Selasa, 24 Mei 2022

UMBU LANDU PARANGGI DAN “KEBENARAN DALAM SASTRA” YANG DIHIDUPINYA

 


Oleh Robertus Fahik

*Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di majalah Loti Basastra (Kantor Bahasa NTT) Edisi Desember 2021 dan masuk dalam buku antologi Reuni Alumni Munsi III (Sibera Bandung, 2022)

“Singkatnya, saya menggarisbawahi apa yang dikemukakan Sir Isaac Newton, ‘Siapakah saya di dunia ini?’. Kadang-kadang saya melihat diri saya seperti anak kecil yang bermain di pantai, dan tiba-tiba melihat kerang yang sangat jauh berbeda dengan yang pernah saya lihat di hari sebelumnya. Sementara, di depan terhampar lautan kebenaran yang belum tersingkap. Bagi saya, inilah yang dimaknai dalam sastra. Sekarang kita cenderung memilah kebenaran dalam hitam dan putih saja, sehingga absolut. Kebenaran dalam sastra sebenarnya kaya warna dan nuansa”.

Demikian diungkapkan legenda sastra Indonesia, Umbu Landu Paranggi, menjawab pertanyaan wartawan – terkait moralitas atau nilai-nilai esensial kehidupan yang ia yakini dalam sastra – dalam sebuah wawancara khusus yang dimuat dalam rubrik “Insan Wawasan” majalah Balairung No.30/Th/XIV/1999.   

Dalam wawancara yang diunggah kembali di balairungpress.com tanggal 31 Oktober 2018 tersebut, Umbu Landu Paranggi menegaskan bahwa “kebenaran dalam sastra” itu patut diperjuangkan, “Toh, fungsinya adalah untuk memperkaya kehidupan, sebagaimana yang dinyatakan penyair Subagyo Sastrowardoyo, ‘beri kami satu puisi daripada seribu rumus penuh janji’. Sangat tepat apa yang dikemukakan oleh mantan Rektor UGM, Prof. Koesnadi Hardjasoemantri tentang upaya pendidikan, kapasitas intelektual dengan apresiasi seni mesti berjalan seimbang.”

Umbu melanjutkan, “Pendidikan kita selama ini memang mengarahkan kita menjadi ‘Habibie-Habibie’. Itu wajar dan normal, tetapi perjalanan hidup sebagai manusia kan tidak selalu begitu. Prestasi ilmiah harus setara dengan prestasi insaniah. Tak cukup kita ke bulan, ke langit, tanpa ditopang oleh kekayaan batin. Semua yang rasional itu ada batasnya. Bekal semacam ini wajib dimiliki oleh seorang pemimpin”.

“Kebenaran dalam Sastra”, ternyata tidak saja narasi hampa yang keluar dari mulutnya dalam wawancara tersebut. Jauh sebelum wawancara itu dilakukan, Umbu Landu Paranggi telah memulai petualangannya menghidupi kebenaran tersebut. Yogyakarta serupa titik api yang membakar semangat si “kuda putih” dari savana Sumba untuk “jatuh hati” pada kebenaran yang ia yakini itu. “Pokoknya saya jatuh hati rata dengan tanah pada Jogja,” kata Umbu dalam wawancara yang sama.

Selanjutnya sepanjang hidup dan karyanya yang penuh misteri, Umbu Landu Paranggi memegang teguh kebenaran itu. Bahkan pada titik tertentu, setiap orang boleh berpikir bahwa jalan hidup seorang Umbu Landu Paranggi sesungguhnya adalah siluet “kebenaran dalam sastra” itu sendiri. Jejak tapak kakinya di Yogyakarta dan Bali dengan cukup gamblang menegaskan itu.

 

Yogyakarta, SMA Bopkri 1, dan PSK Malioboro

Umbu Landu Paranggi lahir di Kananggar, Sumba Timur, NTT pada 10 Agustus 1943. Sekolah Rakyat dan Sekolah Menengah Pertama ia tempuh di tanah kelahirannya sebelum memulai petualangannya ke Yogyakarta pada 1960. Impian awalnya adalah untuk belajar di SMA Taman Siswa tetapi karena terlambat mendaftar akhirnya ia bersekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta.

Meski mimpi untuk mengenyam pendidikan di Taman Siswa kandas, namun Umbu tetap bersyukur. Di SMA Bopkri ia bertemu dengan guru bahasa Inggris bernama Lasiyah Soetanto. Umbu menyebutnya "guru yang tidak menggurui". Umbu dikenal sebagai anak yang pendiam dan sering menulis puisi. Suatu hari, Lasiyah, yang menjabat Menteri Peranan Wanita Pertama RI itu meminta Umbu membacakan puisinya di depan kelas. "Dan Ibu Lasiyah selalu bilang, nanti saja kalau puisinya sudah dimuat di koran kita kritik ramai-ramai,” tutur Umbu dikutip dari Harian Kompas (18/11/2012). 

Usai lulus dari SMA Bopkri 1, Umbu melanjutkan pendidikan di Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan Ilmu Sosiatri dan di Universitas Janabadra Yogyakarta jurusan Sosiologi. Dan benih kecintaannya akan puisi yang didapat dari guru bahasa Inggris-nya itu pun terus ia tumbuhkan.

Namanya pun mulai dikenal di kalangan sastrawan tanah air ketika karyanya dimuat dalam rubrik “Fajar Menyingsing” majalah Mimbar Indonesia pada tahun 1960. Di sini ia berada bersama sederet nama besar dalam dunia kepenulisan dan sastra yang menjadi awak redaksinya antara lain, Sudjatmoko, Rosihan Anwar, Rivai Apin, H.B. Jassin, A.D. Donggo, dan A.B. Loebis.

Sejak saat itu, Umbu terus meningkatkan kualitas menulisnya hingga akhirnya puisi-puisi Umbu pun menembus "Ruang Budaya" pada tahun 1962. Selanjutnya, sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, Gajah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Gelanggang, dan Pelopor Yogya.

Umbu kemudian menjadi pengasuh rubrik “Persada” dan “Sabana” mingguan Pelopor Yogya selama 1969 – 1975. Dalam kurun waktu yang sama, Umbu pun berperan dalam menghadirkan atmosfer sastra di Yogyakarta terutama di kalangan generasi muda dengan ikut mendirikan Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas yang kelak melahirkan tokoh-tokoh nasional. Peran Umbu sedemikian strategis dalam PSK hingga ia dijuluki “Presiden Malioboro”.

Ketika Umbu Hijrah dari Yogya ke Bali ia memberikan surat kuasa atau mandat penuh kepada Ragil Suwarna Pragolapati untuk mengelola PSK, tetapi mandat itu dilakoni dengan ogah-ogahan. Akhirya PSK dikelola Linus Suryadi 1975 – 1976 dan digantikan Teguh Ranusastra Asmara 1976 – 1977 hingga PSK lenyap karena Pelopor Yogya gulung tikar. Beberapa kali PSK muncul pada tahun 1978, 1979 di tangan Teguh Ranusastra Asmara hingga sirna tahun 1980.

Sekalipun PSK akhirnya sirna pada tahun 1980 – usai Umbu hijrah ke Bali, sebagaimana dilukiskan Ragil Suwarna Pragolapati di atas, benih-benih “kebenaran dalam sastra” yang ditabur, disemaikan, dipupuki, dan dirawat Umbu Landu Paranggi dengan segenap keutuhan jiwa-raganya dalam dirinya dan dalam diri anggota PSK, rasanya tetap hidup. Sederet nama besar dalam kepenulisan dan sastra Indonesia seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Yudistira Ardhi Nugraha, bahkan Agus Dermawan T., dan Ebiet G. Ade, membuktikan hal itu. Dan pada sisi yang lain, Umbu, di tempat petualangan barunya di Bali, masih dengan setia memeluk “kebenaran dalam sastra” itu.

 

Bali, Nyepi dan “InTenSBeh”

Tahun 1975 Umbu memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta. Sejumlah sumber bahkan menyebut tahun itu Umbu menghilang secara misterius. Kemudian diketahui bahwa Umbu ada di Denpasar, Bali. Melansir Harian Kompas, Rabu, 28 Desember 1994, setelah meninggalkan Yogyakarta, Umbu pun memutuskan untuk bermukim di Bali pada 1979, setelah sebelumnya sempat kembali ke kampung halamannya di Sumba, NTT.

Perihal pilihannya untuk hijrah ke Bali ini, Umbu sendiri memang tidak pernah menjelaskannya secara terperinci bila merujuk pada sejumlah referensi tentangnya. Namun dalam wawancara dengan majalah Balairung, kita bisa menangkap sedikit pesan bahwa keputusannya untuk bermukim di Bali tidak terlepas dari proses kreatifnya baik dalam menulis puisi maupun dalam misinya menebar benih “kebenaran dalam sastra” yang ia yakini.

Bila bicara proses kreatif, Umbu merujuk pada perayaan keagamaan Nyepi sebagai suatu konsep yang baginya sangat dahsyat. “Semacam menyepi, menarik diri, namun sekaligus menyerahkan diri pada permenungan atas apa yang kita rasakan,” ungkap Umbu. Ia juga mengatakan bahwa kondisi hutan dan air melimpah mempengaruhi proses kreatifnya. “Kalau sedang sakit, saya pergi berendam di Tabanan dengan air yang meruah,” terangnya, “Serasa merengkuh Denpasar.”

“Ada saat-saat tertentu bagi seorang seniman dimana dia harus mampu ‘merebut dirinya’ dan meninggalkan kegaduhan di luar. Semacam memberi jarak dan semakin memperdalam refleksi,” lanjut Umbu dalam wawancara tersebut.

Sekalipun demikian, Umbu tidak pernah menyepi untuk dirinya sendiri. Di Bali, ia tetap melanjutkan apa yang telah dimulainya di Yogyakarta bersama PSK. Jika di Yogyakarta Umbu mengasuh rubrik “Persada” dan “Sabana” mingguan Pelopor Yogya, di Bali ia mengasuh rubrik “Apresiasi” Bali Post. Jika di Yogyakarta Umbu berperan aktif di PSK, di Jalan Bedahulu XV/28 Denpasar, Bali ia menjadi sosok penting di sebuah komunitas penyair yang ia namakan “Inspirasi Tendangan Sudut Bedahulu”, disingkat “InTenSBeh”.   

Menurut Wajan Jengki Sunarta (2019), selama di Bali, Umbu tidak saja bergiat di “InTenSBeh”.  Umbu juga menggairahkan kehidupan bersastra di sejumlah pelosok desa di Bali, seperti Desa Marga di Tabanan. Peran Umbu di Bali juga nampak dalam berbagai kegiatan apresiasi sastra sebagaimana ditulis Nuryana Asmaudi SA (2019) yakni, di Yayasan Yasakerti Amlapura (Karangasem), SMAN 1 Dawan, di pantai Goa Lawa, di depan Pura Tamansari Semarapura (Klungkung), di salah satu Bale Banjar di Sukawati (Gianyar), di Taman Makam Pahlawan Margarana, di rumah Pak Agus Darmita Wirawan, di SMPN 1 Marga, di halaman SMP TP 45 Marga, di aula SMAN 1 Tabanan, di Museum Subak (Tabanan), di Art Centre 1 Denpasar, dan tempat lainnya. Nuryana Asmaudi SA melanjutkan bahwa terbentuknya Teater Teater Jinang Smasta SMAN 1 Tabanan juga berkat dukungan Umbu, dan Umbu jugalah yang memprakarsai Lomba Cipta Puisi Pelajar Nasional (1999) yang diadakan oleh teater tersebut.

Dan seperti halnya di Yogyakarta, berkat sentuhan tangan dinginnya, sejumlah nama penulis pun lahir di Bali. Mereka di antaranya Wayan Jengki Sunarta, Cok Sawitri, Warih Wisatnana, Oka Rusmini, I Nyoman Wirata, Putu Fajar Arcana, dan masih banyak yang lainnya.

Dilansir National Geographic Indonesia, Selasa (6/4/2021), Wayan Jengki Sunarta mengatakan, Umbu adalah seorang pendidik, motivator, dan pencari bakat. "Dia seorang guru, tapi tidak menggurui," kata Jengki.

"Dia mengajar dengan caranya sendiri, dengan caranya yang unik. Dengan bahasa kode, bahasa simbol. Dia mengajari kita bukan cuma soal memahami sastra, tapi juga bagaimana memahami kehidupan yang lebih luas. Dia nggak pernah ngajari kita teknik puisi secara teori. Tapi mengajarkan kita bersentuhan langsung pada kehidupan yang lebih luas, yang bagi dia adalah puisi alam raya," ujar Jengki.

 

Pisungsung Adiluhung untuk Umbu

Pisungsung adalah kata bahasa Sansekerta yang memiliki arti; hadiah, pemberian, persembahan. Sementara Adiluhung berarti; tinggi mutunya. Atas prakarsa Bpk. Tjie Jehnsen dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), tahun 2019 terbitlah sebuah buku berjudul “Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”. Buku ini diluncurkan pada 31 Juli 2019 di Rumah Budaya EAN, Kadipiro, Yogyakarta. Berlanjut dipersembahkan kepada Umbu Landu Paranggi, 5 Agustus 2019 di Umah Wisanggeni, Batu Bulan, Gianyar, Bali, menyertai penyerahan Ijazah Maiyah dari Komunitas Maiyah kepada sosok yang sama.

Iman Budhi Santosa (2019) menguraikan, buku ini berisi tulisan dari 52 sastrawan yang dipresentasikan sebagai wujud kecil dari ucapan matur nuwun atau matur suksma kepada Saudara Tua Umbu Landu Paranggi yang telah memberikan bertumpuk momentum bersastra serta ajaran mengenai kearifan hidup kepada kita semua. Karena sampai usia 76 tahun (2019) ia tak pernah mundur setapak pun dari jalan hidup yang diyakini dan ditempuhnya. Sebagai orang tua, saudara, guru, motivator, sekaligus sahabat setia yang senantiasa muncul di setiap penjuru dan siap membantu siapa pun yang mulai menapakkan kaki ke dunia sastra. Mulai dari sejarah Persada Studi Klub (PSK) di Koran Minggu Pelopor Yogya hingga Bali Pos, ULP tetap mengamalkan semangat: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Terbitnya buku ini tentu tidak saja merupakan sebuah apresiasi para penulis kepada guru mereka; Umbu, namun sekaligus sebuah pengakuan akan peran besar sosok yang satu ini dalam pertumbuhan sastra Indonesia dan kepenulisan pada umumnya.

Pengakuan akan peran besar Umbu dalam dunia sastra Indonesia tidak sebatas pada apa yang dilakukan oleh murid-muridnya lewat penerbitan buku itu. Oleh pemerintah, Umbu Landu Paranggi merupakan tokoh sastra penerima Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra. Penghargaan tersebut diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019.

Sebelumnya pada tahun 2018, Umbu juga menerima penghargaan dari dunia kampus. Tahun itu Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) memberikan anugerah budaya kepada tiga tokoh. Anugerah diberikan sebagai apresiasi kepada praktisi budaya atau seniman yang dinilai telah memberikan sumbangan istimewa terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan di Indonesia. Pemberian Anugerah Budaya digelar di Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (3/5/2018).

Penerima Anugerah Budaya 2018 adalah Iman Rahman Anggawiria Kusumah atau Kimung dalam Kategori Seniman Tradisi, Umbu Wulang Landu Paranggi dalam Kategori Seniman Modern, dan Eddie Marzuki Nalapraya dalam Kategori Pembina Seni.

Jauh sebelumnya, pada tahun 1999 sebuah prasasti bahkan didirikan di Taman Tirtagangga, Bali. Foto prasasti tersebut dimuat di halaman akhir buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (2019) dengan keterangan; Prasasti Umu Landu Paranggi yang berada di Taman Tirtagangga, Bali. Dalam prasasti itu ada tulisan; RANGTUAKARANG YANG BERTAHTA MAHLIGAI NYAWAKU, UMBU LANDU PARANGGI. Di bawahnya tertulis; PRASASTI PERGANTIAN MILLENIUM Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) bekerja sama dengan Bali Imperial Hotel dan Taman Air Tirtagangga 9 – 9 – ’99.

Barangkali masih terdapat sejumlah penghargaan yang diterima Umbu. Namun beberapa kisah ini menegaskan peran Umbu yang tak bisa lagi dibantah dalam dunia sastra Indonesia. Dan yang pasti, prasasti penghargaan untuk Umbu, telah terpatri dalam dada setiap anak bangsa yang pernah mengalami sentuhan Umbu baik secara langsung maupun tidak langsung melalui karya dan kisah-kisah tentang Umbu.  

 

Memungut Lembar “Kebenaran dalam Sastra”

Selasa (6/4/2021) dini hari pukul pukul 03.55 Wita, di Rumah Sakit Bali Mandara Denpasar, Umbu Landu Paranggi menghembuskan nafas terakhirnya usai menjalani perawatan sejak Sabtu (3/4/2021) karena terserang Covid-19. Pengembaraan sang “kuda putih” Sumba seakan berakhir di sini. Namun tentu tidaklah demikian halnya dengan “kebenaran dalam sastra” yang pernah ia hidupi sejak di Yogyakarta hingga di Bali. Kebenaran itu tetap hidup dalam diri murid-muridnya dan dalam diri siapa saja yang ingin memasuki dunia sastra dan seni.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umbu sendiri dalam wawancara dengan majalah Balairing, “Masukilah dunia sastra dan seni sebagai orang yang bebas dan mau membebaskan diri, tanpa pretensi apa-apa. Ada sesuatu yang menawarkan kepenuhan di dalam sastra dan seni. Sesungguhnya, kalau orang terus takjub atas kehidupan yang dijalaninya, seni dan sastra tak akan pernah habis digarap. Proses pergumulan dalam menyimak suara kehidupan memang tak ada habisnya”.

Terima kasih Umbu, terima kasih Sang Guru. Kau telah benar-benar telah “pulang ke desa” dan “kembali ke huma berhati”. Namun lembaran karya dan kisah tentangmu masih berserakan di padang-padang terbuka; lika-liku kehidupan kami, menawarkan “kebenaran dalam sastra” yang telah kau hidupi. Doakan agar kami mampu memungutnya meski selembar.

 

Daftar Pustaka

Imam Budhi Santosa, dkk. 2019. Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi. Yogyakarta: Rumah Budaya EAN & Azyan Mitra Media

https://www.beritasatu.com/nasional/490920/ui-berikan-penghargaan-anugerah-budaya-kepada-tiga-tokoh

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Umbu_Landu_Paranggi

https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/06/101724165/meninggal-dunia-berikut-sosok-umbu-landu-paranggi-presiden-malioboro?page=all

https://www.kompas.com/hype/read/2021/04/06/091841066/profil-umbu-landu-paranggi-penyair-yang-dijuluki-presiden-malioboro.

https://nationalgeographic.grid.id/read/132636119/obituari-umbu-landu-paranggi-presiden-malioboro-hingga-mahaguru-puisi?page=all

https://historia.id/kultur/articles/berpulangnya-presiden-malioboro-umbu-landu-paranggi-vZVKQ/page/1

https://historia.id/kultur/articles/umbu-landu-paranggi-dan-yori-antar-raih-penghargaan-akademi-jakarta-2019-P7eR2/page/2

https://rumahpusbin.kemdikbud.go.id/penghargaan/profil_detail.php?id=3

https://fib.ui.ac.id/penghargaan-budaya-fib-ui/

https://www.caknun.com/2019/metiyem-pisungsung-adiluhung-untuk-umbu-landu-paranggi/