Seperti Merdeka di Tanah Sendiri
Gedung SMKN 1 Amarasi Barat (Foto: Rezo Kaka/Cakrawala NTT) |
Warga Desa Nekbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten
Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) punya cara tersendiri dalam mendukung akses
pendidikan di daerahnya. Dengan semangat gotong-royong, mereka membangun gedung
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Amarasi Barat. Meski beratap
alang-alang dan beralaskan tanah, berdirinya sekolah tersebut membuat mereka merasa
merdeka di tanah sendiri.
Mata Isak Amnifu, S.H., berkaca-kaca
ketika menatap gedung sekolah SMKN 1 Amarasi Barat sambil menceritakan kisah
berdirinya sekolah tersebut, Senin (30/5/2016). Pertengahan tahun 2014, ketika itu
dirinya yang masih menjabat kepala desa setempat bersama beberapa tokoh
masyarakat berniat mendirikan sebuah sekolah menengah atas. Hal ini berangkat
dari keprihatinan mereka akan anak-anak daerah ini yang harus menempuh jarak jauh
untuk bersekolah di ibu kota kecamatan.
Setelah menempuh berbagai upaya,
akhirnya pemerintah setempat menyetujui niat tersebut namun dengan syarat harus
ada gedung sekolah. Amnifu pun segera menggerakkan warganya. Bahkan, rencana
pembangunan gedung sekolah itu ia masukkan dalam program kerja desa. Salah satu
point penting ialah penyerahan hak tanah seluas 5 hektar dari warga untuk
sekolah tersebut.
Oktober 2014 masyarakat mulai
membangun gedung SMKN 1 Amarasi Barat. Semangat gotong-royong menyelimuti
mereka yang bekerja tanpa lelah, tanpa upah. Dalam waktu enam hari, gedung
empat ruang tersebut selesai dibangun.
“Para orangtua dan keluarga-keluarga
di sini sangat antusias. Kami kerja gotong royong, tidak ada imbalan. Intinya kita
mau bangun kita punya kampung. Jangan kita punya anak-anak harus ke kota lagi. Tujuan
lainnya untuk perkenalkan daerah ini. Kalau sudah ada sekolah, pasti orang akan
ke sini. Nah, mereka bisa lihat daerah kita dengan potensi alam yang masih
begitu luas. Ada juga pantai yang bisa dijadikan objek wisata,” kata Amnifu.
Tahun ini, kata Amnifu, komite
sekolah bersama warga setempat membangun lagi dua ruang tambahan untuk
menunjang proses pembelajaran di tahun ajaran baru nanti. Meski gedungnya masih
darurat, namun dirinya berharap apa yang dilakukannya bersama warga dapat
memberi dukungan bagi para guru dan siswa di sekolah ini. Sebelumnya warga juga
sudah membangun kamar mandi/wc sekolah dengan bantuan semen dari sebuah sekolah
tinggi di Kupang, serta uang penjualan batu pecah, hasil kerja para siswa.
Setelah dua tahun sekolah ini berjalan,
ada keyakinan dalam diri Amnifu bersama warga setempat bahwa sekolah ini akan
tetap hidup. Jumlah siswa yang awalnya hanya 9 orang, kini bertambah menjadi 31
orang, yang terbagi dalam kelas X dan XI dengan dua jurusan yakni Usaha
Perjalanan Wisata dan Perhotelan. Demikian pula dengan tenaga pengajar yang
sejak awal hanya 6 guru, kini terdapat 11 guru, meski hanya 1 guru yang
berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tiga guru adalah guru kontrak kabupaten,
sementara yang lainnya adalah guru honor komite.
“Secara pribadi saya bangga dengan
adanya sekolah ini. Setelah sekolah ini berdiri, kami merasa sepeti merdeka di
tanah sendiri, di kampung kami. Walau awalnya tertaih-tatih, kita modalnya hanya
gotong royong dan kemauan kuat. Tetapi dengan diakuinya sekolah ini, apalagi
dengan status negeri, saya bangga. Dan saya menangis di depan anak-anak waktu
serah terima SK untuk sekolah ini dari pemerintah, sekitar Agustus 2015. Saya katakan,
kalian ini adalah pahlawan, pendiri sekolah ini. Merdekalah kami Nekbaun, karena
desa di pinggiran, terisolir, kapan dan siapa yang mau datang lihat kami di
sini? Dengan adanya sekolah, wilayah kami sudah dilihat. Jangan sampai ada yang
tertarik misalnya potensi alamnya,” tuturnya.
Siswa Tinggal di Rumah
Warga
Ada hal menarik dari SMKN 1 Amarasi
Barat. Warga di daerah setempat menerima para siswa untuk tinggal di rumahnya. Umumnya
satu keluarga menerima dua sampai empat siswa. Ada juga beberapa siswa yang
menempati rumah kosong milik warga yang punya rumah lebih dari satu atau bekas
rumah warga yang sudah pindah.
Kepala Sekolah SMKN 1 Amarasi Barat,
Maher Kaseh, S.Pd., menuturkan, hal tersebut dikarenakan rumah siswa yang berjarak
belasan kilo meter dari sekolah, tidak memungkinkan mereka untuk pulang-pergi
setiap hari. Meski tinggal di rumah warga, kata Kaseh, para siswa tetap nyaman
dalam belajar. Keluarga-keluarga di daerah setempat pun menerima kehadiran para
siswa dengan hati gembira.
“Sejak awal memang warga di sini
sudah punya komitmen untuk mendukung sekolah ini. Termasuk untuk menerima siswa
di rumahnya. Bahkan mereka bilang, ada anak-anak rasanya lebih ramai di kampung
ini. Para siswa biasanya pulang ke rumahnya di hari Sabtu sore. Namun kebanyakan
memilih tidak pulang juga, karena mereka juga terlibat dalam berbagai kegiatan
masyarakat seperti di gereja,” jelas Kaseh.
Hal tersebut diamini Noni Mentari,
siswi kelas XI Jurusan Pariwisata. Menurutnya, tinggal di rumah warga menjadi
pengalaman tersendiri karena dirinya diajarkan untuk hidup mandiri sejak dini. Hal-hal
sederhana seperti memasak, mencuci pakaian serta mengatur waktu belajar,
baginya menjadi tantangan sekaligus peluang untuk belajar mandiri.
“Kadang ingat mama dan bapa di
rumah, tapi tetap saja bertahan karena kalau saya sukses, orangtua juga pasti
bahagia dan bangga. Warga di sini juga sangar ramah dan baik terhadap kami,
jadi kami sangat betah,” kata Mentari.
Fasilitas Minim
Terletak jauh dari kota, SMKN 1
Amarasi Barat menyajikan keheningan alam yang sangat mendukung suasana
pembelajaran di kelas. Jaraknya yang hanya sekira 500 meter dari bibir pantai juga
memungkinkan adanya pembelajaran di luar kelas, sekaligus wadah ‘refreshing’
bagi gusu dan siswa. Meski demikian, fasilitas yang minim tentu masih menjadi
pekerjaan rumah serta harapan bagi pihak komite maupun pihak sekolah.
Maher Kaseh, S.Pd., mengakui hingga
kini sekolah yang dipimpinnya masih kekurangan sarana dan prasarana. Dirinya mencontohkan,
papan tulis yang masih dipinjam dari sekolah (SD, SMP) terdekat. Kapur tulis
juga sering diminta dari sekolah-sekolah tersebut. Untuk meja dan kursi, meski
masih kurang, pihak komite punya kebijakan yakni setiap siswa baru wajib
membawanya sebagai sumbangan untuk sekolah.
“Kita coba terus maju meski ada
kekurangan sana-sini. Dan saya bersyukur karena pihak komite dan teman-teman sangat mendukung. Kadang kita terpaksa
pinjam uang dari ibu Rizky, guru SM3T kita. Baru-baru ini ibu Rizky pinjamkan
uangnya untuk pengadaan seragam siswa kelas XI yang akan praktek bulan Juni
hingga September nanti,” kisah Kaseh.
Fasilitas sekolah yang minim juga
diakui Herlin Y. Sortuy, S.Pd.K., guru agama SMKN 1 Amarasi Barat. Namun dirinya
bersyukur karena semangat anak-anak tidak pernah pudar. Disipilin siswa sangat
baik, entah dalam pembelajaran atau pun dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti
kerohanian, berkebun, dan les tambahan bahasa Inggris.
“Harapan kami, akses jalan serta
listrik ke sekolah bisa diperhatikan, selain tentunya gedung sekolah yang lebih
layak. Juga kesejahteraan guru honor yang hingga kini masih menerima upah Rp 35.000
per bulan,” harap guru honorer yang mengabdi di SMKN 1 Amarasi Barat sejak
sekolah tersebut berdiri. (Robert Fahik)