Senin, 23 Desember 2013

Opini Gusty Fahik



Membangun Dialog Kebudayaan
(Catatan Atas Novel “Likurai Untuk Sang Mempelai” karya R. Fahik)

Oleh: Gusty Fahik*


            Sastra tidak semata-mata hasil khayalan atau imajinasi liar seorang penulis. Sastra bisa diberi arti sebagai permenungan yang mendalam dan pemaknaan yang serius atas setiap pengalaman dan harapan dalam kehidupan. Sebuah karya sastra dapat seketika merangkum masa lalu, masa kini dan masa depan, pun menjangkau ruang-ruang yang luput dari perhatian kebanyakan orang. Membaca sebuah karya sastra berarti membiarkan diri menjelajah, melintasi sekat ruang dan waktu, memungut ceceran makna yang bertebaran sepanjang lintasan sejarah kehidupan.
            Likurai Untuk Sang Mempelai, sebuah novel kultural buah pena Robertus Fahik sebagai kelanjutan dari novel Badut Malaka, dapat dianggap sebagai sebuah album sejarah yang tidak sepenuhnya berisi kisah fiktif hasil imajinasi kreatif, tetapi memuat potongan-potongan fakta yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, terlebih momen pemekaran Malaka, sebagai sebuah kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten Belu, awal 2013 ini. Gerson Poyk, memberi catatan untuk novel ini dengan label faction (fact and fiction), campuran antara fakta jurnalistik dan karya fiktif. Fakta-fakta jurnalistik tidak hanya dijadikan hiasan dalam novel, tetapi direnungi dan diberi makna secara cukup mendalam oleh sang penulis. Fakta dan fiksi berjalin berkelindan dengan begitu padu dalam novel ini seolah membahasakan keindahan liukan para penari likurai.
            Likurai, tarian khas dan kebanggaan orang Belu dan Malaka menjadi ikon utama dalam karya ini. Likurai (Haliku: mengawasi, menjaga, melindungi, Rai: tanah, negeri) ditampilkan sebagai simbol kultural orang Malaka, dan dimaknai sebagai sebuah sekolah kehidupan. Di tengah terpaan arus globalisasi dan gejala memudarnya berbagai kekayaan budaya lokal, likurai diangkat kembali oleh penulis dan dijadikan landasan pijak untuk menyambut kelahiran dan harapan kehidupan baru yang ditawarkan oleh mekarnya Malaka sebagai sebuah daerah otonomi baru.
            Kehadiran Malaka diumpamakan dengan kedatangan seorang mempelai yang memberi suka cita dan kebahagiaan, karena itu rasanya pantas bila disambut dengan liukan dan keindahan tarian Likurai. Gambaran ini seolah ingin menunjukkan bahwa Malaka sebagai sebuah daerah otonomi yang mekar di tengah pengaruh globalisasi, perlu disambut dan dibekali pengenalan akan kekayaan budaya yang dikandungnya. Malaka memiliki kekayaan kulturalnya sendiri yang bila dimaknai secara benar dan dihayati dengan bijak maka akan menjadi salah satu perlengkapan utama Malaka untuk maju dan bersaing dengan daerah-daerah lain di bumi Indonesia ini.
            Apakah kondisi terkini menunjukkan bahwa orang Malaka masih memiliki kebanggaan akan Likurai, Bidu, Aikanoik, Hanimak, Kananuk, dan aneka kekayaan budaya lainnya? Atau apakah generasi muda Malaka, selain mengenakan berbagai produk busana modern, masih bisa menenun sehelai tais mane atau tais feto, atau memasak akarbilan dan menghidangkannya dengan penuh kebanggaan? Mungkin inilah kegelisahan yang dirasakan penulis dan mendorongnya melahirkan novel ini. Sebab arus globalisasi dan tren mutakhir kapitalisme tingkat lanjut memiliki kecenderungan untuk mencabut orang dari akar kulturalnya, membuat orang merasa malu dengan apa yang menjadi miliknya dan tanpa pertimbangan apapun larut dalam budaya konsumsi berbagai hal yang ditawarkan dari luar. Orang dipaksa untuk mengonsumsi berbagai macama produk yang ditawarkan, tanpa harus tahu apakah ia membutuhkannya atau tidak. Bahkan banyak nilai kehidupan dikorbankan demi kepuasan sesaat yang tidak jarang justru menyesatkan.
            Sebagai karya sastra novel ini memiliki kandungan nilai yang tidak dibatasi oleh lokalitas yang sengaja ditonjolkan, melainkan berdimensi universal. Kekayaan kultural (dan religius), tidak saja dimiliki oleh kabupaten Malaka yang menjadi setting novel ini, melainkan dimiliki juga oleh daerah-daerah lain di luar Malaka dan NTT. Kecintaan pada budaya sendiri, tidaklah dimaksudkan untuk menutup diri dan menolak semua pengaruh yang masuk dari luar. Kecintaan dan kebanggaan akan kekayaan kultural perlu dimiliki oleh setiap orang, sebelum ia keluar dan mengalami perjumpaan dengan budaya lain. Dialog kebudayaan hanya mungkin berlangsung seimbang dan fair bila setiap orang tidak lagi malu mengakui kekayaan budayanya dan  bersedia membagikannya kepada orang lain, tanpa tendensi untuk menguasai dan mendominasi. Orang menjadi mudah terpengaruh dan terperangkap dalam arus negatif zaman ketika ia tidak lagi sadar akan potensi yang dimiliki dan tidak pernah menghayatinya.
            Penghargaan, persamaan derajat, kesetaraan dan keterbukaan tidak saja terkandung dalam kekayaan budaya Malaka, tetapi juga dalam kebudayaan lain. Novel ini dengan kekhasan lokalitasnya seolah mengingatkan para pembaca untuk kembali menyadari kekayaan budayanya masing-masing sebagai sebuah sekolah kehidupan. Kearifan dan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kebudayaan lokal perlu kembali dihidupi sebagai perangkat untuk menyaring berbagai hal yang masuk dari luar. Adalah tidak mungkin untuk menutup diri secara total terhadap setiap pengaruh luar, tetapi adalah mungkin untuk melakukan penyaringan (filtrasi), dan adaptasi kreatif terhadap nilai-nilai lain yang berasal dari luar.
            Likurai Untuk Sang Mempelai, novel kultural yang lahir di penghujung tahun 2013, adalah sebuah afirmasi terhadap nilaI-nilai kultural, sekaligus sebuah awasan sebelum melangkah masuk ke tahun 2014. Setiap saat terjadi perjumpaan antar-budaya dan di dalamnya bisa saja terjadi gesekan dan benturan. Robertus Fahik membagikan sebuah harapan bahwa gesekan dalam perjumpaan dengan kebudayaan lain tidaklah menjadi suatu masalah besar bila orang bersedia untuk saling berbagi sebagai saudara dalam suatu keluarga dan sekolah; kehidupan. Upaya penulis novel ini menjadi pula sebuah afirmasi dari apa yang pernah dikatakan William J. Durant (1885-1981) bahwa sebuah peradaban belum benar-benar dijajah, sebelum hancur dari dalam.


*Anggota Liga Mahasiswa Pascasarjana (LMP) NTT-Yogyakarta
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar