Membangun
Dialog Kebudayaan
(Catatan
Atas Novel “Likurai Untuk Sang Mempelai” karya R. Fahik)
Oleh: Gusty
Fahik*
Sastra tidak
semata-mata hasil khayalan atau imajinasi liar seorang penulis. Sastra bisa
diberi arti sebagai permenungan yang mendalam dan pemaknaan yang serius atas
setiap pengalaman dan harapan dalam kehidupan. Sebuah karya sastra dapat
seketika merangkum masa lalu, masa kini dan masa depan, pun menjangkau
ruang-ruang yang luput dari perhatian kebanyakan orang. Membaca sebuah karya
sastra berarti membiarkan diri menjelajah, melintasi sekat ruang dan waktu,
memungut ceceran makna yang bertebaran sepanjang lintasan sejarah kehidupan.
Likurai Untuk Sang
Mempelai, sebuah novel kultural buah pena Robertus Fahik sebagai kelanjutan
dari novel Badut Malaka, dapat dianggap sebagai sebuah album sejarah yang tidak
sepenuhnya berisi kisah fiktif hasil imajinasi kreatif, tetapi memuat
potongan-potongan fakta yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, terlebih momen
pemekaran Malaka, sebagai sebuah kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten
Belu, awal 2013 ini. Gerson Poyk, memberi catatan untuk novel ini dengan label faction (fact and fiction), campuran antara fakta jurnalistik dan karya
fiktif. Fakta-fakta jurnalistik tidak hanya dijadikan hiasan
dalam novel, tetapi direnungi dan diberi makna secara cukup mendalam oleh sang
penulis. Fakta dan fiksi berjalin berkelindan dengan begitu padu dalam novel
ini seolah membahasakan keindahan liukan para penari likurai.
Likurai, tarian khas
dan kebanggaan orang Belu dan Malaka menjadi ikon utama dalam karya ini. Likurai
(Haliku: mengawasi, menjaga,
melindungi, Rai: tanah, negeri) ditampilkan
sebagai simbol kultural orang Malaka, dan dimaknai sebagai sebuah sekolah
kehidupan. Di tengah terpaan arus globalisasi dan gejala memudarnya berbagai
kekayaan budaya lokal, likurai diangkat kembali oleh penulis dan dijadikan
landasan pijak untuk menyambut kelahiran dan harapan kehidupan baru yang
ditawarkan oleh mekarnya Malaka sebagai sebuah daerah otonomi baru.
Kehadiran Malaka diumpamakan
dengan kedatangan seorang mempelai yang memberi suka cita dan kebahagiaan,
karena itu rasanya pantas bila disambut dengan liukan dan keindahan tarian
Likurai. Gambaran ini seolah ingin menunjukkan bahwa Malaka sebagai sebuah
daerah otonomi yang mekar di tengah pengaruh globalisasi, perlu
disambut dan dibekali pengenalan akan kekayaan budaya yang dikandungnya. Malaka
memiliki kekayaan kulturalnya sendiri yang bila dimaknai secara benar dan
dihayati dengan bijak maka akan menjadi salah satu perlengkapan utama Malaka
untuk maju dan bersaing dengan daerah-daerah lain di bumi Indonesia ini.
Apakah kondisi terkini
menunjukkan bahwa orang Malaka masih memiliki kebanggaan akan Likurai, Bidu, Aikanoik, Hanimak,
Kananuk, dan aneka kekayaan budaya lainnya? Atau apakah generasi muda
Malaka, selain mengenakan berbagai produk busana modern, masih bisa menenun
sehelai tais mane atau tais feto, atau memasak akarbilan dan menghidangkannya dengan
penuh kebanggaan? Mungkin inilah kegelisahan yang dirasakan penulis dan
mendorongnya melahirkan novel ini. Sebab arus globalisasi dan tren mutakhir
kapitalisme tingkat lanjut memiliki kecenderungan untuk mencabut orang dari
akar kulturalnya, membuat orang merasa malu dengan apa yang menjadi miliknya
dan tanpa pertimbangan apapun larut dalam budaya konsumsi berbagai hal yang
ditawarkan dari luar. Orang dipaksa untuk mengonsumsi berbagai macama produk
yang ditawarkan, tanpa harus tahu apakah ia membutuhkannya atau tidak. Bahkan
banyak nilai kehidupan dikorbankan demi kepuasan sesaat yang tidak jarang
justru menyesatkan.
Sebagai karya sastra
novel ini memiliki kandungan nilai yang tidak dibatasi oleh lokalitas yang
sengaja ditonjolkan, melainkan berdimensi universal. Kekayaan kultural (dan
religius), tidak saja dimiliki oleh kabupaten Malaka yang menjadi setting novel
ini, melainkan dimiliki juga oleh daerah-daerah lain di luar Malaka dan NTT. Kecintaan
pada budaya sendiri, tidaklah dimaksudkan untuk menutup diri dan menolak semua
pengaruh yang masuk dari luar. Kecintaan dan kebanggaan akan kekayaan kultural
perlu dimiliki oleh setiap orang, sebelum ia keluar dan mengalami perjumpaan
dengan budaya lain. Dialog kebudayaan hanya mungkin berlangsung seimbang dan fair bila setiap orang
tidak lagi malu mengakui kekayaan budayanya dan
bersedia membagikannya kepada orang lain, tanpa tendensi untuk menguasai
dan mendominasi. Orang menjadi mudah terpengaruh dan terperangkap dalam arus
negatif zaman ketika ia tidak lagi sadar akan potensi yang dimiliki dan tidak
pernah menghayatinya.
Penghargaan, persamaan
derajat, kesetaraan dan keterbukaan tidak saja terkandung dalam kekayaan budaya
Malaka, tetapi juga dalam kebudayaan lain. Novel ini dengan kekhasan
lokalitasnya seolah mengingatkan para pembaca untuk kembali menyadari kekayaan
budayanya masing-masing sebagai sebuah sekolah kehidupan. Kearifan dan
nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kebudayaan lokal perlu kembali
dihidupi sebagai perangkat untuk menyaring berbagai hal yang masuk dari luar. Adalah
tidak mungkin untuk menutup diri secara total terhadap setiap pengaruh luar,
tetapi adalah mungkin untuk melakukan penyaringan (filtrasi), dan adaptasi kreatif terhadap nilai-nilai lain yang
berasal dari luar.
Likurai Untuk Sang
Mempelai, novel kultural yang lahir di penghujung tahun 2013, adalah sebuah
afirmasi terhadap nilaI-nilai kultural, sekaligus sebuah awasan sebelum melangkah
masuk ke tahun 2014. Setiap saat terjadi perjumpaan antar-budaya dan di
dalamnya bisa saja terjadi gesekan dan benturan. Robertus Fahik membagikan
sebuah harapan bahwa gesekan dalam perjumpaan dengan kebudayaan lain tidaklah
menjadi suatu masalah besar bila orang bersedia untuk saling berbagi sebagai
saudara dalam suatu keluarga dan sekolah; kehidupan. Upaya penulis novel ini
menjadi pula sebuah afirmasi dari apa yang pernah dikatakan William J. Durant
(1885-1981) bahwa sebuah peradaban belum benar-benar dijajah, sebelum hancur
dari dalam.
*Anggota Liga
Mahasiswa Pascasarjana (LMP) NTT-Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar