Minggu, 27 Desember 2015
Memaknai Cinta Bersama Usman D. Ganggang
Judul buku : Ketika Cinta Terbantai Sepi
(Kompilasi Puisi)
Penulis : Usman D. Ganggang
Penerbit : CV. Adnan Printing
Tahun terbit : 2011
ISBN : 979-97913-0-4
Tebal buku : xiii + 120 halaman
|
Lewat buku puisinya Ketika Cinta Terbantai Sepi, sastrawan Usman D. Ganggang, menawarkan sederet kisah yang memikat dan tentunya menarik untuk diselami lebih dalam. Buku puisi yang terbit pada tahun 2011 ini memuat 79 judul puisi yang ditulis Ganggang dalam rentang waktu tahun 1985 hingga tahun 2000-an. Puisi-puisi itu ditulisnya di beberapa tempat seperti Jakarta, Atambua, Labuan Bajo, Kupang, Waingapu, Malang, Denpasar, Surabaya, Larantuka, Ruteng, Mataram, dan tentunya Bima yang kini sebagai tempat berlabuhnya. Sebuah gambaran tentang sang penyair yang terus mengembara, berlimpah pengalaman, meski kadang “terbantai sepi”. Di sisi yang lain, pencapaian Ganggang lewat buku puisi ini menjadi bukti bahwa proses kreatif (dalam menulis) bisa terjadi kapan dan di mana saja.
Buku puisi ini merupakan karya kedua Ganggang yang sudah diterbitkan, setelah Bunga Pasir (2006). Dalam Buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015), Yohanes Sehandi mecatat, karya-karya lain milik Ganggang yang sudah dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah (telah dikumpulkan dan siap diterbitkan) adalah Surat-Surat Ine (puisi-2000), Apresiasi Puisi Putra Cendana (telaah sastra-2003), Sayap Bulan (puisi-2005), Senandung Rindu (puisi-2008), Apresiasi Puisi Putra Mbojo (telaah sastra-2009), Cerita Rakyat NTT (2002), Cermin Cinta (esai-2004), dan Masih Ada Waktu (cerpen-2010).
Komentar Beberapa Tokoh
Buku
puisi Ketika Cita Terbantai Sepi mendapat
apresiasi dari beberapa tokoh yang komentarnya dimuat juga di dalam buku ini.
Pada bagian prolog (sambutan teman), hadir pengamat sastra dan pengawas
pendidikan kota Kupang, Selamat Ans. Beberapa puisi Ganggang diulasnya secara
singkat namun tetap mendalam. Seperti puisi berjudul “Pulang” yang baginya
merupakan sebuah seruan; “pulang sejalan dengan jiwa reformasi yang tidak butuh
bicara panjang lebar tapi butuh tindakan nyata dan segera. Mari kita
re-orientasi.” Puisi lain berjudul “Rumahku” yang muaranya menurut Ans adalah
introspeksi diri. Ada juga puisi lain yang disentil Ans, seperti “Di
Persimpangan Jalan Ini”, “Surat Cinta dari Lakaan”, “Pertanyaan si Bocah”, dan “Ketika
Meminangmu” (surat cinta buat Nurhayati). Selain Selamat Ans yang memberi prolog, ada juga tokoh lain yang memberi endorsement seperti Tony- wartawan Kupang News, Maria Mathildis Banda- novelis, Willem Berube- guru SMA Giovani Kupang, dan Dyla Lalat- penyair kelahiran Bima. Beberapa catatan menarik bisa kita baca dari tokoh-tokoh ini. Ada tingkat kematangan penyair yang telah lama terbina dalam berkarya. Gaya pengungkapan kahs, sarat dengan bahasa perlambangan dan pengandaian (Tony). Ganggang cukup matang dalam penyajian tema, pilihan kata, dan makna. Yang menarik, konsentrasi penyair tetap terikat sehingga makna puisi-puisinya mengambil tempat (Banda). Ganggang ternyata tidak hanya bicara cinta seperti sebagian puisinya yang tersebar, tetapi juga bicara hukum seperti judul puisinya “Hukum Telah Lama Mati”, juga soal permenungan seperti “Di atas Sajadah Pasrah”, dan bernuansa sinisme seperti dalam “Ada-ada Saja”. Ganggang menyadari bahwa sepanjang menulis bertumpu pada konsep dasar yaitu sebuah proses berpikir, maka di sanalah aspek pendidikan intelektual itu terbentuk (Berybe). Ganggang juga menebar cintanya pada orang-orang kecil. Tanpa ada yang menyuruh, dia mencipta dan mengirim syair untuk wakil-wakil rakyat yang ada di gedung mewah dan kursi-kursi empuk (Lalat).
Kegelisahan yang tak berkesudahan
Dalam
buku Sastra Indonesia dalam Enam
Pertanyaan (2004), Ignas Kleden menyebutkan tiga kegelisahan penyair
(sastrawan) dalam menciptakan karya sastra. Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara
manusia dan manusia lainnya dalam struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisik, yakni hubungan manusia dengan alam
semesta. Ketiga, kegelisahan
eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan
persoalan dirinya sendiri. Kegelisahan seperti apa yang dimiliki seorang
Ganggang? Rasa-rasanya dalam buku puisi ini, tiga kegelisahan itu nampak, walau
kadang sangat jelas, kadang juga samar.Kegelisahan politik sang penyair hadir dalam beberapa pusi seperti “Potret Negeriku”, “Hukum Telah Lama Mati”, dan “Tanah Airku”. Dalam puisi-puisi tersebut, Ganggang bersuara nyaring tentang realitas yang ada di depan matanya. Baginya negeri ini ibarat “sejumlah bopeng besar” (Potret Negeriku), di mana “kultur serta nilai-nilai kemanusiaan dijarah habis ke dalam dunia kebendaan (Hukum Telah Lama Mati). Namun yang menarik, Ganggang tetap menyerukan harapan lewat manifestonya untuk tanah air yang ia cintai, “Tanah airku yang kucintai, ke manapun pergi tak mudah kulupakan” (Tanah Airku). Kegelisahan politik di satu sisi. Sementara di sisi lainnya bendera harapan tetap berkibar; untuk negeri yang dicintai.
Kegelisahan metafisik seorang Ganggang tercermin dalam beberapa puisi yang meminjam nuansa alam sebagai pembawa pesan. Seperti dalam puisi “Di Batas Timor Leste”, sang penyair antara lain menulis: “Kusaksikan sosok seorang ibu memandang lepas, menyaksikan alam berkata melalui merekahnya bunga, gemericiknya air yang mengalir melintasi anak sungai, membawa keramahan alam dan senyumnya bulan purnama…. Kudengar gumamnya di antara pohon-pohon telanjang, kapankah puing-puing kepedihan ini segera hilang, di antara lambainya bunga ilalang tegar tapal batas, tak terpancing godaan angin terkadang kencang.” Ganggang menunjukkan bahwa alam bisa dijadikan jembatan imajinasi untuk mengungkapkan potret realitas tertentu. Pada saat yang sama, seruan kembali ke alam, dapat disuarakan secara lantang tanpa harus mengurus ijin demontrasi dari pihak berwajib. Masih ada puisi lain yang menggambarkan kepiawaian Ganggang dalam mengolah alam menjadi pesan moral dan kemanusiaan yang tak lekang ruang dan waktu, seperti puisi “Engkaulah Air Mangalir” (Kepada Taufiq Ismail), “Pagi Ini Masih Ada Cinta”, “Bulan Lagi Senyum” (Buat Saudara Yan Sehandi), dan “Surat Cinta dari Lakaan”.
Jika mengacu pada judul buku puisi ini, barangkali kegelisahan eksistensial-lah yang paling kental dalam keseluruhan pemikiran dan perasaaan seorang Ganggang yang tumpah dalam syair-syairnya yang dahsyat. Semuanya terangkum dalam satu kata: Cinta. Namun kiranya cinta dalam konteks ini bukanlah cinta dalam arti sempit, misalnya cinta antara dua insan. Cinta yang diusung sang penyair adalah cinta universal, cinta yang merangkum semua kalangan, tanpa batas suku, agama, ras, kepentingan. Karena itu, dari puluhan judul puisi dalam buku ini Ganggang tidak membatasi diri pada cinta pribadinya. Lewat caranya yang khas, sang penyair mengumandangkan nyanyian cinta yang merangkum. Ia berbicara tentang negeri yang dicintai, orang-orang kecil dengan seribu satu mimpi yang terbelenggu, alam yang luar biasa indahnya, teman-teman, sahabat, kenalan, dan saudara-saudara yang dicintainya (beberapa puisi dipersembahkan secara khusus untuk tokoh tertentu), hingga sampai pada pertanyaan reflektif, “Apa yang Terjadi?”. Dengan pertanyaan seperti ini, manusia sesungguhnya membuktikan keberadaannya. Dalam konteks seorang penyair (atau penulis umumnya), ini bisa kita sebut sebagai kegelisahan yang tak berkesudahan. Dan Ganggang mengajak kita untuk terus bertanya. Apa yang terjadi dengan negeri kita? Apa yang terjadi dengan alam? Apa yang terjadi dengan diri kita? Apa yang terjadi dengan cinta?
Pertanyaan terakhir di atas menjadi titik simpul seorang Ganggang. Maka dari segi judul, buku puisi ini sudah berhasil menyeret pembaca ke dalam sebuah permenungan tentang hakekat hidup; cinta. Sebuah tema yang mungkin usang namun dihadirkan Ganggang sebagai sesuatu yang baru; buah-buah pemikiran yang segar, yang siap untuk dipetik oleh siapa pun yang lapar akan cinta. Bagi Ganggang, cinta itu buah kebersamaan, dan membutuhkan kenyamanan. Cinta ibarat lagu dangdut, mengubah hati nan keras jadi mawar, mengubah kesedihan jadi sebuah bunga (Cinta). Cinta itu tidak pernah buta… Cinta memang sesuatu yang menyala… Cinta senantiasa menyala, meski di tanah gersang, akan tumbuh subur, dalam hati penuh cinta, pemilik cinta (Surat Cinta dari Lakaan). Lantas, apa yang masih bisa kita buat ketika cinta terbantai sepi? Tetaplah berpaling pada cinta- yang sesungguhnya. Dan jangan sungkan-sungkan untuk meminta pada Sang Cinta (Tuhan), seperti seruan kepada Ine (ibu); Ine, ajari aku cinta, hingga lahirkan benih-benih cinta, berbunga-bunga dalam singgasanaku (Ine, ajari cinta).
Sambil mempertimbangkan beberapa hal teknis seperti tata letak dan pegorganisasian (pengelompokan) tema puisi yang lebih rapi untuk memudahkan pembaca dalam mencerna puisi, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan. Tidak hanya pembaca (penikmat) sastra, akademisi, kritikus sastra, mahasiswa jurusan sastra, tetapi juga pelajar/siswa dan masyarakat umum yang punya minat untuk membaca buku sastra khusunya puisi. Hadirnya buku ini menambah kasanah karya sastra yang lahir dari penulis NTT khususnya buku puisi. Apreasiasi masyarakat tentu menjadi sisi lain yang masih harus diperjuangkan, selain tentunya peran pemerintah selaku pemangku kebijakan, untuk memberi tempat bagi penulis-penulis yang lahir dari bumi Flobamora tercinta.(Robert Fahik)
Minggu, 20 Desember 2015
16 Juni Hari Sastra NTT
Gerson Poyk: Tokoh Sastra NTT 2015
Sambil tersenyum, sastrawan Gerson Poyk melambaikan tangannya kepada ratusan peserta Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT yang memadati aula utama Universitas Flores - Ende, Jumat (9/10/2015) pagi. Putra NTT kelahiran Ba’a, Rote Ndao, 16 Juni 1931 ini didaulat ke depan untuk menerima penghargaan dari Kantor Bahasa NTT sebagai Tokoh Sastra NTT tahun 2015. Penganugerahan Tokoh Sastra NTT tahun 2015 dilakukan secara langsung oleh Kepala Kantor Bahasa NTT, M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A.
“Jangan dilihat
nominalnya. Angka sepuluh juta rupiah tentu tidak sebanding dengan apa yang
sudah dipersembahkan pak Gerson untuk NTT. Sejauh ini Kantor Bahasa sangat
mengapresiasi penulis-penulis NTT yang sudah turut membangun daerah ini lewat
karya-karyanya. Dan pak Gerson sebagai perintis sastra NTT kami nilai sebagai
sosok yang tepat untuk menerima penghargaan sebagai tokoh sastra. Harapan kami,
sastra NTT terus berkembang dari waktu ke waktu,” kata Baihaqi sesaat sebelum
menyerahkan plakat Tokoh Sastra NTT tahun 2015 kepada Gerson Poyk.
Penobatan Gerson Poyk
sebagai Tokoh Sastra NTT tahun 2015, terasa kian sempurna dengan ditetapkannya tanggal 16 Juni (tanggal kelahiran
Gerson Poyk) sebagai Hari Sastra NTT
(tertuang dalam Rekomendasi Temu II Satrawan NTT – ditandatangani oleh sejumlah
tokoh). Ini tentunya sangat beralasan. Sudah lebih dari setengah abad yang
lalu, pemilik nama lengkap Gerson Gubertus Poyk ini membawa nama NTT ke tingkat
nasional bahkan internasional lewat sastra.
Mengacu pada hasil
penelusuran Yohanes Sehandi (dituangkan dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT), tahun 1961 merupakan awal
Gerson Poyk terjun ke dunia publikasi karya sastra. Hal ini terjadi ketika
majalah Sastra Edisi Tahun I, Nomor
6, Oktober 1961, memuat cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah”. Bahkan
di tahun yang sama, cerpen tersebut dianugerahi sebagai cerpen terbaik dan
mendapat hadiah dari majalah Sastra. Atas
alasan ini, Sehandi kemudian menyebut Gerson Poyk sebagai “Perintis Sastra
NTT”, karena dialah orang NTT pertama yang menulis dan mempublikasikan karya sastra di media massa.
Gerson ternyata tidak
hanya menjadi orang pertama NTT yang menulis di media massa. Sejak tahu 1964
ketika buku (novel) pertamanya terbit, Gerson terus menghasilkan karya sastra
yang berkualitas sambil tetap memberi warna yang khas di setiap karyanya. Tahun
itu (1964) BPK Gunung Mulia Jakarta menerbitkan novel Hari-Hari Pertama sebagai karya pertama Gerson Poyk yang terbit dalam
bentuk buku. Sejak saat itu pena Gerson terus menari. Dalam rentang waktu dari
tahun 1964 sampai tahun 2014, tercatat 27 judul buku karya Gerson Poyk yang
sudah diterbitkan. Dua puluh tujuh judul itu terdiri dari berbagai genre sastra
seperti puisi, cerpen, novelet, dan novel serta liputan jurnalistik. Yohanes
Sehandi bahkan mengakui bahwa angka 27 judul itu baru sekitar 2/3 karya Gerson
Poyk, masih sekitar 1/3 karya beliau yang belum ditemukan dan perlu terus
ditelusuri. Pada waktu ditanyakan, beliau sendiri tidk ingat lagi jumlah karya
sastra yang telah diterbitkan (Sehandi, 2015).
Gerson Poyk tidak saja
luar biasa dari segi kuantitas karya tulis. Kualitas tulisan mantan guru (di
Ternate dan Bima) dan jurnalis (wartawan Sinar
Harapan) ini tak perlu diragukan lagi. Gerson Poyk pernah meraih hadiah
hiburan dari majalah Sastra pada
tahun 1962 dengan cerpen “Mutiara di Tengah Sawah”. Cerpennya “Oleng-Kemoleng”
mendapat pujian majalah sastra Horison sebagai
cerpen yang dinominasi untuk merih hadian majalah itu pada tahun 1968. Tahun
1985 dan 1986 ia berturut-turut memenangkan hadiah Adinegoro atas laporannya di
majalah Sarinah, hadiah tertinggi
dalam bidang jurnalistik. Tahun 1989 ia mendapat SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Kerajaan Thailand. Ia juga
pernah mendapat penghargaan dari Haria Kompas
untuk kesetiaannya selama puluhan tahun menulis karya sastra (Kaki Langit 133/Januari 2008, dalam
majalah sastra Horison edisi Januari
2008). Tahun 2011 Gerson juga menerima Anugerah Kebudayaan dari Presiden SBY
karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya. Kemudian tahun 2012 ia
mendapat penghargaan NTT Academia Award
untuk kategori Sastra dan Humaniora (Sehandi, 2015).
Selain menerima berbagai
penghargaan di bidang sastra dan jurnalistik, Gerson juga pernah terlibat dalam
beberapa kegiatan bertaraf internasional. Akhir tahun 1982, ia menghadiri
Seminar Sastra di India. Sebelumnya pada tahun 1970 – 1971 Gerson menjadi
sastrawan pertama dari Indonesia yang mengikuti International Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa, Amerika Serikat
(Sehandi, 2015).
Tentang pengalamannya di
Amerika, dalam wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende (10/10/2015), beliau
menceritakan ketika itu ada orang dari Amerika yang datang ke Jakarta. Mereka bertemu
di redaksi majalah Horison. Waktu itu
ada dua nama yang diminta yakni Gerson Poyk dan Taufiq Ismail. Namun Gerson-lah
yang pertama berangkat. Peserta waktu itu 30 orang dari seluruh dunia, dan
mayoritas adalah para doktor.
“Saya bermimpi ada anak NTT
yang bisa ke sana lagi. Ikut program itu. Syaratnya ringan. Punya buku. Lalu
menulis lamaran ke sana,” tutur Gerson yang mengaku selama di Amerika menulis
novelnya Sang Guru.
Menulis: pengembaraan pikiran
Bagi Gerson Poyk, menulis
itu merupakan pengembaraan pikiran. Pengembaran Jiwa. Kita (manusia) seperti
masuk ke kota aneh dengan rasa terasing. Tetapi dengan demikian, kita berjuang
melalui integrasi antara logika, perasaan, dan sebagainya.
“Harus dari dalam.
Intuisi kreatif. Bandingkan dengan bacaan dari seluruh dunia. Kita punya sikap
tersendiri. Macam-macam filosofi di otak. Otak itu kebun, penuh dengan
tanaman-tanaman. Karena itu, di samping menulis, belajar banyak. Baca buku,
supaya tulisan bermutu,” ungkap Gerson.
Membaca bagi Gerson
menjadi modal yang sangat penting bagi seorang penulis. Karena itu ia berpesan
kepada generasi muda khususnya untuk mencintai buku dan memiliki gairah tinggi
dalam membaca buku.
“Ketika melihat buku,
yang berat sekalipun, harus katakan; ‘lu harus
masuk ke otak gue.’ Harus serius itu,” tegasnya.
Penegasan Gerson
mencerminkan pengalaman hidupnya sendiri. Sejak masa kecil ia sudah akrab
dengan buku. Bahkan ketika bekerja di kebun, kisahnya, ia meluangkan waktu
untuk membaca. Gerson masih ingat betul bacaannya waktu itu yakni sejarah Napoleon
dan kisah tragis orang-orang Kristen yang dibuang ke kandang singa.
Di usianya yang sudah 84
tahun, Gerson masih terus berkarya lewat tulisan (kolumnis majalah Leader) dan berjuang mewujudkan mimpinya
yang belum tercapai. Dirinya mengaku ingin mendirikan sanggar di Kupang,
seperti yang pernah ia buat baik di Surabaya maupun di Jakarta. Saat ini ia
juga tengah menyiapkan sebuah teater bertajuk “Maromak Oan, Kaisar Timor.”
Gerson juga sedang
menggarap sebuah buku yang memuat esai-esai politik tentang terorisme (akan
diterbitkan Kompas). Ada juga buku
sastra, Seutas Benang Cinta. “Saya
mau bikin stream of consciousness. Semacam esai tapi berayun-ayun dengan kalimat
sastra. Banyak di otak saya. Arus kesadaran. Tidak ada tokoh tapi renungan.
Semacam monolog,” jelasnya.
Ibu: inspirasi besar
Menurut Gerson Poyk,
proses kreatif itu dilandasi momen-momen kunci (pengalamann tak terlupakan)
yang mengiringi proses penciptaan. Proses kreatif itu selalu berjalan seiring
dengan usia pengarang, sejak ia kanak-kanak hingga dewasa, dan saat ia menulis
karya tertentu, momen kunci itulah yang bekerja secara kreatif dengan menggali
pegalama masa lampau (Kaki Langit 133/Januari
2008).
Karya-karya Gerson Poyk memang
tidak terlepas dari sejarah hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang ia alami. Pemikiran
dan ide yang berkeliaran. Dan tentunya latar atau warna khas NTT yang tak
pernah luput dari ruang imajinasi sang sastrawan.
Namun
ternyata di balik semuanya itu ada satu sosok yang tidak banyak diketahui pembaca
Gerson. Sosok itu adalah sang ibu. Baginya, ibu adalah inspirasi besar dalam
hidup dan karyanya. Ibu adalah falsafah untu segala-galanya. Perempuan yang
menderita tapi penuh dengan cinta kasih.
“Waktu bapa nganggur, kita nebeng di rumah keluarga. Tapi mama kerja sama keluarga. Mama gendong bayi. Menyanyi. Nyanyi… Bau do… Lama-lama anak itu tidur, kita dikasi nasi, makan. Kadang-kadang saya nangis kalau ingat mama saya,” tuturnya lirih. (Robert Fahik)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kapan Pertama Kali Gerson Poyk Menulis
di Media Massa?
Ada
yang menarik dari wawancara saya dengan Gerson Poyk di Ende, Sabtu
(10/10/2015). Beliau mengungkapkan bahwa tahun 1955 ketika bersekolah di
SGA Kristen Surabaya, untuk pertama kalinya tulisan beliau terbit di media
massa. Tulisan tersebut adalah sebuah puisi berjudul “Anak Karang” –
kemudian baru menyusul puisi-puisi lain, dimuat di Mimbar Indonesia.
“Waktu
itu saya menghebohkan orang-orang Surabaya. Karena waktu itu Mimbar
Indonesia selalu memuat puisi satu halaman setiap hari. Dan itu nama-nama
besar seperti Sitor Situmorang, Iwan Simatupang. Waktu tulisan saya masuk
ke koran itu, teman-teman di Surabaya beri hormat sama saya. Kata mereka,
kapan kita bisa kayak Gerson,” kisah Gerson Poyk sambil tertawa kecil. Pria
84 tahun ini bahkan masih hafal betul lirik puisi yang ditulisnya enam
puluh tahun silam itu.
“Bea.
Di tepi sini gubuk dan karang. Sekali pernah mama bilang. Cerita beta
cerita kau. Bertulis di tanah berselang karang… Kira-kira begitu. Jadi
angin muson itu kadang-kadang membikin kurang subur. Kita punya musin itu
kadang muson. Tapi jangan takut. Kalau padi dan jagung tidak ada masih ada pohon
lontar, gula. Kira-kira begitu maksud saya,” jelasnya.
Cerita
Gerson Poyk ternyata sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Prof. Dr.
Suripan Sadi Hutomo, bahwa Gerson Poyk banyak menulis puisi di beberapa
media massa yang terbit di Surabaya saat ia mengikuti pendidikannya di SGA
Kristen di kota itu (1955 – 1956). Salah satu puisinya dijadikan judul buku
Anak Karang, pertama kali dimuat H. B. Jasin di majalah Mimbar Indonesia
(Kaki Langit 133/Januari 2008).
Di sisi lain meski menyebut
cerpen Mutiara di Tengah Sawah (1961) sebagai karya pertama Gerson yang
terbit di media massa – sesuai data otentik yang diperolehnya, Sehandi
(2015) juga mengakui bahwa dari sejumlah sumber, ia mendapatkan informasi
bahwa Gerson Poyk sudah mulai menulis sastra di media massa sebelum tahun
1961. Disebutkan sejumlah media yang memuat karya Gerson, yakni Mimbar
Indonesia, Tjerita, dan Sastra.
“Hanya
sayangnya, saya hanya menemukan data otentik karya Gerson Poyk pada majalah
Sastra (1961), sedangkan pada Mimbar Indonesia dan Tjerita tidak ditemukan
data otentiknya berupa judul karya sastra, jenis karya sastra, dan nomor
edisi bulan dan tahun terbit karya Gerson Poyk tersebut,” tulis Sehandi
dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015).
Jadi,
kapan pertama kali Gerson Poyk menulis di media massa? Tentunya butuh
penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan kebenarannya. Data otentik
tentang puisi “Anak Karang” yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia tahun
1955, misalnya, perlu ditemukan. Untuk mencapai hal ini butuh kerja sama
serta kerja keras segenap pencinta Sastra NTT. (Robert Fahik)
|
Yohanes Sehandi: Mempunyai Nilai Lebih Lewat menulis
Ketekunan dan kerja kerasnya dalam bidang menulis, menjadikan sosok
yang satu ini dikenal luas di NTT khususnya di kalangan akademisi dan penggelut
sastra. Kebiasaan membaca sejak kecil diakuinya sebagai modal untuk
mengembangkan dan menekuni dunia menulis. Karena itu sejak di bangku kuliah, Pak
Yan – demikian sapaan akrabnya, terus menulis dan mengoleksi buku-buku bacaan. Berbagai
artikel sudah ditulis dan dipublikasikannya baik lewat media cetak maupun blog
pribadinya. Bahkan dosen Universitas Flores ini juga sudah menulis beberapa
buku. Salah satu buku yang melambungkan namanya berjudul “Mengenal Sastra da
Sastrawan NTT”. Buku ini pula yang terpilih menjadi salah satu pemenang hadiah
buku insentif untuk dosen diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI (2014). Untuk
mengenal lebih jauh sepak terjangnya dalam dunia menulis, bagaimana
pemikirannya tetang budaya menulis, berikut kami hadirkan petikan wawancara penyunting
Loti Basastra, Robert Fahik dengan
Yohanes Sehandi.
Sejak kapan Bpk. menekuni dunia menulis?
Saya
menekuni dunia tulis-menulis sejak 33 tahun lalu, yakni tahun 1982, pada waktu
kuliah semester 2 di IKIP Negeri Semarang, kini menjadi Universitas Negeri
Semarang, Unes. Tulisan pertama saya berjudulnya
“Sajak Sebaiknya Komunikatif,” dimuat dalam surat kabar mingguan (SKM) Simponi terbitan
Jakarta, edisi tanggal 14 Februari 1982. Sejak tahun 1982 itulah saya menulis, terus menulis, meskipun ada juga
pasang surutnya.
Bapak sudah menulis banyak artikel dan
menerbitkan sejumlah buku. Apa yang mendorong Bpk. dalam menulis?
Saya
menggeluti dunia tulis-menulis dengan penuh kesadaran. Pertama, saya ingin agar
mempunyai nilai lebih, tidak sekadar jadi sarjana saja. Saya mengukur diri
bahwa saya tidak mempunyai bakat lain, misalnya bakat olahraga, menyanyi, dan
lain-lain. Saya punya bakat membaca sejak kecil, bakat itu menjadi modal dasar
saya untuk menulis. Pada awal kuliah saya ambil keputusan untuk menggeluti
secara serius dunia tulis-menulis. Kedua, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari
waktu kuliah. Ini dorongan kedua. Setelah saya menulis di sejumlah koran,
ternyata ada honorariumnya, dan lumayan untuk beli kebutuhan sehari-hari
seorang mahasiswa. Uang honorarium itu juga akhirnya saya gunakan untuk membeli
buku-buku baru, bahkan untuk biaya kuliah. Buku baru itu saya buat resensinya,
kirim ke koran dan dimuat, maka dapat honorarium. Sampai kini saya memiliki
koleksi buku yang lumayan banyak, sebagian besar hasil dari tulis-menulis.
Buku-buku milik pribadi inilah yang kemudian menjadi sumber inspirasi saya
untuk menulis. Tentang bakat membaca ini memang tumbuh dari dalam diri secara
alamiah, tidak ada yang mendorong. Sejak SMP di Rekas (Manggarai Barat) dan SPP/SPMA
(Pertanian) di Boawae (Nagekeo) saya sudah terbiasa membaca Majalah Dian
terbitan Ende dan Majalah Trubus (majalah pertanian) terbitan Jakarta.
Nama-nama penulis NTT dari Flores, Timor, dan Sumba saya sudah kenal sejak SMP
dan SPP/SPMA. Dari Flores, misalnya saya sudah kenal nama Pater Alex Beding, Ben Oleona, Thom Wignyata,
Marcel Beding, Valens Doy, Nico Ladjadjawa, Don Bosco Blikololong, Dami N.
Toda, John Dami Mukese. Dari Timor sejak kecil saya sudah kenal nama Anton Bele
dan Yohanes Lake, dari Sumba ada nama Frans W. Hebi, Yosef Pati Wenge, dan
David Siwa Balla.
Apakah ada tokoh yang menjadi inspirasi Bpk
dalam menulis?
Ya,
ada. Ada dua penulis terkenal kelahiran NTT, yang harus saya akui sebagai
sumber inspirasi, yakni Dami N. Toda dan Ignas Kleden. Waktu kuliah di Semarang
tahun 1980-an saya banyak membaca artikel Dami N. Toda dan Ignas Kleden di
harian Kompas dan majalah Tempo, dan di berbagai media cetak lain. Saya jujur
mengakui, dua penulis NTT inilah yang membuat saya tidak nyaman tidur. Sekadar
cerita, pada awal tahun 1982, di beberapa jalan utama di Kota Semarang
terpasang sejumlah spanduk besar yang bunyinya kurang-lebih seperti ini: “Selamat
Datang Dami N. Toda, Kritikus Sastra Indonesia, di Kampus Universitas
Diponegoro.” Saya kaget membaca spanduk itu dan terharu, karena saya tahu Dami
Toda orang saya dari Manggarai. Dia diundang di Undip untuk memberi ceramah
tentang novelis Iwan Simatupang. Dalam hati saya bertanya, orang dari pelosok
di Manggarai Flores bisa menjadi terkenal. Jawabannya, karena dia menulis. Sejak saat itu saya menggandrungi tulisan Dami
N. Toda, apakah lewat surat kabar, majalah, maupun buku yang diterbitkan.
Sampai kini, hampir semua buku karya Dami N. Toda saya miliki, meskipun belum
pernah bertemu langsung. Selanjutnya tentang Ignas Kleden. Saya mulai mengenal
beliau lewat tulisan-tulisannya, sekitar tahun 1983. Pada suatu waktu saya membaca
majalah Tempo di Perpustakaan IKIP Negeri Semarang. Saya terperangah melihat
foto Ignas Kleden dengan esai pendeknya di majalah itu. Dia tulis esai itu dari
Jerman, pada waktu dia masih kuliah di Jerman. Saya ingat betul judul esainya
satu kata saja, yakni “Surat.” Sungguh saya bangga karena saya tahu dia orang
Flores Timur. Esai pendek itu ditulis dalam gaya sastra dan filsafat. Seninya
menulis tercermin betul dalam esai pendek itu. Pada bulan Oktober 2013, artinya
30 tahun kemudian, saya baru pertama kali bertemu Ignas Kleden, dia datang di
Uniflor membawakan ceramah berkaitan dengan Hari Sumpah Pemuda. Saya ceritakan
kesaksian saya tahun 1983 atas tulisannya di Tempo yang berjudul “Surat.” Dia
kaget karena dia tidak ingat lagi tulisan itu, sementara saya masih merasakan
nikmatnya membaca sebuah esai pendek karya Ignas Kleden yang ikut mendorong
saya menggeluti dunia tulis-menulis.
Selama beberapa tahun terakhir Bpk. menaruh
perhatian serius terhadap perkembangan dan keberadaan Sastra dan Sastrawan NTT.
Hal ini terlihat dari beberapa artikel dan buku Bpk yang sudah terbit.
Bagaimana Bpk melihat keberadaan dan perkembangan Sastra dan Sastrawan NTT
sejauh ini?
Setelah
saya tidak lagi di dunia politik karena sudah 10 tahun menjadi anggota DPRD
Provinsi NTT dan 20 tahun menjadi pengurus partai di Kabupaten Ende dan di Provinsi
NTT, saya kembali ke habitat saya ke dunia akademik. Tahun 2010 saya mengajar
di Universitas Flores (Uniflor) di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (Prodi PBSI). Saya membaca lagi buku-buku sastra yang saya miliki
kemudian melihat pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Provinsi NTT.
Pada waktu itu saya melihat, karya sastra Indonesia di NTT berserakan, sastrawan-sastrawan
NTT ada hanya sosok mereka tidak jelas, padahal sejumlah karya sastra yang
mereka hasilkan mutunya tidak kalah dengan karya para sastrawan lain di
Indonesia. Pertanyaan muncul, mengapa sastra dan sastrawan NTT tidak banyak
dikenal? Jawabannya, karena hampir tidak ada pengamat dan kritikus sastra yang
memberi perhatian khusus pada sastra NTT. Sejak saat itulah saya mulai mengumpulkan
karya-karya sastra NTT, mengulasnya lewat sejumlah media cetak di NTT, seperti
Pos Kupang, Flores Pos, dan Victory News, dan sejumlah media cetak lain.
Tulisan-tulisan saya yang sudah dimuat di tiga media itu saya unggah ke Blog
saya: www.yohanessehandi.blogspot.com. Dengan membaca tulisan-tulisan itulah
rupanya orang mulai mengenal sastra dan sastrawan NTT, yang kebetulan pada
waktu itu bermunculan pula sejumlah komunitas sastra di NTT. Tulisan-tulisan
itu saya kumpul dan sempurnakan, maka lahirlah buku pertama tentang sastra berjudul
Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) diterbitkan Penerbit Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta. Peredaran buku ini luas karena dipasarkan toko buku Gramedia.
Di luar dugaan, buku ini mendapat sambutan, baik pro maupun kontra. Dan pada
tahun 2014 buku ini menjadi salah satu pemenang hadiah buku insentif untuk
dosen diberikan Ditjen Dikti Kemendikbud RI. Tahun 2015 saya terbitkan lagi
buku yang kedua berjudul Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015) juga
diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma. Buku kedua ini merupakan
kelanjutan atau penyempurnaan buku pertama. Dalam kedua buku itu terlihat betul
petumbuhan dan perkembangan sastra NTT sejak awal mula kelahirannya tahun 19961
sampai dengan saat ini 2015. Dalam usia 54 tahun sastra NTT pada tahun ini,
saya telah mengidentifikasi 44 nama sastrawan NTT dan 135 karya sastra NTT yang
diterbitkan dalam bentuk buku. Masih ada banyak karya sastra dan calon
sastrawan NTT yang terus saya ditelusuri. Jadi, tentang pertumbuhan dan
perkembangan sastra dan sastrawan NTT terdapat di dalam kedua buku tersebut.
Menurut Bpk apa yang perlu dilakukan agar
Sastra dan Sastrawan NTT makin berkualitas dan bisa berbicara banyak di tingkat
nasional bahkan internasional?
Menurut
hemat saya, yang perlu dilakukan antara lain (1) Terjemahkan karya-karya sastra
NTT ke dalam berbagai bahasa di dunia, terutama bahasa Inggris, (2) Pemerintah
daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat Provinsi NTT
menjadikan karya para sastrawan NTT sebagai muatan lokal di semua sekolah di
Provinsi NTT, (3) Sering dilakukan perlombaan sastra atau festival sastra, baik
di tingkat SD, SMP, SMA/SMK maupun untuk mahasiswa dan masyarakat umum.
Pemerintah daerah di NTT harus membuat terobosan memasyarakatkan sastra NTT. Tirulah
terobosan yang dibuat Pemda Bangka Belitung yang menyiapkan anggaran
mempromosikan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Karya-karya sastra
Andrea Hirata akhirnya menjadi sarana pariwisata dan sarana diplomasi budaya
Pemda Bangka Belitung. Saat ini, Bangka Belitung menjadi salah satu objek
wisata unggulan Indonesia, pertumbuhannya bermula dari karya sastra.
Selain sebagai dosen, saat ini Bpk dipercaya
sebagai Kepala Lembaga Publikasi Universitas Flores. Apa yang sudah dicapai
sejauh ini dan apa yang masih harus diperjuangkan ke depan, terutama terkait
bagaimana membangun kultur literasi (membaca dan menulis) di kalangan
mahasiswa?
Sejak
tahun 2012 saya dipercayakan menjadi Kepala Lembaga Publikasi Uniflor (kini
menjadi UPT Publikasi dan Humas). Ada dua hal konkret yang saya lakukan selama
ini dalam membangun kultur literasi di Uniflor. Pertama, menerbitkan secara
berkala Majalah Ilmiah Indikator, yang berisi artikel ilmiah para dosen dan
peneliti di Uniflor. Ini sagat membantu para dosen dalam mengurus jabatan
akademik (kenaikan pangkat) dan mengurus sertifikasi dosen (serdos). Sesuai
dengan ketentuan, artikel ilmiah menjadi syarat mutlak dimiliki seorang dosen.
Kedua, membangun kerja sama dengan harian umum Flores Pos yang terbit di Ende.
Uniflor membeli satu halaman Flores Pos pada edisi hari Sabtu, halaman 11
berisi rubrik “Suara Uniflor.” Dalam rubrik ini diisi artikel opini karya para
dosen dan mahasiswa Uniflor, juga diisi dengan berita teks dan berita gambar
yang berkaitan dengan kegiatan sivitas akademika Uniflor selama seminggu.
Rubrik “Suara Uniflor” mulai muncul pada 17 Maret 2012, terbit setiap setiap
Sabtu, kini mau memasuki tahun ke-5. Artikel opini para dosen dan mahasiswa yang
telah dimuat Rubrik “Suara Uniflor” saya kumpulkan dan terbitkan dalam bentuk
buku antologi. Dengan demikian, para penulis mendapatkan keuntungan ganda.
Itulah langkah konkret menumbuhkan budaya literasi yang saya lakukan selama di
Uniflor.
Tahun 2015 ini Uniflor terpilih sebagai
tempat Festival Sastra dan Temu II Sastrawan NTT. Apa komentar Bpk tentang
momen akbar ini? Hal apa yang masih segar dalam ingatan Bpk terkait kegiatan
tersebut?
Ya,
tahun 2015 ini Kantor Bahasa Provinsi NTT menggandeng kami di Uniflor untuk
menyelenggarakan Festival Sastra dan Temu 2 Sastrawan NTT. Kesan banyak orang,
ini kegiatan cukup besar. Kami merasa senang karena dipercayakan Kantor Bahasa
NTT, Kantor Bahasa NTT yang menyiapkan dana penyelenggaraan. Kami di Uniflor
hanya menyiapkan tenaga dan fasilitas. Terlepas ada kekurangan di sana-sini
dalam pelaksanaannya, kami merasa puas. Yang saya kagumi, pertama, Kantor
Bahasa NTT menunjukkan keseriusan dalam bekerja sama dengan Uniflor, meski pada
awalnya saya sempat diliputi rasa cemas, kedua, para sastrawan NTT hadir cukup
banyak dan menunjukkan antusiasme yang membanggakan.
Saat ini apakah ada naskah buku yang sedang
Bpk garap untuk diterbitkan?
Ya,
ada satu naskah buku yang sedang saya rampungkan, bukan tentang sastra tetapi
tentang jurnalistik, judulnya “Mengenal Jurnalistik Praktis” semoga terbit
tahun 2016.
Apa pesan Bpk untuk masyarakat NTT khususnya
generasi muda terkait budaya literasi (membaca dan menulis), juga terkait
keberadaan dan perkembangan Sastra dan Satrawan NTT?
Saya
termasuk orang yang percayai dan meyakini sungguh kekuatan budaya literasi, yakni
budaya membaca dan menulis, untuk mengubah masyarakat menjadi masyarakat maju
dan modern. Peradaban masyarakat dalam suatu wilayah atau daerah ditentukan
oleh budaya literasi masyarakat bersangkutan. Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan
masyarakat dalam suatu daerah berbanding lurus dengan lemahnya budaya literasi
masyarakat tersebut. Dengan membaca dan menulis masyarakat akan banyak tahu
tentang banyak hal. Dengan modal pengetahuan itu, masyarakat akan terinspirasi
untuk kreatif dan berinisiatif untuk membuat banyak hal demi kemajuan hidup dan
peradabannya. Ciri-ciri masyarakat maju dan yang mau maju adalah masyarakat
yang tradisi literasinya kuat, tradisi bahasa tulisnya kuat. Sebaliknya, ciri-ciri
masyarakat miskin dan terbelakang lebih banyak tradisi lisan. Perihal ini belum
banyak disadari oleh masyarakat dan pemerintah daerah kita di NTT.
Jadi, kalau mau membangun masyarakat NTT ke arah yang lebih maju dan modern, bangunlah sumber daya manusia (SDM) masyarakat NTT dengan budaya literasi, budaya membaca dan menulis, kurangi budaya lisan (mendengar dan berbicara). Lihatlah masyarakat kita di Indonesia, semakin ke Barat Indonesia semakin maju, budaya literasinya cukup bagus. Sebaliknya, semakin ke Timur Indonesia semakin lemah budaya literasinya, semakin miskin. Tentu ada variable lain juga. Bandingkan masyarakat kita dengan masyarakat Eropa, Jepang, dan Korea Selatan yang kuat budaya literasinya, mereka maju dan modern. Saya sungguh percaya dan yakin, budaya literasi menentukan kemajuan perabadaban masyarakat. Apa kaitannnya dengan kemajuan sastra? Budaya sastra dibangun oleh budaya literasi. Budaya literasi berbanding lurus dengan budaya sastra.(Robert Fahik)
YOHANES SEHANDI
TTL
: Labuan Bajo, 12 Juli 1960
HP
: 081339004021
Pendidikan
S1
:Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Negeri Semarang (sekarang
Universitas Negeri Semarang, 1985)
S2
: Sosiologi UMM Malang (2003)
Karya tulis:
Mengenal
25 Teori Sastra (Yogyakarta: Ombak, 2014)
Antologi
Opini Suara Uniflor 2012-2013 (Yogyakarta: Ombak, 2014)
Mengenal
Sastra dan Sastrawan NTT (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012)
Bahasa
Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Salatiga: Widya Sari, 2013)
Pengantar
Ilu Sosial dan Budaya Dasar (Salatiga: Widya Sari, 2013)
Bahasa
Indonesia sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (Kupang: Gita Kasih,
2010)
|
Buang Sine: Polisi, Penulis, Pelukis
Demikian kisah Buang Sine kepada tim Loti Basastra beberapa waktu lalu, terkait bagaimana ia membagi
waktu untuk menulis dan melukis di tengah tugasnya sebagai anggota polisi. Pria
kelahiran Kupang, 30 Juni 1967 yang kini bertugas di Polda NTT ini memang
dikenal juga sebagai penulis dan pelukis. Kemampuan menulis dan melukis yang ia
tekuni menjadikan sosok yang murah senyum ini berbeda dengan anggota polisi
umumnya.
Di kalangan akademisi, pemerhati sastra (dan seni), atau
pembaca pada umumya, banyak yang mungkin tak menyangka bahwa penulis novel dan
pelukis yang satu ini sebenarnya adalah anggota polisi. Sebaliknya barangkali
tidak sedikit anggota polisi yang tak mengira bahwa di antara mereka (polisi)
ternyata ada seorang penulis dan pelukis dengan talenta yang luar biasa. Namun
itulah seorang Buang Sine. Pemilik nama lengkap Simon Junior Buang Sine ini
benar-benar polisi, sekaligus sungguh-sungguh penulis dan pelukis yang tak
diragukan lagi kompetensinya.
Dalam tugasnya sebagai polisi, Yohanes Sehandi dalam bukunya Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015)
mencatat sejumlah prestasi yang ditorehkan suami Louisa Afriany Nakmans ini,
seperti membongkar kasus pembunuhan Maria Tuto Lewar di Larantuka, Flores Timur
(1990), membongkar kasus pembunuhan Yohakim Atamaran di Larantuka (2007), dan
membongkar kasus pembunuhan Paulus Usnaat di Kefamenanu, TTU (2008). Tidak
hanya itu, Buang juga aktif dalam menuntaskan kasus lainnya seperti pembunuhan
Romo Faustin Segar, Pr., di Bajawa, Ngada (2009), pembunuhan Yohakim Langoday
di Lembata (2009), serta pembunuhan Deviyanto Nurdin bin Yusuf di Maumere,
Sikka (2010).
Pencapaian yang luar biasa serta aneka pengalaman seorang
Buang dalam kariernya sebagai polisi ternyata tidak luput dari sebuah proses
kreatif. Ayah dari Doni Herman Sine dan Cornelia Sofia Sine ini menuangkan
berbagai kisah serta pemikiran dalam bentuk tulisan yang bisa berbicara kepada
siapa saja, kapan saja, di mana saja. Hingga kini, Buang sudah menerbitkan tiga
novel yang luar biasa yakni Dua Malam
Bersama Lucifer (Yogyakarta: Andi, 2012), Petualangan Bersama Malaikat Jibrail (Yogyakarta: Andi, 2013), dan Polisi Sampah (Yogyakarta: Smart
Writing, 2015) – selain sebuah buku biografi.
Menulis dan melukis; sebuah proses
Buang mengakui, kemampuan menulis tidak datang begitu saja.
Proses awal ia mulai sejak di bangku kelas 2 SMA Kristen 1 Kupang. Ia terus
belajar menulis, sambil tak henti-hentinya “berguru” pada tokoh-tokoh yang
menginspirasinya seperti
Leo Tolstoy, Anton Chekov dan Ernest Hemingway. Tahun 2001 merupakan debutnya
dalam publikasi tulisan di media massa.
“Saya menulis puisi
pertama yang dimuat di Pos Kupang dan juga cerpen berjudul Hama Belalang tahun
2001,” kisahnya.
Selain menulis,
polisi yang satu ini juga gemar
melukis, khususnya melukis
karikatur. Kemampuan melukis
diakuinya sudah ada sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD GMIT Kuanino III
Kupang. Namun, saat kelas 2 SMP barulah ia memenangi lomba melukis se kota Kupang dalam
rangka hari Reformasi. Kemudian, tuturnya, kemampuan itu terus berkembang dan ia sempat menjuarai lomba pembuatan poster hari HIV/AIDS sedunia tahun 2006.
Buang juga yang menciptakan logo atau lambang Polda NTT.
“Tahun 2002-2004
menjadi karikaturis di Harian
Umum Pos Kupang. 2005-2009 menjadi karikaturis di Harian Umum Timor Ekspres. Dan saat ini aktif mengisi rubrik di harian
Victory News bertajuk Wawancara Detektif Otak Miring dengan Bung Pena,”
jelasnya.
Panggilan menulis dan melukis
Menurut Buang Sine, menulis dan melukis adalah pekerjaan mencipta. Kita mencipta yang tidak ada menjadi ada. Menciptakan puisi, menciptakan cerpen, menciptakan novel
dan menciptakan gambar. Proses mencipta ini adalah hakekat yang harus
dimiliki manusia. Seperti Tuhan juga adalah pencipta manusia, langit dan alam semesta. Jadi, betapa bahagianya
kita bisa menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Itulah yang bisa dikerjakan dalam dunia
menulis dan melukis. Dunia menulis dan melukis membawa banyak manfaat. Bahkan dapat
mensejahterakan bagi sang penulis atau pelukis itu sendiri. Salah satu contoh penulis yang kini telah
menjadi miliarder adalah J.K Rowling, penulis novel Harry Potter yang terkenal dan mendunia. Kini novel-novelnya
diangkat ke layar lebar dan menjadi box office.
Pemikiran serta keyakinan seperti itulah yang terus menggelora
dalam diri seorang Buang untuk menjadikan menulis dan melukis sebagai sebuah
panggilan serentak sisi lain dari profesi sebagai polisi. Meski demikian, ada
saja tantangan serta kesulitan yang dihadapai. Untuk dunia menulis,
kata Buang, pernah ada naskah karyanya ditolak beberapa kali oleh penerbit. Hal ini membuatnya hampir putus asa. Tetapi dirinya menyadari bahwa penolakkan naskah itu ada
alasannya, sehingga ia memperbaiki
naskah itu dari penggunaan kata, tanda baca, kalimat dan ide cerita, sehingga pada tahun
2011 naskahnya berjudul Dua
Malam Bersama Lucifer diterima penerbit Andi Yogyakarta dan diterbitkan.
“Sedangkan
hambatan dalam hal melukis adalah ketiadaan peralatan melukis di kota Kupang
dan harus dipesan dari luar kota seperti di Jakarta atau Surabaya. Sebab, untuk melukis atau
membuat karikatur harus menggunakan cat atau pensil khusus agar kualitasnya
bagus. Inilah
hambatannya,” tuturnya.
Sekalipun ada hambatan, Buang terus mengepakkan sayapnya
dalam menulis dan melukis. Karena itu ia mengajak generasi muda untuk menjadi
pemuda-pemudi yang kreatif. Sebab,
katanya, hanya orang kreatif sajalah
yang akan menjadi terdepan.
“Tulis dan
tulislah karena suatu saat kalian akan menjadi penulis besar. Ingat kata-kata
orang bijak; orang yang tidak
dapat menulis ibarat kera yang berbaju. Maukah kita dianggap kera yang berbaju? Jika tidak, mulailah menulis dan jadilah penulis
besar. Kembangkanlah
kemampuan melukismu sebab dunia melukis sangat dihargai di
dunia. Picasso, Rembrandt, Leonardo da Vinci menjadi terkenal karena
melukis. Berkaryalah selagi muda,” tutur alumnus SMPN Kupang ini.
Buang Sine melihat
dunia menulis sastra di NTT sudah semakin berkembang. Sudah banyak kemajuan. Hal ini ditandai
dengan bermunculan penulis-penulis muda yang potensial dengan karya-karya
puisi, cerpen
dan novel yang berkualitas.
Namun, menurutnya perkambangan yang ada perlu didukung dengan
budaya literasi (membaca dan menulis) yang kuat dalam masyarakat NTT yang note
bene masih sangat kental dengan budaya tutur (lisan). Untuk menggalakkan kecintaan masyarakat NTT khususnya generasi muda dalam mencintai budaya menulis, kata
buang, harus dibuatkan sebuah
peraturan wajib membaca buku bagi seluruh pelajar SD, SMP dan SMP juga kepada kaum dewasa. Sebab dengan membaca
maka akan memacu kita untuk menulis. Banyak orang menjadi penulis terkenal karena
berawal dari membaca.
“Jadi, budaya membaca harus
digalakkan di NTT untuk menciptakan penulis-penulis berkualitas di masa yang
akan datang. Wajib membaca minimal dua buku sehari harus diundangkan oleh pemerintah NTT,” pintanya.
Di tengah kesibukan sebagai anggota polisi dan pengembangan
menulis dan melukisnya, Buang masih menyimpan sebuah harapan besar. Dalam dunia menulis, tidak tanggung-tanggung, polisi berpangkat AIPTU ini ingin mendapatkan hadiah Nobel Sastra.
“Dan perjuangan ke
arah sana sedang saya lakukan dengan menulis novel Cerita
Sang Angin dan Percakapan Dengan Orang Gila. Dua novel ini saya
fokuskan untuk dapat meraih nobel sastra dunia. Sedangkan untuk dunia melukis khususnya karikatur, saya akan mendirikan warung karikatur di kota Kupang dan sebagai
karikaturis pertama di NTT,” ungkapnya.(Robert Fahik)
Langganan:
Postingan (Atom)