Gerson Poyk: Tokoh Sastra NTT 2015
Sambil tersenyum, sastrawan Gerson Poyk melambaikan tangannya kepada ratusan peserta Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT yang memadati aula utama Universitas Flores - Ende, Jumat (9/10/2015) pagi. Putra NTT kelahiran Ba’a, Rote Ndao, 16 Juni 1931 ini didaulat ke depan untuk menerima penghargaan dari Kantor Bahasa NTT sebagai Tokoh Sastra NTT tahun 2015. Penganugerahan Tokoh Sastra NTT tahun 2015 dilakukan secara langsung oleh Kepala Kantor Bahasa NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A.
“Jangan dilihat
nominalnya. Angka sepuluh juta rupiah tentu tidak sebanding dengan apa yang
sudah dipersembahkan pak Gerson untuk NTT. Sejauh ini Kantor Bahasa sangat
mengapresiasi penulis-penulis NTT yang sudah turut membangun daerah ini lewat
karya-karyanya. Dan pak Gerson sebagai perintis sastra NTT kami nilai sebagai
sosok yang tepat untuk menerima penghargaan sebagai tokoh sastra. Harapan kami,
sastra NTT terus berkembang dari waktu ke waktu,” kata Baihaqi sesaat sebelum
menyerahkan plakat Tokoh Sastra NTT tahun 2015 kepada Gerson Poyk.
Penobatan Gerson Poyk
sebagai Tokoh Sastra NTT tahun 2015, terasa kian sempurna dengan ditetapkannya tanggal 16 Juni (tanggal kelahiran
Gerson Poyk) sebagai Hari Sastra NTT
(tertuang dalam Rekomendasi Temu II Satrawan NTT – ditandatangani oleh sejumlah
tokoh). Ini tentunya sangat beralasan. Sudah lebih dari setengah abad yang
lalu, pemilik nama lengkap Gerson Gubertus Poyk ini membawa nama NTT ke tingkat
nasional bahkan internasional lewat sastra.
Mengacu pada hasil
penelusuran Yohanes Sehandi (dituangkan dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT), tahun 1961 merupakan awal
Gerson Poyk terjun ke dunia publikasi karya sastra. Hal ini terjadi ketika
majalah Sastra Edisi Tahun I, Nomor
6, Oktober 1961, memuat cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah”. Bahkan
di tahun yang sama, cerpen tersebut dianugerahi sebagai cerpen terbaik dan
mendapat hadiah dari majalah Sastra. Atas
alasan ini, Sehandi kemudian menyebut Gerson Poyk sebagai “Perintis Sastra
NTT”, karena dialah orang NTT pertama yang menulis dan mempublikasikan karya sastra di media massa.
Gerson ternyata tidak
hanya menjadi orang pertama NTT yang menulis di media massa. Sejak tahu 1964
ketika buku (novel) pertamanya terbit, Gerson terus menghasilkan karya sastra
yang berkualitas sambil tetap memberi warna yang khas di setiap karyanya. Tahun
itu (1964) BPK Gunung Mulia Jakarta menerbitkan novel Hari-Hari Pertama sebagai karya pertama Gerson Poyk yang terbit dalam
bentuk buku. Sejak saat itu pena Gerson terus menari. Dalam rentang waktu dari
tahun 1964 sampai tahun 2014, tercatat 27 judul buku karya Gerson Poyk yang
sudah diterbitkan. Dua puluh tujuh judul itu terdiri dari berbagai genre sastra
seperti puisi, cerpen, novelet, dan novel serta liputan jurnalistik. Yohanes
Sehandi bahkan mengakui bahwa angka 27 judul itu baru sekitar 2/3 karya Gerson
Poyk, masih sekitar 1/3 karya beliau yang belum ditemukan dan perlu terus
ditelusuri. Pada waktu ditanyakan, beliau sendiri tidk ingat lagi jumlah karya
sastra yang telah diterbitkan (Sehandi, 2015).
Gerson Poyk tidak saja
luar biasa dari segi kuantitas karya tulis. Kualitas tulisan mantan guru (di
Ternate dan Bima) dan jurnalis (wartawan Sinar
Harapan) ini tak perlu diragukan lagi. Gerson Poyk pernah meraih hadiah
hiburan dari majalah Sastra pada
tahun 1962 dengan cerpen “Mutiara di Tengah Sawah”. Cerpennya “Oleng-Kemoleng”
mendapat pujian majalah sastra Horison sebagai
cerpen yang dinominasi untuk merih hadian majalah itu pada tahun 1968. Tahun
1985 dan 1986 ia berturut-turut memenangkan hadiah Adinegoro atas laporannya di
majalah Sarinah, hadiah tertinggi
dalam bidang jurnalistik. Tahun 1989 ia mendapat SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Kerajaan Thailand. Ia juga
pernah mendapat penghargaan dari Haria Kompas
untuk kesetiaannya selama puluhan tahun menulis karya sastra (Kaki Langit 133/Januari 2008, dalam
majalah sastra Horison edisi Januari
2008). Tahun 2011 Gerson juga menerima Anugerah Kebudayaan dari Presiden SBY
karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya. Kemudian tahun 2012 ia
mendapat penghargaan NTT Academia Award
untuk kategori Sastra dan Humaniora (Sehandi, 2015).
Selain menerima berbagai
penghargaan di bidang sastra dan jurnalistik, Gerson juga pernah terlibat dalam
beberapa kegiatan bertaraf internasional. Akhir tahun 1982, ia menghadiri
Seminar Sastra di India. Sebelumnya pada tahun 1970 – 1971 Gerson menjadi
sastrawan pertama dari Indonesia yang mengikuti International Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa, Amerika Serikat
(Sehandi, 2015).
Tentang pengalamannya di
Amerika, dalam wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende (10/10/2015), beliau
menceritakan ketika itu ada orang dari Amerika yang datang ke Jakarta. Mereka bertemu
di redaksi majalah Horison. Waktu itu
ada dua nama yang diminta yakni Gerson Poyk dan Taufiq Ismail. Namun Gerson-lah
yang pertama berangkat. Peserta waktu itu 30 orang dari seluruh dunia, dan
mayoritas adalah para doktor.
“Saya bermimpi ada anak NTT
yang bisa ke sana lagi. Ikut program itu. Syaratnya ringan. Punya buku. Lalu
menulis lamaran ke sana,” tutur Gerson yang mengaku selama di Amerika menulis
novelnya Sang Guru.
Menulis: pengembaraan pikiran
Bagi Gerson Poyk, menulis
itu merupakan pengembaraan pikiran. Pengembaran Jiwa. Kita (manusia) seperti
masuk ke kota aneh dengan rasa terasing. Tetapi dengan demikian, kita berjuang
melalui integrasi antara logika, perasaan, dan sebagainya.
“Harus dari dalam.
Intuisi kreatif. Bandingkan dengan bacaan dari seluruh dunia. Kita punya sikap
tersendiri. Macam-macam filosofi di otak. Otak itu kebun, penuh dengan
tanaman-tanaman. Karena itu, di samping menulis, belajar banyak. Baca buku,
supaya tulisan bermutu,” ungkap Gerson.
Membaca bagi Gerson
menjadi modal yang sangat penting bagi seorang penulis. Karena itu ia berpesan
kepada generasi muda khususnya untuk mencintai buku dan memiliki gairah tinggi
dalam membaca buku.
“Ketika melihat buku,
yang berat sekalipun, harus katakan; ‘lu harus
masuk ke otak gue.’ Harus serius itu,” tegasnya.
Penegasan Gerson
mencerminkan pengalaman hidupnya sendiri. Sejak masa kecil ia sudah akrab
dengan buku. Bahkan ketika bekerja di kebun, kisahnya, ia meluangkan waktu
untuk membaca. Gerson masih ingat betul bacaannya waktu itu yakni sejarah Napoleon
dan kisah tragis orang-orang Kristen yang dibuang ke kandang singa.
Di usianya yang sudah 84
tahun, Gerson masih terus berkarya lewat tulisan (kolumnis majalah Leader) dan berjuang mewujudkan mimpinya
yang belum tercapai. Dirinya mengaku ingin mendirikan sanggar di Kupang,
seperti yang pernah ia buat baik di Surabaya maupun di Jakarta. Saat ini ia
juga tengah menyiapkan sebuah teater bertajuk “Maromak Oan, Kaisar Timor.”
Gerson juga sedang
menggarap sebuah buku yang memuat esai-esai politik tentang terorisme (akan
diterbitkan Kompas). Ada juga buku
sastra, Seutas Benang Cinta. “Saya
mau bikin stream of consciousness. Semacam esai tapi berayun-ayun dengan kalimat
sastra. Banyak di otak saya. Arus kesadaran. Tidak ada tokoh tapi renungan.
Semacam monolog,” jelasnya.
Ibu: inspirasi besar
Menurut Gerson Poyk,
proses kreatif itu dilandasi momen-momen kunci (pengalamann tak terlupakan)
yang mengiringi proses penciptaan. Proses kreatif itu selalu berjalan seiring
dengan usia pengarang, sejak ia kanak-kanak hingga dewasa, dan saat ia menulis
karya tertentu, momen kunci itulah yang bekerja secara kreatif dengan menggali
pegalama masa lampau (Kaki Langit 133/Januari
2008).
Karya-karya Gerson Poyk memang
tidak terlepas dari sejarah hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang ia alami. Pemikiran
dan ide yang berkeliaran. Dan tentunya latar atau warna khas NTT yang tak
pernah luput dari ruang imajinasi sang sastrawan.
Namun
ternyata di balik semuanya itu ada satu sosok yang tidak banyak diketahui pembaca
Gerson. Sosok itu adalah sang ibu. Baginya, ibu adalah inspirasi besar dalam
hidup dan karyanya. Ibu adalah falsafah untu segala-galanya. Perempuan yang
menderita tapi penuh dengan cinta kasih.
“Waktu bapa nganggur, kita nebeng di rumah keluarga. Tapi mama kerja sama keluarga. Mama gendong bayi. Menyanyi. Nyanyi… Bau do… Lama-lama anak itu tidur, kita dikasi nasi, makan. Kadang-kadang saya nangis kalau ingat mama saya,” tuturnya lirih. (Robert Fahik)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kapan Pertama Kali Gerson Poyk Menulis
di Media Massa?
Ada
yang menarik dari wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende, Sabtu
(10/10/2015). Beliau mengungkapkan bahwa tahun 1955 ketika bersekolah di
SGA Kristen Surabaya, untuk pertama kalinya tulisan beliau terbit di media
massa. Tulisan tersebut adalah sebuah puisi berjudul “Anak Karang” –
kemudian baru menyusul puisi-puisi lain, dimuat di Mimbar Indonesia.
“Waktu
itu saya menghebohkan orang-orang Surabaya. Karena waktu itu Mimbar
Indonesia selalu memuat puisi satu halaman setiap hari. Dan itu nama-nama
besar seperti Sitor Situmorang, Iwan Simatupang. Waktu tulisan saya masuk
ke koran itu, teman-teman di Surabaya beri hormat sama saya. Kata mereka,
kapan kita bisa kayak Gerson,” kisah Gerson Poyk sambil tertawa kecil. Pria
84 tahun ini bahkan masih hafal betul lirik puisi yang ditulisnya enam
puluh tahun silam itu.
“Bea.
Di tepi sini gubuk dan karang. Sekali pernah mama bilang. Cerita beta
cerita kau. Bertulis di tanah berselang karang… Kira-kira begitu. Jadi
angin muson itu kadang-kadang membikin kurang subur. Kita punya musin itu
kadang muson. Tapi jangan takut. Kalau padi dan jagung tidak ada masih ada pohon
lontar, gula. Kira-kira begitu maksud saya,” jelasnya.
Cerita
Gerson Poyk ternyata sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Prof. Dr.
Suripan Sadi Hutomo, bahwa Gerson Poyk banyak menulis puisi di beberapa
media massa yang terbit di Surabaya saat ia mengikuti pendidikannya di SGA
Kristen di kota itu (1955 – 1956). Salah satu puisinya dijadikan judul buku
Anak Karang, pertama kali dimuat H. B. Jasin di majalah Mimbar Indonesia
(Kaki Langit 133/Januari 2008).
Di sisi lain meski menyebut
cerpen Mutiara di Tengah Sawah (1961) sebagai karya pertama Gerson yang
terbit di media massa – sesuai data otentik yang diperolehnya, Sehandi
(2015) juga mengakui bahwa dari sejumlah sumber, ia mendapatkan informasi
bahwa Gerson Poyk sudah mulai menulis sastra di media massa sebelum tahun
1961. Disebutkan sejumlah media yang memuat karya Gerson, yakni Mimbar
Indonesia, Tjerita, dan Sastra.
“Hanya
sayangnya, saya hanya menemukan data otentik karya Gerson Poyk pada majalah
Sastra (1961), sedangkan pada Mimbar Indonesia dan Tjerita tidak ditemukan
data otentiknya berupa judul karya sastra, jenis karya sastra, dan nomor
edisi bulan dan tahun terbit karya Gerson Poyk tersebut,” tulis Sehandi
dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015).
Jadi,
kapan pertama kali Gerson Poyk menulis di media massa? Tentunya butuh
penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan kebenarannya. Data otentik
tentang puisi “Anak Karang” yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia tahun
1955, misalnya, perlu ditemukan. Untuk mencapai hal ini butuh kerja sama
serta kerja keras segenap pencinta Sastra NTT. (Robert Fahik)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar