Minggu, 20 Desember 2015

Yohanes Sehandi: Mempunyai Nilai Lebih Lewat menulis


Ketekunan dan kerja kerasnya dalam bidang menulis, menjadikan sosok yang satu ini dikenal luas di NTT khususnya di kalangan akademisi dan penggelut sastra. Kebiasaan membaca sejak kecil diakuinya sebagai modal untuk mengembangkan dan menekuni dunia menulis. Karena itu sejak di bangku kuliah, Pak Yan – demikian sapaan akrabnya, terus menulis dan mengoleksi buku-buku bacaan. Berbagai artikel sudah ditulis dan dipublikasikannya baik lewat media cetak maupun blog pribadinya. Bahkan dosen Universitas Flores ini juga sudah menulis beberapa buku. Salah satu buku yang melambungkan namanya berjudul “Mengenal Sastra da Sastrawan NTT”. Buku ini pula yang terpilih menjadi salah satu pemenang hadiah buku insentif untuk dosen diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI (2014). Untuk mengenal lebih jauh sepak terjangnya dalam dunia menulis, bagaimana pemikirannya tetang budaya menulis, berikut kami hadirkan petikan wawancara penyunting Loti Basastra, Robert Fahik dengan Yohanes Sehandi.

Sejak kapan Bpk. menekuni dunia menulis?

Saya menekuni dunia tulis-menulis sejak 33 tahun lalu, yakni tahun 1982, pada waktu kuliah semester 2 di IKIP Negeri Semarang, kini menjadi Universitas Negeri Semarang,  Unes. Tulisan pertama saya berjudulnya “Sajak Sebaiknya Komunikatif,” dimuat dalam surat kabar mingguan (SKM) Simponi terbitan Jakarta, edisi tanggal 14 Februari 1982. Sejak tahun 1982 itulah  saya menulis, terus menulis, meskipun ada juga pasang surutnya.

Bapak sudah menulis banyak artikel dan menerbitkan sejumlah buku. Apa yang mendorong Bpk. dalam menulis?

Saya menggeluti dunia tulis-menulis dengan penuh kesadaran. Pertama, saya ingin agar mempunyai nilai lebih, tidak sekadar jadi sarjana saja. Saya mengukur diri bahwa saya tidak mempunyai bakat lain, misalnya bakat olahraga, menyanyi, dan lain-lain. Saya punya bakat membaca sejak kecil, bakat itu menjadi modal dasar saya untuk menulis. Pada awal kuliah saya ambil keputusan untuk menggeluti secara serius dunia tulis-menulis. Kedua, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari waktu kuliah. Ini dorongan kedua. Setelah saya menulis di sejumlah koran, ternyata ada honorariumnya, dan lumayan untuk beli kebutuhan sehari-hari seorang mahasiswa. Uang honorarium itu juga akhirnya saya gunakan untuk membeli buku-buku baru, bahkan untuk biaya kuliah. Buku baru itu saya buat resensinya, kirim ke koran dan dimuat, maka dapat honorarium. Sampai kini saya memiliki koleksi buku yang lumayan banyak, sebagian besar hasil dari tulis-menulis. Buku-buku milik pribadi inilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi saya untuk menulis. Tentang bakat membaca ini memang tumbuh dari dalam diri secara alamiah, tidak ada yang mendorong. Sejak SMP di Rekas (Manggarai Barat) dan SPP/SPMA (Pertanian) di Boawae (Nagekeo) saya sudah terbiasa membaca Majalah Dian terbitan Ende dan Majalah Trubus (majalah pertanian) terbitan Jakarta. Nama-nama penulis NTT dari Flores, Timor, dan Sumba saya sudah kenal sejak SMP dan SPP/SPMA. Dari Flores, misalnya saya sudah kenal nama  Pater Alex Beding, Ben Oleona, Thom Wignyata, Marcel Beding, Valens Doy, Nico Ladjadjawa, Don Bosco Blikololong, Dami N. Toda, John Dami Mukese. Dari Timor sejak kecil saya sudah kenal nama Anton Bele dan Yohanes Lake, dari Sumba ada nama Frans W. Hebi, Yosef Pati Wenge, dan David Siwa Balla.

Apakah ada tokoh yang menjadi inspirasi Bpk dalam menulis?


Ya, ada. Ada dua penulis terkenal kelahiran NTT, yang harus saya akui sebagai sumber inspirasi, yakni Dami N. Toda dan Ignas Kleden. Waktu kuliah di Semarang tahun 1980-an saya banyak membaca artikel Dami N. Toda dan Ignas Kleden di harian Kompas dan majalah Tempo, dan di berbagai media cetak lain. Saya jujur mengakui, dua penulis NTT inilah yang membuat saya tidak nyaman tidur. Sekadar cerita, pada awal tahun 1982, di beberapa jalan utama di Kota Semarang terpasang sejumlah spanduk besar yang bunyinya kurang-lebih seperti ini: “Selamat Datang Dami N. Toda, Kritikus Sastra Indonesia, di Kampus Universitas Diponegoro.” Saya kaget membaca spanduk itu dan terharu, karena saya tahu Dami Toda orang saya dari Manggarai. Dia diundang di Undip untuk memberi ceramah tentang novelis Iwan Simatupang. Dalam hati saya bertanya, orang dari pelosok di Manggarai Flores bisa menjadi terkenal. Jawabannya, karena dia menulis.  Sejak saat itu saya menggandrungi tulisan Dami N. Toda, apakah lewat surat kabar, majalah, maupun buku yang diterbitkan. Sampai kini, hampir semua buku karya Dami N. Toda saya miliki, meskipun belum pernah bertemu langsung. Selanjutnya tentang Ignas Kleden. Saya mulai mengenal beliau lewat tulisan-tulisannya, sekitar tahun 1983. Pada suatu waktu saya membaca majalah Tempo di Perpustakaan IKIP Negeri Semarang. Saya terperangah melihat foto Ignas Kleden dengan esai pendeknya di majalah itu. Dia tulis esai itu dari Jerman, pada waktu dia masih kuliah di Jerman. Saya ingat betul judul esainya satu kata saja, yakni “Surat.” Sungguh saya bangga karena saya tahu dia orang Flores Timur. Esai pendek itu ditulis dalam gaya sastra dan filsafat. Seninya menulis tercermin betul dalam esai pendek itu. Pada bulan Oktober 2013, artinya 30 tahun kemudian, saya baru pertama kali bertemu Ignas Kleden, dia datang di Uniflor membawakan ceramah berkaitan dengan Hari Sumpah Pemuda. Saya ceritakan kesaksian saya tahun 1983 atas tulisannya di Tempo yang berjudul “Surat.” Dia kaget karena dia tidak ingat lagi tulisan itu, sementara saya masih merasakan nikmatnya membaca sebuah esai pendek karya Ignas Kleden yang ikut mendorong saya menggeluti dunia tulis-menulis.

Selama beberapa tahun terakhir Bpk. menaruh perhatian serius terhadap perkembangan dan keberadaan Sastra dan Sastrawan NTT. Hal ini terlihat dari beberapa artikel dan buku Bpk yang sudah terbit. Bagaimana Bpk melihat keberadaan dan perkembangan Sastra dan Sastrawan NTT sejauh ini?

Setelah saya tidak lagi di dunia politik karena sudah 10 tahun menjadi anggota DPRD Provinsi NTT dan 20 tahun menjadi pengurus partai di Kabupaten Ende dan di Provinsi NTT, saya kembali ke habitat saya ke dunia akademik. Tahun 2010 saya mengajar di Universitas Flores (Uniflor) di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI). Saya membaca lagi buku-buku sastra yang saya miliki kemudian melihat pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Provinsi NTT. Pada waktu itu saya melihat, karya sastra Indonesia di NTT berserakan, sastrawan-sastrawan NTT ada hanya sosok mereka tidak jelas, padahal sejumlah karya sastra yang mereka hasilkan mutunya tidak kalah dengan karya para sastrawan lain di Indonesia. Pertanyaan muncul, mengapa sastra dan sastrawan NTT tidak banyak dikenal? Jawabannya, karena hampir tidak ada pengamat dan kritikus sastra yang memberi perhatian khusus pada sastra NTT. Sejak saat itulah saya mulai mengumpulkan karya-karya sastra NTT, mengulasnya lewat sejumlah media cetak di NTT, seperti Pos Kupang, Flores Pos, dan Victory News, dan sejumlah media cetak lain. Tulisan-tulisan saya yang sudah dimuat di tiga media itu saya unggah ke Blog saya: www.yohanessehandi.blogspot.com. Dengan membaca tulisan-tulisan itulah rupanya orang mulai mengenal sastra dan sastrawan NTT, yang kebetulan pada waktu itu bermunculan pula sejumlah komunitas sastra di NTT. Tulisan-tulisan itu saya kumpul dan sempurnakan, maka lahirlah buku pertama tentang sastra berjudul Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Peredaran buku ini luas karena dipasarkan toko buku Gramedia. Di luar dugaan, buku ini mendapat sambutan, baik pro maupun kontra. Dan pada tahun 2014 buku ini menjadi salah satu pemenang hadiah buku insentif untuk dosen diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI. Tahun 2015 saya terbitkan lagi buku yang kedua berjudul Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) juga diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma. Buku kedua ini merupakan kelanjutan atau penyempurnaan buku pertama. Dalam kedua buku itu terlihat betul petumbuhan dan perkembangan sastra NTT sejak awal mula kelahirannya tahun 19961 sampai dengan saat ini 2015. Dalam usia 54 tahun sastra NTT pada tahun ini, saya telah mengidentifikasi 44 nama sastrawan NTT dan 135 karya sastra NTT yang diterbitkan dalam bentuk buku. Masih ada banyak karya sastra dan calon sastrawan NTT yang terus saya ditelusuri. Jadi, tentang pertumbuhan dan perkembangan sastra dan sastrawan NTT terdapat di dalam kedua buku tersebut.

Menurut Bpk apa yang perlu dilakukan agar Sastra dan Sastrawan NTT makin berkualitas dan bisa berbicara banyak di tingkat nasional bahkan internasional?

Menurut hemat saya, yang perlu dilakukan antara lain (1) Terjemahkan karya-karya sastra NTT ke dalam berbagai bahasa di dunia, terutama bahasa Inggris, (2) Pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat Provinsi NTT menjadikan karya para sastrawan NTT sebagai muatan lokal di semua sekolah di Provinsi NTT, (3) Sering dilakukan perlombaan sastra atau festival sastra, baik di tingkat SD, SMP, SMA/SMK maupun untuk mahasiswa dan masyarakat umum. Pemerintah daerah di NTT harus membuat terobosan memasyarakatkan sastra NTT. Tirulah terobosan yang dibuat Pemda Bangka Belitung yang menyiapkan anggaran mempromosikan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Karya-karya sastra Andrea Hirata akhirnya menjadi sarana pariwisata dan sarana diplomasi budaya Pemda Bangka Belitung. Saat ini, Bangka Belitung menjadi salah satu objek wisata unggulan Indonesia, pertumbuhannya bermula dari karya sastra.  

Selain sebagai dosen, saat ini Bpk dipercaya sebagai Kepala Lembaga Publikasi Universitas Flores. Apa yang sudah dicapai sejauh ini dan apa yang masih harus diperjuangkan ke depan, terutama terkait bagaimana membangun kultur literasi (membaca dan menulis) di kalangan mahasiswa?

Sejak tahun 2012 saya dipercayakan menjadi Kepala Lembaga Publikasi Uniflor (kini menjadi UPT Publikasi dan Humas). Ada dua hal konkret yang saya lakukan selama ini dalam membangun kultur literasi di Uniflor. Pertama, menerbitkan secara berkala Majalah Ilmiah Indikator, yang berisi artikel ilmiah para dosen dan peneliti di Uniflor. Ini sagat membantu para dosen dalam mengurus jabatan akademik (kenaikan pangkat) dan mengurus sertifikasi dosen (serdos). Sesuai dengan ketentuan, artikel ilmiah menjadi syarat mutlak dimiliki seorang dosen. Kedua, membangun kerja sama dengan harian umum Flores Pos yang terbit di Ende. Uniflor membeli satu halaman Flores Pos pada edisi hari Sabtu, halaman 11 berisi rubrik “Suara Uniflor.” Dalam rubrik ini diisi artikel opini karya para dosen dan mahasiswa Uniflor, juga diisi dengan berita teks dan berita gambar yang berkaitan dengan kegiatan sivitas akademika Uniflor selama seminggu. Rubrik “Suara Uniflor” mulai muncul pada 17 Maret 2012, terbit setiap setiap Sabtu, kini mau memasuki tahun ke-5. Artikel opini para dosen dan mahasiswa yang telah dimuat Rubrik “Suara Uniflor” saya kumpulkan dan terbitkan dalam bentuk buku antologi. Dengan demikian, para penulis mendapatkan keuntungan ganda. Itulah langkah konkret menumbuhkan budaya literasi yang saya lakukan selama di Uniflor.

Tahun 2015 ini Uniflor terpilih sebagai tempat Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT. Apa komentar Bpk tentang momen akbar ini? Hal apa yang masih segar dalam ingatan Bpk terkait kegiatan tersebut?

Ya, tahun 2015 ini Kantor Bahasa Provinsi NTT menggandeng kami di Uniflor untuk menyelenggarakan Festival Sastra dan Temu 2 Sastrawan NTT. Kesan banyak orang, ini kegiatan cukup besar. Kami merasa senang karena dipercayakan Kantor Bahasa NTT, Kantor Bahasa NTT yang menyiapkan dana penyelenggaraan. Kami di Uniflor hanya menyiapkan tenaga dan fasilitas. Terlepas ada kekurangan di sana-sini dalam pelaksanaannya, kami merasa puas. Yang saya kagumi, pertama, Kantor Bahasa NTT menunjukkan keseriusan dalam bekerja sama dengan Uniflor, meski pada awalnya saya sempat diliputi rasa cemas, kedua, para sastrawan NTT hadir cukup banyak dan menunjukkan antusiasme yang membanggakan.

Saat ini apakah ada naskah buku yang sedang Bpk garap untuk diterbitkan?

Ya, ada satu naskah buku yang sedang saya rampungkan, bukan tentang sastra tetapi tentang jurnalistik, judulnya “Mengenal Jurnalistik Praktis” semoga terbit tahun 2016.

Apa pesan Bpk untuk masyarakat NTT khususnya generasi muda terkait budaya literasi (membaca dan menulis), juga terkait keberadaan dan perkembangan Sastra dan Satrawan NTT? 

Saya termasuk orang yang percayai dan meyakini sungguh kekuatan budaya literasi, yakni budaya membaca dan menulis, untuk mengubah masyarakat menjadi masyarakat maju dan modern. Peradaban masyarakat dalam suatu wilayah atau daerah ditentukan oleh budaya literasi masyarakat bersangkutan. Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan masyarakat dalam suatu daerah berbanding lurus dengan lemahnya budaya literasi masyarakat tersebut. Dengan membaca dan menulis masyarakat akan banyak tahu tentang banyak hal. Dengan modal pengetahuan itu, masyarakat akan terinspirasi untuk kreatif dan berinisiatif untuk membuat banyak hal demi kemajuan hidup dan peradabannya. Ciri-ciri masyarakat maju dan yang mau maju adalah masyarakat yang tradisi literasinya kuat, tradisi bahasa tulisnya kuat. Sebaliknya, ciri-ciri masyarakat miskin dan terbelakang lebih banyak tradisi lisan. Perihal ini belum banyak disadari oleh masyarakat dan pemerintah daerah kita di NTT.
Jadi, kalau mau membangun masyarakat NTT ke arah yang lebih maju dan modern, bangunlah sumber daya manusia (SDM) masyarakat NTT dengan budaya literasi, budaya membaca dan menulis, kurangi budaya lisan (mendengar dan berbicara). Lihatlah masyarakat kita di Indonesia, semakin ke Barat Indonesia semakin maju, budaya literasinya cukup bagus. Sebaliknya, semakin ke Timur Indonesia semakin lemah budaya literasinya, semakin miskin. Tentu ada variable lain juga. Bandingkan masyarakat kita dengan masyarakat Eropa, Jepang, dan Korea Selatan yang kuat budaya literasinya, mereka maju dan modern. Saya sungguh percaya dan yakin, budaya literasi menentukan kemajuan perabadaban masyarakat. Apa kaitannnya dengan kemajuan sastra? Budaya sastra dibangun oleh budaya literasi. Budaya literasi berbanding lurus dengan budaya sastra.(Robert Fahik)
 
 
YOHANES SEHANDI
 
TTL : Labuan Bajo, 12 Juli 1960
HP : 081339004021
 
Pendidikan
 
S1 :Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Negeri Semarang (sekarang Universitas Negeri Semarang, 1985)
S2 : Sosiologi UMM Malang (2003)
 
Karya tulis:
 
Mengenal 25 Teori Sastra (Yogyakarta: Ombak, 2014)
Antologi Opini Suara Uniflor 2012-2013 (Yogyakarta: Ombak, 2014)
Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012)
Bahasa Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Salatiga: Widya Sari, 2013)
Pengantar Ilu Sosial dan Budaya Dasar (Salatiga: Widya Sari, 2013)
Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (Kupang: Gita Kasih, 2010)
 

*) tulisan ini dimuat dalam Majalah Bahasa dan Sastra, "Loti Basastra" (diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ) edisi Desember 2015

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar