Oleh Robertus Fahik
*Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di majalah Loti Basastra (Kantor Bahasa NTT) Edisi Desember 2021 dan masuk dalam buku antologi Reuni Alumni Munsi III (Sibera Bandung, 2022)
“Singkatnya, saya menggarisbawahi apa yang
dikemukakan Sir Isaac Newton, ‘Siapakah saya di dunia ini?’. Kadang-kadang saya
melihat diri saya seperti anak kecil yang bermain di pantai, dan tiba-tiba
melihat kerang yang sangat jauh berbeda dengan yang pernah saya lihat di hari
sebelumnya. Sementara, di depan terhampar lautan kebenaran yang belum
tersingkap. Bagi saya, inilah yang dimaknai dalam sastra. Sekarang kita
cenderung memilah kebenaran dalam hitam dan putih saja, sehingga absolut.
Kebenaran dalam sastra sebenarnya kaya warna dan nuansa”.
Demikian diungkapkan legenda sastra Indonesia, Umbu
Landu Paranggi, menjawab pertanyaan wartawan – terkait moralitas atau
nilai-nilai esensial kehidupan yang ia yakini dalam sastra – dalam sebuah
wawancara khusus yang dimuat dalam rubrik “Insan Wawasan” majalah Balairung
No.30/Th/XIV/1999.
Dalam wawancara yang diunggah kembali di balairungpress.com
tanggal 31 Oktober 2018 tersebut, Umbu Landu Paranggi menegaskan bahwa “kebenaran
dalam sastra” itu patut diperjuangkan, “Toh, fungsinya adalah untuk
memperkaya kehidupan, sebagaimana yang dinyatakan penyair Subagyo Sastrowardoyo,
‘beri kami satu puisi daripada seribu rumus penuh janji’. Sangat tepat apa yang
dikemukakan oleh mantan Rektor UGM, Prof. Koesnadi Hardjasoemantri tentang
upaya pendidikan, kapasitas intelektual dengan apresiasi seni mesti berjalan
seimbang.”
Umbu melanjutkan, “Pendidikan kita selama ini memang
mengarahkan kita menjadi ‘Habibie-Habibie’. Itu wajar dan normal, tetapi
perjalanan hidup sebagai manusia kan tidak selalu begitu. Prestasi ilmiah harus
setara dengan prestasi insaniah. Tak cukup kita ke bulan, ke langit, tanpa
ditopang oleh kekayaan batin. Semua yang rasional itu ada batasnya. Bekal
semacam ini wajib dimiliki oleh seorang pemimpin”.
“Kebenaran dalam Sastra”, ternyata
tidak saja narasi hampa yang keluar dari mulutnya dalam wawancara tersebut. Jauh
sebelum wawancara itu dilakukan, Umbu Landu Paranggi telah memulai petualangannya
menghidupi kebenaran tersebut. Yogyakarta serupa titik api yang membakar semangat
si “kuda putih” dari savana Sumba untuk “jatuh hati” pada kebenaran yang ia yakini
itu. “Pokoknya
saya jatuh hati rata dengan tanah pada Jogja,” kata Umbu dalam wawancara yang
sama.
Selanjutnya sepanjang hidup dan
karyanya yang penuh misteri, Umbu Landu Paranggi memegang teguh kebenaran itu. Bahkan
pada titik tertentu, setiap orang boleh berpikir bahwa jalan hidup seorang Umbu
Landu Paranggi sesungguhnya adalah siluet “kebenaran dalam sastra” itu sendiri.
Jejak tapak kakinya di Yogyakarta dan Bali dengan cukup gamblang menegaskan
itu.
Yogyakarta, SMA Bopkri 1, dan PSK Malioboro
Umbu Landu Paranggi lahir di
Kananggar, Sumba Timur, NTT pada 10 Agustus 1943. Sekolah Rakyat dan Sekolah
Menengah Pertama ia tempuh di tanah kelahirannya sebelum memulai petualangannya
ke Yogyakarta pada
1960. Impian awalnya adalah untuk belajar di SMA Taman Siswa tetapi karena
terlambat mendaftar akhirnya ia bersekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta.
Meski mimpi untuk
mengenyam pendidikan di Taman Siswa kandas, namun Umbu tetap bersyukur. Di SMA
Bopkri ia bertemu dengan guru bahasa Inggris bernama Lasiyah Soetanto. Umbu menyebutnya
"guru yang tidak menggurui". Umbu dikenal sebagai anak yang pendiam
dan sering menulis puisi. Suatu hari, Lasiyah, yang menjabat Menteri Peranan Wanita
Pertama RI itu meminta Umbu membacakan puisinya di depan kelas. "Dan Ibu
Lasiyah selalu bilang, nanti saja kalau puisinya sudah dimuat di koran kita
kritik ramai-ramai,” tutur Umbu dikutip dari Harian Kompas (18/11/2012).
Usai lulus dari SMA Bopkri
1, Umbu melanjutkan pendidikan di Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan
Ilmu Sosiatri dan di Universitas Janabadra Yogyakarta jurusan Sosiologi. Dan benih
kecintaannya akan puisi yang didapat dari guru bahasa Inggris-nya itu pun terus
ia tumbuhkan.
Namanya pun mulai dikenal di kalangan sastrawan tanah air
ketika karyanya dimuat dalam rubrik “Fajar Menyingsing” majalah Mimbar
Indonesia pada tahun 1960. Di sini ia berada bersama sederet nama besar
dalam dunia kepenulisan dan sastra yang menjadi awak redaksinya antara lain, Sudjatmoko,
Rosihan Anwar, Rivai Apin, H.B. Jassin, A.D. Donggo, dan A.B. Loebis.
Sejak saat itu, Umbu terus meningkatkan kualitas
menulisnya hingga akhirnya puisi-puisi Umbu pun menembus "Ruang Budaya"
pada tahun 1962. Selanjutnya, sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Mimbar
Indonesia, Gajah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Gelanggang,
dan Pelopor Yogya.
Umbu
kemudian menjadi pengasuh rubrik “Persada” dan “Sabana” mingguan Pelopor Yogya
selama 1969 – 1975. Dalam kurun waktu yang sama, Umbu pun berperan dalam menghadirkan
atmosfer sastra di Yogyakarta terutama di kalangan generasi muda dengan ikut
mendirikan Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas yang kelak melahirkan tokoh-tokoh
nasional. Peran Umbu sedemikian strategis dalam PSK hingga ia dijuluki “Presiden
Malioboro”.
Ketika
Umbu Hijrah dari Yogya ke Bali ia memberikan surat kuasa atau mandat penuh kepada
Ragil Suwarna Pragolapati untuk mengelola PSK, tetapi mandat itu dilakoni dengan
ogah-ogahan. Akhirya PSK dikelola Linus Suryadi 1975 – 1976 dan digantikan
Teguh Ranusastra Asmara 1976 – 1977 hingga PSK lenyap karena Pelopor Yogya
gulung tikar. Beberapa kali PSK muncul pada tahun 1978, 1979 di tangan Teguh
Ranusastra Asmara hingga sirna tahun 1980.
Sekalipun
PSK akhirnya sirna pada tahun 1980 – usai Umbu hijrah ke Bali, sebagaimana
dilukiskan Ragil Suwarna Pragolapati di atas, benih-benih “kebenaran dalam
sastra” yang ditabur, disemaikan, dipupuki, dan dirawat Umbu Landu Paranggi dengan
segenap keutuhan jiwa-raganya dalam dirinya dan dalam diri anggota PSK, rasanya
tetap hidup. Sederet nama besar dalam kepenulisan dan sastra Indonesia seperti Emha Ainun Nadjib,
Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Yudistira Ardhi Nugraha, bahkan Agus Dermawan
T., dan Ebiet G. Ade, membuktikan hal itu. Dan pada sisi yang lain, Umbu,
di tempat petualangan barunya di Bali, masih dengan setia memeluk “kebenaran
dalam sastra” itu.
Bali,
Nyepi dan “InTenSBeh”
Tahun 1975 Umbu memutuskan
untuk meninggalkan Yogyakarta. Sejumlah sumber bahkan menyebut tahun itu Umbu
menghilang secara misterius. Kemudian diketahui bahwa Umbu ada di Denpasar,
Bali. Melansir Harian Kompas, Rabu, 28 Desember 1994, setelah meninggalkan
Yogyakarta, Umbu pun memutuskan untuk bermukim di Bali pada 1979, setelah sebelumnya
sempat kembali ke kampung halamannya di Sumba, NTT.
Perihal pilihannya untuk
hijrah ke Bali ini, Umbu sendiri memang tidak pernah menjelaskannya secara
terperinci bila merujuk pada sejumlah referensi tentangnya. Namun dalam
wawancara dengan majalah Balairung, kita bisa menangkap sedikit pesan
bahwa keputusannya untuk bermukim di Bali tidak terlepas dari proses kreatifnya
baik dalam menulis puisi maupun dalam misinya menebar benih “kebenaran dalam
sastra” yang ia yakini.
Bila bicara proses kreatif, Umbu merujuk pada
perayaan keagamaan Nyepi sebagai suatu konsep yang baginya sangat dahsyat.
“Semacam menyepi, menarik diri, namun sekaligus menyerahkan diri pada
permenungan atas apa yang kita rasakan,” ungkap Umbu. Ia juga mengatakan bahwa
kondisi hutan dan air melimpah mempengaruhi proses kreatifnya. “Kalau sedang
sakit, saya pergi berendam di Tabanan dengan air yang meruah,” terangnya, “Serasa
merengkuh Denpasar.”
“Ada saat-saat tertentu bagi seorang seniman dimana
dia harus mampu ‘merebut dirinya’ dan meninggalkan kegaduhan di luar. Semacam
memberi jarak dan semakin memperdalam refleksi,” lanjut Umbu dalam wawancara
tersebut.
Sekalipun
demikian, Umbu tidak pernah menyepi untuk dirinya sendiri. Di Bali, ia tetap
melanjutkan apa yang telah dimulainya di Yogyakarta bersama PSK. Jika di
Yogyakarta Umbu mengasuh rubrik “Persada” dan “Sabana” mingguan Pelopor Yogya,
di Bali ia mengasuh rubrik “Apresiasi” Bali Post. Jika di Yogyakarta
Umbu berperan aktif di PSK, di Jalan Bedahulu XV/28 Denpasar, Bali ia menjadi sosok
penting di sebuah komunitas penyair yang ia namakan “Inspirasi Tendangan Sudut
Bedahulu”, disingkat “InTenSBeh”.
Menurut
Wajan Jengki Sunarta (2019), selama di Bali, Umbu tidak saja bergiat di “InTenSBeh”.
Umbu juga menggairahkan kehidupan
bersastra di sejumlah pelosok desa di Bali, seperti Desa Marga di Tabanan. Peran
Umbu di Bali juga nampak dalam berbagai kegiatan apresiasi sastra sebagaimana
ditulis Nuryana Asmaudi SA (2019) yakni, di Yayasan Yasakerti Amlapura (Karangasem),
SMAN 1 Dawan, di pantai Goa Lawa, di depan Pura Tamansari Semarapura (Klungkung),
di salah satu Bale Banjar di Sukawati (Gianyar), di Taman Makam Pahlawan Margarana,
di rumah Pak Agus Darmita Wirawan, di SMPN 1 Marga, di halaman SMP TP 45 Marga,
di aula SMAN 1 Tabanan, di Museum Subak (Tabanan), di Art Centre 1 Denpasar,
dan tempat lainnya. Nuryana Asmaudi SA melanjutkan bahwa terbentuknya Teater
Teater Jinang Smasta SMAN 1 Tabanan juga berkat dukungan Umbu, dan Umbu jugalah
yang memprakarsai Lomba Cipta Puisi Pelajar Nasional (1999) yang diadakan oleh
teater tersebut.
Dan
seperti halnya di Yogyakarta, berkat sentuhan tangan dinginnya, sejumlah nama penulis
pun lahir di Bali. Mereka di antaranya Wayan Jengki Sunarta, Cok Sawitri, Warih
Wisatnana, Oka Rusmini, I Nyoman Wirata, Putu Fajar Arcana, dan masih banyak
yang lainnya.
Dilansir National Geographic Indonesia, Selasa
(6/4/2021), Wayan Jengki Sunarta mengatakan, Umbu adalah seorang pendidik,
motivator, dan pencari bakat. "Dia seorang guru, tapi tidak menggurui,"
kata Jengki.
"Dia mengajar dengan caranya sendiri, dengan caranya
yang unik. Dengan bahasa kode, bahasa simbol. Dia mengajari kita bukan cuma
soal memahami sastra, tapi juga bagaimana memahami kehidupan yang lebih luas. Dia
nggak pernah ngajari kita teknik puisi secara teori. Tapi
mengajarkan kita bersentuhan langsung pada kehidupan yang lebih luas, yang bagi
dia adalah puisi alam raya," ujar Jengki.
Pisungsung
Adiluhung untuk Umbu
Pisungsung
adalah kata bahasa Sansekerta yang memiliki arti; hadiah, pemberian,
persembahan. Sementara Adiluhung berarti; tinggi mutunya. Atas prakarsa Bpk.
Tjie Jehnsen dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), tahun 2019 terbitlah sebuah buku berjudul “Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu
Paranggi”. Buku ini diluncurkan pada 31 Juli 2019 di Rumah
Budaya EAN, Kadipiro, Yogyakarta. Berlanjut dipersembahkan kepada Umbu Landu
Paranggi, 5 Agustus 2019 di Umah Wisanggeni, Batu Bulan, Gianyar, Bali,
menyertai penyerahan Ijazah Maiyah dari Komunitas Maiyah kepada sosok yang sama.
Iman
Budhi Santosa (2019) menguraikan, buku ini berisi tulisan dari 52
sastrawan yang dipresentasikan sebagai wujud kecil dari ucapan matur
nuwun atau matur suksma kepada Saudara Tua Umbu Landu
Paranggi yang telah memberikan bertumpuk momentum bersastra serta ajaran
mengenai kearifan hidup kepada kita semua. Karena sampai usia 76 tahun (2019) ia
tak pernah mundur setapak pun dari jalan hidup yang diyakini dan ditempuhnya.
Sebagai orang tua, saudara, guru, motivator, sekaligus sahabat setia yang
senantiasa muncul di setiap penjuru dan siap membantu siapa pun yang mulai
menapakkan kaki ke dunia sastra. Mulai dari sejarah Persada Studi Klub (PSK) di
Koran Minggu Pelopor Yogya hingga Bali Pos, ULP tetap mengamalkan
semangat: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani.
Terbitnya
buku ini tentu tidak saja merupakan sebuah apresiasi para penulis kepada guru
mereka; Umbu, namun sekaligus sebuah pengakuan akan peran besar sosok yang satu
ini dalam pertumbuhan sastra Indonesia dan kepenulisan pada umumnya.
Pengakuan akan peran besar
Umbu dalam dunia sastra Indonesia tidak sebatas pada apa yang dilakukan oleh
murid-muridnya lewat penerbitan buku itu. Oleh pemerintah, Umbu Landu Paranggi
merupakan tokoh sastra penerima Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra.
Penghargaan tersebut diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada
tahun 2019.
Sebelumnya
pada tahun 2018, Umbu juga menerima penghargaan dari dunia kampus. Tahun itu Fakultas
Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) memberikan anugerah budaya kepada
tiga tokoh. Anugerah diberikan sebagai apresiasi kepada praktisi budaya atau
seniman yang dinilai telah memberikan sumbangan istimewa terhadap pelestarian
dan pengembangan kebudayaan di Indonesia. Pemberian Anugerah Budaya digelar di
Gedung IX Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat,
Kamis (3/5/2018).
Penerima Anugerah Budaya 2018 adalah Iman Rahman
Anggawiria Kusumah atau Kimung dalam Kategori Seniman Tradisi, Umbu Wulang
Landu Paranggi dalam Kategori Seniman Modern, dan Eddie Marzuki Nalapraya dalam
Kategori Pembina Seni.
Jauh sebelumnya, pada tahun 1999 sebuah prasasti bahkan
didirikan di Taman Tirtagangga, Bali. Foto prasasti tersebut dimuat di halaman
akhir buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (2019) dengan
keterangan; Prasasti Umu Landu Paranggi yang berada di Taman Tirtagangga, Bali.
Dalam prasasti itu ada tulisan; RANGTUAKARANG YANG BERTAHTA MAHLIGAI NYAWAKU,
UMBU LANDU PARANGGI. Di bawahnya tertulis; PRASASTI PERGANTIAN MILLENIUM Masyarakat
Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) bekerja sama dengan Bali Imperial Hotel dan
Taman Air Tirtagangga 9 – 9 – ’99.
Barangkali masih terdapat sejumlah penghargaan yang
diterima Umbu. Namun beberapa kisah ini menegaskan peran Umbu yang tak bisa
lagi dibantah dalam dunia sastra Indonesia. Dan yang pasti, prasasti penghargaan
untuk Umbu, telah terpatri dalam dada setiap anak bangsa yang pernah mengalami
sentuhan Umbu baik secara langsung maupun tidak langsung melalui karya dan
kisah-kisah tentang Umbu.
Memungut Lembar “Kebenaran dalam Sastra”
Selasa (6/4/2021) dini hari pukul pukul 03.55 Wita,
di Rumah Sakit Bali Mandara Denpasar, Umbu Landu Paranggi menghembuskan nafas
terakhirnya usai menjalani perawatan sejak Sabtu (3/4/2021) karena terserang
Covid-19. Pengembaraan sang “kuda putih” Sumba seakan berakhir di sini. Namun tentu
tidaklah demikian halnya dengan “kebenaran dalam sastra” yang pernah ia hidupi
sejak di Yogyakarta hingga di Bali. Kebenaran itu tetap hidup dalam diri murid-muridnya
dan dalam diri siapa saja yang ingin memasuki dunia sastra dan seni.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umbu sendiri dalam
wawancara dengan majalah Balairing, “Masukilah dunia sastra dan seni
sebagai orang yang bebas dan mau membebaskan diri, tanpa pretensi apa-apa. Ada
sesuatu yang menawarkan kepenuhan di dalam sastra dan seni. Sesungguhnya, kalau
orang terus takjub atas kehidupan yang dijalaninya, seni dan sastra tak akan
pernah habis digarap. Proses pergumulan dalam menyimak suara kehidupan memang
tak ada habisnya”.
Terima kasih Umbu, terima kasih Sang Guru. Kau
telah benar-benar telah “pulang ke desa” dan “kembali ke huma berhati”. Namun lembaran
karya dan kisah tentangmu masih berserakan di padang-padang terbuka; lika-liku
kehidupan kami, menawarkan “kebenaran dalam sastra” yang telah kau hidupi. Doakan
agar kami mampu memungutnya meski selembar.
Daftar Pustaka
Imam Budhi Santosa, dkk. 2019. Metiyem, Pisungsung
Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi. Yogyakarta: Rumah Budaya EAN &
Azyan Mitra Media
https://www.beritasatu.com/nasional/490920/ui-berikan-penghargaan-anugerah-budaya-kepada-tiga-tokoh
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Umbu_Landu_Paranggi
https://historia.id/kultur/articles/berpulangnya-presiden-malioboro-umbu-landu-paranggi-vZVKQ/page/1
https://rumahpusbin.kemdikbud.go.id/penghargaan/profil_detail.php?id=3
https://fib.ui.ac.id/penghargaan-budaya-fib-ui/
https://www.caknun.com/2019/metiyem-pisungsung-adiluhung-untuk-umbu-landu-paranggi/