Senin, 23 Desember 2013
Opini Gusty Fahik
Membangun
Dialog Kebudayaan
(Catatan
Atas Novel “Likurai Untuk Sang Mempelai” karya R. Fahik)
Oleh: Gusty
Fahik*
Sastra tidak
semata-mata hasil khayalan atau imajinasi liar seorang penulis. Sastra bisa
diberi arti sebagai permenungan yang mendalam dan pemaknaan yang serius atas
setiap pengalaman dan harapan dalam kehidupan. Sebuah karya sastra dapat
seketika merangkum masa lalu, masa kini dan masa depan, pun menjangkau
ruang-ruang yang luput dari perhatian kebanyakan orang. Membaca sebuah karya
sastra berarti membiarkan diri menjelajah, melintasi sekat ruang dan waktu,
memungut ceceran makna yang bertebaran sepanjang lintasan sejarah kehidupan.
Likurai Untuk Sang
Mempelai, sebuah novel kultural buah pena Robertus Fahik sebagai kelanjutan
dari novel Badut Malaka, dapat dianggap sebagai sebuah album sejarah yang tidak
sepenuhnya berisi kisah fiktif hasil imajinasi kreatif, tetapi memuat
potongan-potongan fakta yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, terlebih momen
pemekaran Malaka, sebagai sebuah kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten
Belu, awal 2013 ini. Gerson Poyk, memberi catatan untuk novel ini dengan label faction (fact and fiction), campuran antara fakta jurnalistik dan karya
fiktif. Fakta-fakta jurnalistik tidak hanya dijadikan hiasan
dalam novel, tetapi direnungi dan diberi makna secara cukup mendalam oleh sang
penulis. Fakta dan fiksi berjalin berkelindan dengan begitu padu dalam novel
ini seolah membahasakan keindahan liukan para penari likurai.
Likurai, tarian khas
dan kebanggaan orang Belu dan Malaka menjadi ikon utama dalam karya ini. Likurai
(Haliku: mengawasi, menjaga,
melindungi, Rai: tanah, negeri) ditampilkan
sebagai simbol kultural orang Malaka, dan dimaknai sebagai sebuah sekolah
kehidupan. Di tengah terpaan arus globalisasi dan gejala memudarnya berbagai
kekayaan budaya lokal, likurai diangkat kembali oleh penulis dan dijadikan
landasan pijak untuk menyambut kelahiran dan harapan kehidupan baru yang
ditawarkan oleh mekarnya Malaka sebagai sebuah daerah otonomi baru.
Kehadiran Malaka diumpamakan
dengan kedatangan seorang mempelai yang memberi suka cita dan kebahagiaan,
karena itu rasanya pantas bila disambut dengan liukan dan keindahan tarian
Likurai. Gambaran ini seolah ingin menunjukkan bahwa Malaka sebagai sebuah
daerah otonomi yang mekar di tengah pengaruh globalisasi, perlu
disambut dan dibekali pengenalan akan kekayaan budaya yang dikandungnya. Malaka
memiliki kekayaan kulturalnya sendiri yang bila dimaknai secara benar dan
dihayati dengan bijak maka akan menjadi salah satu perlengkapan utama Malaka
untuk maju dan bersaing dengan daerah-daerah lain di bumi Indonesia ini.
Apakah kondisi terkini
menunjukkan bahwa orang Malaka masih memiliki kebanggaan akan Likurai, Bidu, Aikanoik, Hanimak,
Kananuk, dan aneka kekayaan budaya lainnya? Atau apakah generasi muda
Malaka, selain mengenakan berbagai produk busana modern, masih bisa menenun
sehelai tais mane atau tais feto, atau memasak akarbilan dan menghidangkannya dengan
penuh kebanggaan? Mungkin inilah kegelisahan yang dirasakan penulis dan
mendorongnya melahirkan novel ini. Sebab arus globalisasi dan tren mutakhir
kapitalisme tingkat lanjut memiliki kecenderungan untuk mencabut orang dari
akar kulturalnya, membuat orang merasa malu dengan apa yang menjadi miliknya
dan tanpa pertimbangan apapun larut dalam budaya konsumsi berbagai hal yang
ditawarkan dari luar. Orang dipaksa untuk mengonsumsi berbagai macama produk
yang ditawarkan, tanpa harus tahu apakah ia membutuhkannya atau tidak. Bahkan
banyak nilai kehidupan dikorbankan demi kepuasan sesaat yang tidak jarang
justru menyesatkan.
Sebagai karya sastra
novel ini memiliki kandungan nilai yang tidak dibatasi oleh lokalitas yang
sengaja ditonjolkan, melainkan berdimensi universal. Kekayaan kultural (dan
religius), tidak saja dimiliki oleh kabupaten Malaka yang menjadi setting novel
ini, melainkan dimiliki juga oleh daerah-daerah lain di luar Malaka dan NTT. Kecintaan
pada budaya sendiri, tidaklah dimaksudkan untuk menutup diri dan menolak semua
pengaruh yang masuk dari luar. Kecintaan dan kebanggaan akan kekayaan kultural
perlu dimiliki oleh setiap orang, sebelum ia keluar dan mengalami perjumpaan
dengan budaya lain. Dialog kebudayaan hanya mungkin berlangsung seimbang dan fair bila setiap orang
tidak lagi malu mengakui kekayaan budayanya dan
bersedia membagikannya kepada orang lain, tanpa tendensi untuk menguasai
dan mendominasi. Orang menjadi mudah terpengaruh dan terperangkap dalam arus
negatif zaman ketika ia tidak lagi sadar akan potensi yang dimiliki dan tidak
pernah menghayatinya.
Penghargaan, persamaan
derajat, kesetaraan dan keterbukaan tidak saja terkandung dalam kekayaan budaya
Malaka, tetapi juga dalam kebudayaan lain. Novel ini dengan kekhasan
lokalitasnya seolah mengingatkan para pembaca untuk kembali menyadari kekayaan
budayanya masing-masing sebagai sebuah sekolah kehidupan. Kearifan dan
nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kebudayaan lokal perlu kembali
dihidupi sebagai perangkat untuk menyaring berbagai hal yang masuk dari luar. Adalah
tidak mungkin untuk menutup diri secara total terhadap setiap pengaruh luar,
tetapi adalah mungkin untuk melakukan penyaringan (filtrasi), dan adaptasi kreatif terhadap nilai-nilai lain yang
berasal dari luar.
Likurai Untuk Sang
Mempelai, novel kultural yang lahir di penghujung tahun 2013, adalah sebuah
afirmasi terhadap nilaI-nilai kultural, sekaligus sebuah awasan sebelum melangkah
masuk ke tahun 2014. Setiap saat terjadi perjumpaan antar-budaya dan di
dalamnya bisa saja terjadi gesekan dan benturan. Robertus Fahik membagikan
sebuah harapan bahwa gesekan dalam perjumpaan dengan kebudayaan lain tidaklah
menjadi suatu masalah besar bila orang bersedia untuk saling berbagi sebagai
saudara dalam suatu keluarga dan sekolah; kehidupan. Upaya penulis novel ini
menjadi pula sebuah afirmasi dari apa yang pernah dikatakan William J. Durant
(1885-1981) bahwa sebuah peradaban belum benar-benar dijajah, sebelum hancur
dari dalam.
*Anggota Liga
Mahasiswa Pascasarjana (LMP) NTT-Yogyakarta
Rabu, 18 Desember 2013
Resensi Novel
Sastra dan
Seruan
“Kembali ke Akar Budaya”
Di tengah pusaran arus zaman yang kian menggelora,
seorang putra Timor menghadirkan sebuah novel dengan latar (setting) lokal yang
menantang. Ketika manusia modern sibuk dengan berbagai rutinitas dan
kepentingan yang kadang membabibuta dan kehilangan arah, novelis muda ini
menawarkan sebuah pencerahan lewat karya sastra yang layak diapresiasi. Robert
Fahik, putra Timor kelahiran Betun (Malaka), 5 Juni 1985, kembali menyapa
pecinta sastra lewat novel keduanya, “Likurai untuk Sang Mempelai”, setelah hadir
melalui novel pertamanya “Badut Malaka” tahun 2011.
Seperti novel pertamanya, dalam novel kedua ini sang
penulis kembali mengangkat kekayaan budaya tanah Malaka yang pada tanggal 22
April 2013 lalu sudah diresmikan oleh Mendagri RI Gamawan Fauzi sebagai
kabupaten baru, terlepas dari Belu sebagai kabupaten induk. Dari sisi alur
cerita, novel ini “melanjutkan” kisah “Badut Malaka” sehingga bisa dikatakan
sebagai “dwilogi” sang penulis sendiri. Dari segi gagasan, Robert Fahik juga
“mempertegas” apa yang sudah ia mulai dalam novel pertamanya.
Pada bagian awal novel ini, penulis menampilkan sebuah
flash back yakni gambaran tentang
kisah tokoh aku (Manek Mesak) yang cintanya kandas oleh kematian sang kekasih
(Noy). Namun persoalannya tidak sebatas kematian saja. Ketamakan ayah dan
keluarga Noy yang lebih menghendaki menantu dengan kedudukan sosial yang lebih
tinggi, menjadi tembok raksasa yang menghadang perjalanan cinta Manek Mesak dan
Noy. Maka ketika kembali ke Malaka, Manek Mesak hanya mendapati kuburan Noy di
Antara Badut Malaka (pohon Jarak). Tapi
kematian sang kekasih ternyata bukan menjadi penghalang bagi Manek untuk
membuktikan cintanya. “Perpisahan fisik bukan halangan pencinta sejati untuk
membuktikan cinta dan kerinduannya pada
sang kekasih. Bahkan terkadang cinta menemukan kedalamannya pada sebuah
perpisahan fisik. Maka walaupun tak bersama lagi secara fisik, setidaknya cinta
dan kerinduan tetap menjadi jembatan bagi pergi dan datangnya doa-doa kita. Doa
selalu menyatukan hati manusia kapan dan di manapun,” tegas sang penulis
(halaman 6). Kematian Noy, disusul kematian Ina, wanita yang membesarkan Manek,
tak mematahkan semangatnya dalam mengabdi kepada Malaka. Bersama tujuh
sahabatnya, Manek Mesak berusaha menjadikan Malaka sebagai tanah yang
bermartabat dengan membangun Sekolah Kehidupan Likurai yang bernafaskan
semangat kebudayaan. Untuk menjadikan Malaka sebagai kabupaten yang
bermartabat, penulis melalui tokoh aku yang berprofesi sebagai penyair
sekaligus guru, menawarkan strategi pembangunan yang berbasiskan spirit budaya
lokal. Untuk itulah didirikan Sekolah Kehidupan Likurai. (Maxi Nitsae, 2013). “Sebuah
sekolah tanpa lantai, tanpa atap, tanpa dinding, dan tanpa campur tangan dari
pihak manapun. Inilah Sekolah Kehidupan Likurai yang lantainya adalah tanah,
atapnya adalah langit, dan dindingnya adalah bukit-bukit. Kita akan berjalan
bersama, mengelilingi seluruh wilayah Malaka, hal yang sudah pernah kulakukan
sebelumnya, namun yang masih ingin terus kulakukan. Di setiap kampung yang kita
datangi, kita akan belajar bersama anak-anak, tak terkecuali para orang tua. Kita
akan berdialog bersama mereka, saling meneguhkan agar tak lelah dalam mencintai
Malaka. Cinta itu tak lain ialah tekad untuk menjaga harta kekayaan budaya.
Kebersamaan, kerukunan, cinta, kebenaran, ketulusan, kerja keras, kejujuran,
gotong-royong, dan semuanya yang dititipkan surga kepada Malaka. Ini adalah
modal utama untuk menyambut datangnya hari itu, hari kemerdekaan. Hari ketika
Malaka tampil sebagai sang mempelai sejati. Hari ketika Malaka dinobatkan
sebagai tanah yang mekar dan bercahaya.” (halaman 35-36).
Bernaung
di bawah “Sekolah Kehidupan Likurai”, Manek Mesak bersama tujuh sahabatnya
berjalan di seluruh pelosok Malaka, belajar bersama orang-orang Malaka,
bergelut bersama alam Malaka. Hingga hari itu pun datang, “Malaka remsi menjadi
sebuah kabupaten”, yang ditampilkan secara apik lewat “fakta jurnalistik” dalam
bagian 10; Suatu Hari di Kota Betun (halaman 91-108). Kisah ditutup lewat
sebuah kecelakaan yang dialami Manek Mesak ketika melintas di hutan We Mer.
Longsor di kwasan itu membuat sang guru muda, penyair Malaka terkapar dan tak
berdaya. Ia mengalami kelumpuhan dan hanya bisa bergantung pada kursi roda. We
Mer, hutan lindung yang kian terancam gundul sengaja ditampilkan sebagai seruan
“kembali ke alam” (back to nature).
Bersyukur atas karya Pencipta. Setiap keindahan pada tubuh ibu pertiwi seperti
pantai-pantai indah di Malaka (dan juga hutan lindung We Mer), adalah karya
agung Sang Pencipta. Dengan mensyukuri karya Pencipta, kita semakin
mengenal-Nya. (Yohanes Manhitu, 2013).
Namun
ada yang menarik di akhir kisah novel ini. Manek Mesak yang mengalami
kelumpuhan punya satu permintaan agar ia dibawa ke tepi sungai Benenai. “Aku ingin mentitipkan
mimpi-mimpi kita pada sungai Benenai agar terus mengalir dan tak pernah
kering,” kalimat terkahir dalam novel yang menegaskan kerinduan sang penulis
agar apa yang telah ia gagaskan dalam novel terus hidup di tengah masyarakat
pembaca. Gagasan tentang cinta tanah air, pendidikan, kerja keras, pluralisme,
dan terlebih penghargaan atas kekayaan budaya yang kita miliki. Gema likurai
adalah seruan pulang yang menyejukan hati ketika banyak orang lupa akan jalan
pulang. Gerakan pulang ini juga merupakan awasan kritis filosofis sang penulis.
Pulang untuk memungut kembali kekayaan budaya dan tradisi, mengemas dan
mengembangkannya untuk kemudian disumbangkan ke altar globalisasi. (Ermalindus
A.J. Sobay, 2013).
Novel
ini diterbitkan oleh penerbit Cipta Media Yogyakarta bekerjasama dengan
Komunitas Rumah Segitiga Kupang, diberi pengantar oleh Yohanes Sehandi (penulis
buku “Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT”) dan Epilog oleh Mezra E. Pellondou
(sastrawan NTT). Peluncuran perdana dilakukan di Yogyakarta dengan menghadirkan
Yohanes Manhitu, Maxianus Nitase, dan Ermalindus A.J. Sonbay sebagai pembicara.
Novel dengan tebal 124 halaman (+ xx) ini telah mendapat apresiasi dari sejumlah tokoh dari berbagai
kalangan yakni Gerson Poyk, sastrawan Indonesia asal NTT, Muhammad Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., Kepala Kantor
Bahasa Provinsi NTT, Benny Dasman, Pelaksana Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Romo
Amanche Franck Oeninu, Sastrawan-Koordinator Dusun Flobamora, Dr. Norbertus Jegalus, M.A.,
dosen Filsafat Unwira Kupang, Bara Pattyradja, penyair muda Indonesia asal NTT,
Petrus Seran Tahuk, tokoh muda Malaka- peminat sastra, Nelsensius Klau Fauk, putra Malaka, tinggal di
Adelaide, Australia–penulis dan pemerhati masalah-masalah sosial, dan Kornelius Wandelinus Subang,
putra Malaka, Mahasiswa Pascasarjana UTY, anggota Liga Mahasiswa
Pascasarjana/LMP NTT Yogyakarta. (Ignasius S. Roy Tei Seran S.Fil. &
Fransiskus Xaverius Taolin, S.Fil.-Komunitas Rumah Segitiga).
Rabu, 11 Desember 2013
Resensi Novel Likurai Untuk Sang mempelai
Likurai dan Pendidikan Cinta Tanah Air
Oleh:
Ignasius
S. Roy Tei Seran, S.Fil. & Fransiskus X. Taolin, S.Fil. –
Komunitas
Rumah Segitiga
Judul Buku : Likurai Untuk Sang Mempelai (Sebuah
Novel)
Penulis : Robert Fahik
Pengantar : Yohanes Sehandi
Epilog : Mezra E. Pellandou
Penerbit : Cipta Media Yogyakarta
Cetakan I : Desember 2013
Tebal Buku :
xx + 124 halaman
LIKURAI
merupakan salah satu tarian daerah di Timor. Pada jaman dahulu, Likurai adalah
tarian yang ditampilkan pada upacara-upacara adat dan untuk menyambut pahlawan
suku yang disebut “meo”, bersama anak
buahnya yang pulang dengan kemenangan dari medan perang. Tarian ini juga
biasanya diperagakan untuk mengiringi antaran upeti ke istana atau untuk
menyambut tamu agung yang berkunjung ke kerajaan.
Kini
tarian Likurai sudah dapat dimodofikasi sesuai dengan kemampuan koreografer dan
menitikberatkan pada tema tertentu yang hendak ditampilkan, misalnya untuk
menyambut pejabat pemerintah atau tamu agung lainnya. Likurai pada dewasa ini
lebih banyak ditampilkan untuk mengisi acara-acara kesenian atau untuk bersuka
ria pada pesta-pesta adat atau keramaian-keramaian lain. Dalam rangka
inkulturasi budaya-budaya lokal ke dalam Liturgi Gereja sesuai dengan amanat
hasil Konsili Vantikan II di Roma tahun 1963-1965, maka tarian Likurai sudah
ditampilkan juga dalam upacara Misa dimana Likurai ditampilkan untuk
mengantarkan para imam ke dalam gereja, dan juga untuk menghantarkan
persembahan ke altar.
Kekayaan budaya Timor (Likurai) dilihat
secara mendalam oleh sang penulis yang kemudian “mengabadikannya” dalam bentuk
novel. Sastrawan muda NTT, Romo Amanche Franck Oeninu, mengungapkan, “Robby
telah pulang demi cinta dan pencerahan untuk Malaka tercinta. Dengan inspirasi
dari ‘Badut Malaka’, Robby hadir menabuh ‘Likurai’ kemenangan demi kebahagiaan mempelai-mempelai
Malaka di pesisir pantai Timor.” Romo Amanche benar, karena novel ini
sesugguhnya merupakan “kelanjutan” dari novel pertama sang penulis yakni “Badut
Malaka”. Dalam kedua novel ini, sang penulis benar-benar “kembali” ke tanah
kelahirannya, dan mengangkat kekayaan budaya yang ada.
Terbitnya
novel ini menegaskan komitmen penulisnya dalam mengangkat sastra daerah
serentak kesetiaan dan kebanggaannya akan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu antarbudaya, sebagaimana ditegaskan Kepala Kantor Bahasa Provinsi
NTT, Muhammad Luthfi Baihaqi, S.S., M.A.
Sastrawan Indonesia asal NTT, Gerson
Poyk juga memberi apresiasi terhadap novel ini dengan menulis: “Likurai
Untuk Sang Mempelai” adalah sebuah novel faction
(fact and fiction), campuran antara
fakta jurnalistik dan karya fiktif. Fakta-fakta dicangkokkan ke alur fiktif.
Alur fiktif murni bagaikan pohon cendana wangi yang tumbuh di tengah keindahan
sabana Timor tetapi kini ia menjadi “Likurai Untuk Sang Mempelai” ketika
dikerubungi oleh anggrek dan bunga fakta-fakta pada seluruh cabang dan ranting
pohon fiktif. Fakta, mitos, legenda, sejarah, ritual-ritual, seni tarian dan
nyanyian, keindahan alam dan tamasya gagasan pendidikan modern luar sekolah,
kebudayaan yang sudah dikristenkan, catatan kaki, semuanya bagaikan anggrek
sabana yang tumbuh melengket pohon cendana fiktif alur cerita. Membaca novel
ini, kita seolah memasuki sebuah taman cendana Timor berhiaskan anggrek dan
bunga-bunga sabana.” Novel ini juga mendapat apresiasi dari sejumlah tokoh dari
berbagai kalangan yakni Dr. Norbertus
Jegalus, M.A., dosen Filsafat Unwira Kupang, Bara Pattyradja, penyair muda Indonesia asal NTT, Petrus Seran Tahuk, tokoh muda Malaka-
peminat sastra, Nelsensius Klau
Fauk, putra
Malaka, tinggal di Adelaide, Australia – penulis dan pemerhati masalah-masalah
sosial, dan Kornelius
Wandelinus Subang, putra Malaka,
Mahasiswa Pascasarjana UTY, anggota Liga Mahasiswa Pascasarjana/LMP NTT
Yogyakarta.
Singkat cerita, novel ini berkisah
tentang perjalanan hidup tokoh utama, sang penyair Malaka, dengan segala niat,
perjuangan, dan sepak terjangnya untuk membangun masyarakat, membangun daerah
baru Kabupaten Malaka sebagai tanah terjanji yang berbudaya dan bermartabat.
Tokoh utama
novel adalah anak tanah Malaka, Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), terlahir dari
keluarga sederhana. Ayahnya merantau menjadi TKI di Malaysia pada saat si aku
masih dalam kandungan ibu. Terdengar khabar, sang ayah sakit keras dan hanya
bisa diselamatkan apabila didampingi sang istri. Sang istri akhirnya berangkat
ke Malaysia pada saat si aku masih bayi. Sesampai di Malaysia, ternyata sang
suami sudah meninggal dunia. Dia sendiri akhirnya meninggal dunia karena stres
dan galau tinggal di tanah orang.
Si aku sejak
kecil dipelihara tantenya bernama Ina yang kebetulan keluarga itu tidak
mempunyai anak. Pada usia remaja dan menjelang dewasa si aku mengembara lama di
tanah rantau menuntut ilmu dan mencari pengalaman. Setelah bekal ilmu dan
pengalaman memadai, pulanglah si anak rantau ke tanah kelahirannya Malaka,
tanah yang menopang hidupnya. Panggilan tanah kelahiran ini semakin membuncah
tatkala sang kekasih hati, si Noy, yang telah mengisi relung-relung hatinya sebelum
mengembara, terus menunggunya dengan setia di Betun, Malaka, kapan saja sang
penyair Malaka kembali.
Rencana
pernikahan sang penyair Malaka dengan Noy menjadi terhambat karena tidak
direstui oleh orang tua Noy yang materialistis, dengan berdalih, pernikahan
baru direstui apabila si calon pengantin pria memperjelas status kedua orang
tuanya yang selama ini diperguncingkan masyarakat sebagai anak yang tidak
punyai orang tua.
Untuk memenuhi
tuntutan itu, demi cintanya kepada si Noy, si aku berangkat ke Malaysia untuk
jemput pulang kedua orang tuanya. Namun sayang, ternyata kedua orang tuanya
sudah meninggal dunia. Pulanglah ia ke tanah Malaka. Kenyataan pahit yang
menjemputnya, si Noy kekasih hati yang mengiringinya, sudah meninggal dunia
karena stres dan sakit hati atas sikap orang tuanya.
Meskipun kekasih
hatinya Noy telah tiada, niat luhur dan komitmen perjuangan sang penyair Malaka
untuk membangun tanah Malaka tidak pernah surut. Dengan segala kemampuan yang
dimilikinya, dia membangun Malaka, yang segera menjadi kabupaten baru, yakni
Kabupaten Malaka, dengan runtutan sejumlah peristiwa bersejarah, yakni pada 14
Desember 2012 DPR RI mengesahkan UU tentang Pembentukan Kabupaten Malaka, pada
22 April 2013 Mendagri RI Gamawan Fauzi meresmikan Kabupaten Malaka sekaligus
melantik Penjabat Bupati Malaka, Herman Nai Ulu, dan pada hari Minggu, 5 Mei
2013 digelar pesta rakyat meriah masyarakat Malaka sebagai syukuran
terbentuknya Kabupaten Malaka (Yohanes
Sehandi - pengantar novel).
Lantas
mengapa Likurai? Dalam epilog novel, Mezra
E. Pellondou menulis, Robert
ingin membangkitkan kembali spirit Likurai mula-mula sebagai sebuah keberanian
generasi muda Malaka sekarang untuk terus memperjuangan dan mencintai tanah air
(Malaka) agar senantiasa merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Likurai yang
ditarikan Robert dalam novelnya, tidak membutuhkan kepala musuh untuk dipenggal
dan kemudian diinjak-injak sebagai bentuk penghinaan. Walau tanpa penggalan kepala musuh namun tarian
Likurai Robert tetap bermuatan semangat cinta tanah air Malaka dengan ketotalan
jiwa. Likurai untuk Sang Mempelai
bermakna setiap orang di tanah Malaka
berjalan bersama, belajar bersama, berdialog bersama, bekerjasama dalam cinta
dan persatuan yang kokoh untuk mendandani Malaka sebagai tanah air, sekaligus
sebagai kabupaten yang baru diresmikan.
Walau tanpa penggalan kepala musuh,
namun Novel Likurai untuk Sang Mempelai karya Robet ini ingin mengatakan kepada
kita semua bahwa musuh sesungguhnya dari manusia adalah mendidik diri sendiri.
Hal yang paling sulit bagi masyarakat Malaka juga masyarakat lain
yang sedang memperjuangkan kemerdekaan diri atau yang baru saja memerdekakan
diri adalah, mendidik diri sendiri untuk terus mencintai tanah dan kebudayaaan
yang membungkusnya.
Dengan segala
kekurangannya, novel ini telah berada di tangan pembaca, namun kelebihan yang
dapat kita petik adalah kita semua akan setuju bahwa ternyata pendidikan yang paling sulit adalah mendidik diri sendiri,
dan untuk hal itu sekolah kehidupan bernama Likurai (cinta tanah air) harus
dimulai dari mendidik diri kita sendiri untuk belajar dan terus belajar
mencintai kehidupan, mencintai ibu atau tanah kelahiran sebagai panggilan agung
bagi setiap orang. Bahkan untuk hal itu sebagian orang siap dicintai sekaligus
dibenci.
Dalam catatan Yohanes Sehandi, terbitnya novel Likurai untuk Sang Mempelai ini menambah
deretan karya sastra NTT berbentuk novel yang berlatar (setting) tanah Timor menjadi 6 judul. Novel lain yang berlatar
tanah Timor dalam koleksi Yohanes Sehandi adalah (1) Cumbuan Sabana (Gerson Poyk, Penerbit Nusa Indah, Ende, 1979), (2) Petra Southern Meteor (Yoss Gerard Lema,
Penerbit Gita Kasih, Kupang, 2006), (3) Surga
Retak (Mezra E. Pellondou, Penerbit Kairos, Kupang, 2007), (4) Badut Malaka (R. Fahik, Penerbit Cipta
Media, Yogyakarta, 2011), dan (5) Perempuan
dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou, Penerbit Framepublishing,
Yogyakarta, 2012).
Langganan:
Postingan (Atom)