakat Tokoh Sastra NTT tahun 2015 kepada Gerson Poyk.     

Penobatan Gerson Poyk sebagai Tokoh Sastra NTT tahun 2015, terasa kian sempurna dengan ditetapkannya tanggal 16 Juni (tanggal kelahiran Gerson Poyk) sebagai Hari Sastra NTT (tertuang dalam Rekomendasi Temu II Satrawan NTT – ditandatangani oleh sejumlah tokoh). Ini tentunya sangat beralasan. Sudah lebih dari setengah abad yang lalu, pemilik nama lengkap Gerson Gubertus Poyk ini membawa nama NTT ke tingkat nasional bahkan internasional lewat sastra.

Mengacu pada hasil penelusuran Yohanes Sehandi (dituangkan dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT), tahun 1961 merupakan awal Gerson Poyk terjun ke dunia publikasi karya sastra. Hal ini terjadi ketika majalah Sastra Edisi Tahun I, Nomor 6, Oktober 1961, memuat cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah”. Bahkan di tahun yang sama, cerpen tersebut dianugerahi sebagai cerpen terbaik dan mendapat hadiah dari majalah Sastra. Atas alasan ini, Sehandi kemudian menyebut Gerson Poyk sebagai “Perintis Sastra NTT”, karena dialah orang NTT pertama yang menulis dan  mempublikasikan karya sastra di media massa.

Gerson ternyata tidak hanya menjadi orang pertama NTT yang menulis di media massa. Sejak tahu 1964 ketika buku (novel) pertamanya terbit, Gerson terus menghasilkan karya sastra yang berkualitas sambil tetap memberi warna yang khas di setiap karyanya. Tahun itu (1964) BPK Gunung Mulia Jakarta menerbitkan novel Hari-Hari Pertama sebagai karya pertama Gerson Poyk yang terbit dalam bentuk buku. Sejak saat itu pena Gerson terus menari. Dalam rentang waktu dari tahun 1964 sampai tahun 2014, tercatat 27 judul buku karya Gerson Poyk yang sudah diterbitkan. Dua puluh tujuh judul itu terdiri dari berbagai genre sastra seperti puisi, cerpen, novelet, dan novel serta liputan jurnalistik. Yohanes Sehandi bahkan mengakui bahwa angka 27 judul itu baru sekitar 2/3 karya Gerson Poyk, masih sekitar 1/3 karya beliau yang belum ditemukan dan perlu terus ditelusuri. Pada waktu ditanyakan, beliau sendiri tidk ingat lagi jumlah karya sastra yang telah diterbitkan (Sehandi, 2015). 

Gerson Poyk tidak saja luar biasa dari segi kuantitas karya tulis. Kualitas tulisan mantan guru (di Ternate dan Bima) dan jurnalis (wartawan Sinar Harapan) ini tak perlu diragukan lagi. Gerson Poyk pernah meraih hadiah hiburan dari majalah Sastra pada tahun 1962 dengan cerpen “Mutiara di Tengah Sawah”. Cerpennya “Oleng-Kemoleng” mendapat pujian majalah sastra Horison sebagai cerpen yang dinominasi untuk merih hadian majalah itu pada tahun 1968. Tahun 1985 dan 1986 ia berturut-turut memenangkan hadiah Adinegoro atas laporannya di majalah Sarinah, hadiah tertinggi dalam bidang jurnalistik. Tahun 1989 ia mendapat SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Kerajaan Thailand. Ia juga pernah mendapat penghargaan dari Haria Kompas untuk kesetiaannya selama puluhan tahun menulis karya sastra (Kaki Langit 133/Januari 2008, dalam majalah sastra Horison edisi Januari 2008). Tahun 2011 Gerson juga menerima Anugerah Kebudayaan dari Presiden SBY karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya. Kemudian tahun 2012 ia mendapat penghargaan NTT Academia Award untuk kategori Sastra dan Humaniora (Sehandi, 2015).     

Selain menerima berbagai penghargaan di bidang sastra dan jurnalistik, Gerson juga pernah terlibat dalam beberapa kegiatan bertaraf internasional. Akhir tahun 1982, ia menghadiri Seminar Sastra di India. Sebelumnya pada tahun 1970 – 1971 Gerson menjadi sastrawan pertama dari Indonesia yang mengikuti International Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa, Amerika Serikat (Sehandi, 2015).

Tentang pengalamannya di Amerika, dalam wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende (10/10/2015), beliau menceritakan ketika itu ada orang dari Amerika yang datang ke Jakarta. Mereka bertemu di redaksi majalah Horison. Waktu itu ada dua nama yang diminta yakni Gerson Poyk dan Taufiq Ismail. Namun Gerson-lah yang pertama berangkat. Peserta waktu itu 30 orang dari seluruh dunia, dan mayoritas adalah para doktor.

“Saya bermimpi ada anak NTT yang bisa ke sana lagi. Ikut program itu. Syaratnya ringan. Punya buku. Lalu menulis lamaran ke sana,” tutur Gerson yang mengaku selama di Amerika menulis novelnya Sang Guru.

Menulis: pengembaraan pikiran

Bagi Gerson Poyk, menulis itu merupakan pengembaraan pikiran. Pengembaran Jiwa. Kita (manusia) seperti masuk ke kota aneh dengan rasa terasing. Tetapi dengan demikian, kita berjuang melalui integrasi antara logika, perasaan, dan sebagainya.

“Harus dari dalam. Intuisi kreatif. Bandingkan dengan bacaan dari seluruh dunia. Kita punya sikap tersendiri. Macam-macam filosofi di otak. Otak itu kebun, penuh dengan tanaman-tanaman. Karena itu, di samping menulis, belajar banyak. Baca buku, supaya tulisan bermutu,” ungkap Gerson.  

Membaca bagi Gerson menjadi modal yang sangat penting bagi seorang penulis. Karena itu ia berpesan kepada generasi muda khususnya untuk mencintai buku dan memiliki gairah tinggi dalam membaca buku.

“Ketika melihat buku, yang berat sekalipun, harus katakan; ‘lu harus masuk ke otak gue.’ Harus serius itu,” tegasnya.

Penegasan Gerson mencerminkan pengalaman hidupnya sendiri. Sejak masa kecil ia sudah akrab dengan buku. Bahkan ketika bekerja di kebun, kisahnya, ia meluangkan waktu untuk membaca. Gerson masih ingat betul bacaannya waktu itu yakni sejarah Napoleon dan kisah tragis orang-orang Kristen yang dibuang ke kandang singa.

Di usianya yang sudah 84 tahun, Gerson masih terus berkarya lewat tulisan (kolumnis majalah Leader) dan berjuang mewujudkan mimpinya yang belum tercapai. Dirinya mengaku ingin mendirikan sanggar di Kupang, seperti yang pernah ia buat baik di Surabaya maupun di Jakarta. Saat ini ia juga tengah menyiapkan sebuah teater bertajuk “Maromak Oan, Kaisar Timor.”

Gerson juga sedang menggarap sebuah buku yang memuat esai-esai politik tentang terorisme (akan diterbitkan Kompas). Ada juga buku sastra, Seutas Benang Cinta. “Saya mau bikin stream of consciousness. Semacam esai tapi berayun-ayun dengan kalimat sastra. Banyak di otak saya. Arus kesadaran. Tidak ada tokoh tapi renungan. Semacam monolog,” jelasnya.

Ibu: inspirasi besar

Menurut Gerson Poyk, proses kreatif itu dilandasi momen-momen kunci (pengalamann tak terlupakan) yang mengiringi proses penciptaan. Proses kreatif itu selalu berjalan seiring dengan usia pengarang, sejak ia kanak-kanak hingga dewasa, dan saat ia menulis karya tertentu, momen kunci itulah yang bekerja secara kreatif dengan menggali pegalama masa lampau (Kaki Langit 133/Januari 2008).

Karya-karya Gerson Poyk memang tidak terlepas dari sejarah hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang ia alami. Pemikiran dan ide yang berkeliaran. Dan tentunya latar atau warna khas NTT yang tak pernah luput dari ruang imajinasi sang sastrawan. 

            Namun ternyata di balik semuanya itu ada satu sosok yang tidak banyak diketahui pembaca Gerson. Sosok itu adalah sang ibu. Baginya, ibu adalah inspirasi besar dalam hidup dan karyanya. Ibu adalah falsafah untu segala-galanya. Perempuan yang menderita tapi penuh dengan cinta kasih.
          “Waktu bapa nganggur, kita nebeng di rumah keluarga. Tapi mama kerja sama keluarga. Mama gendong bayi. Menyanyi. Nyanyi… Bau do… Lama-lama anak itu tidur, kita dikasi nasi, makan. Kadang-kadang saya nangis kalau ingat mama saya,” tuturnya lirih. (Robert Fahik)


 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
Kapan Pertama Kali Gerson Poyk Menulis di Media Massa?
 
Ada yang menarik dari wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende, Sabtu (10/10/2015). Beliau mengungkapkan bahwa tahun 1955 ketika bersekolah di SGA Kristen Surabaya, untuk pertama kalinya tulisan beliau terbit di media massa. Tulisan tersebut adalah sebuah puisi berjudul “Anak Karang” – kemudian baru menyusul puisi-puisi lain, dimuat di Mimbar Indonesia.
“Waktu itu saya menghebohkan orang-orang Surabaya. Karena waktu itu Mimbar Indonesia selalu memuat puisi satu halaman setiap hari. Dan itu nama-nama besar seperti Sitor Situmorang, Iwan Simatupang. Waktu tulisan saya masuk ke koran itu, teman-teman di Surabaya beri hormat sama saya. Kata mereka, kapan kita bisa kayak Gerson,” kisah Gerson Poyk sambil tertawa kecil. Pria 84 tahun ini bahkan masih hafal betul lirik puisi yang ditulisnya enam puluh tahun silam itu.
“Bea. Di tepi sini gubuk dan karang. Sekali pernah mama bilang. Cerita beta cerita kau. Bertulis di tanah berselang karang… Kira-kira begitu. Jadi angin muson itu kadang-kadang membikin kurang subur. Kita punya musin itu kadang muson. Tapi jangan takut. Kalau padi dan jagung tidak ada masih ada pohon lontar, gula. Kira-kira begitu maksud saya,” jelasnya.
Cerita Gerson Poyk ternyata sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, bahwa Gerson Poyk banyak menulis puisi di beberapa media massa yang terbit di Surabaya saat ia mengikuti pendidikannya di SGA Kristen di kota itu (1955 – 1956). Salah satu puisinya dijadikan judul buku Anak Karang, pertama kali dimuat H. B. Jasin di majalah Mimbar Indonesia (Kaki Langit 133/Januari 2008).   
Di sisi lain meski menyebut cerpen Mutiara di Tengah Sawah (1961) sebagai karya pertama Gerson yang terbit di media massa – sesuai data otentik yang diperolehnya, Sehandi (2015) juga mengakui bahwa dari sejumlah sumber, ia mendapatkan informasi bahwa Gerson Poyk sudah mulai menulis sastra di media massa sebelum tahun 1961. Disebutkan sejumlah media yang memuat karya Gerson, yakni Mimbar Indonesia, Tjerita, dan Sastra.
“Hanya sayangnya, saya hanya menemukan data otentik karya Gerson Poyk pada majalah Sastra (1961), sedangkan pada Mimbar Indonesia dan Tjerita tidak ditemukan data otentiknya berupa judul karya sastra, jenis karya sastra, dan nomor edisi bulan dan tahun terbit karya Gerson Poyk tersebut,” tulis Sehandi dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015).
Jadi, kapan pertama kali Gerson Poyk menulis di media massa? Tentunya butuh penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan kebenarannya. Data otentik tentang puisi “Anak Karang” yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia tahun 1955, misalnya, perlu ditemukan. Untuk mencapai hal ini butuh kerja sama serta kerja keras segenap pencinta Sastra NTT. (Robert Fahik)
 
*) tulisan ini dimuat dalam Majalah Bahasa dan Sastra, "Loti Basastra" (diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ) edisi Desember 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar