“MEMBACA”
BUKU KARYA PENULIS NTT
DATA BUKU
Judul :
DARI AVONTUR KE WASIAT KEMUHAR
(Antologi
Ulasan Buku Karya Penulis NTT)
Penulis : Afrizal Malna, dkk
Editor :
A. Nabil Wibisana & Christian Senda
Lay Out :
Irwan A. Pellondou
Penerbit :
Kantor Bahasa Provinsi NTT
Cetakan I :
September 2015
Tebal buku :
ix + 148 halaman
ISBN :
978-602-73153-5-8
Pada
waktu tiga sastrawan/budayawan Indonesia, yakni Putu Wijaya, Radhar Panca
Dahana, dan Gerson Poyk tampil dalam “Seminar Nasional Seni Budaya dan
Pembangunan” yang diselenggarakan Komunitas Sastra Rumah Poetica di Taman Budaya NTT, Kupang pada 11 April 2012,
dinyatakan secara jelas bahwa NTT butuh kritikus sastra dan budaya. “Di NTT banyak potensi seni dan budaya,
tetapi kurang kritikus. NTT butuh kritikus sastra,” tandas Radhar Panca Dahana diamini Putu Wijaya dan
Gerson Poyk (Victory News, 12, 13
April 2012 – dikutip Yohanes Sehandi dalam bukunya Sastra Indonesia Warna Daerah NTT – Penerbit Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, 2015).
Harapan
serentak ‘kegelisahan’ yang sama kembali diutarakan dalam Temu I Sastrawan NTT
yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi NTT pada Agustus 2013 di Kupang. Seakan
belum menemukan jawabannya, “kritik/kritikus sastra di NTT” kembali menjadi
salah satu topik hangat yang diperbincangkan dalam Temu II Sastrawan NTT di
Ende, Oktober 2015. Namun angin segar serasa hadir pada kegiatan yang digelar
di Universitas Flores tersebut. Selain buku antologi puisi “Nyanyian Sasando”
dan antologi cerpen “Cerita dari Selat Gonzallu” yang berisi karya pada penulis
NTT (sebagaimana dihasilkan dalam Temu I Sastrawan NTT), diluncurkan juga buku
“Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT.
Buku
yang diterbitkan Kantor Bahasa Provinsi NTT ini seakan menjadi gerbang menuju
pemenuhan atas harapan serta kegelisahan dalam dunia sastra NTT akan hadirnya
kritik/krikikus sastra di NTT. Sebagaimana diakui oleh editor buku ini dalam
catatan editor; Antologi ulasan buku
karya penulis NTT ini adalah rintisan awal yang merangkum, mendokumentasikan,
dan memaparkan ruang diskusi antara buku dan pembacanya… Tugas antologi ini
pertama-tama adalah sebagai kumpulan ulasan buku, bukan semacam pemilihan
buku-buku “terbaik” yang terbit dalam periode waktu tertentu. Tugas kedua
antologi ini membentangkan jembatan dialog , menggambarkan peta antarwacana tentang
kecenderungan-kecenderungan tematik maupun stilistik dalam buku-buku sastra
karya penulis NTT yang terbit dalam periode lim tahun terakhir (2011 – 2015).
Buku
“Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” berisi 13 artikel berupa ulasan karya buku
penulis NTT baik antologi puisi, antologi cerpen, maupun novel. Artikel pertama
merupakan ulasan Moh. Fathoni terhadap antologi puisi Ragil Supriyatno Samid
berjudul Avontur. Ulasan yang diberi
judul “Kesaksian dan Pernyataan dalam Peristiwa” tersebut pernah disampaikan
sebagai makalah dalam acara bedah buku Avontur
di Yogyakarta, 18 Maret 2012. Artikel kedua berjudul “Badut Malaka: Panggilan Kenabian, Panggilan Kemanusiaan.” Ulasan terhadap
novel Badut Malaka karya Robert Fahik
ini ditulis Juwandi Ahmad, pernah disampaikan sebagai makalah dalam bedah novel
Badut Malaka di Program Magister
Sains Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Mei 2011. Artikel ketiga
datang dari Yosef Serano Korbaffo. Tulisannya “Filsafat dan Novel Benang Merah: Sebuah Benang Merah”
merupakan ulasan terhadap novel Benang
Merah karya Unu Ruben Paineon, pernah dipsampaikan sebagai makalah dalam
Parade Buku Sastra NTT (Festival Sastra Santarang, Kupang, Juni 2015) dan
dipublikasikan di Pos Kupang edisi 18
Maret 2015.
Sastrawan
muda NTT Mario F. Lawi juga turut menyumbangkan tulisannya dalam buku ini. Mario
mengulas buku puisi Catatan Sunyi
karya Monika N. Arundhati dalam artikelnya “Sunyi, Gembala, dan Kelahiran” –
pernah dipublikasikan di Jurnal Sastra
Santarang edisi Maret 2015. Tulisan Mario disusul ulasan terhadap buku
puisinya berjudul “Ekaristi”, yang disumbangkan oleh Yohanes Seo. Tulisan
Yohanes Seo yang pernah dipublikasikan di Koran Tempo edisi 4 Januari 2015
tersebut diberi judul “Antara Alkitab, Sawu, dan Puisi.” Tulisan berikut datang
dari Patris Allegro berjudul “Kanuku Leon: Sebuah ‘Katekese’ Ekologis.” Tulisan
yang pernah dipublikasikan di Jurnal
Sastra Santarang edisi Desember 2013 ini merupakan ulasan terhadap antologi
cerpen Kanuku Leon karya Christian
Senda. Sastrawan kenamaan Indonesia Afrizal Malna juga menyumbangkan salah satu
ulasan sastranya dalam buku ini. Afrizal Malna mengulas buku puisi Kuyup Basahmu karya Ishack Sonlay dalam
tulisannya berjudul “Ishack Sonlay. Lensa Makna dalam 5 kali Pembesaran.”
Tulisan yang merupakan prolog dalam buku Ishack ini juga dipublikasikan di Blog
Indonesian Literary Collective, Desember 2014.
Karya
sastra penulis NTT berikut yang diulas dalam buku ini datang dari tanah Sumba
melalui Christo Ngasi lewat novelnya Matta
Liku. Novel Christo diluas oleh Herman P. Panda dalam tulisan berjudul “Antara
Harga Diri Lelaki, Kehormatan Suku, dan Tangisan Putri.” – merupakan prolog
dalam novel ini. Tulisan Herman P. Panda disusul ulasan Sintus Runesi terhadap
buku puisi Parinseja karya Steve Elu.
Tulisan Sintus Runesi berjudul “Dan Kita Pun Diundang ke Timor: Steve Elu,
Parinseja, dan Anamnetik Jiwa” pernah dipublikasikan di Jurnal Sastra Santarang edisi Mei 2015.
Ulasan
sastra berjudul “Sastra dan Kampung” karya Paul Budi Kleden turut mewarnai buku ini. Ulasan terhadap buku puisi Pukeng Moe, Lamalera karya Bruno Dasion
ini pernah dipublikasikan di Pos Kupang
edisi 10 Maret 2012. Tulisan Paul Budi
Kleden diikuti ulasan Eka Putra Nggalu “Ketika Sastrawan ‘Asyik’ dengan
Dunianya”. Tulisan yang belum pernah dipublikasikan ini merupakan ulasan
terhadap buku kumpulan cerpen Sabtu
Kelabu karya penulis muda NTT, Erlyn Lasar. Hengky Ola Sura hadir dengan
“Imajinasi Penyair dan Keadaban Budaya.” Tulisan yang pernah dipublikasikan di
Pos Kupang edisi 24 November 2013 ini merupakan ulasan terhadap buku puisi
karya penyair Bara Pattyradja. Ulasan buku karya penulis NTT dalam buku ini
ditutup dengan sebuah ulasan ilmiah-sistematik karya dosen Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta asal NTT, Yoseph Yapi Taum. Tulisan berjudul “Wasiat Kemuhar
Pion Ratulolly: Cerita dari NTT untuk Indonesia” ini merupakan Prolog yang
dimuat dalam buku kumpulan cerpen Wasiat
Kemuhar karya Pion Ratulolly.
Hadirnya
buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” memberi warna tersendiri dalam dunia
publikasi NTT yang sejauh ini memang masih sepi dari buku ulasan sastra. Buku
ini seakan menjadi titik api pertama yang akan membawa cahaya besar dalam
apresiasi karya sastra di NTT. Beberapa hal menarik dapat dicatat dari buku ini.
Pertama, seluruh buku yang diulas
dalam buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar” merupakan buku karya penulis NTT. Sekalipun
sebagaimana ditulis oleh editor buku ini bahwa antologi ini bukan semacam
pemilihan buku “terbaik”, namun sebagai masyarakat NTT tidak berlebihan jika
kita boleh berbangga bahwa di tanah Flobamora telah lahir penulis-penulis sastra
yang punya potensi besar.
Kedua,
karya sastra yang diulas dalam buku ini tidak sedikit yang mencerminkan warna
lokal NTT. Saya mengutip catatan editor buku ini; Dengan segala keterbatasannya, antologi ini berupaya untuk memberikan
gambaran tentang keragaman tematik dan stilistik yang coba ditawarkan oleh para
penulis NTT melalui karya-karya mereka (dari segi setting saja, misalnya, ada
prosa dengan latar Malaka, Sumba, Adonara, dan sebagainya, atau eksplorasi
tematik puisi-puisi yang mengangkat lokalitas Sabu, Lembata atau Lamalera).
Dengan ini sebuah kesadaran bisa lahir bahwa sastra pada konteks tertentu dapat
menjadi wadah komunikasi antarbudaya, selain merupakan ekspresi jiwa
penulisnya.
Ketiga,
ada perpaduan indah sekaligus bernas. Perpaduan pertama, adalah para penulis
dalam buku ini (boleh saya sebut sebagai krikikus sastra – dalam konteks buku
ini) tidak hanya berasal dari (orang) NTT tetapi juga dari luar NTT, seperti
Afrizal Malna dan Juwandi Ahmad. Masih dalam point ini, para penulis ulasan
buku sastra dalam buku ini tidak hanya berasal dari kalangan “senior” yang
sudah tidak asing di dunia publikasi seperti Paul Budi Kleden dan Yoseph Yapi
Taum, tetapi juga muncul penulis-penulis muda potensial dengan ulasannya yang
tidak kalah menarik serta ber-isi. Perpaduan kedua, adalah warna ulasan yang
ditampilkan dalam buku ini, sebagaimana dipaparkan dalam catatan editor; ulasan-ulasan terpilih dalam antologi ini
disajikan dalam bentuk dan tone yang beragam, mulai dari ulasan yang sitematik
model telaah akademik… sampai ulasan yang “lebih cair”… yang mencoba menangkap dan
menjabarkan segi paling menonjol dari buku yang dibahas. Beberapa ulasan
disajikan secara impresif, dalam arti mampu menguak sudut-sudut tersembunyi
dari buku yang dikupasnya, berhasil menggali dan memaparkan wacana-wacana yang
mungkin luput dalam modus pembacaan ala kadarnya.
Keempat,
hadirnya buku ini (ulasan-ulasan di dalamnya) dapat menjadi “contoh” bagi
masyarakat pembaca di NTT tentang bagaimana “membaca” sebuah karya sastra
termasuk karya sastra penulis NTT. Dengan ini kita pun sesungguhnya disadarkan
tentang kekayaan sastra yang dimiliki bumi Flobamora. Di sisi lain hadirnya
buku ini perlahan memberi jawaban atas pertanyaan sekaligus tantangan yang
pernah dilontarkan Yohanes Sehandi dalam tulisannya di Pos Kupang (11 Juni 2013); kritikus sastra NTT, di manakah kau?
Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada
Kantor Bahasa NTT beserta tim editor yang telah berupaya menghadirkan buku ini
– sebuah buku yang memberi warna baru dalam publikasi di NTT. Kiranya (untuk
dipertimbangkan) buku ini dapat diperbanyak oleh Kantor Bahasa NTT sehingga
bisa menjangkau masyarakat luas (setidaknya sekolah dan kampus; karena buku ini
tidak diperjualbelikan). Akhirnya, buku “Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar”
sesungguhnya mengajak kita untuk mulai “membaca” buku karya penulis NTT dengan
penuh kebanggaan tanpa harus mengabaikan sikap kritis dalam sebuah pembacaan
karya sastra. Dengan ini kita juga berharap ke depan dapat lahir (terbit) lagi
buku-buku ulasan karya sastra penulis NTT, atau setidaknya makin banyak ulasan
sastra yang mewarnai media-media di NTT sebagaimana publikasi karya sastra yang
tidak lagi sepi. (robert fahik)