R. Fahik
I
“Hidup pak Yani!”. Masih ingatkah kau ayah, pekikan
singkat itu? Seperti yang pernah kau ceritakan. Iya, “Hidup pak Yani!”.
Kata-kata itu menggema di pelataran Seminari Tinggi Ledalero. Pimpinan
biara, Pastor Jozef Bouman SVD bersama ratusan frater menyambut kehadiran Letjen
TNI Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan
Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi, 25 September 1965 sekitar pukul
11.30 Wita. Ketika itu sang jendral hadir bersama Brigjen TNI Donald Isaac
Panjaitan yang menjabat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang
Logistik, bersama rombongan berjumlah sekitar 20 orang.
Itu merupakan rangkaian dari kunjungan Jendral Yani ke wilayah Timur Indonesia
dalam upaya memperkuat pancasila dan keutuhan bangsa. Memang ketika itu mulai
muncul ancaman serius terutama dari PKI. Sebagai Menteri/Panglima Angkatan
Darat, Jendral Yani membangkitkan semangat warga bangsa dan meyakinkan semuanya
bahwa Negara tidak tinggal diam.
“PKI tidak akan berkuasa di Indonesia sebelum melewati mayat Yani!”
Salah satu petikan kalimat yang masih segar dalam ingatanmu. Dengan
lantang, suara yang tegas – menggelar, Jendral Yani menyampaikan itu dalam
pidatonya (kuliah umum) sekitar 45 menit. Dan gemuruh tepukan tangan segera
terdengar di ujung kalimat itu. Tentu dengan pekikan yang sama, “Hidup
pak Yani!”.
Kau ceritakan juga, ayah. Selain jamuan makan siang, ketika itu sang
jendral juga disuguhi beberapa lagu yang memang sudah dipersiapkan secara khusus.
Salah satunya adalah “Halleluya” ciptaan George Frideric Handel yang menyita perhatian Jendral Yani hingga dirinya meminta
untuk dinyanyikan sekali lagi. Lagu lainnya adalah “Rayuan Pulau Kelapa” yang
ditulis oleh salah satu komposer terbaik bangsa, Ismail Marzuki yang mengiris
hati sang jendral hingga ia menitikkan air mata. Bahkan hampir semua yang hadir
saat itu. Entahlah. Air mata itu lambang kecintaan yang utuh akan bangsa ini?
Isyarat kematian sang jendral? Ataukah kedua-duanya.
Dan benarlah. Sang jendral begitu mecintai bangsa ini. Lima hari usai
kunjungan ke Ledalero, tepatnya tanggal 30 September 1965, Jendral Yani
meregang nyawa di ujung peluru pasukan pimpinan Letkol Untung yang saat itu
menjadi Komandan Batalyon I Tjakrabirawa dalam gerakan yang hingga kini dikenal
dengan “G-30S PKI”. Malam itu Ahmad Yani pergi untuk selamanya bersama sejumlah
perwira militer yang kemudian digelari Pahlawan Revolusi.
Padahal masih terekam jelas dalam ingatanmu kata-kata terakhir sebelum
sang jendral meninggalkan Ledalero, “Nanti saya akan datang kembali pastor
rektor”. Rupanya ia kembali dalam bentuk berita kematiannya dan menghimpunmu
bersama ratusan frater di kapela itu. Berdoa bersama. Lalu, menaikan bendera
setengah tiang.
“Hidup pak Yani!”. Masih ingatkah kau ayah, pekikan
singkat itu? Pak Yani masih hidup, ayah. Setidaknya di dalam jiwa putramu ini.
Cintanya mengalir, menyatu dalam air mata yang menetes ini, ketika kutuliskan
kembali kisah ini.
II
Pemilihan umum tahun 1977 menyimpan cerita tersendiri tentang ayahku.
Ketika itu sebagai seorang guru muda – beberapa tahun usai meninggalkan biara, semangat
cinta tanah air begitu menggeora di dadanya. Rupanya itu buah pertemuan dengan
Jendral Yani di Ledalero. Bukan begitu ayah?
Namun pilihan ayah barangkali tidak begitu tepat. Ia terlibat aktif di
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai yang ada saat itu
selain PPP dan tentunya Golkar dengan kekuatannya yang begitu besar di bawah
komando Soeharto. Orang-orang yang bergerak di luarnya, menjadi perhatian
utama. Tentu termasuk ayahku.
Dan terjadilah. Hari itu ia dijemput oleh sejumlah tentara dan dibawa ke
pusat kabupaten. Diintegorasi dengan berbagai pertanyaan terkait
keterlibatannya di PDI. Arahnya jelas, “Saya diminta untuk harus henggkang dari
PDI,” kisah ayah. Namun ceritanya tentu tidak sesederhana itu. Untuk bisa
“bebas” – pulang ke rumah, ayahku harus berjuang semampunya untuk merangkai
kata-kata yang bisa menyelamatkannya dalam situasi itu.
Hingga akhirnya ketika kata-kata dirasanya tak mampu mem-“bebas”-kannya”
saat itu, ayah teringat akan sosok yang dikaguminya. Jendral Ahmad Yani. Segera
ayah mengeluarkan foto bersama sang jendral dalam kunjungannya ke Ledalero.
Sejumlah tentara yang “mewawancarai” ayah terhentak. Sang jendral kini
hadir di mata mereka. Dan seolah mengatakan, “Ini perintah. Bebaskan orang ini.
Pulangkan dia ke rumahnya!”. Jendral Ahmad Yani menyelamatkan ayahku hari itu.
Foto hitam-putih itu melengkapi kisah pertemuan
ayahku bersama Jendral Ahmad Yani tahun 1965 di Ledalero. Bagiku, keduanya –
kisah pertemuan dan foto itu, menjadi salah satu warisan berharga yang
ditinggalkan ayah usai kepergiannya 4 Mei 2019 lalu.
Ayah, sampaikan salam hormatku pada Pak Yani bersama
rekan-rekannya yang gugur malam itu. Pak Yani tidak harus kembali lagi ke
Ledalero. Ia tetap hidup setidaknya di dadaku. Ayah pun tak harus kembali ke
rumah ini. Ayah tetap hidup. Setidaknya dalam kisah ini.
-----------------------------
Robertus Fahik, lahir di Betun (Malaka, NTT), 5 Juni
1985. Menyelesaikan pendidikan terakhir pada program Magister Sains Psikologi
Universitas Mercu Buana Yogyakarta (2012). Menulis sejumlah karya sastra antara
lain novel Badut Malaka (2011) dan
buku puisi Senja Hitam dan Ayahku
(2019). Terlibat dalam berbagai kegiatan sastra dan kepenulisan antara lain
Temu Sastrawan NTT (2013, 2015) dan MUNSI III (2020). Saat ini bekerja sebagai
wartawan (pemimpin redaksi) Cakrawala NTT. Kontak pribadi 0852-5336-8008 (WA).
*Dipublikasikan dalam buku "Ayahku Jagoanku" (Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta, 2021)