Rabu, 18 Desember 2013

Resensi Novel



Sastra dan Seruan 
“Kembali ke Akar Budaya”

Di tengah pusaran arus zaman yang kian menggelora, seorang putra Timor menghadirkan sebuah novel dengan latar (setting) lokal yang menantang. Ketika manusia modern sibuk dengan berbagai rutinitas dan kepentingan yang kadang membabibuta dan kehilangan arah, novelis muda ini menawarkan sebuah pencerahan lewat karya sastra yang layak diapresiasi. Robert Fahik, putra Timor kelahiran Betun (Malaka), 5 Juni 1985, kembali menyapa pecinta sastra lewat novel keduanya, “Likurai untuk Sang Mempelai”, setelah hadir melalui novel pertamanya “Badut Malaka” tahun 2011.
Seperti novel pertamanya, dalam novel kedua ini sang penulis kembali mengangkat kekayaan budaya tanah Malaka yang pada tanggal 22 April 2013 lalu sudah diresmikan oleh Mendagri RI Gamawan Fauzi sebagai kabupaten baru, terlepas dari Belu sebagai kabupaten induk. Dari sisi alur cerita, novel ini “melanjutkan” kisah “Badut Malaka” sehingga bisa dikatakan sebagai “dwilogi” sang penulis sendiri. Dari segi gagasan, Robert Fahik juga “mempertegas” apa yang sudah ia mulai dalam novel pertamanya.
Pada bagian awal novel ini, penulis menampilkan sebuah flash back yakni gambaran tentang kisah tokoh aku (Manek Mesak) yang cintanya kandas oleh kematian sang kekasih (Noy). Namun persoalannya tidak sebatas kematian saja. Ketamakan ayah dan keluarga Noy yang lebih menghendaki menantu dengan kedudukan sosial yang lebih tinggi, menjadi tembok raksasa yang menghadang perjalanan cinta Manek Mesak dan Noy. Maka ketika kembali ke Malaka, Manek Mesak hanya mendapati kuburan Noy di Antara Badut Malaka (pohon Jarak). Tapi kematian sang kekasih ternyata bukan menjadi penghalang bagi Manek untuk membuktikan cintanya. “Perpisahan fisik bukan halangan pencinta sejati untuk membuktikan cinta dan kerinduannya  pada sang kekasih. Bahkan terkadang cinta menemukan kedalamannya pada sebuah perpisahan fisik. Maka walaupun tak bersama lagi secara fisik, setidaknya cinta dan kerinduan tetap menjadi jembatan bagi pergi dan datangnya doa-doa kita. Doa selalu menyatukan hati manusia kapan dan di manapun,” tegas sang penulis (halaman 6). Kematian Noy, disusul kematian Ina, wanita yang membesarkan Manek, tak mematahkan semangatnya dalam mengabdi kepada Malaka. Bersama tujuh sahabatnya, Manek Mesak berusaha menjadikan Malaka sebagai tanah yang bermartabat dengan membangun Sekolah Kehidupan Likurai yang bernafaskan semangat kebudayaan. Untuk menjadikan Malaka sebagai kabupaten yang bermartabat, penulis melalui tokoh aku yang berprofesi sebagai penyair sekaligus guru, menawarkan strategi pembangunan yang berbasiskan spirit budaya lokal. Untuk itulah didirikan Sekolah Kehidupan Likurai. (Maxi Nitsae, 2013). “Sebuah sekolah tanpa lantai, tanpa atap, tanpa dinding, dan tanpa campur tangan dari pihak manapun. Inilah Sekolah Kehidupan Likurai yang lantainya adalah tanah, atapnya adalah langit, dan dindingnya adalah bukit-bukit. Kita akan berjalan bersama, mengelilingi seluruh wilayah Malaka, hal yang sudah pernah kulakukan sebelumnya, namun yang masih ingin terus kulakukan. Di setiap kampung yang kita datangi, kita akan belajar bersama anak-anak, tak terkecuali para orang tua. Kita akan berdialog bersama mereka, saling meneguhkan agar tak lelah dalam mencintai Malaka. Cinta itu tak lain ialah tekad untuk menjaga harta kekayaan budaya. Kebersamaan, kerukunan, cinta, kebenaran, ketulusan, kerja keras, kejujuran, gotong-royong, dan semuanya yang dititipkan surga kepada Malaka. Ini adalah modal utama untuk menyambut datangnya hari itu, hari kemerdekaan. Hari ketika Malaka tampil sebagai sang mempelai sejati. Hari ketika Malaka dinobatkan sebagai tanah yang mekar dan bercahaya.” (halaman 35-36).
            Bernaung di bawah “Sekolah Kehidupan Likurai”, Manek Mesak bersama tujuh sahabatnya berjalan di seluruh pelosok Malaka, belajar bersama orang-orang Malaka, bergelut bersama alam Malaka. Hingga hari itu pun datang, “Malaka remsi menjadi sebuah kabupaten”, yang ditampilkan secara apik lewat “fakta jurnalistik” dalam bagian 10; Suatu Hari di Kota Betun (halaman 91-108). Kisah ditutup lewat sebuah kecelakaan yang dialami Manek Mesak ketika melintas di hutan We Mer. Longsor di kwasan itu membuat sang guru muda, penyair Malaka terkapar dan tak berdaya. Ia mengalami kelumpuhan dan hanya bisa bergantung pada kursi roda. We Mer, hutan lindung yang kian terancam gundul sengaja ditampilkan sebagai seruan “kembali ke alam” (back to nature). Bersyukur atas karya Pencipta. Setiap keindahan pada tubuh ibu pertiwi seperti pantai-pantai indah di Malaka (dan juga hutan lindung We Mer), adalah karya agung Sang Pencipta. Dengan mensyukuri karya Pencipta, kita semakin mengenal-Nya. (Yohanes Manhitu, 2013).   
           Namun ada yang menarik di akhir kisah novel ini. Manek Mesak yang mengalami kelumpuhan punya satu permintaan agar ia dibawa ke tepi sungai Benenai. “Aku ingin mentitipkan mimpi-mimpi kita pada sungai Benenai agar terus mengalir dan tak pernah kering,” kalimat terkahir dalam novel yang menegaskan kerinduan sang penulis agar apa yang telah ia gagaskan dalam novel terus hidup di tengah masyarakat pembaca. Gagasan tentang cinta tanah air, pendidikan, kerja keras, pluralisme, dan terlebih penghargaan atas kekayaan budaya yang kita miliki. Gema likurai adalah seruan pulang yang menyejukan hati ketika banyak orang lupa akan jalan pulang. Gerakan pulang ini juga merupakan awasan kritis filosofis sang penulis. Pulang untuk memungut kembali kekayaan budaya dan tradisi, mengemas dan mengembangkannya untuk kemudian disumbangkan ke altar globalisasi. (Ermalindus A.J. Sobay, 2013).
Novel ini diterbitkan oleh penerbit Cipta Media Yogyakarta bekerjasama dengan Komunitas Rumah Segitiga Kupang, diberi pengantar oleh Yohanes Sehandi (penulis buku “Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT”) dan Epilog oleh Mezra E. Pellondou (sastrawan NTT). Peluncuran perdana dilakukan di Yogyakarta dengan menghadirkan Yohanes Manhitu, Maxianus Nitase, dan Ermalindus A.J. Sonbay sebagai pembicara. Novel dengan tebal 124 halaman (+ xx) ini telah mendapat apresiasi dari sejumlah tokoh dari berbagai kalangan yakni Gerson Poyk, sastrawan Indonesia asal NTT, Muhammad Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Benny Dasman, Pelaksana Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Romo Amanche Franck Oeninu, Sastrawan-Koordinator Dusun Flobamora, Dr. Norbertus Jegalus, M.A., dosen Filsafat Unwira Kupang, Bara Pattyradja, penyair muda Indonesia asal NTT, Petrus Seran Tahuk, tokoh muda Malaka- peminat sastra, Nelsensius Klau Fauk, putra Malaka, tinggal di Adelaide, Australia–penulis dan pemerhati masalah-masalah sosial, dan Kornelius Wandelinus Subang, putra Malaka, Mahasiswa Pascasarjana UTY, anggota Liga Mahasiswa Pascasarjana/LMP NTT Yogyakarta. (Ignasius S. Roy Tei Seran S.Fil. & Fransiskus Xaverius Taolin, S.Fil.-Komunitas Rumah Segitiga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar