Ketekunan dan kerja kerasnya dalam bidang menulis, menjadikan sosok
yang satu ini dikenal luas di NTT khususnya di kalangan akademisi dan penggelut
sastra. Kebiasaan membaca sejak kecil diakuinya sebagai modal untuk
mengembangkan dan menekuni dunia menulis. Karena itu sejak di bangku kuliah, Pak
Yan – demikian sapaan akrabnya, terus menulis dan mengoleksi buku-buku bacaan. Berbagai
artikel sudah ditulis dan dipublikasikannya baik lewat media cetak maupun blog
pribadinya. Bahkan dosen Universitas Flores ini juga sudah menulis beberapa
buku. Salah satu buku yang melambungkan namanya berjudul “Mengenal Sastra da
Sastrawan NTT”. Buku ini pula yang terpilih menjadi salah satu pemenang hadiah
buku insentif untuk dosen diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI (2014). Untuk
mengenal lebih jauh sepak terjangnya dalam dunia menulis, bagaimana
pemikirannya tetang budaya menulis, berikut kami hadirkan petikan wawancara penyunting
Loti Basastra, Robert Fahik dengan
Yohanes Sehandi.
Sejak kapan Bpk. menekuni dunia menulis?
Saya
menekuni dunia tulis-menulis sejak 33 tahun lalu, yakni tahun 1982, pada waktu
kuliah semester 2 di IKIP Negeri Semarang, kini menjadi Universitas Negeri
Semarang, Unes. Tulisan pertama saya berjudulnya
“Sajak Sebaiknya Komunikatif,” dimuat dalam surat kabar mingguan (SKM) Simponi terbitan
Jakarta, edisi tanggal 14 Februari 1982. Sejak tahun 1982 itulah saya menulis, terus menulis, meskipun ada juga
pasang surutnya.
Bapak sudah menulis banyak artikel dan
menerbitkan sejumlah buku. Apa yang mendorong Bpk. dalam menulis?
Saya
menggeluti dunia tulis-menulis dengan penuh kesadaran. Pertama, saya ingin agar
mempunyai nilai lebih, tidak sekadar jadi sarjana saja. Saya mengukur diri
bahwa saya tidak mempunyai bakat lain, misalnya bakat olahraga, menyanyi, dan
lain-lain. Saya punya bakat membaca sejak kecil, bakat itu menjadi modal dasar
saya untuk menulis. Pada awal kuliah saya ambil keputusan untuk menggeluti
secara serius dunia tulis-menulis. Kedua, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari
waktu kuliah. Ini dorongan kedua. Setelah saya menulis di sejumlah koran,
ternyata ada honorariumnya, dan lumayan untuk beli kebutuhan sehari-hari
seorang mahasiswa. Uang honorarium itu juga akhirnya saya gunakan untuk membeli
buku-buku baru, bahkan untuk biaya kuliah. Buku baru itu saya buat resensinya,
kirim ke koran dan dimuat, maka dapat honorarium. Sampai kini saya memiliki
koleksi buku yang lumayan banyak, sebagian besar hasil dari tulis-menulis.
Buku-buku milik pribadi inilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi saya
untuk menulis. Tentang bakat membaca ini memang tumbuh dari dalam diri secara
alamiah, tidak ada yang mendorong. Sejak SMP di Rekas (Manggarai Barat) dan SPP/SPMA
(Pertanian) di Boawae (Nagekeo) saya sudah terbiasa membaca Majalah Dian
terbitan Ende dan Majalah Trubus (majalah pertanian) terbitan Jakarta.
Nama-nama penulis NTT dari Flores, Timor, dan Sumba saya sudah kenal sejak SMP
dan SPP/SPMA. Dari Flores, misalnya saya sudah kenal nama Pater Alex Beding, Ben Oleona, Thom Wignyata,
Marcel Beding, Valens Doy, Nico Ladjadjawa, Don Bosco Blikololong, Dami N.
Toda, John Dami Mukese. Dari Timor sejak kecil saya sudah kenal nama Anton Bele
dan Yohanes Lake, dari Sumba ada nama Frans W. Hebi, Yosef Pati Wenge, dan
David Siwa Balla.
Apakah ada tokoh yang menjadi inspirasi Bpk
dalam menulis?
Ya,
ada. Ada dua penulis terkenal kelahiran NTT, yang harus saya akui sebagai
sumber inspirasi, yakni Dami N. Toda dan Ignas Kleden. Waktu kuliah di Semarang
tahun 1980-an saya banyak membaca artikel Dami N. Toda dan Ignas Kleden di
harian Kompas dan majalah Tempo, dan di berbagai media cetak lain. Saya jujur
mengakui, dua penulis NTT inilah yang membuat saya tidak nyaman tidur. Sekadar
cerita, pada awal tahun 1982, di beberapa jalan utama di Kota Semarang
terpasang sejumlah spanduk besar yang bunyinya kurang-lebih seperti ini: “Selamat
Datang Dami N. Toda, Kritikus Sastra Indonesia, di Kampus Universitas
Diponegoro.” Saya kaget membaca spanduk itu dan terharu, karena saya tahu Dami
Toda orang saya dari Manggarai. Dia diundang di Undip untuk memberi ceramah
tentang novelis Iwan Simatupang. Dalam hati saya bertanya, orang dari pelosok
di Manggarai Flores bisa menjadi terkenal. Jawabannya, karena dia menulis. Sejak saat itu saya menggandrungi tulisan Dami
N. Toda, apakah lewat surat kabar, majalah, maupun buku yang diterbitkan.
Sampai kini, hampir semua buku karya Dami N. Toda saya miliki, meskipun belum
pernah bertemu langsung. Selanjutnya tentang Ignas Kleden. Saya mulai mengenal
beliau lewat tulisan-tulisannya, sekitar tahun 1983. Pada suatu waktu saya membaca
majalah Tempo di Perpustakaan IKIP Negeri Semarang. Saya terperangah melihat
foto Ignas Kleden dengan esai pendeknya di majalah itu. Dia tulis esai itu dari
Jerman, pada waktu dia masih kuliah di Jerman. Saya ingat betul judul esainya
satu kata saja, yakni “Surat.” Sungguh saya bangga karena saya tahu dia orang
Flores Timur. Esai pendek itu ditulis dalam gaya sastra dan filsafat. Seninya
menulis tercermin betul dalam esai pendek itu. Pada bulan Oktober 2013, artinya
30 tahun kemudian, saya baru pertama kali bertemu Ignas Kleden, dia datang di
Uniflor membawakan ceramah berkaitan dengan Hari Sumpah Pemuda. Saya ceritakan
kesaksian saya tahun 1983 atas tulisannya di Tempo yang berjudul “Surat.” Dia
kaget karena dia tidak ingat lagi tulisan itu, sementara saya masih merasakan
nikmatnya membaca sebuah esai pendek karya Ignas Kleden yang ikut mendorong
saya menggeluti dunia tulis-menulis.
Selama beberapa tahun terakhir Bpk. menaruh
perhatian serius terhadap perkembangan dan keberadaan Sastra dan Sastrawan NTT.
Hal ini terlihat dari beberapa artikel dan buku Bpk yang sudah terbit.
Bagaimana Bpk melihat keberadaan dan perkembangan Sastra dan Sastrawan NTT
sejauh ini?
Setelah
saya tidak lagi di dunia politik karena sudah 10 tahun menjadi anggota DPRD
Provinsi NTT dan 20 tahun menjadi pengurus partai di Kabupaten Ende dan di Provinsi
NTT, saya kembali ke habitat saya ke dunia akademik. Tahun 2010 saya mengajar
di Universitas Flores (Uniflor) di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (Prodi PBSI). Saya membaca lagi buku-buku sastra yang saya miliki
kemudian melihat pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Provinsi NTT.
Pada waktu itu saya melihat, karya sastra Indonesia di NTT berserakan, sastrawan-sastrawan
NTT ada hanya sosok mereka tidak jelas, padahal sejumlah karya sastra yang
mereka hasilkan mutunya tidak kalah dengan karya para sastrawan lain di
Indonesia. Pertanyaan muncul, mengapa sastra dan sastrawan NTT tidak banyak
dikenal? Jawabannya, karena hampir tidak ada pengamat dan kritikus sastra yang
memberi perhatian khusus pada sastra NTT. Sejak saat itulah saya mulai mengumpulkan
karya-karya sastra NTT, mengulasnya lewat sejumlah media cetak di NTT, seperti
Pos Kupang, Flores Pos, dan Victory News, dan sejumlah media cetak lain.
Tulisan-tulisan saya yang sudah dimuat di tiga media itu saya unggah ke Blog
saya: www.yohanessehandi.blogspot.com. Dengan membaca tulisan-tulisan itulah
rupanya orang mulai mengenal sastra dan sastrawan NTT, yang kebetulan pada
waktu itu bermunculan pula sejumlah komunitas sastra di NTT. Tulisan-tulisan
itu saya kumpul dan sempurnakan, maka lahirlah buku pertama tentang sastra berjudul
Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) diterbitkan Penerbit Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta. Peredaran buku ini luas karena dipasarkan toko buku Gramedia.
Di luar dugaan, buku ini mendapat sambutan, baik pro maupun kontra. Dan pada
tahun 2014 buku ini menjadi salah satu pemenang hadiah buku insentif untuk
dosen diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI. Tahun 2015 saya terbitkan lagi
buku yang kedua berjudul Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) juga
diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma. Buku kedua ini merupakan
kelanjutan atau penyempurnaan buku pertama. Dalam kedua buku itu terlihat betul
petumbuhan dan perkembangan sastra NTT sejak awal mula kelahirannya tahun 19961
sampai dengan saat ini 2015. Dalam usia 54 tahun sastra NTT pada tahun ini,
saya telah mengidentifikasi 44 nama sastrawan NTT dan 135 karya sastra NTT yang
diterbitkan dalam bentuk buku. Masih ada banyak karya sastra dan calon
sastrawan NTT yang terus saya ditelusuri. Jadi, tentang pertumbuhan dan
perkembangan sastra dan sastrawan NTT terdapat di dalam kedua buku tersebut.
Menurut Bpk apa yang perlu dilakukan agar
Sastra dan Sastrawan NTT makin berkualitas dan bisa berbicara banyak di tingkat
nasional bahkan internasional?
Menurut
hemat saya, yang perlu dilakukan antara lain (1) Terjemahkan karya-karya sastra
NTT ke dalam berbagai bahasa di dunia, terutama bahasa Inggris, (2) Pemerintah
daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat Provinsi NTT
menjadikan karya para sastrawan NTT sebagai muatan lokal di semua sekolah di
Provinsi NTT, (3) Sering dilakukan perlombaan sastra atau festival sastra, baik
di tingkat SD, SMP, SMA/SMK maupun untuk mahasiswa dan masyarakat umum.
Pemerintah daerah di NTT harus membuat terobosan memasyarakatkan sastra NTT. Tirulah
terobosan yang dibuat Pemda Bangka Belitung yang menyiapkan anggaran
mempromosikan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Karya-karya sastra
Andrea Hirata akhirnya menjadi sarana pariwisata dan sarana diplomasi budaya
Pemda Bangka Belitung. Saat ini, Bangka Belitung menjadi salah satu objek
wisata unggulan Indonesia, pertumbuhannya bermula dari karya sastra.
Selain sebagai dosen, saat ini Bpk dipercaya
sebagai Kepala Lembaga Publikasi Universitas Flores. Apa yang sudah dicapai
sejauh ini dan apa yang masih harus diperjuangkan ke depan, terutama terkait
bagaimana membangun kultur literasi (membaca dan menulis) di kalangan
mahasiswa?
Sejak
tahun 2012 saya dipercayakan menjadi Kepala Lembaga Publikasi Uniflor (kini
menjadi UPT Publikasi dan Humas). Ada dua hal konkret yang saya lakukan selama
ini dalam membangun kultur literasi di Uniflor. Pertama, menerbitkan secara
berkala Majalah Ilmiah Indikator, yang berisi artikel ilmiah para dosen dan
peneliti di Uniflor. Ini sagat membantu para dosen dalam mengurus jabatan
akademik (kenaikan pangkat) dan mengurus sertifikasi dosen (serdos). Sesuai
dengan ketentuan, artikel ilmiah menjadi syarat mutlak dimiliki seorang dosen.
Kedua, membangun kerja sama dengan harian umum Flores Pos yang terbit di Ende.
Uniflor membeli satu halaman Flores Pos pada edisi hari Sabtu, halaman 11
berisi rubrik “Suara Uniflor.” Dalam rubrik ini diisi artikel opini karya para
dosen dan mahasiswa Uniflor, juga diisi dengan berita teks dan berita gambar
yang berkaitan dengan kegiatan sivitas akademika Uniflor selama seminggu.
Rubrik “Suara Uniflor” mulai muncul pada 17 Maret 2012, terbit setiap setiap
Sabtu, kini mau memasuki tahun ke-5. Artikel opini para dosen dan mahasiswa yang
telah dimuat Rubrik “Suara Uniflor” saya kumpulkan dan terbitkan dalam bentuk
buku antologi. Dengan demikian, para penulis mendapatkan keuntungan ganda.
Itulah langkah konkret menumbuhkan budaya literasi yang saya lakukan selama di
Uniflor.
Tahun 2015 ini Uniflor terpilih sebagai
tempat Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT. Apa komentar Bpk tentang
momen akbar ini? Hal apa yang masih segar dalam ingatan Bpk terkait kegiatan
tersebut?
Ya,
tahun 2015 ini Kantor Bahasa Provinsi NTT menggandeng kami di Uniflor untuk
menyelenggarakan Festival Sastra dan Temu 2 Sastrawan NTT. Kesan banyak orang,
ini kegiatan cukup besar. Kami merasa senang karena dipercayakan Kantor Bahasa
NTT, Kantor Bahasa NTT yang menyiapkan dana penyelenggaraan. Kami di Uniflor
hanya menyiapkan tenaga dan fasilitas. Terlepas ada kekurangan di sana-sini
dalam pelaksanaannya, kami merasa puas. Yang saya kagumi, pertama, Kantor
Bahasa NTT menunjukkan keseriusan dalam bekerja sama dengan Uniflor, meski pada
awalnya saya sempat diliputi rasa cemas, kedua, para sastrawan NTT hadir cukup
banyak dan menunjukkan antusiasme yang membanggakan.
Saat ini apakah ada naskah buku yang sedang
Bpk garap untuk diterbitkan?
Ya,
ada satu naskah buku yang sedang saya rampungkan, bukan tentang sastra tetapi
tentang jurnalistik, judulnya “Mengenal Jurnalistik Praktis” semoga terbit
tahun 2016.
Apa pesan Bpk untuk masyarakat NTT khususnya
generasi muda terkait budaya literasi (membaca dan menulis), juga terkait
keberadaan dan perkembangan Sastra dan Satrawan NTT?
Saya
termasuk orang yang percayai dan meyakini sungguh kekuatan budaya literasi, yakni
budaya membaca dan menulis, untuk mengubah masyarakat menjadi masyarakat maju
dan modern. Peradaban masyarakat dalam suatu wilayah atau daerah ditentukan
oleh budaya literasi masyarakat bersangkutan. Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan
masyarakat dalam suatu daerah berbanding lurus dengan lemahnya budaya literasi
masyarakat tersebut. Dengan membaca dan menulis masyarakat akan banyak tahu
tentang banyak hal. Dengan modal pengetahuan itu, masyarakat akan terinspirasi
untuk kreatif dan berinisiatif untuk membuat banyak hal demi kemajuan hidup dan
peradabannya. Ciri-ciri masyarakat maju dan yang mau maju adalah masyarakat
yang tradisi literasinya kuat, tradisi bahasa tulisnya kuat. Sebaliknya, ciri-ciri
masyarakat miskin dan terbelakang lebih banyak tradisi lisan. Perihal ini belum
banyak disadari oleh masyarakat dan pemerintah daerah kita di NTT.
Jadi, kalau mau membangun masyarakat NTT ke arah yang lebih maju dan modern, bangunlah sumber daya manusia (SDM) masyarakat NTT dengan budaya literasi, budaya membaca dan menulis, kurangi budaya lisan (mendengar dan berbicara). Lihatlah masyarakat kita di Indonesia, semakin ke Barat Indonesia semakin maju, budaya literasinya cukup bagus. Sebaliknya, semakin ke Timur Indonesia semakin lemah budaya literasinya, semakin miskin. Tentu ada variable lain juga. Bandingkan masyarakat kita dengan masyarakat Eropa, Jepang, dan Korea Selatan yang kuat budaya literasinya, mereka maju dan modern. Saya sungguh percaya dan yakin, budaya literasi menentukan kemajuan perabadaban masyarakat. Apa kaitannnya dengan kemajuan sastra? Budaya sastra dibangun oleh budaya literasi. Budaya literasi berbanding lurus dengan budaya sastra.(Robert Fahik)
YOHANES SEHANDI
TTL
: Labuan Bajo, 12 Juli 1960
HP
: 081339004021
Pendidikan
S1
:Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Negeri Semarang (sekarang
Universitas Negeri Semarang, 1985)
S2
: Sosiologi UMM Malang (2003)
Karya tulis:
Mengenal
25 Teori Sastra (Yogyakarta: Ombak, 2014)
Antologi
Opini Suara Uniflor 2012-2013 (Yogyakarta: Ombak, 2014)
Mengenal
Sastra dan Sastrawan NTT (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012)
Bahasa
Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Salatiga: Widya Sari, 2013)
Pengantar
Ilu Sosial dan Budaya Dasar (Salatiga: Widya Sari, 2013)
Bahasa
Indonesia sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (Kupang: Gita Kasih,
2010)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar