Dr. Harun Natonis, M.Si (Foto: Robert Fahik-Cakrawala NTT) |
Di NTT pendidikan sungguh sangat mahal. Untuk
menjangkaunya ternyata membutuhkan banyak hal. Bagi masyarakat kita, untuk
urusan pendidikan, uang masih nomor satu. Kedua, akses untuk sampai pada tempat
pendidikan (sekolah, kampus). Ketiga, dukungan-dukungan seperti dari orangtua,
pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga yang belum maksimal.
Demikian kata Dr. Harun Natonis, M.Si., dalam wawancara
dengan Cakrawala NTT di ruang
kerjanya, Selasa (7/2/2017). Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN)
Kupang ini menilai selama ini pendidikan kita sudah cukup baik, hanya saja,
katanya, masih ada persoalan-persoalan yang masih harus disikapi bersama.
Dirinya mencontohkan, hingga kini anak-anak NTT banyak yang terpaksa harus ikut
human trafficking. Menurutnya, banyak
anak NTT lebih suka menjadi pembantu rumah tangga di luar NTT atau bahkan di
NTT.
“Apa yang menjadi akar permasalahannya? Kalau kita
selidiki masalah utamanya adalah pendidikan. Orang mudah sekali dipengaruhi.
Kalau wawasan pendidikan kurang, orang siapa saja akan mudah mempengaruhi kita.
Apalagi sistem calo yang menggunakan keluarga dekat. Kalau keluarga yang bicara
pasti lebih meyakinkan, apalagi didukung pendidikan yang kurang, orang akan mudah
percaya.”
Hal yang tidak kalah penting, kata pria kelahiran Nunleu,
20 Juli 1970 ini, belum ada upaya maksimal dari para pemangku pendidikan. Tanpa
upaya serius di bidang pendidikan, ia menilai, kemungkinan masalah ini (human trafficking) tidak bisa terselesaikan dalam waktu dekat atau bahkan
tidak akan terselesaikan. Karena itu baginya, pendidikan harus menjadi
prioritas program karena orang yang memiliki pengetahuan yang baik, misalnya,
tidak akan bergantung pada orang lain. Misalnya saja orang punya keterampilan-keterampilan
tertentu. Jadi pengetahuan (pendidikan) itu membawa orang pada keterampilan.
Dengan keterampilan, orang bisa berbuat sesuatu tanpa harus bergantung pada
orang lain.
“Saya kasih contoh, kita ini sumber daya alam itu
melimpah. Pisang kita punya tapi mengubah pisang itu menjadi kripik, pisang
goreng, molen, yang ubah itu siapa di sini? Teman-teman dari luar kan? Lalu
kita yang beli. Padahal kalau kita lihat dari sisi ini, misalnya kalau satu
tandan pisang itu harganya katakanlah 50 ribu, kalau orang beli dan ternyata
satu buah itu dia menghasilkan 3 ribu, mana yang lebih untung? Yang jual atau
yang beli? Kita punya daging. Tapi yang
buat warung-warung di kota Kupang kalau kita lihat itu orang mana? Ini kan
hal-hal praktis. Karena pendidikan kita belum membuat kita berpikir bagaimana
sumber daya alam itu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Daging kita
punya, pisang kita punya, ubi kita punya. Tapi yang olah daging, pisang, dan
ubi ini menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis, itu siapa? Akibatnya anak-anak
NTT itu ke luar negeri, tapi kerja yang itu saja. Misalnya, kita di sini kan
bisa menanam pohon-pohon yang produktif. Kenapa dia tanam harus di Malaysia?
Kenapa tidak tanam pisang di sini?”
Pada sisi yang lain, dirinya menilai bahwa pendidikan
kita lebih banyak berurusan dengan kognisi. Tekanan terus-menerus soal kognisi.
Walaupun ada perubahan kurikulum, menurutnya, kurikulum itu media saja. Tetapi
adakah pengetahuan guru tentang makna terdalam dari kurikulum itu? Terkait hal ini,
menurutnya, persoalannya adakah dana bagi guru-guru untuk dilatih tentang
bagaimana pemberlakuan Kurikulum 2013. Bukan hanya soal kurikulumnya saja, tapi
bagaimana guru mentransfer pengetahuan, itu diubah menjadi mentransfer juga keterampilan-keterampilan
dan sikap-sikap. Ditambahkannya, dana untuk guru kalau 1 tahun hanya 3 kali
pelatihan Kurikulum 2013 yang dilakukan LPMP NTT, atau dinas-dinas terkait,
susah. Sementara guru kita ada ribuan. Pergantian kurikulum, sebagian besar
guru belum menikmati.
“Sementara kita melihat banyak pemda lebih menyukai
silpa. Bagaimana pergumulan pedidikan yang begini besar tapi kok masih ada
silpa. Ini menyangkut pengelolaan anggaran terlebih APBD. Saya kasi contoh, di
TTS silpa-nya cukup tinggi. Mungkin Kabupaten Kupang juga. Ini kita baca dari koran-koran,
kalau ini dibiarkan terus, padahal sebenarnya pergumulan pendidikan kita,
infrastrukturnya juga parah. Kalau kita kaitkan dengan 8 standar nasional.
Kalau silpa ini digunakan secara optimal dan larinya katakanlah kepada
penyediaan fasilitas pendidikan, kesejahteraan guru, dan hal-hal terkait 8
standar, itu bisa menolong. Sehingga gurunya punya SDM yang baik, dia akan
punya dampak terhadap siswa. Bagaimana kita hanya bicara kurikulum tanpa
berbicara tentang gurunya.”
Sebagai pelaku pendidikan, dirinya melihat, banyak
kalangan ramai-ramai bicara tentang perubahan kurikulum. Namun, tegasnya,
seperti apapun kurikulumnya kalau guru-guru tidak diperhatikan maka tidak akan
ada dampak bagi siswa, apalagi didukung ekonomi orangtua yang tidak begitu
memadai. Beasiswa misalnya. Di STAKN Kupang, jelasnya, ada beasiswa bidik misi,
dan juga ada beasiswa berprestasi. Ternyata terlihat sekali bahwa mahasiswa
punya semangat untuk mengurus beasiswa. Beasiswa disediakan pemerintah, di STAKN
Kupang, 12 juta per orang, per tahun, untuk mereka yang miskin. Kuota tahun lalu
untuk beasiswa bidik misi direalisasikan untuk 200 lebih mahasiswa. Lalu ada
200-an juga untuk beasiswa berprestasi.
“Kalau 1 anak diberi 1 juta per tahun oleh negara misalnya,
kemudian dana itu dimanfaatkan untuk misalnya mulai dari bayar kos. SPP-nya
kami kan Rp 1.200.000/tahun. Per semester Rp 600.000, untuk yang S1. Kemudian
dia akan berdampak pada banyak hal. Dia bisa istilahnya kalau dia tidak punya
lap top, karena sekarang jaman IT. Ternyata anak-anak kami dengan dana yang ada
mereka bisa beli lap top. Sehingga bisa memanfaatkan jaringan Wifi di kampus
untuk kepentingan pembelajaran dan seterusnya. Ternyata program ini sangat
membantu mahasiswa. Ini berdampak pada minat mahasiswa masuk STAKN. Kami
sekolah tinggi, ukuran mahasiswa 3000-an itu tidak gampang. Kenapa anak-anak ke
sini? Pertama karena biayanya murah, mudah dijangkau. Hampir semua anak NTT ada
di sini. Fakta ada di sini bahwa ternyata SPP murah akan membuat orang masuk
perguruan tinggi. Pendidikan yang murah dan bisa dijangkau selama ini menjadi
harapan.”
Hal lain yang menurut Natonis mesti diperhatikan adalah
dari sisi fasilitas. Menurutnya, untuk urusan pendidikan, fasilitas tidak bisa
dianggap sepele. Misalnya gedung yang baik dalam mendukung proses pembelajaran.
Kenyataan di NTT, katanya, hanya sekolah-sekolah di kota yang kelihatan agak
memadai dari sisi fasilitas.
“Coba kita turun ke desa dimana dari sanalah trafficking,
anak-anak yang ikut human trafficking keluar. Tidak mungkin
anak-anak yang tamat dari kota sini yang ikut human trafficking. Sedikit sekali. Paling banyak dari
sekolah-sekolah di kampung. Karena memang di sana mereka hanya belajar untuk
kalau bisa lulus dan dapat ijazah SD. Karena kondisi sekolah, apalagi
diperparah dengan misalnya 1 atau 2 guru mengajar 1 sekolah. Ini kondisi nyata.
Sementara di kota ada penumpukan guru. Tapi kalau bilang penumpukan di kota
sabar dulu karena di kota juga walaupun guru banyak, tapi siswanya banyak. Kita
sebenarnya ada pada posisi kekurangan guru. Lalu kita bicara soal pemerataan.
Mari kita hitung dulu. Guru-guru di desa memang kurang, apalagi dengan adanya
moratorium. Angka pensiun berapa? Dukungan untuk pengangkatan tenaga honorer
melalui APBD, ada atau tidak? Kalaupun dialokasikan, sedikit. Tidak terlalu
luar biasa menurut saya.”
Ia menilai, seandainya angka 20% untuk pendidikan dari
APBN dan APBD itu bisa dioptimalkan, itu akan sangat baik. Dirinya bahkan
bertanya, undang-undangnya jelas, tapi apakah pelaksanaannya ada atau tidak? Pertanyaan
yang lain, sampai sekarang mana pemda yang betul-betul memaksimalkan dana itu
untuk pendidikan? Karena kalau 20% itu dijalankan dengan baik maka gurunya
mendapat perhatian, fasilitasnya pasti memadai.
“Guru ini yang kita omong adalah pengembangan SDM-nya,
mungkin ada sekolah lanjut atau barangkali diklat-diklat diperbanyak. APBD juga
harus berkontribusi terhadap diklat-diklat. Tidak bisa hanya harap diklat dari
APBN. Nah, selama ini semua orang kalau mau diklat larinya ke luar. Misalnya
kalau mau diklat Kurikulum 2013, ke Surabaya. Kenapa di sini tidak bisa? Kalau
ke sana kan, berarti orangnya sedikit. Kita kirim dari NTT katakanlah 5 orang.
Bisa tidak, kalau narasumbernya yang dihadirkan di sini? Kalau narasumbernya
yang datang ke sini berarti orangnya yang diperbanyak kan? Kita cukup bayar
narasumbernya, lalu katakanlah 100 orang ikut. Kalau ini jadi prioritas
program, menurut saya sangat membantu dari sisi diklatnya. Kemudian, berapa
banyak guru kita yang di-studi-lanjutkan? Sekarang walaupun program nasional
itu guru wajib S1, di lapangan, di kampung-kampung, itu masih banyak guru
tamatan SPG dan PGA. Mereka terpaksa ikut UT. Nah, pola pembelajaran di UT sana
menolong, tidak? Dari sisi ini, kita mau dongkrak apanya? Kalau mau dongkrak
manusianya, pendidikan harus jadi prioritas.” (rf/adj/yl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar