Sastra dan
Seruan
“Kembali ke Akar Budaya”
Di tengah pusaran arus zaman yang kian menggelora,
seorang putra Timor menghadirkan sebuah novel dengan latar (setting) lokal yang
menantang. Ketika manusia modern sibuk dengan berbagai rutinitas dan
kepentingan yang kadang membabibuta dan kehilangan arah, novelis muda ini
menawarkan sebuah pencerahan lewat karya sastra yang layak diapresiasi. Robert
Fahik, putra Timor kelahiran Betun (Malaka), 5 Juni 1985, kembali menyapa
pecinta sastra lewat novel keduanya, “Likurai untuk Sang Mempelai”, setelah hadir
melalui novel pertamanya “Badut Malaka” tahun 2011.
Seperti novel pertamanya, dalam novel kedua ini sang
penulis kembali mengangkat kekayaan budaya tanah Malaka yang pada tanggal 22
April 2013 lalu sudah diresmikan oleh Mendagri RI Gamawan Fauzi sebagai
kabupaten baru, terlepas dari Belu sebagai kabupaten induk. Dari sisi alur
cerita, novel ini “melanjutkan” kisah “Badut Malaka” sehingga bisa dikatakan
sebagai “dwilogi” sang penulis sendiri. Dari segi gagasan, Robert Fahik juga
“mempertegas” apa yang sudah ia mulai dalam novel pertamanya.
Pada bagian awal novel ini, penulis menampilkan sebuah
flash back yakni gambaran tentang
kisah tokoh aku (Manek Mesak) yang cintanya kandas oleh kematian sang kekasih
(Noy). Namun persoalannya tidak sebatas kematian saja. Ketamakan ayah dan
keluarga Noy yang lebih menghendaki menantu dengan kedudukan sosial yang lebih
tinggi, menjadi tembok raksasa yang menghadang perjalanan cinta Manek Mesak dan
Noy. Maka ketika kembali ke Malaka, Manek Mesak hanya mendapati kuburan Noy di
Antara Badut Malaka (pohon Jarak). Tapi
kematian sang kekasih ternyata bukan menjadi penghalang bagi Manek untuk
membuktikan cintanya. “Perpisahan fisik bukan halangan pencinta sejati untuk
membuktikan cinta dan kerinduannya pada
sang kekasih. Bahkan terkadang cinta menemukan kedalamannya pada sebuah
perpisahan fisik. Maka walaupun tak bersama lagi secara fisik, setidaknya cinta
dan kerinduan tetap menjadi jembatan bagi pergi dan datangnya doa-doa kita. Doa
selalu menyatukan hati manusia kapan dan di manapun,” tegas sang penulis
(halaman 6). Kematian Noy, disusul kematian Ina, wanita yang membesarkan Manek,
tak mematahkan semangatnya dalam mengabdi kepada Malaka. Bersama tujuh
sahabatnya, Manek Mesak berusaha menjadikan Malaka sebagai tanah yang
bermartabat dengan membangun Sekolah Kehidupan Likurai yang bernafaskan
semangat kebudayaan. Untuk menjadikan Malaka sebagai kabupaten yang
bermartabat, penulis melalui tokoh aku yang berprofesi sebagai penyair
sekaligus guru, menawarkan strategi pembangunan yang berbasiskan spirit budaya
lokal. Untuk itulah didirikan Sekolah Kehidupan Likurai. (Maxi Nitsae, 2013). “Sebuah
sekolah tanpa lantai, tanpa atap, tanpa dinding, dan tanpa campur tangan dari
pihak manapun. Inilah Sekolah Kehidupan Likurai yang lantainya adalah tanah,
atapnya adalah langit, dan dindingnya adalah bukit-bukit. Kita akan berjalan
bersama, mengelilingi seluruh wilayah Malaka, hal yang sudah pernah kulakukan
sebelumnya, namun yang masih ingin terus kulakukan. Di setiap kampung yang kita
datangi, kita akan belajar bersama anak-anak, tak terkecuali para orang tua. Kita
akan berdialog bersama mereka, saling meneguhkan agar tak lelah dalam mencintai
Malaka. Cinta itu tak lain ialah tekad untuk menjaga harta kekayaan budaya.
Kebersamaan, kerukunan, cinta, kebenaran, ketulusan, kerja keras, kejujuran,
gotong-royong, dan semuanya yang dititipkan surga kepada Malaka. Ini adalah
modal utama untuk menyambut datangnya hari itu, hari kemerdekaan. Hari ketika
Malaka tampil sebagai sang mempelai sejati. Hari ketika Malaka dinobatkan
sebagai tanah yang mekar dan bercahaya.” (halaman 35-36).
Bernaung
di bawah “Sekolah Kehidupan Likurai”, Manek Mesak bersama tujuh sahabatnya
berjalan di seluruh pelosok Malaka, belajar bersama orang-orang Malaka,
bergelut bersama alam Malaka. Hingga hari itu pun datang, “Malaka remsi menjadi
sebuah kabupaten”, yang ditampilkan secara apik lewat “fakta jurnalistik” dalam
bagian 10; Suatu Hari di Kota Betun (halaman 91-108). Kisah ditutup lewat
sebuah kecelakaan yang dialami Manek Mesak ketika melintas di hutan We Mer.
Longsor di kwasan itu membuat sang guru muda, penyair Malaka terkapar dan tak
berdaya. Ia mengalami kelumpuhan dan hanya bisa bergantung pada kursi roda. We
Mer, hutan lindung yang kian terancam gundul sengaja ditampilkan sebagai seruan
“kembali ke alam” (back to nature).
Bersyukur atas karya Pencipta. Setiap keindahan pada tubuh ibu pertiwi seperti
pantai-pantai indah di Malaka (dan juga hutan lindung We Mer), adalah karya
agung Sang Pencipta. Dengan mensyukuri karya Pencipta, kita semakin
mengenal-Nya. (Yohanes Manhitu, 2013).
Namun
ada yang menarik di akhir kisah novel ini. Manek Mesak yang mengalami
kelumpuhan punya satu permintaan agar ia dibawa ke tepi sungai Benenai. “Aku ingin mentitipkan
mimpi-mimpi kita pada sungai Benenai agar terus mengalir dan tak pernah
kering,” kalimat terkahir dalam novel yang menegaskan kerinduan sang penulis
agar apa yang telah ia gagaskan dalam novel terus hidup di tengah masyarakat
pembaca. Gagasan tentang cinta tanah air, pendidikan, kerja keras, pluralisme,
dan terlebih penghargaan atas kekayaan budaya yang kita miliki. Gema likurai
adalah seruan pulang yang menyejukan hati ketika banyak orang lupa akan jalan
pulang. Gerakan pulang ini juga merupakan awasan kritis filosofis sang penulis.
Pulang untuk memungut kembali kekayaan budaya dan tradisi, mengemas dan
mengembangkannya untuk kemudian disumbangkan ke altar globalisasi. (Ermalindus
A.J. Sobay, 2013).
Novel
ini diterbitkan oleh penerbit Cipta Media Yogyakarta bekerjasama dengan
Komunitas Rumah Segitiga Kupang, diberi pengantar oleh Yohanes Sehandi (penulis
buku “Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT”) dan Epilog oleh Mezra E. Pellondou
(sastrawan NTT). Peluncuran perdana dilakukan di Yogyakarta dengan menghadirkan
Yohanes Manhitu, Maxianus Nitase, dan Ermalindus A.J. Sonbay sebagai pembicara.
Novel dengan tebal 124 halaman (+ xx) ini telah mendapat apresiasi dari sejumlah tokoh dari berbagai
kalangan yakni Gerson Poyk, sastrawan Indonesia asal NTT, Muhammad Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., Kepala Kantor
Bahasa Provinsi NTT, Benny Dasman, Pelaksana Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Romo
Amanche Franck Oeninu, Sastrawan-Koordinator Dusun Flobamora, Dr. Norbertus Jegalus, M.A.,
dosen Filsafat Unwira Kupang, Bara Pattyradja, penyair muda Indonesia asal NTT,
Petrus Seran Tahuk, tokoh muda Malaka- peminat sastra, Nelsensius Klau Fauk, putra Malaka, tinggal di
Adelaide, Australia–penulis dan pemerhati masalah-masalah sosial, dan Kornelius Wandelinus Subang,
putra Malaka, Mahasiswa Pascasarjana UTY, anggota Liga Mahasiswa
Pascasarjana/LMP NTT Yogyakarta. (Ignasius S. Roy Tei Seran S.Fil. &
Fransiskus Xaverius Taolin, S.Fil.-Komunitas Rumah Segitiga).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar