Oleh Robertus
Fahik
Metiyem merupakan kata dari bahasa Bali kuno, yang memiliki arti seekor merpati yang memiliki ketahanan dan
kemampuan terbang membubung tinggi ke angkasa, dalam sebuah peristiwa aduan.
Merpati pemenang utama yang memiliki kemampuan terbang tertinggi dan paling
lama, dalam bahasa Bali disebut Metiyem.
Dalam
kehidupan sosial masyarakat di Bali, Metiyem adalah yang tersembunyi di relung
kulminasi antara langit dan bumi yang merupakan pencapaian sempurna di
ketinggian terbang seekor merpati.
Demikian penjelasan Iman Budhi Santosa tentang Metiyem, pada momentum penyerahan Ijazah Maiyah dari Komunitas Maiyah kepada
Umbu Landu Paranggi, tanggal 5 Agustus 2019 di Umah Wisanggeni, Batu Bulan, Gianyar, Bali, sebagaimana dikutip
dan dipublikasikan di laman caknun.com tanggal 6 Agustus 2019.
//
Pertama kali saya mengenal kata Metiyem adalah ketika saya menerima
kiriman buku dari Rumah Budaya EAN Yogyakarta, tahun 2021 lalu. Buku itu
berjudul Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi.
Memang tidak mudah mendapatkan buku itu. Konon katanya buku itu dicetak
terbatas dan tidak untuk dijual secara luas. Ini sebagaimana juga ditulis pada laman
caknun.com tanggal 6 Agustus 2019:
Buku
“Metiyem” ini memang tidak diperjualbelikan, Pak Iman menegaskan bahwa buku
tersebut tidak ternilai harganya, maka hanya Umbu yang kemudian menentukan
kepada siapa buku-buku tersebut akan diberikan. Mbah Nun semalam juga
mempersilakan kepada jamaah yang hadir di Masuisani untuk naik ke panggung jika
berminat memiliki buku tersebut, kemudian menyampaikan alasannya mengapa ia
layak mendapat buku tersebut, dan Umbu sendiri yang kemudian menilai apakah ia
memang layak mendapatkan buku tersebut.
Namun beberapa waktu setelah kematian Umbu Landu Paranggi (6 April
2021), kira-kira pertengahan tahun 2021, berkat komunikasi sastrawan Fini
Marjan – sahabat saya di Tangerang, dengan pihak Rumah Budaya EAN selaku
penerbit, akhirnya saya pun bisa mendapatkan buku itu. Memang ketika itu saya sedang
mencari buku tentang Umbu.
Pada bagian epilog dalam
buku ini, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menggambarkan Umbu Landu Paranggi sebagai
sosok Metiyem. Cak Nun menulis:
Ketika para pecinta
burung-burung Merpati memperlombakan ratusan makhluk-makhluk indah itu dengan
menerbangkannya ke angkasa, semua pengagum keindahan ciptaan Tuhan berdebar-debar
menyaksikannya dengan menengadah ke langit.
Rentang waktu yang
mengalir mencatat urutan kelompok-kelompok Merpati yang turun dari angkasa.
Yang paling duluan turun adalah rombongan merpati yang kalah. Rombongan demi
rombongan bergiliran turun. Yang mereka penasaran menunggu adalah sesudah
rentang waktu yang lama, Merpati mana yang paling akhir turun dari angkasa.
Ketika semua
menyangka sudah tak ada lagi Merpati yang mengembara di angkasa – tiba-tiba dari
balik awan tinggi, muncul Merpati, menukik, menembus mega, kemudian meluncur
turun menghampiri pecintanya di antara ratusan orang lainnya.
Itulah Metiyem.
Itulah makhluk yang kita sebut Umbu, yang kesejatiannya baru terlihat di ujung waktu.
Itulah Umbu Metiyem, yang hidup di balik gumpalan-gumpalan awan.
Sementara kita
adalah anak didik empat abad peradaban yang hanya melatih mata jasad untuk
hanya mampu melihat yang wadag. Kita yang membusungkan dada di dalam keangkuhan
peradaban materialisme, tidak
tahu bahwa Umbu tersenyum menyaksikan kita dari balik lapisan mega-mega.
Sedangkan kita tak mampu melihatnya.
Apa yang ditulis Cak Nun
pada epilog itu saya temukan “penjelasan lanjutan” atau “penegasan”-nya pada laman caknun.com tanggal 6 Agustus 2019.
Tiga kutipan berikut, bagi saya merupakan “penjelasan lanjutan” atau “penegasan” Cak Nun terkait Umbu sebagai
Metiyem.
“Mas
Umbu ini seorang sufi, namun tidak pernah merasa dirinya sebagai seorang sufi”,
Mbah Nun menceritakan pergaulannya dengan Umbu. Umbu bukan hanya nyentrik,
unik, tapi juga istimewa. Ketika orang-orang mengejar popularitas, Umbu memilih
untuk lari dari popularitas. Ketika orang-orang berjuang untuk menjadi orang
kaya, Umbu justru meninggalkan kekayaannya di tanah kelahirannya.
…
“Hidup saya
belajar dari Umbu. Saya tidak ingin menjadi apa-apa dan tidak boleh ingin
menjadi apa-apa. Saya hanya melakukan apa yang Tuhan suruh kepada saya”, ungkap
Mbah Nun. Dan Ijazah Maiyah ini adalah dalam rangka memberi penghormatan kepada
orang yang setia kepada dirinya sendiri, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh Tuhan kepada dirinya. Umbu mengasuh anak-anak muda
untuk menjiwai sastra, entah kelak anak-anak yang ia asuh menjadi apa, tetapi
jiwa sastra sudah tumbuh dalam diri mereka. Dan, ibarat petani, Umbu telah
menanam benih di banyak ladang, yang ketika benih-benih itu tumbuh, kemudian
berbuah, tidak sedikitpun Umbu menikmati hasil panen. Umbu cukup bahagia
melihat tanaman-tanaman yang ia jaga tumbuh subur.
…
Pak Iman
Budhi Santosa kemudian menceritakan sedikit tentang buku “Metiyem”. Buku yang
disusun oleh anak didik Umbu Landu Paranggi di Malioboro, yang disusun sejak
tahun 2017 lalu. Dijelaskan oleh Pak Iman bahwa judul Metiyem ini diambil dari
bahasa Bali kuno, … dst. Inilah gambaran sosok Umbu Landu Paranggi,
melalui buku ini, Umbu dihormati lebih dari sekadar seorang guru, mentor,
Bapak. Umbu mengasuh, mengasah dan mengasih anak-anak muda untuk tumbuh,
melalui sastra, Umbu mengantarkan mereka, menemani mereka menemukan jati
dirinya. Menjadi dirinya sendiri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan
kepada mereka.
//
Rasanya sangat
beralasan, sebuah buku dipersembahkan secara khusus untuk Umbu Landu Paranggi. Dedikasinya
yang luar biasa pada dunia sastra baik selama di Yogyakarta maupun di Bali,
menjadi alasan utama di balik itu.
Sangat beralasan
pula Umbu diibaratkan sebagai Metiyem. Jejak Umbu sebagaimana diwartakan di
berbagai literatur, sudah sangat cukup menggambarkan sosok yang satu ini. Berkat
tangan dinginnya, lahir begitu banyak nama di kancah nasional baik sebagai penulis,
maupun sebagai manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Sekalipun demikian,
Umbu sendiri memilih untuk tidak menonjolkan dirinya sendiri.
Beberapa fase
kehidupan Umbu, dengan sangat gamblang memberi penegasan terkait hal itu. Ini sebagaimana
kisah-kisah yang dihadirkan dalam buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi, juga video-video yang beredar di
berbagai akun youtube tentang sosok Umbu.
Satu di antaranya
adalah ketika di tahun 1973 – sebagaimana dikisahkan Cak Nun, puluhan puisinya
akan dimuat oleh majalah Horison. Ketika itu majalah Horison menjadi
salah satu majalah nasional yang menjadi barometer sastra Indonesia. Semua penulis
tentu ingin agar karyanya lolos dan dimuat di majalah Horison. Namun apa
yang dilakukan Umbu?
Umbu
diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri
puisi-puisinya sediri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat
curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.
Demikian ditulis
Cak Nun dalam buku Metiyem,
Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi. Kisah yang sama kerap disampaikan Cak
Nun ketika berbicara mengenai sosok gurunya itu, sebagaimana termuat dalam beberapa
video di beberapa akun youtube.
Hal lain yang menegaskan
sosok Umbu sebagai Metiyem adalah kenyataan bahwa sampai dengan menutup matanya
pada tanggal 6 April 2021, Umbu menolak untuk menerbitkan satu buku pun. Karya-karya
terutama puisi hanya tersebar di berbagai media, juga buku antologi. Itu pun
oleh sebagian referensi dikatakan bahwa atas inisiatif murid-muridnya.
Hal ini pernah
ditanyakan secara langsung oleh Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas yang
juga pernah berguru pada Umbu ketika di Bali. Putu Fajar Arcana kemudian menuliskan
pengalamannya itu dalam buku Metiyem,
Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi.
Berikut saya sajikan kutipan percakapan itu – dengan menambahkan
keterangan PFA; Putu Fajar
Arcana dan ULP; Umbu Landu Paranggi.
Sengaja saya kutip secara utuh agar memberi gambaran yang utuh pula mengenai pilihan
dan keyakinan seorang Umbu Landu Paranggi.
PFA: Anda dikenal sebagai pelopor dalam perkembangan sastra,
sampai-sampai jarang yang mengenal karya Anda. Kapan bikin buku?
ULP: Ah itu biarkan saja orang lain. Tugas saya sejak di
Yogya sampai Bali selalu bikin taman. Taman kreativitas untuk menemukan
orang-orang yang mencintai hidup.
PFA: Anda tidak risau dalam masa kepenyairan 50 tahun
lebih belum juga memiliki sebuah antologi?
ULP: Sudah
saya katakan, itu tugas orang lain. Tugas saya ya begini saja, jalani kehidupan
sebagai pencinta sunyi. Gede Prama pernah menulis, sepi yang mengilhami, ketika
dia membahas soal nyepi di Bali. Itu rumusan yang luar biasa, sepi bukan
berarti kosong, tetapi justru penuh geriap energi dalamnya.
PFA: Mengapa
Anda tidak seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum Bakrie,
Sapardi Djoko Damono, atau Rendra saja dalam menekuni dunia kepenyairan?
ULP: Saya Cuma
menjalankan apa yang sudah dituliskan langit.
PFA:
Maksudnya?
ULP: Semua
punya peran masing-masing. Kalau semua seperti Chairil atau Sutardji, mungkin
dunia kepenyairan dan kebahasaan kita tumbuh lamban. Berbahasa Indonesia bukan
sesuatu yang mudah bagi sekalangan orang Jawa dan Bali dan orang-orang yang
bukan Melayu. Karena itulah, Sumpah Pemuda itu puisi mantra. Ia ibarat amarah
suci sebuah angkatan… 17 tahun kemudian terbukti terjadi proklamasi.
Umbu rupanya
benar-benar menyadari ruang kosong yang mungkin saja ketika itu dilihatnya dalam
jagad sastra Indonesia. Ruang kosong itu ialah “taman kreativitas” sebagaimana
disebutkannya, dan dia memilih untuk menjadi pembuat taman itu.
Pada sisi yang
sama, Umbu seakan menunaikan nazarnya sendiri dalam “Lagu Tujuh Patah Kata” (Referensi
lain ditulis dengan judul; “Doa”): sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku risau.
Umbu memilih berada di balik layar panggung sastra Indonesia. Atau pun
keyakinannya dalam “Melodia”:
rasa-saranya
padalah dengan dunia sendiri, manis, bahagia, sederhana
di ruang
kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang
seperti terpencil, tapi gairah bersahaja, harapan impian
yang teguh
mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
//
Itulah Umbu. Itulah
sang Metiyem. Dia memilih untuk bekerja dalam diam dengan cinta, kesetiaan, dan
dengan keyakinan serta caranya sendiri. Dia memilih untuk membuat taman bagi
tumbuh, mekar, dan mewanginya bunga-bunga. Sementara dia sendiri tidak pernah
memetiknya.
Apakah kita juga
harus seperti Umbu? Tentu tidak. Namun setidaknya lewat pilihannya itu, Umbu
telah memberi pesan berarti bagi semua orang untuk melihat kehidupan secara utuh
dan mendalam. Pilihan seperti ini pun memiliki konsekuensi untuk tidak menaruh kepentingan
atau pun kejayaan diri sendiri di atas segalanya.
Ini sebagaimana
dikatakan oleh Umbu sendiri dalam sebuah wawancara yang ditayangkan akun youtube
Harian Kompas, tanggal 6 April 2021, hari ketika Umbu meninggal dunia:
Saya kagum sama
Sudriman. Jadi saya ini menggunakan teknik gerilyanya dalam mencari-cari orang,
saya pakai itu. Makanya harus sembunyi. Jangan terlalu ini. Makanya saya
peringatkan Em (Emha Ainun Najib/Cak Nun), Em, jangan sekali-sekali kamu
ngomong tentang jasa dan menggawat-gawatkan peran. Seniman kan seakan-akan
dunia ini miliknya sendiri. Itu jangan.
Tidak hanya untuk “Em”
dan para seniman. Pesan yang sama, hemat saya juga dialamatkan kepada siapa
saja yang mau menjalani dan mencintai kehidupan sebagai pemenang sejati. Mereka
yang mau berpeluh untuk menjadi Metiyem – sang pemenang, mereka yang mau
mencapai puncak kesempurnaannya. Mereka yang benar-benar mau menjadi manusia.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar