“SANG GURU”
merupakan novel karya sastrawan Indonesia kelahiran Rote – NTT, Gerson Poyk
(1931 – 2018). Dalam sejumlah referensi, novel yang terbit tahun 1972 ini
tercatat sebagai buku ketiga Gerson Poyk. Sebelumnya sudah terbit Hari-Hari Pertama dan Matias Akankari. Sesuai judulnya, novel Sang Guru berkisah tentang kehidupan
seorang guru dengan latar Ternate dan Manado.
Cerita
bermula dengan perjalanan Ben, seorang guru SMP, dengan kapal laut menuju
Ternate, tempat tugasnya yang baru. Sang Guru disertai ibunya dan Sofie,
seorang guru SKP yang juga akan bertugas di Ternate. Sofie kemudian menjadi
istri Ben. Awal hidup Ben di Ternate sangat menantang terutama dalam hal
ekonomi. Untuk membeli beras, misalnya, terpaksa ia berutang kepada Pak Ismail,
seorang pesuruh sekolah. Namun hal itu tidak menyebabkan semangat Ben menurun
karena ia yakin “di mana-mana seseorang tidak akan terlalu mendapat kesulitan jika
di sana ada sesama manusia”. Apalagi, Ben sudah terbiasa bertualang sehingga sebagai
guru wawasannya luas. Ia pernah menjadi buruh kasar pengantar hewan yang
diekspor ke Singapura dan Hongkong. Ben juga mampu mengajarkan mata pelajaran
apa saja di sekolah. Ilmu Alam, Bahasa Inggris, semuanya bisa ia ajarkan.
Bahkan ia mampu mengajar di sekolah yang sederajat dengan pendidikannya. Dikisahkan
pula, pada masa sulit itu, Ben sempat menjadi tentara (terlibat dalam Permesta)
dan tak pernah malu bekerja sebagai kuli pemarut kelapa (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).
Sedikit
uraian di atas memang hanya serpihan dari keutuhan narasi dan gagasan yang
dibangun Gerson Poyk dalam novel yang pernah meraih penghargaan SEA Write Award, sebuah penghargaan sastra tingkat ASEAN.
Keutuhan narasi dan gagasan tersebut tentu bisa didapat dengan membaca Sang Guru dan ulasan-ulasan terhadapnya.
Namun beberapa poin penting kiranya dapat dicatat sebagai sebuah pembelajaran
berharga dari Sang Guru.
Pertama, novel Sang Guru ditulis berdasarkan pengalaman hidup Gerson Poyk ketika
ia menjalani profesi sebagai seorang guru SMP dan SGA di Ternate tahun 1956 –
1958, setelah tamat dari SGA Surabaya. Ini bisa menjadi motivasi terutama bagi
teman-teman guru bahwa pengalaman hidup bisa menjadi inspirasi utama untuk
menghasilkan sebuah karya sastra.
Kedua, dalam wawancara saya dengan
Gerson Poyk di Ende tahun 2015, ia mengisahkan bahwa novel Sang Guru ditulisnya selama ia berada di Amerika Serikat, mengikuti
International
Creative Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa tahun 1970 – 1971.
Pengakuan ini menjadi titik penting dalam proses kreatif, bahwa sebuah karya
dapat lahir di tengah kepadatan rutinitas sekali pun. Karena itu, masalah utama
dalam menulis bukan pada keterbatasan waktu, namun ketakterbatasan niat dan kerja
keras.
Ketiga, mengacu pada kisah dalam novel Sang Guru, dua hal dapat dikutip: (1) Cerita dalam novel ini
memberikan gambaran tentang kesederhanaan seorang guru yang membuahkan
kebahagiaan dalam hidupnya. Ia rela menjadi guru walaupun hidup di gudang
dengan gaji sedikit. Bahkan ia tidak mau dikatakan sebagai seorang pahlawan
karena tujuan, kebahagiaan dan harapannya adalah ingin mendapatkan sesuap nasi
untuk memberi makan pada ibunya yang sudah tua (finudiasfa.blogspot.com); (2) Sosok Ben, guru dalam novel ini berbeda dengan sikap
guru yang pada umumnya fanatik dengan profesinya yang halus sehingga pantang
bekerja kasar. Ben dapat selalu bersikap optimistis dalam menghadapi
kehidupannya. Dengan kepandaiannya ia mau dan mampu beralih pekerjaan dari
halus sampai kasar jika situasi menuntut. Bahwa semua pekerjaan adalah baik
telah dibuktikan oleh Ben dengan menjadi buruh, guru SMP dan SMA, tentara, dan
pemarut kelapa. Oleh sebab itu, guru hendaknya bersedia melakukan pekerjaan apa
saja dan kapan saja tanpa dibelenggu oleh status dan gengsi. Sikap Ben yang
realistis ini semula memang didorong oleh tuntutan hidup, tetapi akhirnya
menjadi kebiasaan (ensiklopedia.kemdikbud.go.id).
Sekali
lagi sedikit uraian di atas memang hanya serpihan dari keutuhan narasi dan
gagasan dalam novel Sang Guru. Keutuhan narasi dan gagasan tersebut
tentu bisa didapat dengan membaca Sang
Guru dan ulasan-ulasan terhadapnya. Namun setidaknya kita telah belajar
dari Sang Guru tentang mutiara
bernama “kreatifitas” yang sejatinya tak pernah mati dalam diri seorang guru.
Bahkan kata Albert
Einstein (1879
– 1955), It is the supreme art of the teacher to awaken joy in
creative expression and knowledge; seni
tertinggi guru adalah untuk membangun kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan
pengetahuan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar