“Badut Malaka”;
Panggilan Kenabian, Panggilan Kemanusiaan
(Beberapa nilai dalam novel Badut Malaka)
Oleh : Juwandi Ahmad;
Penulis buku “The Young Sufi”-
Jejak Cinta Sang Sufi Muda
Disampaikan dalam Bedah Novel Badut Malaka
Magister Sains Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Mei 2011.
Manusia tidak hanya sebatas homo tetapi harus meningkatkan diri
menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip, nilai, dan rasa
kemanusiaan yang melekat dalam dirinya. Memanusiakan manusia berarti perilaku
manusia untuk senantiasa menghargai dan menghormati harkat dan derajat manusia
lainnya. Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama, tidak menghardik,
tidak bersifat kasar, tidak menyakiti, dan tidak melakukan perilaku-perilaku
buruk lainnya. Sikap dan perilaku memanusiakan manusia didasarkan atas prinsip
kemanusiaan yang disebut the mankind is one. Prinsip kemanusiaan tidak
membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit,
suku, agama, ras, asal, dan status sosial ekonomi (Herimanto dan Winarno,
2009).
Prinsip kemanusiaan di atas juga
terkait dengan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna
karena dianugerahi akal budi dan perasaan. Sehingga menurut Prayitno dan Erman
(2004), manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dan paling tinggi
derajatnya. Ditambahkan bahwa dalam ”keindahan dan ketinggian derajatnya” itu,
ada empat dimensi kemanusiaan yang melekat dalam diri manusia, yakni: antara
orang yang satu dengan orang lainnya terdapat perbedaan yang kadang-kadang
bahkan sangat besar (1), semua orang memerlukan orang lain (2), kehidupan
manusia tidak bersifat acak ataupun sembarangan tetapi mengikuti aturan-aturan
tertentu (3), dari sudut tinjauan agama, kehidupan tidak semata-mata kehidupan
di dunia fana, melainkan juga menjangkau kehidupan di akhirat (4).
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas
maka menjadi jelas bahwa manusia harus selalu menyadari keberadaannya serentak
potensi-potensi kemanusiaan yang melekat dalam dirinya. Dengan kesadaran itu
manusia bisa menjadi pribadi yang berkarakter dan mampu tampil sebagai saksi
kebenaran dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, manusia yang memiliki
kesadaran kemanusiaan turut mengambil bagian dalam panggilan untuk menempa
dirinya serentak membangun masyarakatnya.
Dalam konteks di atas dapat
dikatakan bahwa kemajuan suatu bangsa (masyarakat, daerah) ditentukan oleh
orang-orang yang idup di dalamnya. Maka menumbuhkan kesadaran untuk mencapai
tingkat kemajuan merupakan sebuah syarat mutlak dalam konteks ini. Salah satu
topik yang kini sedang hangat dibicarakan ialah bagaimana mengangkat kembali
kearifan lokal (local wisdom) untuk dijadikan titik tolak perjuangan membangun karakter
diri serentak masyarakat, bangsa, dan negara. Di sisi lain kearifan lokal
disadari sebagai bekal bagi generasi muda. Hal ini berangkat dari hakekat
manusia (masyarakat) yang hidup dalam budaya tertentu dengan kekayaan nilai di
dalamnya.
Jamal D. Rahman, pemimpin redaksi
majalah sastra Horison bahkan mengakui bahwa banyak karya sastra kita yang
berhasil, sebagiannya karena ia (sastrawan) dengan baik mengangkat cerita
kesukuan, cerita yang kental dengan warna lokal. Umar Kayan, Ahmad Tohari dan
Donanto, misalnya mengangkat warna Jawa dalam karya mereka; Ajip Rosidi
mengangkat warna Sunda; Korrie Layun Rampan mengangkat warna Dayak; Oka Rusmini
mengangkat warna Bali; Taufiq Ikram Jamil mengangkat warna Melayu Riau.
Sementara dari ranah Minangkabau kita bisa menyebut antara lain A.A. Navis,
Wisran Hadi dan Gus tf Sakai (Horison, tahun XLIV, No. 5/ 2010, Mei 2010). Dalam konteks NTT umumnya dan pulau Timor khususnya, novel Badut Malaka
yang ditulis R.Fahik bisa disebut sebagai salah satu karya sastra yang memberi
gambaran tentang konteks social dan budaya masyarakat Timor, khususnya Belu –
Malaka. Dalam gambaran konteks social inilah terkandung berbagai nilai yang
dapat kita petik.
A. Konteks Sosial Budaya
Dalam Novel “Badut Malaka”
Bila dicermati secara mendalam,
setidaknya ada empat point yang dapat disebut sebagai konteks social dalam
novel Badut Malaka. Empat point tersebut antara lain:
1. Masyarakat Malaka yang
umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani/bertani.
Hal ini terungkap dalam novel yakni adanya persawahan, perbukitan, dan hutan. Selain
itu masyarakat Malaka juga mengenal budaya/mata pencaharian nelayan. Hal ini ditandai dengan adanya
pantai-pantai di pesisisr laut selatan Timor yang diuraikan oleh penulis dalam
novel Badut Malaka.
2. Masyarakat tradisional: hal ini terbukti dari
uraian penulis tentang adanya rumah dan upacara adat, tarian, serta kesadaran
masyarakat untuk menjaga warisan luluhur.
3. Minat yang tinggi untuk
mencari nafkah di luar negeri. Dalam konteks masyarakat Malaka, kebanyakan dari
mereka memilih pergi ke Malaysia dan bekerja sebagai TKI.
4. Sifat-sifat buruk
manusia yang umum terjadi dalam suatu kebudyaan. Dalam novel Badut Malaka, sifat-sifat itu antara lain, pertentangan/penolakan
sebagian masyarakat terhadapat suara kebenaran yang disampaikan sang
pengembaran dalam kesaksiannya. Hal lain ialah perjodohan yang masih diatur menurut
kelas social. Hal lain lagi yakni kemalasan/ sifat malas yang kadang masih
dimiliki oleh sebagian masyarakat.
Konteks social budaya sebagaimana terungkap di
atas kemudian direnungkan oleh tokoh Aku dan hasil permenungan itu
dituangkannya dalam kesaksian hidupnya. Ia keluar dari tanah kelahirannya dan
merantau ke tanah asing. Dalam perantauannya itulah Cintanya tumbuh, bukan
hanya untuk seorang gadis Malaka tetapi cinta itu juga dipersembahkan bagi
seluruh kutuhan Malaka; orang-orang Malaka. “Sesungguhnya aku tak hanya mencintai seorang gadis Malaka. Aku
mencintai orang-orang malaka, tanah Malaka, udara Malaka, api Malaka, keutuhan
Malaka”.
Dalam konteks ini, ada dua (2) hal yang menarik
untuk disimak.
1.
Hubungan
cinta sang tokoh dengan seorang gadis malaka yang ditentang keras orang tua
“Maka alangkah baiknya
cintai itu kau kubur bersama puisi-pusimu yang basi dan kau benamkan saja
diantara ilmu pengetahuan dan kebajikanmu”.
2.
Kecintaan
pada tanah leluhur (tanah kelahiran, budaya, adat, alam)
“Aku begitu bergairah
untuk terbang, berkelana, memeruhi tanggungjawabku sebagai putra Malaka sejati”.
Berdasarkan dua konteks itulah, tokoh Aku dalam Badut Malaka memutuskan
untuk pergi ke tahan asing, meninggalkan tanah Malaka dan sang gadis, Noy yang
ia cintai. Kepergiannya itu bukan sekadar sebuah perjalanan hampa tetapi
perjalanan penuh makna. Ia tetap berharap suatu saat nanti ia akan kembali dan
diterima sebagai nabi. Beberapa kutipan menjelaskan hal ini:
·
“Maka aku pergi dengan harapan bisa kembali suatu
saat membawa cahaya dan mereka yang mencemohku boleh menyalamiku.”
·
“Inilah
catatan masa lalu yang merangkum segenap keutuhan diriku. Seorang pengembara
yang punya seribu mimpi indah tapi juga sederet kenyataan yang menyakitkan bila
di kenang. Seorang manusia biasa yang pernah dibelenggu rantai keangkuhan
kemalasan dan menjadi beku di tanahnya sendiri hingga dicemooh dan diasingkan.
Sungguh tak diperhitungkan dalam deretan anak-anak terang dan pemilik masa
depan “.
B. Panggilan Kenabian dalam
Badut Malaka
Dalam novel Badut Malaka ada beberapa hal menarik dan mendasar untuk
dapat diuraikan sebagai panggilan kenabian. Pendasarannya bahwa setiap budaya
menyimpan beribu kekayaan nilai kehidupan. Dalam konteks orang Malaka, sebagian
kekayaan budaya itu tertuang dalam novel Badut Malaka. Beberapa kutipan dalam
novel melukiskan hal ini.
1) Kebangkitan Roh
Dalam bagian “Kebangkitan Roh”, beberapa kutipan
dapat diangkat. Kutipan-kutipan ini disadari sebagai kutipan yang menegaskan
sebuah keterpanggilan yang mestinya disadari manusia dalam konteksnya sebagai
pribadi dan sebagai insan berbudaya.
·
”Sepuluh tahun aku
mengembara di tanah asing dan tahun-tahun yang kulewati sungguh seperti
butir-butir perintah Allah yang diterima Musa di gunung Sinai. Siapa mengira putra
Malaka yang malang ini akan dibakar dalam tanur api pengasingan hingga keluar
sebagai emas murni”.
Kalimat ini
mengungkapkan rahasia di balik proses berpikir/refleksi manusia. Bahwa dengan
merenungkan kehiduapnnya; pengalaman-pengalamannya, manusia dapat mengalami
sesuatu yang baru, berubah ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi
kemanusiaan yang melekat dalam dirinya.
·
“Inilah rahasia kehidupan bahwa bahwa dalam diri setiap
orang senantiasa ada gerakan roh yang mengetuk dinding-dinding hati yang beku,
dan bahwa memang suugguh mulia dan agung jika tiap-tiap orang berani melakukan
perjalanan. Mengembara dan terus mengembara hingga mencapai apa yang paling
berarti dalam hidupnya. Kebangkitan Roh. Apakah roh kebangkitan dapat sungguh
berdiam dalam diri setiap prang hingga dia yang tak berarti itupun kini tampil
sebagai nabi? Memang demikianlah kebenaran. Kita berasal dari surga dan akan
kembali ke surga. Sepatuntnya kita mengikuti panggilan tangan-tangan malaikat
surga sebab roh kebangkitan sungguh berdiam dalam diri kita jauh sebelum sebuah
kelahiran dan tidak akan pernah berakhir dalam kematian.Inilah kebangkitan Roh,
yakni ketika manusia berani melawan keangkuhan dan kemalasannya”.
Kalimat ini bermakna:
Jika manusia benar-benar merenungkan hidupnya; pengalaman-pengalamannya, ia
akan mendengar bisikkan kebenaran yang tentunya datang dari Tuhan sendiri (hati
nuraninya). Suara hari nurani itulah yang menjadi landasan kuat untuk membangun
kepribadiannya. Hal yang menarik ialah bahwa di dalam diri setiap manusia dan
masyarakat, potensi kebenaran itu ada. Hanya saja, terkadang hal ini tidak
disadari dan manusia/ masyarakat justru mencari kebenaran-kebenaran semu di
luar dirinya.
2) Kesaksian sang
pengembara (tokoh Aku) di Balai Kota
Beberapa kutipan dalam
kesaksian tokoh Aku di Balai Kota sesungguhnya menggambarkan metamorfoisis kesadaran orang-orang malaka. Berawal dari kabar kedatangan
tokoh Aku yang tersebar di seluruh pelosok Malaka hingga sampai ke telinga
pemimpin kota. Lalu sang pengembara diundang untuk tampil di depan publik. Dan hal itu pun terjadi,
tokoh Aku bersaksi di Balai Kota tentang hakekat kehidupan, benih-benih
kebenaran yang terkandung dalam diri manusia Malaka dan masyarakat Malaka.
Ada pihak yang dengan tulus mengapresiasi kesaksian sang pengembara, ada
pula yang menolak. Namun yang menarik untuk disimak ialah proses metamorfosis
kesadaran manusia. Bahwa hanya dengan keterbukaan hatilah, manusia bisa sampai
pada titik kebenaran sesungguhnya. Dalam hidup perlu ada saat di mana manusia
menyediakan waktu untik berdialog dan saling mendengarkan. Itulah rahasia
proses metamorfosis kesadaran manusia Malaka (dan manusia umumnya).
Beberapa kutipan dalam novel melukiskan hal ini:
·
”Demikianlah kabar
kedatanganku akhirnya sampai ke telinga pemimpin kota, para tua adat, pemimpin
agama bersama seluruh masyarakatnya. Gema syairku akhirnya bersarang di kepala
pemimpin kota dan orang-orangnya. Dan apapun yang kuucapkan dengan satu lidah
telah diucapkan oleh banyak lidah. Aroma karangan bunga “Badut Malaka” telah
tersebar di seluruh tanah Malaka dan cahaya lilin-lilin “Badut Malaka” telah memenuhi
pelosok-pelosok Malaka”
·
”Sekarang saatnya kau
bicara, hai pengembara. Bersaksilah tentang kemuliaan jiwamu, hai penyair
Malaka. Siapa tahu kata-kata yang keluar dari dadamu menjadi lorong bagi kami
menuju tanah terjanji dan syair-syairmu menjadi mata air dan “manna” di gurun
hati kami. Bicaralah hai putra Malaka. Sesungguhnya kami telah banyak mendengar
tentangmu tapi kini dan di sini kami akan mendengarkanmu.”
·
”Sepuluh tahun aku
mengembara di tanah asing dan tahun-tahun yang kulewati sungguh seperti
butir-butir perintah Allah yang diterima Musa di gunung Sinai. Siapa mengira
putra Malaka yang malang ini akan dibakar dalam tanur api pengasingan hingga keluar
sebagai emas murni. Sungguh, tahun-tahun yang kulewati adalah permenungan. Aku
merasa membutuhkan waktu satu tahun untuk membaca satu butir perintah Allah
hingga akhirnya aku membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk membaca kesepuluh
perintah itu, walau kutahu seluruh waktu dalam kehidupanku sesungguhnya adalah
lembaran hukum surga yang tak boleh kunodai dengan tinta kemunafikan”.
·
”Dua belas hari aku
mengembara di tanah Malaka, hingga aku merasa seperti menjumpai dua belas suku
Israel yang dipanggil Allah seturut namanya masing-masing. Mereka mengembara
dari tanah pengasingan dan penindasan Mesir menuju tanah terjanji Kanaan.Hai
orang-orang Malaka, kitapun dipanggil oleh Allah seturut nama kita
masing-masing untuk keluar dari pengasingan dan kemelaratan menuju tanah
terjanji”.
·
”Pengasingan dan
kemelaratan kita bukanlah kekejaman Firaun tapi ketertutupan pintu
jiwa untuk memandang cahaya surga. Pengasingan dan kemelaratan kita bukanlah
kerja paksa oleh pasukan raja Mesir tapi kekerdilan jiwa hingga tak mampu
melihat diri kita yang sesungguhnya dan orang-orang di sekitar kita. Tanah
terjanji kita bukanlah Kanaan yang berlimpah susu dan madunya. Inilah tanah
terjanji kita, tanah Malaka!! Tanah yang berlimpah cahaya surga, tanah yang
agung seagung kesakralan budaya kita, tanah yang kokoh dan perkasa bak tarian
ombak pantai selatan. Tapi juga tanah yang ramah, lembut, bersahabat, seindah
lenggokan tangan dan goyangan pinggul para gadis yang membawakan tarian “bidu”.
·
”Pengembaraan kita bukanlah menaklukkan gunung Sinai dan Horeb, tapi menaklukkan gunung
keangkuhan dan kemalasan di hati kita. Pengembaraan kita bukanlah berjalan
sejauh langkah bangsa Israel tapi berdiam diri dan bertanya, apa yang telah
kuperbuat hari ini untuk memuliakan Tuhan”.
·
”Inilah surga dalam dunia,
ketika masing-masing orang bangkit dari tidurnya dan menyerukan kerinduan akan
kebenaran dan cinta. Sungguh, jika tiap orang memiliki semangat ini maka dunia
adalah taman firdaus yang sudut-sudutnya ditumbuhi bunga-bunga segar yang tak
kenal layu dan nyanyaian burung-burung menjadi kidung keabadian. Siapa yang tak
merasa damai dalam taman ini. Dengarlah saudara-saudaraku, tak seorangpun dapat
membangkitkan kita dari tidur kecuali diri kita sendiri. Tak ada yang dapat
memerdekakan tanah ini kecuali kita sendiri. Inilah saatnya bagi kita untuk
bangkit dari tidur. Cukup sudah keangkuhan dan kemalasan
itu mendera kita”.
C. Memaknai “BADUT MALAKA”
Novel Badut Malaka
sesungguhnya memilki dua wujud/dimensi yang menarik utnuk disimak. Pertama,
wujud cultural-fungsional. Kedua, dimensi simbolik-filosofis-makna.
1. Wujud—Kultural—fungsional
Secara historis, Badut Malaka telah merasuk dalam struktur kesadaran;
menjadi bagian dari kebudayaan orang Malaka (sebagai alat penerangan, dan
dipercaya dapat mengusir kekuatan atau roh jahat). Sekarang Badut Malaka telah
menjadi bagian dari terminologi ilmiah: ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Simbolik─Filosofis─Makna
Badut Malaka adalah
tanaman yang terus tumbuh, berbunga, menghasilkan buah, dan cahaya: simbol keilahian, pencerahan, kebangkitan, ilmu pengetahuan, kebenaran. Dan dengan badut malaka, roh atau kekuatan jahat dapat ditumbangkan
(serakah, sombong, mementingkan diri sendiri, malas, dsb)
Kutipan yang merangkum
dimensi-dimensi di atas ialah: “Maka
biarlah Badut Malaka ini tetap tertancan di dinding-dinding hati kita dan
cahanya memenuhi ruang jiwa, menerangi aliran darah kita dan membalut sendi-sendi
tulang kita dengan cahaya surge”. (Badut Malaka: hal. 49, 55, 62, 64, 76,
78, 88, 94, 122, 132, 139).
Sedemikian pentingnya maka kutipan ini diulang hingga sebelas kali.
Setidaknya ada dua hal menarik terkait kutipan ini: (1) Sebuah nasehat untuk
kembali menjadi orang-orang Malaka yang tidak tercerabut dari akar
kebudayaannya, warisan lelehuhurnya, dan terasing dari kekayaan alamnya, (2)
Sebuah seruan untuk melawan kekuatan jahat di dalam diri dan bangkit untuk
melakukan suatu perubahan dan membangun kebudayaan atau perdaban agung.
Akhirnya kutipan inti di atas merangkum tiga hal : Kesadaran Diri,
Kesadaran tehadap Alam, Kesadaran Ilahiah.
D. PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEBUDAYAAN
Mengacu pada hakekat
Ilmu pengetahuan dengan Filsafat sebagai ibu segala ilmu pengetahuan, maka ada
tiga hal utama yang menjadi dasar (dimensi) dalam menguraikan suatu
teori/pengetahuan: Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologi. Dalam konteks orang Malaka yang tertuang
dalam novel Badut Malaka, ketiga dimensi pendidikan itu dapat diuraikan sebagai
berikut:
·
Hakikat pendidikan karakter
adalah suatu proses pembentukan pribadi-pribadi agung dan tercerahkan
berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang bertujuan untuk melakukan suatu
perubahan dan pembentukan kebudayaan agung (Ontologis).
·
Epistemologis: Pertama: Kurikulum harus memberi perhatian terhadap budaya dan kearifan lokal
(kristalisasi bahasa, seni, tradisi, filafat, alam, dan sejarah kebudayaan
lokal. Kedua: Kurikulum harus mengarah pada pembentukan
Spiritualitas dan spiritualitas (pluralisme, agama, pancasila, sejarah nasional
indonesia dll)
·
Aksiologis: 1. Sadar Kesukuan, Keagamaan,
Keindonesiaan, Kesejagatan. 2. Identitas diri dan identitas Budaya yanga kuat.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Malaka (dan
masyarakat umumnya), ketiga dimensi pendidikan di atas berhadapan dengan
berbagai benturan; kenyataan, pengalaman, ideologi, sikap,dsb. Hal inilah yang
terkadang menyebabkan krisis identitas (1) dan tercerabutnya individu
dari akar kedirian dan kebudayaanya (2). Berangkat dari fenomena inilah, proses
belajar/berpikir harus senantiasa disadari, dimaknai, dan dipraktekkan oleh
manusia.
Dalam novel Badut Malaka, bagaimana masyarakat Malaka (seharusnya) memaknai
”Badut Malaka” dapat digambarkan sebagai berikut:
·
Pada
jaman dahulu/ nenek moyang, orang Malaka mengenal Badut Malaka sebagai tumbuhan
yang dapat dijadikan sebagai penerang/ lampu tradisional (badut malaka putih/
“mutin”). Selain itu, Badut Malaka juga dipercayai sebagai penghalau kekuatan
roh jahat (badut malaka merah/“mean”)
·
Jaman
sekarang “Badut Malaka” hendaknya dikembangkan sebagai bahan bakar alternatife
yang ramah lingkungan (ada dalam novel/catatan kaki)
·
Namun
lebih dari itu makna yang mau diperjuangkan penulis ialah, semangat kesadaran
untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik, lebih maju, dan lebih bersaing.
Inilah yang harus dimiliki orang-orang Malaka. Hanya dengan kesadaran utuh-lah,
Malaka dapat makin maju dan mensejajarkan diri dengan masyarakat lain yang
sudah maju. Segala unsur keangkuhan dan kemalasan harus diberantas dengan
kesadaran dan kemauan untuk bekerja keras sambil tetap memelihara persatuan
dalam masyarakat. Inilah panggilan
kenabian dalam novel Badut Malaka. Sebuah panggilan yang bukan hanya ditujukan
bagi orang Malaka tetapi manusia dan kebudayaan secaca luas.. Sebuah sumbangan
yang sangat berarti dari seroang putra Timor untuk sastra, kehidupan, dan
kemanusiaan universal.
Pustaka:
Herimanto dan Winarno. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Horison, tahun XLIV, No. 5/ 2010, Mei 2010
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan
dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Proposal Penyelenggaraan Kegiatan Peluncuran Novel Badut
Malaka. Diselenggarakan oleh Benenai Study Club (BSC) Yogyakarta, di Atambua:
Maret 2011.
R. Fahik. 2011. Badut
Malaka. Yogyakarta: Cipta Media